Privasi Alea tak pernah benar-benar ada. Setiap pesan, langkah, dan nafasnya… Reihan tahu. Ia mencintainya dalam diam, mengawasinya lewat kamera tersembunyi dan sistem yang ia retas sendiri. Seorang mahasiswa IT jenius, Reihan bisa menembus batas ruang dan waktu, dan kini, ia menemukan kebenaran yang mengguncang logikanya. Alea adalah reinkarnasi dari seorang putri bangsawan yang gugur tragis dalam perang berdarah ratusan tahun lalu. Namun masa lalu tak pernah mati. Kekuatan gelap yang sama kini memburu Alea untuk kedua kalinya. Dan Reihan tahu… ini bukan hanya tentang cinta. Ini tentang takdir yang tak boleh terulang. Hidup Alea bukan lagi miliknya. Karena bagi Reihan, jika ia tak bisa melindunginya dan memilikinya sepenuhnya, maka dunia ini tak layak ada. Dan ia siap membakar dunia… demi satu-satunya yang ia cintai.
view moreMatahari mulai terbenam menandakan hari mulai helap.
Alea baru saja pulang dari kafe tempatnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wajah lelah tergambar jelas di paras polosnya. Ia bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe tak jauh dari rumah yang ia tinggali bersama ayah dan kakak laki-lakinya. Dalam perjalanan pulang, ia melihat anak-anak seumurannya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Seharusnya Alea juga masih sekolah dan mengenakan seragam yang sama, namun karena keterbatasan ekonomi, ia harus ikut membantu keluarganya. Tatapan Alea teduh, penuh kerinduan akan kehidupan seperti mereka bersekolah dan memiliki banyak teman sebaya. Namun hidup tak pernah memberinya banyak pilihan. Ayahnya, yang dulunya seorang teknisi listrik, terpaksa banting setir menjadi buruh harian. Sementara kakaknya, Zio, belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Alea memilih menunda sekolahnya menggenggam mimpi dengan satu tangan, dan menahan kenyataan dengan tangan yang lain. Ia menunduk sambil terus melangkah, melewati para siswa yang tertawa riang di bawah pohon besar dekat pertigaan. Beberapa dari mereka menatapnya sekilas bukan dengan hinaan, tapi dengan rasa iba yang tak pernah ia minta. Sesampainya di rumah, Alea membuka pintu kayu yang mulai lapuk dan menyapa dengan suara lembut, “Ayah… Kak Zio… aku pulang.” Tak ada jawaban, hanya suara kipas angin tua yang berderit dari ruang tengah. Alea melepas sepatunya, berganti pakaian, lalu langsung menuju dapur. Sudah menjadi kebiasaan—setiap pulang, hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa persediaan makanan. Di rak, hanya tersisa dua bungkus mi instan dan sebutir telur retak. Ia menelan ludah, menyalakan kompor, dan mulai memasak dengan tenang. Seorang pria paruh baya keluar dari kamar, wajahnya tirus dan lelah, namun matanya tetap hangat setiap kali menatap Alea. Ia membawa sebungkus nasi yang sudah agak dingin. “Ini… Ayah dapat dari orang proyek tadi siang. Ayah sudah makan, kamu saja yang habiskan, ya,” ucapnya sambil meletakkan nasi itu di meja. Alea tersenyum kecil, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa khawatir. Ia tahu ayahnya berbohong. Pria itu selalu berkata sudah makan lebih dulu, tapi perutnya sering berbunyi pelan saat malam tiba. Ia pun memindahkan mi yang ia masak ke dua mangkuk. “Kita makan bareng aja, Yah. Nasi buat Kak Zio nanti,” katanya, mencoba bersuara ceria. Ayahnya hanya mengangguk, lalu duduk di lantai beralas tikar