Reihan jatuh cinta pada Alea, gadis sederhana yang ternyata menyimpan jiwa bangsawan dari masa lalu. Saat takdir memisahkan mereka, Reihan berubah. Ia menyembunyikan identitasnya, membangun sistem pengawasan, dan memantau Alea dari balik kamera. Cintanya tak pernah hilang, hanya... terenkripsi—terkunci rapat dalam obsesi yang perlahan mengaburkan batas antara perlindungan dan pengendalian. Bisakah cinta yang tersembunyi di balik kode dan topeng tetap disebut cinta?
View MoreMatahari mulai terbenam menandakan hari mulai helap.
Alea baru saja pulang dari kafe tempatnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wajah lelah tergambar jelas di paras polosnya. Ia bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe tak jauh dari rumah yang ia tinggali bersama ayah dan kakak laki-lakinya. Dalam perjalanan pulang, ia melihat anak-anak seumurannya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Seharusnya Alea juga masih sekolah dan mengenakan seragam yang sama, namun karena keterbatasan ekonomi, ia harus ikut membantu keluarganya. Tatapan Alea teduh, penuh kerinduan akan kehidupan seperti mereka bersekolah dan memiliki banyak teman sebaya. Namun hidup tak pernah memberinya banyak pilihan. Ayahnya, yang dulunya seorang teknisi listrik, terpaksa banting setir menjadi buruh harian. Sementara kakaknya, Zio, belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Alea memilih menunda sekolahnya menggenggam mimpi dengan satu tangan, dan menahan kenyataan dengan tangan yang lain. Ia menunduk sambil terus melangkah, melewati para siswa yang tertawa riang di bawah pohon besar dekat pertigaan. Beberapa dari mereka menatapnya sekilas bukan dengan hinaan, tapi dengan rasa iba yang tak pernah ia minta. Sesampainya di rumah, Alea membuka pintu kayu yang mulai lapuk dan menyapa dengan suara lembut, “Ayah… Kak Zio… aku pulang.” Tak ada jawaban, hanya suara kipas angin tua yang berderit dari ruang tengah. Alea melepas sepatunya, berganti pakaian, lalu langsung menuju dapur. Sudah menjadi kebiasaan—setiap pulang, hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa persediaan makanan. Di rak, hanya tersisa dua bungkus mi instan dan sebutir telur retak. Ia menelan ludah, menyalakan kompor, dan mulai memasak dengan tenang. Seorang pria paruh baya keluar dari kamar, wajahnya tirus dan lelah, namun matanya tetap hangat setiap kali menatap Alea. Ia membawa sebungkus nasi yang sudah agak dingin. “Ini… Ayah dapat dari orang proyek tadi siang. Ayah sudah makan, kamu saja yang habiskan, ya,” ucapnya sambil meletakkan nasi itu di meja. Alea tersenyum kecil, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa khawatir. Ia tahu ayahnya berbohong. Pria itu selalu berkata sudah makan lebih dulu, tapi perutnya sering berbunyi pelan saat malam tiba. Ia pun memindahkan mi yang ia masak ke dua mangkuk. “Kita makan bareng aja, Yah. Nasi buat Kak Zio nanti,” katanya, mencoba bersuara ceria. Ayahnya hanya mengangguk, lalu duduk di lantai beralas tikar lusuh. Saat keduanya mulai menyantap makanan sederhana itu, suara derit pintu terdengar dari kamar belakang. Zio, kakaknya yang dua tahun lebih tua darinya, keluar dengan rambut acak-acakan. Matanya sembap mungkin karena tidur terlalu lama, atau karena terlalu sering menahan kecewa terhadap dunia. “Kak, ayo makan bareng,” ajak Alea. Zio hanya tersenyum menatap ayah dan adiknya yang makan bersama. Ia merasa tak pantas sebagai anak laki-laki pertama maupun sebagai kakak. Ia belum bisa mengubah nasib ekonomi keluarga mereka. Zio duduk bersandar pada dinding dekat pintu dapur. Ia tak berkata apa-apa, hanya memandangi Ayah dan Alea yang makan dengan tenang. Senyum Alea tetap sama seperti biasanya hangat, penuh perhatian—meski sorot matanya tak pernah sepenuhnya menyembunyikan letih dan kerinduan akan kehidupan yang lebih baik. Zio menggenggam ujung