Beranda / Romansa / Reihan: Enkripsi Perasaan / [ 5 ]-Pantulan Dari Kehidupan Lain

Share

[ 5 ]-Pantulan Dari Kehidupan Lain

Penulis: Lunaraelle
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-26 11:47:49

Nyanyian dengan bahasa asing yang tidak di mengerti Alea seolah mengingatkan sesuatu tapi Alea belum bisa mengingat.

Perempuan bergaun merah itu mengayunkan ayunan saat Alea sedikit lagi mendekat ke arahnya.

“Lucanir, Lunathys di mana kalian?“

Ucap pelan perempuan itu.

Alea tercengang mendegar nama Lucanir dan Lunathys.

Perasaan campur aduk anatara terkejut dan seperti tak asing baginya.

Alea melanjutkan langkah nya yang terhenti agar mengetahui siapa wanita itu.

Langkah demi langkah Alea paksakan karena rasa penasarannya lebih besar dari rasa takutnya.

Ketika beberapa langkah lagi, kabut tebal langsung menyerbu perempuan itu dan akhirnya menghilang. Hanya ayunan kayu tua yang tertinggal.

“Apa benar dia hantu? Kenapa tiba-tiba menghilang” gumam Alea panik.

“Ayah, tolong Lea”

“Lea gak tau ini dimana”

“Kak Zio, tolong aku” Alea mulai menangis dan memanggil orang-orang yang ada di benaknya.

Alea perlahan melangkah perlahan mencoba menenangkan diri. Kabut tebal yang semakin lama menipis menampilkan jalanan yang rusak dan tak terawat.

Banyak objek-objek yang membuat Alea terkejut. Seperti darah segar yang berceceran menyatu dengan tanah yang kering.

Kepala manusia yang ada di mana-mana, usus yang berserakan hingga bagian tubuh lainnya yang terpisah.

Alea hanya terkejut, tak sedikit pun ia merasa mual atau pusing, ia merasa sudah sering melihat seperti itu tapi entah di mana.

“Kenapa dengan mereka semua?“

“Ini semua kaya gak asing” gumam dalam hati Alea.

Langkah Alea terhenti saat matanya menangkap sesuatu yang tak biasa di balik kabut yang mulai menghilang. Di tengah genangan darah dan serpihan tubuh, hamparan medan yang luas terbentang,seperti potongan masa lalu yang merayap masuk ke dalam pikirannya.

Angin menghembuskan aroma besi dan tanah basah, membawa serta bisikan-bisikan dari zaman yang telah lama mati. Dan tiba-tiba, semuanya berubah.

Alea tidak lagi berdiri di jalanan rusak itu.

Langit di atasnya menjadi merah pekat, tanah di bawahnya berguncang oleh derap kaki pasukan yang tengah berlari. Di kejauhan, terdengar pekikan pertempuran, dentang logam saling bertabrakan, dan tangisan mereka yang terluka atau sekarat.

Alea mematung. Di hadapannya, ribuan prajurit tengah bertarung. Bendera-bendera berkibar, berlumur darah dan sobek oleh waktu. Simbol aneh yang tak dikenalnya terpampang di mana-mana, namun hatinya berkata ia pernah mengenalinya.

Lalu matanya menangkap tiga sosok yang membuat napasnya tercekat.

Seorang pria dewasa dengan rambut coklat panjang, tubuhnya dipenuhi luka, namun tetap berdiri tegak. Di sampingnya, seorang pemuda dengan mata tajam dan wajah yang amat mirip dengan Zio, mengayunkan pedangnya dengan keputusasaan. Dan di tengah mereka—

Seorang perempuan.

Alea merasa tubuhnya membeku. Perempuan itu... seperti dirinya.

Atau setidaknya, seseorang yang sangat mirip dengannya, namun mengenakan baju zirah megah berwarna perak dan merah tua. Wajahnya penuh luka, namun sorot matanya menyala. Ia menggenggam tongkat panjang dengan simbol bulan sabit dan matahari yang menyatu.

Dan kemudian-

Panah dan tombak secara bersamaan menembus dadanya.

Tubuh perempuan itu terhuyung, sebelum akhirnya terjatuh di antara dua pria yang juga sudah nyaris roboh. Ketiganya berusaha saling meraih... namun semuanya terlambat. Bayangan kelam menggulung mereka, menelan segalanya dalam kabut darah dan jeritan sunyi.

Alea ingin menjerit, tapi suaranya tak keluar. Ia hanya berdiri mematung, menyaksikan kematiannya sendiri, dan juga kematian dua orang yang hatinya tahu pasti... adalah ayah dan kakaknya.

“Alea, sadar Alela, kamu kenapa?“ Ayahnya mengguncang pelan tubuh anaknya yang nyaris gemetar.

“Lea, bangun, Zio ambilkan minyak angin di kamar ayah cepat”

Dengan cepat Zio langsung ke kamar ayahnya dan mengambil minyak angin

Zio kembali dengan langkah tergesa, wajahnya pucat, membawa sebotol kecil minyak angin. Ia menyerahkannya ke sang ayah yang langsung mengusap pelipis dan tengkuk Alea dengan tangan gemetar.

“Alea… kamu dengar suara Ayah, kan? Nak, tolong bangun,” ucap pria itu lirih, nyaris bergetar.

Wajah Alea sangat pucat, matanya terpejam rapat dengan alis yang berkerut dalam—seolah sedang menanggung rasa sakit yang tak terlihat. Dadanya naik turun cepat, napasnya tersengal. Tangan Zio menggenggam tangan adiknya erat.

“Ayah, kenapa dia begini?” suara Zio nyaris pecah. “Tadi dia cuma duduk di sofa dan sepertinya ketiduran… terus dia jatuh dan kaku kayak gini.”

Ayahnya tak menjawab. Pandangannya tertuju pada keringat dingin yang membasahi dahi Alea, juga pada air mata yang menetes perlahan dari sudut mata gadis itu. Seakan ia sedang menangis dalam mimpi yang tak bisa diceritakan.

“Alea… sayang… Ayah di sini,” bisik pria itu sembari menepuk-nepuk pipi anaknya dengan lembut.

Dan tiba-tiba—

“ARRGGHH!”

Alea tersentak bangun, tubuhnya membungkuk ke depan dengan napas memburu, seperti baru saja muncul ke permukaan dari kedalaman laut. Matanya terbuka lebar, terbelalak penuh ketakutan dan kebingungan.

“A-Ayah… Kak Zio… mereka… mereka mati… dan aku… aku juga…” katanya tergagap, tubuhnya bergetar hebat.

“Tenang, kamu cuma mimpi,” ucap Zio cepat sambil memeluknya dari samping.

“Tidak! Itu bukan mimpi biasa! Aku… aku melihat semuanya. Medan perang… darah… aku lihat kalian! Aku lihat aku… mati…” suara Alea pecah dalam isakan.

Ayahnya menariknya ke pelukan hangat, mencoba meredakan ketakutan itu. Namun matanya bertemu dengan mata Zio di atas kepala Alea, dan keduanya sama-sama tidak mengerti.

Itu bukan sekadar mimpi.

Itu adalah sesuatu yang jauh lebih dalam.

“Itu cuma mimpi Lea, mungkin kamu kelelahan atau lagi stres” ucap ayahnya sambil mengelus kepala Alea.

“Ta..tapi itu kaya bukan mimpi, itu nyata” suara Alea terdengar masih ketakutan.

Zio mengelus punggung Alea perlahan, mencoba menenangkan adiknya yang masih terisak.

“Lea, udah... udah nggak apa-apa. Kamu udah bangun sekarang. Lihat, ini rumah, ini Ayah, ini aku,” ujarnya pelan, meski matanya sendiri masih menyimpan pertanyaan.

Alea memandangi sekeliling dengan napas terputus-putus, seolah memastikan semua yang ia lihat benar-benar nyata. Matanya masih berkaca-kaca, dan tubuhnya terasa berat, seperti habis ditarik dari jurang yang dalam.

“Aku inget… suara orang-orang yang teriak… suara senjata saling berbenturan… dan-” Alea menelan ludah, suaranya semakin melemah, “aku lihat diriku sendiri mati.”

Ayahnya menatapnya lekat. “Lea, mimpi bisa sangat nyata kalau kamu terlalu lelah atau menyimpan sesuatu di alam bawah sadar. Mungkin kamu pernah lihat film perang atau cerita yang bikin kamu kepikiran.”

Alea menggeleng lemah. “Bukan. Aku... aku tahu itu bukan cuma mimpi. Aku tahu tempat itu. Aku pernah ada di sana… aku ngerasa itu aku… tapi bukan aku yang sekarang.”

Zio dan ayahnya terdiam.

Sesaat kemudian, sang ayah mengangguk kecil. Ia berdiri dan berkata dengan suara yang lebih tegas, “Kita bicara lagi nanti, ya. Sekarang kamu butuh istirahat. Ayah akan siapkan teh hangat.”

Ayahnya berjalan ke dapur, meninggalkan Zio dan Alea di ruang tamu yang terasa lebih dingin dari biasanya. Zio menatap adiknya, masih duduk di lantai, wajahnya letih namun sorot matanya tajam.

Alea melamun di kamarnya dan masih mengingat mimpinya yang seperti nyata

Tangannya menyentuh jendela yang basah oleh embun malam, menatap langit yang diselimuti awan gelap. Bayangan pertempuran itu masih membekas di benaknya—suara jeritan, semburan darah, dan tatapan wanita yang mirip dirinya itu tak bisa hilang dari ingatannya.

“Apa itu... aku di kehidupan lain?” bisiknya sendiri.

Ia menunduk, memandangi tangannya. Tangan yang sama yang dalam mimpinya menggenggam tongkat bercahaya. Ia bisa merasakan kekuatan itu—bukan kekuatan fisik, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih tua, lebih purba. Sesuatu yang ia tahu bukan milik Alea yang biasa saja.

Tok. Tok.

“Lea?” suara Zio dari balik pintu.

“Iya.”

“Boleh masuk?”

Alea mengangguk meskipun tahu Zio tak bisa melihat. “Masuk aja.”

Zio membuka pintu perlahan dan melangkah masuk, membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di sisi ranjang, menatap adiknya dengan mata penuh kecemasan.

“Gimana perasaanmu sekarang?”

Alea menarik napas panjang. “Masih bingung. Takut juga. Tapi lebih dari itu... aku penasaran.”

“Penasaran?”

“Kak...” Alea menatap kakaknya lurus-lurus. “Pernah nggak kamu ngerasa... kayak kamu hidup dua kali? Kayak ada suara atau ingatan yang bukan milik kamu, tapi kamu tahu itu kamu?”

Zio menatap cangkir teh di tangannya, wajahnya berubah sedikit tegang. Namun ia mencoba tersenyum.

“Aku pernah mimpi aneh... beberapa kali. Tapi gak pernah separah kamu tadi.”

Alea memperhatikannya. “Kamu bohong.”

Zio terdiam. Lalu dengan suara rendah, ia berkata, “Aku juga pernah lihat medan perang dalam mimpi. Tapi aku pikir itu cuma halusinasi karena kelelahan.”

“Orang di mimpiku...” Alea menatap wajah kakaknya. “Ada yang mirip kamu. Sangat mirip. Tapi... dia beda. Dia lebih kuat, lebih... gelap. Tapi dia berjuang di sisi aku.”

Zio tidak langsung menjawab. Tapi Alea melihat jemarinya mencengkeram cangkir lebih erat.

“Aku juga lihat kamu,” ucap Zio akhirnya, lirih. “Tapi kamu bukan Alea. Kamu... perempuan yang sangat kuat, berbahaya, dan bersinar seperti api. Dan aku... bukan aku.”

Alea menatap Zio sangat dalam.

“Bukan cuma kamu yang mimpi medan perang, kakak juga beberapa kali cuman udah lama.“

“Apa jangan-jangan kita itu reikarnasi yang ingatannya mulai kembali?.“

“Jangan ngaco kamu, itu cuman ada di film atau novel.“

Zio terdiam dan mengingat kejadian beberapa hari di cermin.

“4 hari yang lalu sampai sekarang kakak selalu ngeliat bayangan hitam masuk ke cermin dan nampilin bentuk rupa kakak yang lain.“

Alea langsung mengingat hal serupa yang ia alami di cermin kemarin.

“Di bayangan itu ada sosok diri kita yang versi pakai baju dan atribut perang?.“ Tanya Alea penasaran.

“Ya benar, kamu juga alami itu?“

“Kemarin aku juga lihat bayangan hitam ke cermin di ruang tamu dan nampilin sosok aku yang pakai baju dan atribut perang dan penuh luka.“

“Penuh luka?“ Zio terkejut. “Kakak juga lihat diri kakak penuh luka di cermin.“

Alea mengangguk perlahan, matanya menatap kosong ke arah jendela.

“Kita gak mungkin halu bareng, kan?” bisiknya pelan.

Zio menghela napas dalam. “Kayaknya ini udah lebih dari sekadar mimpi, Lea.”

Kamar itu hening sejenak. Hanya suara angin yang menggesek dedaunan di luar jendela, menambah suasana sunyi yang terasa semakin pekat.

Alea menggenggam selimutnya erat. “Kalau benar kita... reinkarnasi dari mereka yang aku lihat di mimpi itu... artinya mereka pernah benar-benar hidup. Dan kita sekarang ini... hanya kelanjutan dari kisah mereka yang belum selesai.”

Zio mengusap wajahnya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 12 ]-Rahasia Dan Kenjenggkelan

    Di dalam kamar yang remang, Alea duduk terpaku di tepi ranjang, memandangi sebuah liontin yang tergenggam erat di tangannya."Apa benar… kalau aku memakainya, semua mimpi dan kejadian aneh itu akan berhenti?" pikirnya, diliputi kebingungan.Perlahan, ia bangkit dan melangkah menuju cermin. Sorot matanya masih ragu, tapi ada kekaguman samar di sana."Entahlah... yang jelas, kalung ini memang cantik," gumamnya pelan, sebelum akhirnya ia mengalungkan liontin itu ke leher, menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan yang belum bisa ia jelaskan.“Cantik…” Alea tersenyum kecil ke arah cermin. “Tapi aku masih lebih cantik dari kalung ini,” gumamnya percaya diri, mata tak lepas dari pantulan dirinya.Tanpa ia sadari, pintu kamar perlahan terbuka. Sosok ayahnya berdiri di ambang pintu, memperhatikan putrinya yang sejak tadi berbicara sendiri di depan cermin.“Lea,” panggil sang ayah, suaranya lembut tapi jelas.Alea terlonjak sedikit dan buru-buru menoleh. “Ayah? Sejak kapan di situ?”“

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 11 ]-Antara Cinta dan Perintah

    Di tempat lain, sebuah ruangan gelap yang remang-remang, hanya diterangi cahaya merah dari kristal yang tergantung di langit-langit... Sesosok perempuan berdiri membelakangi jendela. Rambutnya panjang menjuntai, gaun merahnya menjuntai anggun. “Lucanir... Lunatyhs... kalian akhirnya mulai sadar.” Ia berbalik, memperlihatkan wajah yang cantik namun penuh luka masa lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh misteri. “Aku menunggu kalian. Dunia ini belum selesai...” Perempuan itu melangkah perlahan menuju sebuah meja batu yang dipenuhi gulungan naskah tua, simbol-simbol kuno, dan sebuah cermin oval yang mengambang tanpa sanggahan di udara. Bayangan dalam cermin tampak buram, namun perlahan mulai memperlihatkan dua sosok: Zio dan Alea, atau lebih tepatnya, Lucanir dan Lunatyhs. “Kalian adalah kunci,” bisiknya pelan. “Bukan hanya untuk membuka masa lalu... tapi juga untuk memutus siklus kutukan yang diwariskan sejak darah pertama ditumpahkan.” Tiba-tiba, dari balik tirai bayangan di

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 10 ]- Kita Bukan Orang Biasa

    Keesokan paginya, Zio memandangi adiknya yang sedang bersiap pergi bekerja. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi merasa ini bukan waktu yang tepat.“Lea,” panggil Zio pelan.Alea menoleh, matanya penuh tanya.“Ada apa, Kak?”Zio melangkah mendekat, suaranya menurun jadi bisikan.“Ada sesuatu yang harus Kakak sampaikan, tentang kejadian-kejadian yang kamu alami belakangan ini.”Alea mengernyit, bingung.“Tapi, Kak, di sini nggak enak, Ayah bisa dengar.”“Kalau begitu, bagaimana kalau nanti kita bertemu di taman dekat kafe?” usul Alea.Zio mengangguk pelan, setuju.___Sesampainya di tempat kerja, Alea langsung sibuk melayani pelanggan dengan penuh semangat dan teliti. Ia begitu fokus hingga tak menyadari Reihan yang baru saja masuk memperhatikannya dari pintu, lalu tersenyum kecil.“Alea, aku mau pesan Machiato dan dessert coklat, ya,” panggil Reihan dengan suara lembut.Alea tersenyum dan mengangguk cepat.“Baik, Kak. Tunggu sebentar, ya.”Ia segera mengambil pesanan Reihan dengan cekata