lusuh. Saat keduanya mulai menyantap makanan sederhana itu, suara derit pintu terdengar dari kamar belakang. Zio, kakaknya yang dua tahun lebih tua darinya, keluar dengan rambut acak-acakan. Matanya sembap mungkin karena tidur terlalu lama, atau karena terlalu sering menahan kecewa terhadap dunia. “Kak, ayo makan bareng,” ajak Alea. Zio hanya tersenyum menatap ayah dan adiknya yang makan bersama. Ia merasa tak pantas sebagai anak laki-laki pertama maupun sebagai kakak. Ia belum bisa mengubah nasib ekonomi keluarga mereka. Zio duduk bersandar pada dinding dekat pintu dapur. Ia tak berkata apa-apa, hanya memandangi Ayah dan Alea yang makan dengan tenang. Senyum Alea tetap sama seperti biasanya hangat, penuh perhatian—meski sorot matanya tak pernah sepenuhnya menyembunyikan letih dan kerinduan akan kehidupan yang lebih baik. Zio menggenggam ujung bajunya. Dalam hati, ia berteriak, menyalahkan diri sendiri. Andai saja ia bisa bekerja. Andai ijazah SMA-nya bisa menjamin pekerjaan tetap. Andai tubuhnya tak cepat lemah karena penyakit yang selama ini ia sembunyikan. “Kak, makan telurnya ya,” ucap Alea pelan, sambil mendorong mangkuk ke arah Zio. Zio menoleh, memaksakan senyum. “Kamu yang masak, kamu aja yang makan. Lagian Kakak belum lapar.” Alea menggeleng, dan ayah mereka hanya memperhatikan dengan mata sendu. Tak ada dari mereka yang benar-benar kenyang, tapi mereka terbiasa berbagi, bahkan terhadap rasa lapar itu sendiri. --- Alea menatap kosong ke arah jendela kamarnya yang kini sudah retak. “Andai aku punya mama…” batinnya lirih. Ia ingin tahu siapa sebenarnya ibunya dan mengapa ia dan Zio tak memiliki kemiripan? Pertanyaan itu kembali mengendap di benaknya, seperti air hujan yang perlahan meresap ke tanah. Alea tak pernah benar-benar mengenal ibunya. Foto-foto yang tersisa hanya satu kusam dan nyaris robek, disimpan dalam bingkai tua yang selalu diletakkan di atas lemari kayu di kamar ayahnya. Dalam foto itu, ibunya tampak tersenyum lebar, namun sorot matanya… entah mengapa, terasa begitu asing. Zio memiliki rambut cokelat ikal, berkulit kuning langsat, dan tubuh yang tinggi. Namun yang Alea tahu, Zio tak boleh kelelahan. Jika kelelahan, ia bisa mimisan bahkan pingsan. Sedangkan Alea sendiri berambut hitam ikal, berkulit putih, dan tubuhnya cukup kuat. Ia juga jarang, bahkan hampir tak pernah sakit. “Aneh tapi nyata. Kenapa Ayah tidak mirip aku dan Kak Zio?” pikir Alea lagi. Akhirnya, ia memilih tidur dengan pikiran yang masih bertanya-tanya. --- Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit mendung, seperti ikut memantulkan suasana hati Alea yang belum tenang. Ia bersiap pergi bekerja. Seperti biasa, ia berjalan kaki, melewati bangunan sekolah dan kampus swasta. Dengan semangat, Alea melangkah melewati gedung-gedung itu hingga tak sadar ada seorang pria yang mengamatinya dari kejauhan. Pandangan pria itu terfokus pada seorang gadis dengan langkah ringan namun mata yang menyimpan beban bertahun-tahun. Ia berdiri di balik batang pohon flamboyan besar, mengenakan jaket panjang kelabu dan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Matanya tajam, penuh rasa ingin tahu. Ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. “Dia sudah berusia sekitar remaja dan tinggal di pinggiran kota,” ucapnya pada sambungan telepon. --- Alea sedang menyiapkan bahan-bahan untuk pembukaan kafe. Teman-teman kerjanya yang lebih tua darinya salut pada Alea, di usia yang sangat muda, ia sudah bekerja dengan tekun. “Alea, tolong bersihkan meja saja. Biar aku yang menyiapkan bahan.” “Baiklah, aku bersihkan meja,” jawabnya santai. Kafe buka pukul sebelas siang, saat para pengunjung mulai berdatangan satu per satu. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa dan siswa SMA. Salah satunya Reihan, mahasiswa semester tiga yang selalu datang ke kafe, baik untuk belajar maupun sekadar minum. Reihan duduk di sudut favoritnya dekat jendela. Sinar matahari menyusup lewat celah tirai cukup terang untuk membaca, tapi tetap teduh. Ia menaruh laptop di meja, membuka buku catatan, lalu melirik ke arah bar. Ketika matanya menangkap sosok Alea yang sedang mengelap meja, seulas senyum muncul di wajahnya. Alea sadar sedang diperhatikan, tapi ia tetap melanjutkan tugasnya. Ia sudah terbiasa dengan pelanggan yang memandanginya bukan karena cantik atau menarik, tapi karena wajahnya terlihat dewasa untuk usianya, dengan sorot mata yang tenang meski menyimpan lelah. Reihan mengangkat tangan. “Alea, boleh pesan teh tarik hangat satu?” Alea mengangguk kecil. “Segera ya, Kak.” Sikapnya ramah tapi menjaga jarak. Ia tahu beberapa mahasiswa pernah mencoba mendekatinya, tapi Alea selalu bersikap biasa saja. Fokus utamanya adalah keluarga. Bukan cinta. Sambil menyiapkan pesanan, ia sempat mencuri pandang ke arah Reihan. Anak itu tampak pintar dan baik, selalu sopan, tapi Alea tak berani terlalu dekat. Ia bukan bagian dari dunia mereka dunia kuliah, diskusi kampus, dan masa depan yang menjanjikan. Saat teh tarik sudah siap, Alea membawanya ke meja Reihan. “Silakan, Kak.” “Terima kasih,” jawab Reihan, lalu menatap Alea dengan ragu, sebelum akhirnya bertanya, “Alea… kamu masih SMA, ya?” Alea menunduk sedikit, lalu tersenyum tipis. “Nggak. Aku berhenti sejak dua tahun lalu.” Reihan terdiam. “Oh… maaf, aku nggak bermaksud lancang.” “Tidak apa-apa,” jawab Alea ringan, meski matanya mulai berkaca. Ia segera berbalik, tak ingin percakapan itu berlarut. Namun Reihan masih menatap punggung Alea dengan sorot penuh tanya. Ia merasa gadis itu menyimpan lebih banyak cerita dari yang terlihat. --- Sementara itu, pria berjaket kelabu tadi masih berdiri di sudut jalan, kini mengamati kafe dari kejauhan. Ia mencatat sesuatu di buku kecil, lalu kembali mengangkat ponselnya. “Saya sudah temukan dia. Laporan medisnya tidak ditemukan di sistem umum… kemungkinan identitasnya memang disembunyikan sejak kecil.” Dari seberang sana, suara berat menjawab, “Terus awasi dia. Tapi jangan lakukan kontak dulu. Kita belum tahu siapa yang menyembunyikannya, atau… dari siapa dia disembunyikan.” Pria itu mengangguk meski tak terlihat, lalu mematikan sambungan. Pandangan matanya kembali tertuju ke jendela kafe, tempat Alea kini tertawa kecil bersama salah satu rekan kerjanya. Wajah polos itu tak menyadari bahwa hidupnya yang sederhana… mungkin sebentar lagi tak akan pernah sama lagi.Langit malam kian berat. Di atas kota, awan menggulung gelap, seakan menahan sesuatu yang tak bisa lagi dibendung.Alea baru membuka ponselnya setelah sepanjang hari tak membuka ponsel.“Reihan? Kenapa dia bisa tau kalau aku sakit?“»”Alea kamu sakit? Apa aku boleh menjengukmu?“»”Tadi aku mau ke rumahmu tapi sepertinya kamu gak mau di ganggu.“»”Kalau masih sakit jangan paksakan kerja, Oke.“Pesan yang Reihan kirimkan membuat hati Alea tersentuh.“Kalau aku gak kerja nanti di potong banyak.“Alea mulai berpikir.“Reihan ternyata perhatian juga” batin Alea.Alea menghela napas perlahan, menatap layar ponselnya yang menyala dalam temaram kamarnya. Ia merasa tubuhnya masih lemah, tapi beban pikirannya jauh lebih berat dari rasa sakit itu sendiri.Jari-jarinya sempat ragu. Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Seolah tak ada kata yang cukup tepat untuk menjawab perhatian tulus yang tiba-tiba datang dari Reihan.Akhirnya, ia membiarkan jemarinya bergerak t
___Sementara di sisi lain Reihan mencari sosok yang ia cari untuk mengisi hari-harinya.“Alea tumben gak kelihatan” batin Reihan .Reihan langsung memesan Americano Coffe sambil mencari sosok yang ia cari.“Maaf kak, hari ini Alea libur?“ Tanya Reihan hati-hati.“Alea hari ini izin karena demam, dan lagian Alea baru ini izin sakit” jawab rekan kerja Alea.Reihan mengangguk mengerti, seharusnya kemarin dia ke kafe agar melihat kondisi Alea sebelum demam.Reihan duduk di pojok kafe yang biasa ditempati Alea saat istirahat. Kursi itu kosong, tapi seolah masih menyimpan kehadiran gadis itu, senyum tipisnya, suara tawanya yang jarang tapi menenangkan, dan tatapan matanya yang kadang melamun, kadang menusuk.Ia menyeruput Americano-nya pelan, tapi pahit kopi tak bisa menyaingi kegelisahan di dadanya. Pandangannya tertuju ke luar jendela, menyusuri jalanan, berharap Alea muncul tiba-tiba sambil tertawa dan berkata bahwa dia hanya bercanda.Tapi tidak. Tidak hari ini.Dan entah kenapa, hatin
Nyanyian dengan bahasa asing yang tidak di mengerti Alea seolah mengingatkan sesuatu tapi Alea belum bisa mengingat.Perempuan bergaun merah itu mengayunkan ayunan saat Alea sedikit lagi mendekat ke arahnya.“Lucanir, Lunathys di mana kalian?“Ucap pelan perempuan itu.Alea tercengang mendegar nama Lucanir dan Lunathys.Perasaan campur aduk anatara terkejut dan seperti tak asing baginya.Alea melanjutkan langkah nya yang terhenti agar mengetahui siapa wanita itu.Langkah demi langkah Alea paksakan karena rasa penasarannya lebih besar dari rasa takutnya.Ketika beberapa langkah lagi, kabut tebal langsung menyerbu perempuan itu dan akhirnya menghilang. Hanya ayunan kayu tua yang tertinggal.“Apa benar dia hantu? Kenapa tiba-tiba menghilang” gumam Alea panik.“Ayah, tolong Lea”“Lea gak tau ini dimana”“Kak Zio, tolong aku” Alea mulai menangis dan memanggil orang-orang yang ada di benaknya.Alea perlahan melangkah perlahan mencoba menenangkan diri. Kabut tebal yang semakin lama menipis m
Reihan duduk termenung sambil menyantap sarapan seadanya, roti panggang setengah gosong dan kopi hitam yang sudah dingin. Tak ada kegiatan kampus hari ini, dan ia pun tak terikat pada pekerjaan tetap seperti orang kebanyakan. Hidupnya… lebih menyerupai bayangan digital yang tak tercatat. Ia bekerja di jaringan bawah tanah sebagai penyedia jasa IT independen untuk hal-hal yang tak ingin dibicarakan orang secara terbuka: pemulihan akun yang dibobol, peretasan ringan untuk kepentingan pribadi, hingga menghapus jejak digital seseorang tentu jika bayaran cocok. Laptopnya menyala di meja, menampilkan beberapa permintaan yang masuk. Satu di antaranya meminta bantuan untuk mengambil kembali akun milik pacarnya yang “diretas mantan.” Yang lain menginginkan akses ke server kantor untuk "pengecekan data kecurangan internal." Reihan tak banyak bertanya. Ia memilih klien berdasarkan insting, bukan empati. Namun pagi ini, pikirannya lebih tertuju pada satu hal: Alea. Ia membuka folder khusus ya