bajunya. Dalam hati, ia berteriak, menyalahkan diri sendiri. Andai saja ia bisa bekerja. Andai ijazah SMA-nya bisa menjamin pekerjaan tetap. Andai tubuhnya tak cepat lemah karena penyakit yang selama ini ia sembunyikan. “Kak, makan telurnya ya,” ucap Alea pelan, sambil mendorong mangkuk ke arah Zio. Zio menoleh, memaksakan senyum. “Kamu yang masak, kamu aja yang makan. Lagian Kakak belum lapar.” Alea menggeleng, dan ayah mereka hanya memperhatikan dengan mata sendu. Tak ada dari mereka yang benar-benar kenyang, tapi mereka terbiasa berbagi, bahkan terhadap rasa lapar itu sendiri. --- Alea menatap kosong ke arah jendela kamarnya yang kini sudah retak. “Andai aku punya mama…” batinnya lirih. Ia ingin tahu siapa sebenarnya ibunya dan mengapa ia dan Zio tak memiliki kemiripan? Pertanyaan itu kembali mengendap di benaknya, seperti air hujan yang perlahan meresap ke tanah. Alea tak pernah benar-benar mengenal ibunya. Foto-foto yang tersisa hanya satu kusam dan nyaris robek, disimpan dalam bingkai tua yang selalu diletakkan di atas lemari kayu di kamar ayahnya. Dalam foto itu, ibunya tampak tersenyum lebar, namun sorot matanya… entah mengapa, terasa begitu asing. Zio memiliki rambut cokelat ikal, berkulit kuning langsat, dan tubuh yang tinggi. Namun yang Alea tahu, Zio tak boleh kelelahan. Jika kelelahan, ia bisa mimisan bahkan pingsan. Sedangkan Alea sendiri berambut hitam ikal, berkulit putih, dan tubuhnya cukup kuat. Ia juga jarang, bahkan hampir tak pernah sakit. “Aneh tapi nyata. Kenapa Ayah tidak mirip aku dan Kak Zio?” pikir Alea lagi. Akhirnya, ia memilih tidur dengan pikiran yang masih bertanya-tanya. --- Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit mendung, seperti ikut memantulkan suasana hati Alea yang belum tenang. Ia bersiap pergi bekerja. Seperti biasa, ia berjalan kaki, melewati bangunan sekolah dan kampus swasta. Dengan semangat, Alea melangkah melewati gedung-gedung itu hingga tak sadar ada seorang pria yang mengamatinya dari kejauhan. Pandangan pria itu terfokus pada seorang gadis dengan langkah ringan namun mata yang menyimpan beban bertahun-tahun. Ia berdiri di balik batang pohon flamboyan besar, mengenakan jaket panjang kelabu dan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Matanya tajam, penuh rasa ingin tahu. Ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. “Dia sudah berusia sekitar remaja dan tinggal di pinggiran kota,” ucapnya pada sambungan telepon. --- Alea sedang menyiapkan bahan-bahan untuk pembukaan kafe. Teman-teman kerjanya yang lebih tua darinya salut pada Alea, di usia yang sangat muda, ia sudah bekerja dengan tekun. “Alea, tolong bersihkan meja saja. Biar aku yang menyiapkan bahan.” “Baiklah, aku bersihkan meja,” jawabnya santai. Kafe buka pukul sebelas siang, saat para pengunjung mulai berdatangan satu per satu. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa dan siswa SMA. Salah satunya Reihan, mahasiswa semester tiga yang selalu datang ke kafe, baik untuk belajar maupun sekadar minum. Reihan duduk di sudut favoritnya dekat jendela. Sinar matahari menyusup lewat celah tirai cukup terang untuk membaca, tapi tetap teduh. Ia menaruh laptop di meja, membuka buku catatan, lalu melirik ke arah bar. Ketika matanya menangkap sosok Alea yang sedang mengelap meja, seulas senyum muncul di wajahnya. Alea sadar sedang diperhatikan, tapi ia tetap melanjutkan tugasnya. Ia sudah terbiasa dengan pelanggan yang memandanginya bukan karena cantik atau menarik, tapi karena wajahnya terlihat dewasa untuk usianya, dengan sorot mata yang tenang meski menyimpan lelah. Reihan mengangkat tangan. “Alea, boleh pesan teh tarik hangat satu?” Alea mengangguk kecil. “Segera ya, Kak.” Sikapnya ramah tapi menjaga jarak. Ia tahu beberapa mahasiswa pernah mencoba mendekatinya, tapi Alea selalu bersikap biasa saja. Fokus utamanya adalah keluarga. Bukan cinta. Sambil menyiapkan pesanan, ia sempat mencuri pandang ke arah Reihan. Anak itu tampak pintar dan baik, selalu sopan, tapi Alea tak berani terlalu dekat. Ia bukan bagian dari dunia mereka dunia kuliah, diskusi kampus, dan masa depan yang menjanjikan. Saat teh tarik sudah siap, Alea membawanya ke meja Reihan. “Silakan, Kak.” “Terima kasih,” jawab Reihan, lalu menatap Alea dengan ragu, sebelum akhirnya bertanya, “Alea… kamu masih SMA, ya?” Alea menunduk sedikit, lalu tersenyum tipis. “Nggak. Aku berhenti sejak dua tahun lalu.” Reihan terdiam. “Oh… maaf, aku nggak bermaksud lancang.” “Tidak apa-apa,” jawab Alea ringan, meski matanya mulai berkaca. Ia segera berbalik, tak ingin percakapan itu berlarut. Namun Reihan masih menatap punggung Alea dengan sorot penuh tanya. Ia merasa gadis itu menyimpan lebih banyak cerita dari yang terlihat. --- Sementara itu, pria berjaket kelabu tadi masih berdiri di sudut jalan, kini mengamati kafe dari kejauhan. Ia mencatat sesuatu di buku kecil, lalu kembali mengangkat ponselnya. “Saya sudah temukan dia. Laporan medisnya tidak ditemukan di sistem umum… kemungkinan identitasnya memang disembunyikan sejak kecil.” Dari seberang sana, suara berat menjawab, “Terus awasi dia. Tapi jangan lakukan kontak dulu. Kita belum tahu siapa yang menyembunyikannya, atau… dari siapa dia disembunyikan.” Pria itu mengangguk meski tak terlihat, lalu mematikan sambungan. Pandangan matanya kembali tertuju ke jendela kafe, tempat Alea kini tertawa kecil bersama salah satu rekan kerjanya. Wajah polos itu tak menyadari bahwa hidupnya yang sederhana… mungkin sebentar lagi tak akan pernah sama lagi.Di dalam kamar yang remang, Alea duduk terpaku di tepi ranjang, memandangi sebuah liontin yang tergenggam erat di tangannya."Apa benar… kalau aku memakainya, semua mimpi dan kejadian aneh itu akan berhenti?" pikirnya, diliputi kebingungan.Perlahan, ia bangkit dan melangkah menuju cermin. Sorot matanya masih ragu, tapi ada kekaguman samar di sana."Entahlah... yang jelas, kalung ini memang cantik," gumamnya pelan, sebelum akhirnya ia mengalungkan liontin itu ke leher, menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan yang belum bisa ia jelaskan.“Cantik…” Alea tersenyum kecil ke arah cermin. “Tapi aku masih lebih cantik dari kalung ini,” gumamnya percaya diri, mata tak lepas dari pantulan dirinya.Tanpa ia sadari, pintu kamar perlahan terbuka. Sosok ayahnya berdiri di ambang pintu, memperhatikan putrinya yang sejak tadi berbicara sendiri di depan cermin.“Lea,” panggil sang ayah, suaranya lembut tapi jelas.Alea terlonjak sedikit dan buru-buru menoleh. “Ayah? Sejak kapan di situ?”“
Di tempat lain, sebuah ruangan gelap yang remang-remang, hanya diterangi cahaya merah dari kristal yang tergantung di langit-langit... Sesosok perempuan berdiri membelakangi jendela. Rambutnya panjang menjuntai, gaun merahnya menjuntai anggun. “Lucanir... Lunatyhs... kalian akhirnya mulai sadar.” Ia berbalik, memperlihatkan wajah yang cantik namun penuh luka masa lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh misteri. “Aku menunggu kalian. Dunia ini belum selesai...” Perempuan itu melangkah perlahan menuju sebuah meja batu yang dipenuhi gulungan naskah tua, simbol-simbol kuno, dan sebuah cermin oval yang mengambang tanpa sanggahan di udara. Bayangan dalam cermin tampak buram, namun perlahan mulai memperlihatkan dua sosok: Zio dan Alea, atau lebih tepatnya, Lucanir dan Lunatyhs. “Kalian adalah kunci,” bisiknya pelan. “Bukan hanya untuk membuka masa lalu... tapi juga untuk memutus siklus kutukan yang diwariskan sejak darah pertama ditumpahkan.” Tiba-tiba, dari balik tirai bayangan di
Keesokan paginya, Zio memandangi adiknya yang sedang bersiap pergi bekerja. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi merasa ini bukan waktu yang tepat.“Lea,” panggil Zio pelan.Alea menoleh, matanya penuh tanya.“Ada apa, Kak?”Zio melangkah mendekat, suaranya menurun jadi bisikan.“Ada sesuatu yang harus Kakak sampaikan, tentang kejadian-kejadian yang kamu alami belakangan ini.”Alea mengernyit, bingung.“Tapi, Kak, di sini nggak enak, Ayah bisa dengar.”“Kalau begitu, bagaimana kalau nanti kita bertemu di taman dekat kafe?” usul Alea.Zio mengangguk pelan, setuju.___Sesampainya di tempat kerja, Alea langsung sibuk melayani pelanggan dengan penuh semangat dan teliti. Ia begitu fokus hingga tak menyadari Reihan yang baru saja masuk memperhatikannya dari pintu, lalu tersenyum kecil.“Alea, aku mau pesan Machiato dan dessert coklat, ya,” panggil Reihan dengan suara lembut.Alea tersenyum dan mengangguk cepat.“Baik, Kak. Tunggu sebentar, ya.”Ia segera mengambil pesanan Reihan dengan cekata
Setelah pulang dari showroom di mal, Zio memilih berjalan kaki daripada memesan kendaraan. Meski jaraknya cukup jauh, ia tetap melangkah dengan letih. Saat sampai rumah ia langsung merebahkan tubuhnya karena letih dan pikiran yang masih melayang mengingat perkataan Ryan. “Kenapa dia bisa kenal dengan Alea?“ Pikir Zio. Tak lama Alea muncul dari kamar yang hendak ke dapur. Zio hanya melirik sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Tatapannya kosong, pikirannya masih dipenuhi tanya. Alea, yang menyadari keberadaan Zio di ruang tamu, sempat berhenti sejenak. “Kak, baru pulang?” tanyanya sambil membuka kulkas. Zio mengangguk pelan. “Iya...” Hening sejenak. Suara kulkas yang ditutup pelan menjadi satu-satunya bunyi di antara mereka. Alea menoleh, menatap kakaknya yang terlihat lebih diam dari biasanya. “Kakak kenapa? Kelihatan capek banget.” Zio menarik napas, lalu duduk tegak. Ia menatap Alea, ragu-ragu. “Alea...” ucapnya pelan. “Kamu kenal seseorang bernama Ryan?” Alea
Zio menatap kalung itu lama, seolah hendak menolak untuk mempercayai semua ini adalah nyata. Tapi sorot mata Ryan terlalu yakin, terlalu tahu, hingga sulit untuk dianggap sekadar omong kosong. “Kenapa kamu tahu nama adikku… dan semua hal ini?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Ryan tidak langsung menjawab. Ia malah menyimpan kembali kalung itu ke saku dalam jaketnya, lalu menoleh ke arah Zio dengan senyum samar. “Kadang, jawaban nggak datang dalam satu percakapan, Zio. Tapi bisa muncul… kalau kamu berani mengingatnya sendiri.” Zio mengernyit. “Mengingat apa?” “Dirimu. Yang dulu.” Ryan mengedip pelan. “Dan juga siapa Alea sebenarnya.” Zio makin gelisah. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Ryan berbalik, seolah semuanya hanyalah obrolan ringan yang bisa dilupakan begitu saja. “Oh iya,” ucap Ryan santai, mengeluarkan map coklat dari tas kecil yang dibawanya. “Hampir lupa. Ini semua berkas untuk pembelian mobilnya. Surat-surat identitas, bukti transfer, NPWP. Kamu bisa
Langit malam kian berat. Di atas kota, awan menggulung gelap, seakan menahan sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Alea baru membuka ponselnya setelah sepanjang hari tak membuka ponsel. “Reihan? Kenapa dia bisa tau kalau aku sakit?“ »”Alea kamu sakit? Apa aku boleh menjengukmu?“ »”Tadi aku mau ke rumahmu tapi sepertinya kamu gak mau di ganggu.“ »”Kalau masih sakit jangan paksakan kerja, Oke.“ Pesan yang Reihan kirimkan membuat hati Alea tersentuh. “Kalau aku gak kerja nanti di potong banyak.“ Alea mulai berpikir. “Reihan ternyata perhatian juga” batin Alea. Alea menghela napas perlahan, menatap layar ponselnya yang menyala dalam temaram kamarnya. Ia merasa tubuhnya masih lemah, tapi beban pikirannya jauh lebih berat dari rasa sakit itu sendiri. Jari-jarinya sempat ragu. Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Seolah tak ada kata yang cukup tepat untuk menjawab perhatian tulus yang tiba-tiba datang dari Reihan. Akhirnya, ia membiark
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments