Share

Terlambat

“Ini biar gue aja yang bawa sekalian mau dipelajarin, sekali lagi gue minta maaf,” jelas pria itu lagi tak enak hati pada Ica.

“Aku juga minta maaf, assalamualaikum,” kata Ica lalu berjalan meninggalkan Perpustakaan.

Yang dibalas, “waalaikumsalam,” oleh pria itu.

Ica terus berjalan menjauhi Perpustakaan menuju depan gedung fakultas untuk menunggu angkutan umum di halte depan. Selama Ica berjalan ia terus mengucap istighfar atas kecerobohan yang hampir saja berakibat juga pada orang tuanya. Ica sudah berjanji bahwa ia akan selalu menjaga semua yang telah Allah SWT kasih padanya karena semua itu hanya titipan dan akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat maka ia harus bisa menjaganya dari semua laranganNya.

Walaupun Ica kadang harus bekerja sama dengan lawan jenis namun, ia mampu menjaga batasan saat harus dihadapkan dengan yang bukan mahromnya. Awal-awal pasti akan ada kecanggungan, tapi Ica mampu mengatasi masalah tersebut.

“Selanjutnya harus lebih hati-hati, Ca,” gumam Ica.

Tak terasa ternyata perbincangan dirinya dan pria itu berjalan cukup lama. Terbukti sekarang sudah menunjukkan pukul 14.30, maka Ica sudah bisa menebak jika dirinya tidak akan mendapatkan angkutan untuk mengantarnya pulang. Namun, ia memutuskan untuk tetap menunggu beberapa menit lagi. Siapa tahu ini hari keberuntungannya.

Sudah hampir setengah jam Ica menunggu dan ia belum mendapatkan angkutan juga. Saat sudah merasa jenuh menunggu angkutan yang tak kunjung datang, Ica baru ingat dengan sesuatu yang mungkin bisa membantunya saat ini.

Tanpa membuang waktu lagi Ica segera merogoh isi tasnya. Setelah ia menemukannya, sungguh tak disangka ternyata ponselnya mati. Ica baru ingat jika tadi malam ia tidak mengisi daya ponselnya. Benda yang diharapkan bisa membantu nyatanya tidak.

Jika sudah seperti ini maka jalan satu-satunya adalah berjalan kaki. Ini sudah bukan hal baru lagi baginya bahkan ia sering mengalami hal seperti ini yang mengharuskannya untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Jarak kampus dengan rumahnya kurang lebih 2,5 km sehingga lumayan juga keringat yang ia keluarkan.

“Olahraga lagi deh,” ujarnya.

Ica berjalan menyusuri jalanan yang ramai. Karena pagi tadi Ica dan Rara ada tugas yang mengharuskan mereka mencari referensi buku di perpustakaan dan Rara membujuknya untuk berangkat bersama dan jadilah sekarang.

Sebenarnya Ica bisa saja naik bus kota, tetapi ia harus berjalan terlebih dahulu ke jalan raya besar untuk menunggu bus kota di halte. Namun, sayangnya jika memilih ke jalan raya ia harus berjalan berlawanan dengan arah rumahnya karena rute bus kota hanya melewati jalan utama saja. Apabila Ica naik bus kota maka ia hanya bisa turun di ujung jalan saja. Setelahnya ia harus berjalan lagi sekitar kurang lebih setengah kilo meter untuk sampai di perumahan tempatnya tinggal.

Setelah beberapa menit menyusuri jalan akhirnya Ica sampai di rumah yang menantinya dengan segudang pekerjaan. Belum sampai di depan rumah, Ica sudah dikejutkan oleh keberadaan Rara dan Irsya yang sepertinya tengah menunggunya.

Saat Rara menoleh ke arah kanannya.

“Kemana aja sih, Ca? Ditelpon gak aktif, punya hp itu dipake gak cuma buat isian tas aja,” serbu Rara menghampiri Ica yang masih terdiam tak jauh dari tempatnya.

Segera Rara menarik Ica untuk membukakan pintu gerbang rumahnya.

“Kalian udah nunggu lama?” tanya Ica lalu membuka pintu gerbang dan dilanjut dengan membuka pintu rumahnya dengan terburu-buru.

“Udah hampir 2 jam.” Rara langsung masuk ke dalam rumah melewati Ica begitu saja.

Ica yang terkejut mendengar pernyataan barusan lalu menatap Irsya seolah meminta maaf.

“Baru sebentar, gak usah didengerin,” ujar Irsya. Sedikit lega mendengar penuturan pria itu walaupun ia tetap merasa bersalah.

“Silahkan masuk, Kak.” Ica mempersilahkan masuk. “Sebentar ya, aku bikin minum dulu.”

Ica tahu, kakak beradik itu pasti sangat lelah menunggu dirinya sampai rumah. Ditambah cuaca hari ini sangat terik. Walaupun bisa saja mereka menunggu di dalam mobil, tapi tetap saja panas matahari akan membuat mereka tidak nyaman.

Tak lama Irsya kembali bersuara, “eh, jangan, Ca.”

“Iya jangan, kebanyakan minum nanti yang ada kembung,” kata Rara memberikan senyum kudanya.

“Udah sini duduk aja.” Ica menurut saja. Ia duduk di kursi single sedangkan kakak beradik itu duduk bersebelahan di kursi panjang.

“Kamu pulang jalan kaki, ya?” tanya Irsya pada Ica.

“Cari angin sambil olahraga, Kak,” jawabnya.

Alasan yang selalu Ica ucapkan jika ada yang bertanya padanya perihal itu. Ica tidak berbohong bukan? Ia memang olahraga, tapi jika ada pilihan lain Ica lebih memilih tidak melakukannya.

“Lain kali telpon kakak aja biar kakak jemput.” Ica hanya menjawab dengan senyum dan anggukan.

“Telpon aku aja, Ca, telpon Kakak mah enggak pasti banget yang ada lumutan nunggunya,” kata Rara dengan muka meledek pada Irsya.

Memang benar adanya. Irsya selalu terlambat jika Rara memintanya untuk menjemput. Pria itu selalu mempunyai alasan untuk menghindar dari amarah sang adik. Contohnya saja tadi pagi saat Irsya menjemput ke kampus. Sebenarnya Irsya terlambat dua puluh menitan, tapi karena Rara harus mencari Ica terlebih dahulu jadilah kedua gadis itu yang terlambat menemui Irsya.

Tidak mau kalah, Irsya pun menjawab, “iya bisa lumutan kayak tadi siang nungguin kamu.”

“Tadi siang tuh Ica,” ujar Rara.

Rara menatap Irsya tajam. Kakaknya ini sejak mengungkapkan jika dirinya menyukai sahabatnya, sikapnya pada Ica sangat kentara berbeda saat Irsya masih memendamnya sendiri. Walau begitu Rara sangat mendukung sang kakak, apalagi jika Irsya dan Ica sampai ke tahap selanjutnya.

“Sama kamu kan?” timpalnya lagi.

Terlalu malas meladeni sang kakak. Rara pun mengalihkan pembicaraan dengan berucap, “jawab pertanyaan aku, Ca.”

“Apa?” tanya Ica.

“Dari mana aja? Disuruh ikut gak mau, katanya ngerjain tugas, tapi ini malah sampai rumahnya duluan aku,” ucap Rara terus terang. Dirinya sudah terlanjur kesal dengan Ica.

Ica menjawab, “maaf udah buat kalian nunggu, tadi ada urusan jadi pulangnya agak telat.”

“Gak papa,” kata Irsya.

Ica sebenarnya masih merasa tidak enak dengan Rara dan Irsya. Jika saja ponselnya tidak kehabisan daya, mungkin tidak akan seperti ini karena Ica pasti akan segera pulang.

“Hal dadakan apa sampai pulang terlambat?” tanya rara

Mendengar pertanyaan Rara, Ica bingung harus menjawab. “emm ... itu itt itu loh ...”

“Ini buat kamu, Ca,” Rara menyodorkan paper bag kepada Ica.

Ica paham jika Rara sudah mengerti, itulah kenapa Rara tidak melanjutkan pertanyaannya. Bukannya tidak ada keterbukaan di antara mereka, tapi mereka tahu kapan waktu terbaik untuk menceritakannya. Bukankah begitulah sahabat? Tidak memaksakan karena ia tahu di mana tempatnya kembali.

“Buat aku, Ra?” tanyanya.

Setelah ia membuka paper bag dan mengambil isinya. Heran saja dengan isinya. Gaun pesta? Memangnya akan ada acara apa? Sampai Rara memberikannya ini.

“Nanti malem mamah sama papah ngadain acara, kamu ikut, ya,” kata Rara.

Ica tidak langsung menjawab. Menatap Rara tidak enak hati dan berkata, “makasih undangannya, Ra, tapi aku gak bisa datang.”

“Ayolah, Ca,” desak Rara padanya, “sebentar aja kok, janji gak lama deh,” bujuknya lagi.

Andai saja besok ia tidak ada janji tentu saja Ica akan dengan senang hati hadir ke acara tersebut.

“Gak bisa, Ra.” Ica mengembalikan paper bag tersebut kepada Rara.

“Udah simpan aja barangkali nanti berubah pikiran. Ayo, Kak, pulang.” Rara beranjak dari duduknya.

“Ih jelek banget ngambeknya,” canda Ica lalu mencolek dagu Rara.

“Bodo amat,” balas Rara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status