Reihan duduk lebih lama dari biasanya di kafe itu, pandangannya tertancap ke arah Ryan yang tadi berbincang santai dengan Alea. Ia tidak menyukai cara pria itu berbicara terlalu akrab, terlalu nyaman, seolah mereka sudah saling kenal lama. Terlebih, Reihan bisa membaca bahasa tubuh Alea. Meski gadis itu tampak tenang, ada kegelisahan samar di matanya reaksi instingtif terhadap sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya.Dan Reihan mempercayai insting Alea, bahkan lebih dari dirinya sendiri.Setelah Ryan pergi, Reihan mendekat ke meja bar.“Alea, tadi cowok itu siapa?” tanyanya pelan, tapi tatapannya tajam.Alea sedikit terkejut. “Gak tahu juga. Kayaknya pelanggan baru. Tapi dia bawa buku-buku aneh, gambar-gambar zaman dulu gitu…”Reihan menyipitkan mata. “Dia pernah datang ke sini sebelumnya?”Alea menggeleng. “Baru belakangan ini sering nongkrong. Tapi gak ganggu kok, paling cuma ngobrol bentar.”Reihan mengangguk perlahan, tapi pikirannya berputar cepat. Ia bukan hanya sekadar peduli kar
Hari-hari berjalan lambat bagi Alea, tapi ia sudah terbiasa dengan ritmenya. Pagi bekerja, sore membantu di rumah, malam meringkuk di kasur tipis dengan pikiran-pikiran yang tak pernah benar-benar pergi. Namun, sejak beberapa hari terakhir, perasaan tak nyaman mulai menghantuinya. Seolah ada yang mengintai... tapi selalu menghilang saat ia menoleh.Zio pun tak banyak bicara akhir-akhir ini. Wajahnya pucat, dan beberapa kali Alea melihatnya muntah diam-diam di kamar mandi. Saat ditanya, kakaknya hanya menjawab pendek, “Masuk angin biasa.”Tapi Alea tahu itu bukan hal biasa.Sore itu, saat kafe sedikit lengang, Reihan kembali datang. Tapi kali ini, ia tak sendiri. Bersamanya ada seorang perempuan tinggi berambut panjang, tampak seperti dosen atau kakak tingkat. Mereka terlihat akrab, namun pandangan Reihan tetap sempat terlempar ke arah Alea yang tengah menuang kopi ke gelas pelanggan.Setelah perempuan itu pergi, Reihan menghampiri meja bar.“Alea,” panggilnya pelan.Alea menoleh, sedi
Matahari mulai terbenam menandakan hari mulai helap. Alea baru saja pulang dari kafe tempatnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wajah lelah tergambar jelas di paras polosnya.Ia bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe tak jauh dari rumah yang ia tinggali bersama ayah dan kakak laki-lakinya.Dalam perjalanan pulang, ia melihat anak-anak seumurannya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Seharusnya Alea juga masih sekolah dan mengenakan seragam yang sama, namun karena keterbatasan ekonomi, ia harus ikut membantu keluarganya.Tatapan Alea teduh, penuh kerinduan akan kehidupan seperti mereka bersekolah dan memiliki banyak teman sebaya.Namun hidup tak pernah memberinya banyak pilihan. Ayahnya, yang dulunya seorang teknisi listrik, terpaksa banting setir menjadi buruh harian. Sementara kakaknya, Zio, belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Alea memilih menunda sekolahnya menggenggam mimpi dengan satu tangan, dan menahan kenyataan dengan tangan yang lain.Ia menunduk sam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments