tebak ending cerita ini
Zio menatap kalung itu lama, seolah hendak menolak untuk mempercayai semua ini adalah nyata. Tapi sorot mata Ryan terlalu yakin, terlalu tahu, hingga sulit untuk dianggap sekadar omong kosong.“Kenapa kamu tahu nama adikku… dan semua hal ini?” bisiknya, nyaris tak terdengar.Ryan tidak langsung menjawab. Ia malah menyimpan kembali kalung itu ke saku dalam jaketnya, lalu menoleh ke arah Zio dengan senyum samar.“Kadang, jawaban nggak datang dalam satu percakapan, Zio. Tapi bisa muncul… kalau kamu berani mengingatnya sendiri.”Zio mengernyit. “Mengingat apa?”“Dirimu. Yang dulu.” Ryan mengedip pelan. “Dan juga siapa Alea sebenarnya.”Zio makin gelisah. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Ryan berbalik, seolah semuanya hanyalah obrolan ringan yang bisa dilupakan begitu saja.“Oh iya,” ucap Ryan santai, mengeluarkan map coklat dari tas kecil yang dibawanya. “Hampir lupa. Ini semua berkas untuk pembelian mobilnya. Surat-surat identitas, bukti transfer, NPWP. Kamu bisa langsung pros
Langit malam kian berat. Di atas kota, awan menggulung gelap, seakan menahan sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Alea baru membuka ponselnya setelah sepanjang hari tak membuka ponsel. “Reihan? Kenapa dia bisa tau kalau aku sakit?“ »”Alea kamu sakit? Apa aku boleh menjengukmu?“ »”Tadi aku mau ke rumahmu tapi sepertinya kamu gak mau di ganggu.“ »”Kalau masih sakit jangan paksakan kerja, Oke.“ Pesan yang Reihan kirimkan membuat hati Alea tersentuh. “Kalau aku gak kerja nanti di potong banyak.“ Alea mulai berpikir. “Reihan ternyata perhatian juga” batin Alea. Alea menghela napas perlahan, menatap layar ponselnya yang menyala dalam temaram kamarnya. Ia merasa tubuhnya masih lemah, tapi beban pikirannya jauh lebih berat dari rasa sakit itu sendiri. Jari-jarinya sempat ragu. Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Seolah tak ada kata yang cukup tepat untuk menjawab perhatian tulus yang tiba-tiba datang dari Reihan. Akhirnya, ia membiark
___Sementara di sisi lain Reihan mencari sosok yang ia cari untuk mengisi hari-harinya.“Alea tumben gak kelihatan” batin Reihan .Reihan langsung memesan Americano Coffe sambil mencari sosok yang ia cari.“Maaf kak, hari ini Alea libur?“ Tanya Reihan hati-hati.“Alea hari ini izin karena demam, dan lagian Alea baru ini izin sakit” jawab rekan kerja Alea.Reihan mengangguk mengerti, seharusnya kemarin dia ke kafe agar melihat kondisi Alea sebelum demam.Reihan duduk di pojok kafe yang biasa ditempati Alea saat istirahat. Kursi itu kosong, tapi seolah masih menyimpan kehadiran gadis itu, senyum tipisnya, suara tawanya yang jarang tapi menenangkan, dan tatapan matanya yang kadang melamun, kadang menusuk.Ia menyeruput Americano-nya pelan, tapi pahit kopi tak bisa menyaingi kegelisahan di dadanya. Pandangannya tertuju ke luar jendela, menyusuri jalanan, berharap Alea muncul tiba-tiba sambil tertawa dan berkata bahwa dia hanya bercanda.Tapi tidak. Tidak hari ini.Dan entah kenapa, hatin
Nyanyian dengan bahasa asing yang tidak di mengerti Alea seolah mengingatkan sesuatu tapi Alea belum bisa mengingat.Perempuan bergaun merah itu mengayunkan ayunan saat Alea sedikit lagi mendekat ke arahnya.“Lucanir, Lunathys di mana kalian?“Ucap pelan perempuan itu.Alea tercengang mendegar nama Lucanir dan Lunathys.Perasaan campur aduk anatara terkejut dan seperti tak asing baginya.Alea melanjutkan langkah nya yang terhenti agar mengetahui siapa wanita itu.Langkah demi langkah Alea paksakan karena rasa penasarannya lebih besar dari rasa takutnya.Ketika beberapa langkah lagi, kabut tebal langsung menyerbu perempuan itu dan akhirnya menghilang. Hanya ayunan kayu tua yang tertinggal.“Apa benar dia hantu? Kenapa tiba-tiba menghilang” gumam Alea panik.“Ayah, tolong Lea”“Lea gak tau ini dimana”“Kak Zio, tolong aku” Alea mulai menangis dan memanggil orang-orang yang ada di benaknya.Alea perlahan melangkah perlahan mencoba menenangkan diri. Kabut tebal yang semakin lama menipis m
Reihan duduk termenung sambil menyantap sarapan seadanya, roti panggang setengah gosong dan kopi hitam yang sudah dingin. Tak ada kegiatan kampus hari ini, dan ia pun tak terikat pada pekerjaan tetap seperti orang kebanyakan. Hidupnya… lebih menyerupai bayangan digital yang tak tercatat. Ia bekerja di jaringan bawah tanah sebagai penyedia jasa IT independen untuk hal-hal yang tak ingin dibicarakan orang secara terbuka: pemulihan akun yang dibobol, peretasan ringan untuk kepentingan pribadi, hingga menghapus jejak digital seseorang tentu jika bayaran cocok. Laptopnya menyala di meja, menampilkan beberapa permintaan yang masuk. Satu di antaranya meminta bantuan untuk mengambil kembali akun milik pacarnya yang “diretas mantan.” Yang lain menginginkan akses ke server kantor untuk "pengecekan data kecurangan internal." Reihan tak banyak bertanya. Ia memilih klien berdasarkan insting, bukan empati. Namun pagi ini, pikirannya lebih tertuju pada satu hal: Alea. Ia membuka folder khusus ya
Reihan duduk lebih lama dari biasanya di kafe itu, pandangannya tertancap ke arah Ryan yang tadi berbincang santai dengan Alea. Ia tidak menyukai cara pria itu berbicara terlalu akrab, terlalu nyaman, seolah mereka sudah saling kenal lama. Terlebih, Reihan bisa membaca bahasa tubuh Alea. Meski gadis itu tampak tenang, ada kegelisahan samar di matanya reaksi instingtif terhadap sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya.Dan Reihan mempercayai insting Alea, bahkan lebih dari dirinya sendiri.Setelah Ryan pergi, Reihan mendekat ke meja bar.“Alea, tadi cowok itu siapa?” tanyanya pelan, tapi tatapannya tajam.Alea sedikit terkejut. “Gak tahu juga. Kayaknya pelanggan baru. Tapi dia bawa buku-buku aneh, gambar-gambar zaman dulu gitu…”Reihan menyipitkan mata. “Dia pernah datang ke sini sebelumnya?”Alea menggeleng. “Baru belakangan ini sering nongkrong. Tapi gak ganggu kok, paling cuma ngobrol bentar.”Reihan mengangguk perlahan, tapi pikirannya berputar cepat. Ia bukan hanya sekadar peduli kar
Hari-hari berjalan lambat bagi Alea, tapi ia sudah terbiasa dengan ritmenya. Pagi bekerja, sore membantu di rumah, malam meringkuk di kasur tipis dengan pikiran-pikiran yang tak pernah benar-benar pergi. Namun, sejak beberapa hari terakhir, perasaan tak nyaman mulai menghantuinya. Seolah ada yang mengintai... tapi selalu menghilang saat ia menoleh.Zio pun tak banyak bicara akhir-akhir ini. Wajahnya pucat, dan beberapa kali Alea melihatnya muntah diam-diam di kamar mandi. Saat ditanya, kakaknya hanya menjawab pendek, “Masuk angin biasa.”Tapi Alea tahu itu bukan hal biasa.Sore itu, saat kafe sedikit lengang, Reihan kembali datang. Tapi kali ini, ia tak sendiri. Bersamanya ada seorang perempuan tinggi berambut panjang, tampak seperti dosen atau kakak tingkat. Mereka terlihat akrab, namun pandangan Reihan tetap sempat terlempar ke arah Alea yang tengah menuang kopi ke gelas pelanggan.Setelah perempuan itu pergi, Reihan menghampiri meja bar.“Alea,” panggilnya pelan.Alea menoleh, sedi
Matahari mulai terbenam menandakan hari mulai helap. Alea baru saja pulang dari kafe tempatnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wajah lelah tergambar jelas di paras polosnya.Ia bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe tak jauh dari rumah yang ia tinggali bersama ayah dan kakak laki-lakinya.Dalam perjalanan pulang, ia melihat anak-anak seumurannya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Seharusnya Alea juga masih sekolah dan mengenakan seragam yang sama, namun karena keterbatasan ekonomi, ia harus ikut membantu keluarganya.Tatapan Alea teduh, penuh kerinduan akan kehidupan seperti mereka bersekolah dan memiliki banyak teman sebaya.Namun hidup tak pernah memberinya banyak pilihan. Ayahnya, yang dulunya seorang teknisi listrik, terpaksa banting setir menjadi buruh harian. Sementara kakaknya, Zio, belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Alea memilih menunda sekolahnya menggenggam mimpi dengan satu tangan, dan menahan kenyataan dengan tangan yang lain.Ia menunduk sam