Pram menatap kaku mobil yang sudah hancur di hadapannya. Sejak mendapat telepon dari pihak kepolisian yang mengatakan bahwa istrinya tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, jiwanya serasa mati. Bahkan hingga kini.
Pram menatap darah yang tercecer di sekitar mobil yang hancur dengan pilu.
Darah Amira.
Pram memejamkan matanya sambil menggigit bibirnya pilu. Dan hatinya menjadi luar biasa sakit. Ia memang tidak menyukai Amira, namun bukan berarti ia menginginkan kematiannya.
Untuk pertama kalinya, air mata Pram tumpah karena Amira.
Di rumah sakit, sembari menunggu kedatangan para keluarga, Pran merenung sambil menenangkan Lila yang sedang menangis di sampingnya.
Amira tidak tewas sendirian dalam kecelakaan itu. Melainkan bersama mahasiswa selingkuhannya. Pram secara khusus meminta Ammar menyelidiki segalanya lebih cepat mengenai
"Pak Direktur... "Sapaan lembut Anara membuat Pram terjaga. Ia menengadah. Anara tersenyum samar padanya. Matanya masih sembab karena sudah terlalu banyak menangis.Pram hanya membalasnya dengan tersenyum samar juga. Ia pun masih sama berdukanya. Pemakaman Amira baru saja selesai dan kini mereka semua sedang berkumpul di rumah Pram. Di ruang tengah, orang tua Pram sibuk menghibur besan mereka. Sementara Pram memilih menyendiri di taman samping rumahnya."Boleh saya duduk disini?" Tanya Anara sopan. Pram mengangguk. Anara pun duduk di sampingnya."Saya tahu pasti berat bagi Pak Direktur karena kehilangan Kak Mira. Kalian berdua saling mencintai. Keluarga kecil kalian sangat bahagia." Ucap Anara lembut. Sementara Pram hanya tersenyum samar sambil merasa perih di dalam hatinya karena apa yang dikatakan Anara samasekali tidak benar."Pak Direktur akan butuh w
"Tidak!!" Tolak Pram tegas. Masih kurang dari sebulan sejak kematian Amira, bagaimana bisa kini keluarganya memintanya menikahi Anara??Pram tidak bereaksi apapun saat ibunya mengatakan rencana itu di bandara. Meskipun kemarahan langsung membara dalam hatinya, namun ia tidak mau membuat keributan di sana. Jadi ia membawa ibunya ke restoran terdekat untuk membicarakannya."Apa maksudmu, Pram? Bukankah seharusnya kau bahagia dengan rencana ini?""Ibu, makam Amira bahkan masih basah. Bagaimana mungkin aku langsung terpikir untuk mencari penggantinya?""Tapi, Nak. Bukankah kau tidak mencintai Amira?"Pram terdiam. Ia menarik napas sebelum kembali menjawab, "Memang aku tidak mencintainya, Ibu. Tapi aku masih menghormatinya sebagai ibu dari puteriku."Tiba-tiba Sinta langsung bersemangat. "Karena itulah kami ingin menikahkanmu lagi, Pram!"
Raut wajah Lila langsung berubah kala ia kembali tiba dirumah. Sangat berbeda ketika ia masih di rumah keluarga Aryasena. Hati Pram kembali mencelos. Namun ia bisa memakluminya.Lila masih kecil dan di usia ini tentu saja kehilangan figur seorang ibu sangat berat untuknya.Lila menatap foto Amira yang terpajang di sudut dinding rumah. Setelah kematian Amira, Pram mengubah posisinya menjadi di sudut ruangan. Agar ia dan Lila tidak sering melihat dan teringat kembali padanya.Namun saat ini dengan mudah Lila menemukannya. Gadis kecilnya itu kini melangkah hampa ke arah foto Amira. Pram bisa melihat, tatapan Lila kembali mati seperti sebelumnya."Mamaaaaa...... "Dan Lila pun kembali menangis lagi. Menangis sekeras-kerasnya sambil memanggil ibunya.Air mata Pram jatuh lagi. Dengan langkah yang berat, ia mendekati Lila dan langsung m
"Hai Abi!"Pagi hari Abi yang indah seketika hancur tatkala mendengar sapaan dari sebuah suara yang sangat dikenalnya. Ia menoleh.Anara berdiri di depan pintu unit apartemen tepat di sebelah Abi. Ia tampak segar pagi ini dengan kemeja hijau mint yang sangat pas membungkus tubuhnya dan rok midi hitam, serta rambut panjangnya yang digerai rapi.Abi mengernyit. Bingung.Seingatnya, penghuni sebelah adalah sepasang suami istri yang baru saja menikah. Kenapa tiba-tiba Anara ada di depan pintu unit apartemen mereka? Apa mungkin Anara mengenal pasangan itu?"Hallo tetangga!" Sapa Anara lagi, tersenyum ceria sambil memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih. Ia juga melambai kecil pada Abi.Abi terbatuk seketika.Apa katanya? Tetangga?Tetangga!?!"Bena
Dan tentu saja, hari itu di Universitas Bina Darma, semua yang terjadi sesuai dugaan Anara."Hei!! Bukannya itu Anara Aryasena?!!""Wah...!! Dewi Estella!!""My God! Dewi Estella benar-benar ada di sini??!""Ya Tuhan... Dia benar-benar dewi! Dia sangat cantik!"Anara tersenyum sambil tetap melenggang anggun di sepanjang kawasan Universitas Bina Darma. Karena ia sedang berada di kampus, ia mencoba mengenakan busana yang lebih pantas. Dan ternyata, setelah blazer hitam dari desainer ternama, rambut yang diikat rendah ke belakang dengan sedikit anak rambut yang terurai di bagian depan, dan cukup dengan riasan minimalis yang cantik, pesonanya sukses mengguncang semua orang. Di tambah dengan kacamata hitam dan blazer yang tidak dikancing dan memperlihatkan dalaman berupa kemeja berwarna abu-abu, ia terlihat lebih kasual namun amat sangat keren. Setiap mata yang memandang tak hen
"Wahhh, pemandangannya bagus sekali disini!" Celetuk Anara riang ketika kakinya menyentuh lantai rooftop. Pemandangan seluruh kota terlihat dari atas sini. Sangat indah.Di ujung sana, Abi berdiri namun ia hanya membalikkan tubuhnya. Tapi Anara sangat yakin pria itu pasti menyadari kedatangannya. Ia tersenyum. Abi sungguh pintar memilih tempat yang bagus dan romantis untuk mereka berbicara berdua saja."Maaf lama menunggu, Abi..."Abi langsung membalikkan tubuhnya dan menatap Anara serius."Katakan apa tujuanmu sebenarnya!"Rahang Anara mengeras dan raut wajahnya tidak lagi seriang sebelumnya. Hatinya terluka karena hingga detik ini tidak ada keramahan dari Abi samasekali padahal Anara sudah melakukan berbagai hal sejauh ini untuk bisa dekat dengannya.Namun Anara berusaha untuk tetap memasang senyum manisnya. "Apa maksudmu, Abi? Aku t
"Katakan padaku, siapa kau sebenarnya?" Tanya Dirga sambil menyodorkan sebuah minuman kaleng ke arah Lyan. Saat ini ia, Lyan, dan juga Deana sedang nongkrong di kafetaria kampus."Apa maksudmu?" Tanya Lyan heran.Dirga meneguk minumannya lalu menjawab, "yah, kau benar-benar orang yang penuh rahasia. Dan penuh kejutan juga. Kemarin kau ternyata kenal dengan dosen baru kita. Dan tiba-tiba hari ini kau mengenal artis itu juga. Besok besok siapa lagi yang akan kau kenal? Presiden Amerika? Atau apa jangan-jangan kau ini juga anak mafia?"Deana terkikik geli mendengar perkataan Dirga. Sementara Lyan segera melempar pelan kotak tisu yang ada di hadapannya ke arah Dirga dan cepat di tangkap cowok itu."Jangan-jangan kau juga keturunan ilmuwan? Guruku ini kan sangat pintar!" Celetuk Dirga lagi"Hentikan! Kau ini!" Kali ini Lyan juga tertawa kecil mendengar ledekan itu."Mungkin Lyan juga keturunan peraih Nobel Perdamaian
Lyan menatap dirinya di depan cermin di hadapannya. Ia merapikan penampilannya sekali lagi, memastikan seragam pelayan kombinasi hitam dan putih yang diberikan ibunya Deana ini tidak kusut sama sekali. Ia juga memperhatikan rambutnya yang sudah tertata rapi, disanggul kecil di belakang. Riasannya yang sederhana juga sudah pas. Bagaimanapun, sesuai arahan ibunya Deana, ia tidak perlu berpenampilan berlebihan.Lyan tersenyum sekali lagi sambil menyemangati diri. Jujur sebenarnya ia gugup sekali. Ini pertama kalinya ia bekerja di acara keluarga kelas atas. Reputasi keluarga Hardoyo sebagai pengusaha tambang sungguh tidak main-main. Dan karena ini pesta yang tidak terlalu besar, Lyan justru semakin gugup. Para tamu akan lebih mudah mengenalinya. Dan seperti cerita Dirga sebelumnya, Lyan cukup khawatir akan ada yang coba mempermainkannya."Semangat Lyan! Semangat!" Ia masih berusaha keras memberi sugesti pada dirinya sendiri. Kemudian