MasukDaisy memberi tahu Arya bahwa dia memiliki cuti pada minggu berikutnya. Mereka pun mulai merencanakan perjalanan mereka. Mereka memutuskan untuk ikut open trip, sehingga mereka tidak perlu mengurus semua persiapan sendiri dan juga akan lebih aman.
Arya dan Daisy setuju untuk bertemu di stasiun kereta. Arya datang lebih awal, memastikan semuanya berjalan lancar. Ia mengenakan jaket outdoor favoritnya, dan di dalam tasnya, ia membawa beberapa makanan ringan dan minuman ekstra. Ia tidak ingin Daisy merasa lelah atau kekurangan. Saat Daisy datang, Arya langsung tersenyum. Daisy memakai hoodie berwarna abu-abu yang terlihat nyaman, tapi tetap terlihat menawan di mata Arya. Meskipun mereka ikut dalam rombongan open trip, mereka berhasil mendapatkan tempat duduk bersebelahan di dalam gerbong kereta. Perjalanan itu terasa sangat berbeda dari perjalanan Arya sebelumnya. Kali ini, ia tidak lagi sendirian. Di dalam gerbong yang ramai, mereka mengobrol santai. Mereka membicarakan tentang pekerjaan Daisy, dan Arya mendengarkan dengan sabar. Dia tidak lagi merasa kecewa atau terganggu oleh kesibukan Daisy. Sebaliknya, ia merasa bangga pada sosok Daisy yang gigih. Ketika malam tiba, Daisy terlihat lelah dan ia pun tertidur. Ia bersandar di pundak Arya. Arya terdiam, jantungnya berdebar kencang. Momen ini adalah momen yang paling berharga baginya. Ia tidak ingin menggerakkan bahunya, takut membangunkan Daisy. Kereta tiba di stasiun berikutnya. Perlahan, mata Daisy terbuka. Ia mengerjap, menyadari di mana ia berada. Ia mengangkat kepalanya dari pundak Arya, dan Arya merasakan kehangatan yang tadi ada perlahan menghilang. Daisy bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Ia tidak meminta maaf atau menunjukkan rasa malu. "Sudah sampai mana kita?" tanya Daisy, suaranya serak. Arya merasa sedikit kecewa, tapi ia mencoba menyembunyikan perasaannya. "Sebentar lagi sampai," jawabnya dengan senyum. "Kamu tidur nyenyak?" Daisy mengangguk, lalu tersenyum. "Iya. Capek banget." Seolah tidak ada yang terjadi, mereka kembali berbincang tentang pekerjaan dan keseharian. Arya berusaha menggali lebih dalam, tapi Daisy hanya menjawab dengan singkat. Arya menyadari bahwa mungkin Daisy hanya menganggapnya sebagai teman, tidak lebih. Meskipun begitu, ia tidak menyerah. Setelah pendakian yang melelahkan namun penuh kebersamaan, mereka akhirnya tiba di area perkemahan. Kabut tipis dan udara dingin langsung menyambut. Rombongan open trip dengan cepat mulai mencari tempat yang ideal untuk mendirikan tenda. Arya dan Daisy terpaksa berpisah sejenak, karena tenda yang sudah ditentukan untuk mereka tidak bersebelahan. Arya berbagi tenda dengan beberapa pendaki laki-laki lain, sementara Daisy berada di tenda perempuan. Meskipun jarak di antara mereka hanya beberapa meter, Arya merasa ada kekosongan. Momen kebersamaan yang intens selama perjalanan di kereta dan pendakian seolah terputus. Arya dengan cepat menyelesaikan tugasnya mendirikan tenda, dan matanya terus mencari-cari Daisy di antara kerumunan. Ia tidak ingin melewatkan satu detik pun. Setelah tendanya berdiri kokoh, Arya merasa gelisah. Ia tidak bisa hanya duduk diam menunggu. Ia harus menemukan cara untuk menghabiskan waktu bersama Daisy lagi. Ia tidak bisa menunggu. Setelah tendanya berdiri, ia langsung berjalan menuju tenda Daisy. Ia melihat Daisy sedang mengobrol dengan beberapa teman barunya, tapi begitu melihat Arya, senyumnya mengembang. Arya merasa lega. "Daisy, mau ikut aku sebentar?" bisik Arya, agar tidak terdengar oleh rombongan yang lain. "Aku mau ajak kamu ke suatu tempat." Daisy mengangguk. Tanpa banyak bicara, ia mengikuti Arya, menjauh dari keramaian tenda dan menuju ke suatu tempat yang agak tersembunyi. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara napas yang teratur dan langkah kaki mereka yang memecah kesunyian. Akhirnya, mereka sampai. Arya menyalakan senter, dan di bawah sinarnya, Daisy melihat ribuan bunga daisy putih yang tumbuh subur, bersinar di bawah cahaya rembulan. Pemandangan itu begitu indah, dan Daisy langsung tersenyum lebar. "Ini dia," kata Arya. "Kebun bunga daisy di ketinggian. Aku mau ajak kamu ke sini." Mata Daisy berbinar, bukan hanya karena keindahan bunga-bunga itu, tetapi juga karena kejutan yang Arya berikan. Ia berjongkok, mengamati bunga-bunga daisy yang bersinar lembut di bawah cahaya bulan. Senyumnya begitu lebar, begitu tulus, hingga membuat Arya merasa semua perjalanan dan penantiannya sebanding. "Ini indah sekali," bisik Daisy, suaranya dipenuhi rasa takjub. "Aku tidak menyangka ada tempat seperti ini." "Aku tahu," jawab Arya, matanya tak lepas dari Daisy. "Aku sengaja cari tahu di mana bunga-bunga ini tumbuh." Saking bahagianya, Daisy memutar badannya dan berkata, "Boleh aku petik satu?"Arya terdiam sejenak. Ia tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. "Jangan," katanya. "Makanya aku bawa kamu ke sini. Kita tidak perlu memetiknya, cukup lihat saja. Bunga daisy itu lebih indah jika tetap di tempatnya." Kata-kata Arya itu membuat Daisy terdiam. Ia menatap Arya dengan pandangan yang dalam, seolah baru pertama kali melihat sosoknya. Di tengah kebun bunga daisy itu, mereka duduk berdua. Keheningan menyelimuti mereka, tapi bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh makna.Hari ini begitu cerah, sempurna untuk sebuah pembukaan. Di lantai utama Jakarta Convention Center (JCC), area pameran seni tampak hidup. Pameran The Lingering Bloom, resmi dibuka.Daisy berdiri di samping Aditya dekat pintu masuk ruang pamerannya. Ia mengenakan gaun putih sederhana yang kontras dengan dinding-dinding galeri yang didominasi warna gelap. Lukisan-lukisan itu kini tergantung dengan megah, masing-masing disinari cahaya yang tepat, membuat bunga daisy yang menjadi ciri khasnya seolah bersinar dari dalam kanvas.Sejak pagi, pengunjung terus berdatangan. Mereka adalah para kritikus seni, kolektor, dan pencinta seni, mereka datang untuk melihat lihat.Daisy mendengarkan komentar mereka:"Emosinya nyata... ada duka, tapi juga harapan yang tak tertahankan.""Kontrasnya luar biasa. Biru yang dalam, lalu kuning yang membakar."Daisy merasa puas. Mereka melihat seninya, bukan dramanya.Tiba-tiba, mata Daisy menangkap sosok yang familiar. Di ambang pintu, tampak Anggara. Ia mengenak
Keesokan harinya, kontras antara Basecamp Gunung Prau dan Jakarta Convention Center (JCC) terasa menusuk. Hanya sehari yang lalu, Daisy dikelilingi oleh bunga daisy dan heningnya kabut kini, ia dikelilingi oleh hiruk pikuk pekerja konstruksi pameran, suara bor, dan aroma karpet baru. Daisy berdiri di depan pintu ruang pameran yang masih kosong. Ia mengenakan pakaian kasual, namun matanya memancarkan ketenangan yang baru ia temukan di puncak gunung. "Daisy! Kamu datang!” Aditya menghampirinya, mengenakan kemeja rapi dan membawa clipboard tebal. Senyum Aditya hangat, namun ia terlihat tertekan oleh kesibukan. "Bagaimana solo hiking-nya? Kamu terlihat... berbeda," tanya Aditya, menatap Daisy dengan cermat. "Lebih ringan," jawab Daisy, tersenyum tulus. "Aku siap, Aditya. Aku siap untuk pameran ini.” Mereka segera membahas penataan lukisan. Selama berjam-jam, mereka bekerja dengan tim instalasi, menentukan di mana setiap lukisan akan digantung. Daisy terkesan dengan ketelitian Aditya
Semua lukisan telah dikirim. Studio kini kosong, dan penantian untuk bertemu Aditya serta menghadapi deadline terasa mencekik. Daisy membutuhkan udara gunung, ketenangan, dan terutama, harus kembali ke tempat di mana janji abadi antara dirinya dan Arya pernah diucapkan.Ini adalah solo hiking-nya yang pertama, dan ia melakukannya bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk sebuah ritual perpisahan yang sesungguhnya. Ia membawa tas carrier ringan, berisi peralatan dasar dan sebuah bunga daisy kering yang ia simpan rapi.Pendakian terasa jauh lebih berat tanpa Arya di sisinya. Setiap langkah adalah memori: tawa Arya, pegangan tangannya, dan bisikan janji di bawah bintang-bintang. Saat ia tiba di pos perkemahan terakhir menjelang puncak, ia bertemu dengan seorang pendaki pria yang sedang memasak air. Pria itu tinggi, dengan jaket outdoor, dan wajahnya dipenuhi uap dari masakannya."Pagi, Mbak. Solo hiking juga?" sapa pria itu ramah."Ya, pagi," jawab Daisy, tersenyum tipis. "Saya Dais
Setahun telah berlalu sejak hari yang menghancurkan itu. Musim telah berganti, kampus telah meluluskan angkatan baru, dan bekas-bekas luka perlahan-lahan mulai mengering, meskipun tidak sepenuhnya hilang.Daisy tidak lagi bekerja sebagai pramugari. Ia mengambil cuti panjang dan akhirnya memutuskan untuk berhenti. Kenangan tentang bandara, seragam, dan penerbangan terlalu menyakitkan, selalu mengingatkannya pada Arya dan Rian. Ia kembali ke dunia seni rupa, membuka studio kecil di rumahnya. Ia melukis. Bukan lagi pemandangan ceria seperti dulu, tetapi lukisan-lukisan abstrak yang dipenuhi warna-warna emosi yang gelap dan terang sebuah proses terapi untuk melepaskan duka. Bunga daisy selalu hadir dalam setiap karyanya, sebagai penghormatan abadi untuk Arya.Intan telah lulus kuliah. Ia menolak tawaran pekerjaan di perusahaan besar. Sebaliknya, ia menjadi relawan di sebuah yayasan konseling remaja. Ia menyalurkan perasaannya yang rumit cinta yang tak terbalas, rasa bersalah, dan duka ata
Pagi itu, Daisy bangun dengan perasaan ringan. Ia mengingat kembali pertemuan manisnya dengan Arya semalam, dan senyumnya merekah. Ia mengambil ponselnya, yang sudah ia isi dayanya, untuk menghubungi Arya. Namun, sebelum ia sempat mengetik pesan, sebuah panggilan masuk. Nomor yang tidak dikenal."Halo?" ucap Daisy."Daisy... ini aku, Intan," jawab suara di seberang, terdengar serak."Intan? Ada apa? Kamu terdengar tidak baik-baik saja," tanya Daisy, nadanya cemas."Arya... dia... dia mengalami kecelakaan," ucap Intan, suaranya bergetar.Dunia Daisy terasa berputar. "Apa? Kecelakaan apa? Di mana dia sekarang?""Dia ditabrak mobil. Sekarang dia di rumah sakit. Lukanya serius... dia kritis," isak Intan.Ponsel Daisy jatuh dari tangannya. Kata-kata "kecelakaan" dan "kritis" bergaung di kepalanya. Ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa bernapas.Sesaat yang lalu, ia masih memeluk Arya. Sesaat yang lalu, mereka masih tertawa. Dan sekarang...Tanpa membuang waktu lagi, Daisy mengenakan jaketn
Rian tidak bisa tidur. Malam itu, bayangan Daisy yang tersenyum di atas motor Arya terus menghantuinya. Ia memutar-mutar ponselnya, melihat foto-foto Daisy di media sosial. Ia begitu terobsesi, hingga tidak bisa menerima kenyataan bahwa ada orang lain yang bisa membuat Daisy bahagia.Keesokan harinya, Rian memutuskan ia harus bertindak. Ia tidak bisa hanya duduk diam dan melihat kebahagiaan itu. Ia merasa Daisy adalah miliknya, dan ia berhak atas perhatian Daisy."Aku akan memberimu pelajaran," gumam Rian, menatap layar ponselnya.Ia mengambil kunci mobilnya dan pergi ke kantor maskapai. Ia tahu ada cara untuk mendapatkan informasi penerbangan Daisy.Ia menemukan bahwa Daisy akan pulang dari penerbangan subuh. Rian memutuskan untuk menunggunya di depan mes pramugari. dan ia akan memastikan bahwa Daisy tahu siapa yang benar-benar peduli padanya.Setelah berbicara dengan Intan, Arya merasa senang. Ia berjalan menyusuri jalan setapak, langkahnya ringan. Ia masih memikirkan Daisy, memimpi







