___
Sementara di sisi lain Reihan mencari sosok yang ia cari untuk mengisi hari-harinya. “Alea tumben gak kelihatan” batin Reihan . Reihan langsung memesan Americano Coffe sambil mencari sosok yang ia cari. “Maaf kak, hari ini Alea libur?“ Tanya Reihan hati-hati. “Alea hari ini izin karena demam, dan lagian Alea baru ini izin sakit” jawab rekan kerja Alea. Reihan mengangguk mengerti, seharusnya kemarin dia ke kafe agar melihat kondisi Alea sebelum demam. Reihan duduk di pojok kafe yang biasa ditempati Alea saat istirahat. Kursi itu kosong, tapi seolah masih menyimpan kehadiran gadis itu, senyum tipisnya, suara tawanya yang jarang tapi menenangkan, dan tatapan matanya yang kadang melamun, kadang menusuk. Ia menyeruput Americano-nya pelan, tapi pahit kopi tak bisa menyaingi kegelisahan di dadanya. Pandangannya tertuju ke luar jendela, menyusuri jalanan, berharap Alea muncul tiba-tiba sambil tertawa dan berkata bahwa dia hanya bercanda. Tapi tidak. Tidak hari ini. Dan entah kenapa, hatinya merasa kesepian karena tak melihat Alea walau hanya sehari. Reihan langsung mengecek lokasi Alea saat ini, sudah di pastika Alea berada di rumahnya karena lokasinya berada di gang sempit. “Kemungkinan dia memang demam” Reihan bersandar di kursi. Reihan masih menatap ponselnya. Titik lokasi Alea tak berpindah, tetap di rumah. Ia menghela napas pelan, tapi dadanya masih sesak. Ia tahu ini hanya demam, tapi hatinya tak bisa tenang. Mungkin hanya kekhawatiran biasa... atau mungkin lebih dari itu. Akhirnya, Reihan memutuskan. “Aku harus lihat langsung.” Ia meninggalkan kafe, berjalan cepat melewati trotoar kota yang mulai sepi. Langit menggantung kelabu, angin menerbangkan debu dan daun-daun kering. Hatinya dipenuhi campuran khawatir, rindu, dan firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan. Saat ia hampir mencapai gang sempit menuju rumah Alea, langkahnya terhenti. Seseorang berdiri di ujung gang itu. Seorang pria dengan hoodie gelap, punggungnya menghadap ke Reihan. Ia tampak diam, menatap ke arah rumah Alea dengan posisi tubuh siaga seolah sedang mengawasi. Reihan menyipitkan mata. Siapa dia? Langkah Reihan mendekat perlahan, namun sebelum ia sempat menyapa atau mendekat lebih jauh, pria itu menoleh. Tatapan mereka bertemu sejenak. Dan entah kenapa, ada sesuatu dalam mata pria itu yang membuat Reihan bergidik. Bukan karena takut tapi karena seolah... pria itu tahu sesuatu tentang Alea. "Kamu..." Reihan membuka mulut, tapi pria itu tiba-tiba berbalik, berjalan menjauh tanpa sepatah kata pun. Langkahnya cepat, namun tidak terburu-buru. “Sialan, pria itu lagi, jadi benar yang akan mengacau adalah dia.“ Gumam Ryan penuh kekesalan. “Tunggu” Reihan berusaha mengejar melewati gang yang sempit, Ryan sengaja ke arah yang hanya bisa di lalui satu orang. Ryan yang handal dengan persembunyian dan mencari jalan yang benar-benar sempit agar Reihan kehilangan jejak. Sebagai seorang pemburu, Ryan sudah biasa untuk melakukan itu dengan mudah. Reihan berlari menyusuri gang sempit itu, matanya menyapu setiap sudut, tapi Ryan sudah tak terlihat. Langkahnya terhenti di persimpangan kecil yang bercabang ke dua arah berbeda-keduanya sama sempit, sama gelap, dan sama sunyinya. “Ke mana dia pergi...?” gumam Reihan, napasnya memburu. Ia memilih satu jalan, berbelok cepat, tapi yang ia temukan hanyalah lorong buntu penuh tumpukan kardus dan tong sampah. Tak ada jejak kaki, tak ada suara langkah, hanya keheningan yang menelan niatnya. “Sial…” Reihan menendang kerikil kecil, frustrasi. Dia tahu pria itu bukan orang biasa. Gerakannya terlalu tenang, terlalu presisi. Seolah dia tahu setiap sudut gang dan cara menghilang dari pandangan dalam sekejap. Reihan menatap ke sekeliling, mencoba mencari petunjuk, tapi tidak ada. Bahkan udara pun seperti ikut menyimpan rahasia. Reihan masih berdiri di ujung lorong buntu itu, mencoba menenangkan napas dan pikirannya. Tapi semuanya terasa makin kacau. Dia berbalik, hendak kembali ke jalan utama dan meneruskan niat awalnya: memastikan Alea baik-baik saja. Langkahnya cepat, namun tak terburu-buru. Ia tak ingin terlihat mencurigakan, meski pikirannya masih dipenuhi tanda tanya tentang pria berhoodie tadi. Saat ia mendekati rumah Alea—bangunan sederhana yang berdiri tenang di antara gang-gang sempit, pintu depan terbuka perlahan. Seorang pria keluar dari dalam. Sosok yang tak asing, tapi jarang sekali terlihat. Ayahnya Alea. Tinggi, kurus, dengan raut wajah yang tirus namun tajam. Tatapan matanya seperti silet, dingin, tajam, dan seolah bisa menembus pikiran siapa pun yang dilihatnya. Ia mengenakan kaos hitam, memperlihatkan leher yang kurus dan kaku seperti batang besi. Mereka berpapasan di depan pagar kecil rumah itu. Langkah Reihan otomatis melambat. Sang ayah berhenti sebentar. Hanya sebentar. Tatapan mereka bertemu. Dan dalam sepersekian detik itu, Reihan merasakan sesuatu yang aneh—tekanan tak terlihat, semacam energi dingin yang mengalir dari mata pria itu. Ia tak mengatakan sepatah kata pun. Hanya menatap Reihan sekilas, seperti sedang menilai, mencatat... atau mengancam dalam diam. Lalu ia melangkah pergi, melewati Reihan begitu saja, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka. Reihan menoleh, memperhatikan punggung pria itu yang menjauh. Ada sesuatu yang kelam dalam sosoknya. Bukan hanya karena sorot matanya, tapi juga aura yang membalut tubuhnya. Aura yang membuat bulu kuduk Reihan berdiri tanpa sebab. "Ayah Alea..." gumamnya pelan. Ia menatap kembali ke arah rumah. “Alea, Zio dan ayahnya sama-sama dingin, tapi kenapa mereka bertiga tak ada kemiripan?“ Batin Reihan bertanya-tanya. Reihan menatap pintu rumah Alea untuk waktu yang lama. Tangannya sempat terangkat, hendak mengetuk... namun tak jadi. Sosok sang ayah masih membekas jelas dalam ingatannya, tatapan itu, dingin dan menghakimi, seolah berkata “Jangan campuri urusan yang bukan milikmu.” Dengan napas berat, Reihan akhirnya memutar badan. Ia memilih mundur. Entah karena ragu, takut, atau karena ia tahu... ini bukan waktunya. Bukan caranya. Langit mulai merintik saat ia menyusuri trotoar kota kembali. Deru mobil, lampu jalan yang temaram, dan bau aspal basah menyatu dalam keheningan yang menghantui pikirannya. Sampai akhirnya ia tiba di apartemennya, tingkat tinggi dengan pemandangan kota yang gemerlap tapi terasa kosong. Tempat itu mewah, modern, dan sepi. Dindingnya bersih, lantainya mengilap, tapi tak ada hangat di dalamnya. Ia melempar jaket ke sofa, lalu berjalan ke dapur hanya untuk membuka kulkas dan menutupnya lagi. Tak ada yang benar-benar ia cari. Tak ada yang benar-benar bisa mengisi kehampaan yang ia rasakan malam ini. Langkahnya berakhir di depan jendela besar. Ia berdiri mematung, memandangi lampu-lampu kota di bawah sana. “Aneh ya,” gumamnya lirih. “Dikelilingi kemewahan, tapi tetap merasa kesepian.” Ia menunduk, mengingat wajah ibunya-senyuman yang dulu hangat, kini menghilang bersama suara pertengkaran yang membekas di masa kecilnya. Ayahnya? Sibuk dengan bisnis, wanita, dan ambisi yang tak pernah mengenal kata cukup. Rumah mewah yang dulu mereka tempati hanyalah panggung teater bagi kebohongan yang dipelihara rapih. Reihan keluar dari sana saat usianya cukup. Mewarisi sebagian kecil uang, cukup untuk hidup nyaman. Tapi luka batin tak pernah dibayar dengan uang. Ia membenamkan wajah ke kedua tangannya. Alea. Entah bagaimana, gadis itu seperti benih kecil yang tumbuh di tanah tandus dalam dirinya. Hadir dalam kesederhanaan, tapi memberi warna. Dan hari ini, saat ia tak melihat senyumnya, Reihan kembali diingatkan, betapa sunyinya hidup yang selama ini ia jalani. Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi muncul—bukan dari Alea, tapi dari seseorang yang tak asing. Seseorang dari masa lalunya yang ingin bicara. Reihan menatap layar itu, lalu mematikan ponsel. Untuk saat ini, dia hanya ingin diam. “Seharusnya kemarin aku ke kafe untuk melihat Alea sebelum demam” ucapnya sambil mengusap wajah. Hanya nama Alea yang ada di pikiran Reihan, dan hanya Alea gadis yang ia pikirkannya selama ini. — Ryan kembali ke hutan belantara lewat gerbang yang di arahkan Selthara melalui hutan kota. Kabut mulai berdatangan dan langit di atasnya mulai menua, berubah kelam, dan kabut perlahan menjalar ke tanah seperti roh-roh tua yang terbangun dari tidur panjangnya. Hawa hutan itu berbeda dari sebelumnya, lebih padat, lebih menyesakkan, seperti udara itu sendiri menyimpan dendam. Ryan mengarah ke arah gubuk tua tempat Selthara di kurung dengan mantra oleh suaminya yang gugur. “Nyonya Selthara?“ Panggil Ryan sedikit kencang. “Tadi aku sedang menelusuri Alea dan Lucanir tapi terhambat oleh pria itu lagi.“ Selthara langsung muncul dari jendela gubuk secara tiba-tiba. Ryan sebenarnya terkejut bukan main, tapi ia berusaha menahan rasa terkejutnya. “Kau sudah menemukan Lucanir? Di mana dia?“ “Ternyata benar dugaan mu, dia sepertinya kakak laki-laki Alea juga di kehidupan ini.“ “namanya Kenzio Vallerio yang biasa di panggil Zio.“ Sambunya lagi. “Apa kau sudah memberi kode ingatan masa lalunya?“ Tanya Selthara penasaran. “Belum, aku akan mendekatinya dengan cara membeli mobil lewat dia.“ “Mobil itu apa?“ Tanya polos Selthara yang tak mengerti mobil karena di zamannya tak ada mobil. Ryan menahan senyum kecil mendengar pertanyaan polos itu. Ada sesuatu yang aneh tapi menghangatkan ketika mendengar roh tua seperti Selthara kebingungan soal hal-hal modern. “Mobil itu… semacam kereta kuda, tapi tanpa kuda. Bergerak sendiri dengan mesin.” Selthara memiringkan kepala, mencoba membayangkan. “Jadi seperti benda hidup yang bisa kau kendalikan?” “Kurang lebih begitu. Tapi tidak hidup. Dan sangat bising,” jawab Ryan singkat. Selthara mengangguk pelan, lalu menatap Ryan dalam-dalam. “Jaga pendekatanmu. Jangan terburu-buru membangunkan Lucanir sepenuhnya. Jika ingatannya bangkit terlalu cepat, amarahnya bisa meledak dan… menghancurkan segalanya.” Ryan mengangguk. Ia tahu risiko itu. Dalam ingatannya, Lucanir adalah ksatria yang kuat, ambisius, dan tidak pernah benar-benar tenang. Jika ia sadar semua yang telah terjadi, pengkhianatan, kematian, dan kutukan- Ryan ragu apakah dunia ini cukup kuat menahan murkanya. “Aku akan perlahan. Tapi kita tak punya banyak waktu, bukan?” gumam Ryan. “Ya, mantra yang ada di gubuk ini akan menjadi kutukan jika aku tidak keluar dari sini jika lebih dari 3.000 tahun.“ “Akan aku usahakan secepatnya wahai ratuku” ujar Ryan sedikit menggoda dan langsung pergi.Di dalam kamar yang remang, Alea duduk terpaku di tepi ranjang, memandangi sebuah liontin yang tergenggam erat di tangannya."Apa benar… kalau aku memakainya, semua mimpi dan kejadian aneh itu akan berhenti?" pikirnya, diliputi kebingungan.Perlahan, ia bangkit dan melangkah menuju cermin. Sorot matanya masih ragu, tapi ada kekaguman samar di sana."Entahlah... yang jelas, kalung ini memang cantik," gumamnya pelan, sebelum akhirnya ia mengalungkan liontin itu ke leher, menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan yang belum bisa ia jelaskan.“Cantik…” Alea tersenyum kecil ke arah cermin. “Tapi aku masih lebih cantik dari kalung ini,” gumamnya percaya diri, mata tak lepas dari pantulan dirinya.Tanpa ia sadari, pintu kamar perlahan terbuka. Sosok ayahnya berdiri di ambang pintu, memperhatikan putrinya yang sejak tadi berbicara sendiri di depan cermin.“Lea,” panggil sang ayah, suaranya lembut tapi jelas.Alea terlonjak sedikit dan buru-buru menoleh. “Ayah? Sejak kapan di situ?”“
Di tempat lain, sebuah ruangan gelap yang remang-remang, hanya diterangi cahaya merah dari kristal yang tergantung di langit-langit... Sesosok perempuan berdiri membelakangi jendela. Rambutnya panjang menjuntai, gaun merahnya menjuntai anggun. “Lucanir... Lunatyhs... kalian akhirnya mulai sadar.” Ia berbalik, memperlihatkan wajah yang cantik namun penuh luka masa lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh misteri. “Aku menunggu kalian. Dunia ini belum selesai...” Perempuan itu melangkah perlahan menuju sebuah meja batu yang dipenuhi gulungan naskah tua, simbol-simbol kuno, dan sebuah cermin oval yang mengambang tanpa sanggahan di udara. Bayangan dalam cermin tampak buram, namun perlahan mulai memperlihatkan dua sosok: Zio dan Alea, atau lebih tepatnya, Lucanir dan Lunatyhs. “Kalian adalah kunci,” bisiknya pelan. “Bukan hanya untuk membuka masa lalu... tapi juga untuk memutus siklus kutukan yang diwariskan sejak darah pertama ditumpahkan.” Tiba-tiba, dari balik tirai bayangan di
Keesokan paginya, Zio memandangi adiknya yang sedang bersiap pergi bekerja. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi merasa ini bukan waktu yang tepat.“Lea,” panggil Zio pelan.Alea menoleh, matanya penuh tanya.“Ada apa, Kak?”Zio melangkah mendekat, suaranya menurun jadi bisikan.“Ada sesuatu yang harus Kakak sampaikan, tentang kejadian-kejadian yang kamu alami belakangan ini.”Alea mengernyit, bingung.“Tapi, Kak, di sini nggak enak, Ayah bisa dengar.”“Kalau begitu, bagaimana kalau nanti kita bertemu di taman dekat kafe?” usul Alea.Zio mengangguk pelan, setuju.___Sesampainya di tempat kerja, Alea langsung sibuk melayani pelanggan dengan penuh semangat dan teliti. Ia begitu fokus hingga tak menyadari Reihan yang baru saja masuk memperhatikannya dari pintu, lalu tersenyum kecil.“Alea, aku mau pesan Machiato dan dessert coklat, ya,” panggil Reihan dengan suara lembut.Alea tersenyum dan mengangguk cepat.“Baik, Kak. Tunggu sebentar, ya.”Ia segera mengambil pesanan Reihan dengan cekata
Setelah pulang dari showroom di mal, Zio memilih berjalan kaki daripada memesan kendaraan. Meski jaraknya cukup jauh, ia tetap melangkah dengan letih. Saat sampai rumah ia langsung merebahkan tubuhnya karena letih dan pikiran yang masih melayang mengingat perkataan Ryan. “Kenapa dia bisa kenal dengan Alea?“ Pikir Zio. Tak lama Alea muncul dari kamar yang hendak ke dapur. Zio hanya melirik sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Tatapannya kosong, pikirannya masih dipenuhi tanya. Alea, yang menyadari keberadaan Zio di ruang tamu, sempat berhenti sejenak. “Kak, baru pulang?” tanyanya sambil membuka kulkas. Zio mengangguk pelan. “Iya...” Hening sejenak. Suara kulkas yang ditutup pelan menjadi satu-satunya bunyi di antara mereka. Alea menoleh, menatap kakaknya yang terlihat lebih diam dari biasanya. “Kakak kenapa? Kelihatan capek banget.” Zio menarik napas, lalu duduk tegak. Ia menatap Alea, ragu-ragu. “Alea...” ucapnya pelan. “Kamu kenal seseorang bernama Ryan?” Alea
Zio menatap kalung itu lama, seolah hendak menolak untuk mempercayai semua ini adalah nyata. Tapi sorot mata Ryan terlalu yakin, terlalu tahu, hingga sulit untuk dianggap sekadar omong kosong. “Kenapa kamu tahu nama adikku… dan semua hal ini?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Ryan tidak langsung menjawab. Ia malah menyimpan kembali kalung itu ke saku dalam jaketnya, lalu menoleh ke arah Zio dengan senyum samar. “Kadang, jawaban nggak datang dalam satu percakapan, Zio. Tapi bisa muncul… kalau kamu berani mengingatnya sendiri.” Zio mengernyit. “Mengingat apa?” “Dirimu. Yang dulu.” Ryan mengedip pelan. “Dan juga siapa Alea sebenarnya.” Zio makin gelisah. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Ryan berbalik, seolah semuanya hanyalah obrolan ringan yang bisa dilupakan begitu saja. “Oh iya,” ucap Ryan santai, mengeluarkan map coklat dari tas kecil yang dibawanya. “Hampir lupa. Ini semua berkas untuk pembelian mobilnya. Surat-surat identitas, bukti transfer, NPWP. Kamu bisa
Langit malam kian berat. Di atas kota, awan menggulung gelap, seakan menahan sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Alea baru membuka ponselnya setelah sepanjang hari tak membuka ponsel. “Reihan? Kenapa dia bisa tau kalau aku sakit?“ »”Alea kamu sakit? Apa aku boleh menjengukmu?“ »”Tadi aku mau ke rumahmu tapi sepertinya kamu gak mau di ganggu.“ »”Kalau masih sakit jangan paksakan kerja, Oke.“ Pesan yang Reihan kirimkan membuat hati Alea tersentuh. “Kalau aku gak kerja nanti di potong banyak.“ Alea mulai berpikir. “Reihan ternyata perhatian juga” batin Alea. Alea menghela napas perlahan, menatap layar ponselnya yang menyala dalam temaram kamarnya. Ia merasa tubuhnya masih lemah, tapi beban pikirannya jauh lebih berat dari rasa sakit itu sendiri. Jari-jarinya sempat ragu. Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Seolah tak ada kata yang cukup tepat untuk menjawab perhatian tulus yang tiba-tiba datang dari Reihan. Akhirnya, ia membiark