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 9 ]-Core Seeker: Gerbang yang Terbuka

    Setelah pulang dari showroom di mal, Zio memilih berjalan kaki daripada memesan kendaraan. Meski jaraknya cukup jauh, ia tetap melangkah dengan letih. Saat sampai rumah ia langsung merebahkan tubuhnya karena letih dan pikiran yang masih melayang mengingat perkataan Ryan. “Kenapa dia bisa kenal dengan Alea?“ Pikir Zio. Tak lama Alea muncul dari kamar yang hendak ke dapur. Zio hanya melirik sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Tatapannya kosong, pikirannya masih dipenuhi tanya. Alea, yang menyadari keberadaan Zio di ruang tamu, sempat berhenti sejenak. “Kak, baru pulang?” tanyanya sambil membuka kulkas. Zio mengangguk pelan. “Iya...” Hening sejenak. Suara kulkas yang ditutup pelan menjadi satu-satunya bunyi di antara mereka. Alea menoleh, menatap kakaknya yang terlihat lebih diam dari biasanya. “Kakak kenapa? Kelihatan capek banget.” Zio menarik napas, lalu duduk tegak. Ia menatap Alea, ragu-ragu. “Alea...” ucapnya pelan. “Kamu kenal seseorang bernama Ryan?” Alea

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 8 ]-Mengingat Yang Terlupa

    Zio menatap kalung itu lama, seolah hendak menolak untuk mempercayai semua ini adalah nyata. Tapi sorot mata Ryan terlalu yakin, terlalu tahu, hingga sulit untuk dianggap sekadar omong kosong. “Kenapa kamu tahu nama adikku… dan semua hal ini?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Ryan tidak langsung menjawab. Ia malah menyimpan kembali kalung itu ke saku dalam jaketnya, lalu menoleh ke arah Zio dengan senyum samar. “Kadang, jawaban nggak datang dalam satu percakapan, Zio. Tapi bisa muncul… kalau kamu berani mengingatnya sendiri.” Zio mengernyit. “Mengingat apa?” “Dirimu. Yang dulu.” Ryan mengedip pelan. “Dan juga siapa Alea sebenarnya.” Zio makin gelisah. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Ryan berbalik, seolah semuanya hanyalah obrolan ringan yang bisa dilupakan begitu saja. “Oh iya,” ucap Ryan santai, mengeluarkan map coklat dari tas kecil yang dibawanya. “Hampir lupa. Ini semua berkas untuk pembelian mobilnya. Surat-surat identitas, bukti transfer, NPWP. Kamu bisa

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 7 ]-Mereka yang terhubung

    Langit malam kian berat. Di atas kota, awan menggulung gelap, seakan menahan sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Alea baru membuka ponselnya setelah sepanjang hari tak membuka ponsel. “Reihan? Kenapa dia bisa tau kalau aku sakit?“ »”Alea kamu sakit? Apa aku boleh menjengukmu?“ »”Tadi aku mau ke rumahmu tapi sepertinya kamu gak mau di ganggu.“ »”Kalau masih sakit jangan paksakan kerja, Oke.“ Pesan yang Reihan kirimkan membuat hati Alea tersentuh. “Kalau aku gak kerja nanti di potong banyak.“ Alea mulai berpikir. “Reihan ternyata perhatian juga” batin Alea. Alea menghela napas perlahan, menatap layar ponselnya yang menyala dalam temaram kamarnya. Ia merasa tubuhnya masih lemah, tapi beban pikirannya jauh lebih berat dari rasa sakit itu sendiri. Jari-jarinya sempat ragu. Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Seolah tak ada kata yang cukup tepat untuk menjawab perhatian tulus yang tiba-tiba datang dari Reihan. Akhirnya, ia membiark

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status