Home / Romansa / Reihan: Enkripsi Perasaan / [ 7 ]-Mereka yang terhubung

Share

[ 7 ]-Mereka yang terhubung

Author: Lunaraelle
last update Last Updated: 2025-05-08 00:28:39

Langit malam kian berat. Di atas kota, awan menggulung gelap, seakan menahan sesuatu yang tak bisa lagi dibendung.

Alea baru membuka ponselnya setelah sepanjang hari tak membuka ponsel.

“Reihan? Kenapa dia bisa tau kalau aku sakit?“

»”Alea kamu sakit? Apa aku boleh menjengukmu?“

»”Tadi aku mau ke rumahmu tapi sepertinya kamu gak mau di ganggu.“

»”Kalau masih sakit jangan paksakan kerja, Oke.“

Pesan yang Reihan kirimkan membuat hati Alea tersentuh.

“Kalau aku gak kerja nanti di potong banyak.“

Alea mulai berpikir.

“Reihan ternyata perhatian juga” batin Alea.

Alea menghela napas perlahan, menatap layar ponselnya yang menyala dalam temaram kamarnya. Ia merasa tubuhnya masih lemah, tapi beban pikirannya jauh lebih berat dari rasa sakit itu sendiri.

Jari-jarinya sempat ragu. Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Seolah tak ada kata yang cukup tepat untuk menjawab perhatian tulus yang tiba-tiba datang dari Reihan.

Akhirnya, ia membiarkan jemarinya bergerak tanpa terlalu banyak berpikir.

«"Maaf baru balas. Aku gapapa. Cuma butuh istirahat."

Beberapa detik setelah pesan itu terkirim, Alea langsung merasa menyesal. Jawabannya terlalu dingin, terlalu biasa, tak mencerminkan betapa sebenarnya ia tersentuh.

Tak lama, layar ponselnya bergetar. Reihan membalas cepat.

»"Kalau butuh apa-apa, kasih tau aku ya. Aku serius."

Alea menggigit bibirnya. Ada sesuatu dalam kata-kata itu—kesungguhan yang jarang ia dapatkan dari orang lain. Kehangatan aneh merambat dari dadanya, membungkusnya dalam kesunyian malam yang berat.

Ia memandang keluar jendela. Di luar, langit tampak seolah hendak pecah. Angin berembus membawa aroma hujan yang belum turun. Alea menutup matanya sejenak, membiarkan dirinya larut dalam rasa yang baru.

Entah kenapa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak benar-benar sendirian.

___

Pagi yang cerah menyinari kota yang padat penduduk. Orang-orang mulai sibuk menjalani aktivitasnya, kecuali Ryan yang masih terlelap di atas kasur empuknya.

“Drrrttt...”

Core Seeker—alat komunikasi canggih mirip ponsel—bergetar tanpa henti di atas meja.

Dengan mata setengah terbuka, Ryan meraih benda itu, terganggu oleh getaran yang terus-menerus.

"Apa, sih?"

Suara dingin Selthara langsung menyambutnya tanpa basa-basi,

"Sudahkah kau menjalankan misimu?"

"Belum, aku masih ngantuk..." balas Ryan sambil menguap lebar.

"Bagaimana mungkin kau bisa menolongku kalau malas seperti itu?" tegurnya tajam.

"Akan kutarik kembali emas itu dan kubiarkan kau melarat!" ancam Selthara.

Mata Ryan langsung terbuka lebar.

"Siap, Nyonya! Aku sudah bangun! Aku butuh uang itu untuk beli mobil dari Zio!"

"Segera datang ke sini dan jalankan tugasmu!"

Tanpa menunggu jawaban, Selthara memutuskan sambungan.

Ryan menghela napas panjang.

"Kalau bukan karena emas itu, mana mungkin aku mau disuruh-suruh sama manusia kuno," gumamnya sambil terkekeh geli.

Ia pun segera bersiap, berpakaian rapi, dan berangkat menuju hutan kota—tempat ia biasa bertemu Selthara. Di sepanjang perjalanan, Ryan bersikap waspada, memastikan tak ada yang mencurigai pergerakannya.

"Kenapa rasanya aku kayak baby sugarnya Selthara, ya? Minta uang buat beli mobil?" gumamnya pelan, setengah geli, setengah miris.

"Tapi, ini juga demi kepentingan dia. Lewat aku, dia bisa bertemu anak-anaknya," lanjutnya, seolah membenarkan tindakannya.

Senyum licik merekah di wajah Ryan. Ia sudah membayangkan mobil mewah impiannya yang segera bisa ia miliki.

Dengan bantuan Core Seeker gerbang menuju Selthara mulai terbuka dengan kabut tebal yang akhirnya mulai tipis.

Kabut perlahan menipis saat gerbang menuju tempat Selthara terbuka. Ryan melangkah masuk, Core Seeker di tangannya menyala redup, menuntunnya melewati jalan setapak hutan.

Di ujung jalan, Selthara sudah menunggu—anggun dan dingin seperti biasa.

“Kau datang juga akhirnya,” ucapnya.

“Siapa yang berani absen kalau nyonya mengancam tarik emas?” sahut Ryan setengah bercanda.

Tanpa basa-basi Selthara langsung memberikan liontin kecil pada Ryan.

“Liontin kecil ini mana cukup untuk membeli mobil” protes Ryan.

Selthara menatap tajam ke arah Ryan. “Jangan anggap kecil sesuatu, karena kau tak akan tahu betapa berharganya liontin itu di masa sekarang.“

Selthara tersenyum tipis. “Pergilah ke tempat kolektor liontin di pusat kota. Katakan benda itu berasal dari masa Kerajaan Vallerio.”

Ryan mengernyit. “Itu kerajaan fiksi, kan?”

“Bukan bagiku.”

Dengan enggan, Ryan menurut. Ia menyusuri kota hingga tiba di sebuah toko antik kecil yang tampak sepi tapi penuh aura misterius. Begitu si pemilik toko melihat liontin itu, ekspresinya langsung berubah.

“Darimana kau dapat ini?” bisiknya dengan mata berbinar.

“Dari… warisan,” sahut Ryan santai.

Pemilik toko langsung menawar dengan angka yang membuat Ryan terdiam: cukup untuk membeli mobil impiannya dan masih sisa banyak.

“Serius?” tanyanya tak percaya.

“Benda ini… langka. Sangat langka. Nilainya lebih dari uang.”

Ryan keluar dari toko dengan senyum lebar, menatap Core Seeker-nya.

“Manusia kuno itu ternyata nggak main-main…”

Di kejauhan, kabut tipis muncul sejenak, dan suara Selthara bergema samar.

“Itu baru permulaan, Ryan.”

__##__

Di tempat kerjanya, Zio tampak sangat bersemangat. Hari ini, ia mendapat kabar bahwa dirinya akan dipindahkan ke showroom di sebuah mal besar di pusat kota. Meski belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke mal mewah seperti itu, ia berusaha keras untuk tetap terlihat tenang agar menjaga harga diri.

“Setelah makan siang, kamu akan dipindahkan ke showroom mal. Saya harap kamu tetap profesional seperti biasa. Saya percaya padamu,” ucap atasannya sambil menepuk ringan bahunya.

Zio mengangguk mantap. “Siap, Pak. Terima kasih atas kepercayaannya.”

Di balik sikap tenangnya, hatinya berdebar. Dunia baru akan segera ia hadapi, dan ia tahu, ia harus bisa membuktikan bahwa dirinya layak berada di sana.

Dengan seragam rapi dan tas kecil di tangannya, Zio melangkah keluar dari kantor lama menuju mobil perusahaan yang akan mengantarnya ke showroom baru. Sepanjang perjalanan, ia menatap keluar jendela, memperhatikan lalu lintas dan gedung-gedung tinggi yang perlahan semakin mendominasi pemandangan.

Begitu sampai di mal pusat kota, Zio terdiam sejenak di depan gedung megah itu. Langit-langit kacanya tinggi menjulang, lampu-lampu kristal memantul di permukaan lantai yang mengilap. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk dengan langkah tegap.

Di dalam showroom, suasana begitu berbeda. Pengunjung tampak lebih bergaya, staf lain berpenampilan elegan, dan cara berbicara mereka terdengar lebih formal. Namun Zio tak membiarkan rasa asing itu menguasainya.

“Selamat datang,” ucap seorang supervisor showroom sambil menjabat tangan Zio. “Kamu Zio, kan? Kami sudah dengar banyak hal baik tentangmu.”

Zio tersenyum sopan. “Terima kasih. Saya siap belajar dan bekerja sebaik mungkin.”

Supervisor itu mengangguk puas. “Bagus. Di sini, pendekatan kita sedikit berbeda—lebih halus, lebih personal. Tapi saya yakin kamu akan cepat menyesuaikan diri.”

Sepanjang siang, Zio mengamati dengan saksama. Ia mempelajari cara staf menyambut pelanggan, menyusun unit display, dan bahkan memilih kata-kata saat menjelaskan produk. Meski merasa sedikit gugup, Zio tak membiarkannya terlihat. Dalam dirinya, ada semangat untuk tumbuh.

Saat hari menjelang sore, Zio diberi kesempatan pertama menangani pelanggan sendiri. Dan saat senyum pertamanya berhasil membuat seorang ibu muda tertarik untuk melihat unit kendaraan, Zio tahu—ia akan baik-baik saja di tempat ini.

Di ujung ekskalator Ryan mengamati Zio sedari tadi. Dengan pakaian sedikit bergaya Ryan menemui Zio. Ia tahu Zio berada di mall karena bantuan Core Seeker yang mulai menyatu dengan aura Zio.

Ryan menyusuri lantai showroom dengan santai, langkahnya mantap seperti pelanggan berduit yang sudah biasa masuk tempat mewah. Ia berhenti di salah satu unit mobil premium dan pura-pura mengagumi desainnya, padahal sejak tadi matanya tertuju pada Zio yang sedang menjelaskan fitur kendaraan kepada seorang ibu muda.

Begitu sang ibu pergi, Ryan segera mendekat.

Zio menoleh, matanya sedikit membelalak.

“Mas, yang kemarin minta kartu nama ya?.“

Ryan hanya tersenyum simpul karena Zio benar-benar mengingat dirinya.

“Iya benar.“

“Kenapa gak hubungi saya dulu?“ Tanya Zio penasaran.

“Kebetulan lewat sini, dan liat-liat mobil.“

Zio mengangguk pelan, mencoba tetap profesional meski kehadiran Ryan membuatnya sedikit waspada. Ada sesuatu dari pria itu yang membuatnya tidak bisa benar-benar merasa nyaman.

“Kalau Mas Ryan ada yang diminati, boleh saya bantu jelaskan. Kami lagi ada program diskon khusus juga untuk tipe-tipe tertentu,” ucap Zio sambil tersenyum sopan.

Ryan menyunggingkan senyum miring, matanya tak lepas dari wajah Zio.

“Boleh. Tapi sebenarnya aku lebih tertarik ngobrol sama kamu daripada mobilnya.”

Zio terkekeh kecil, berusaha meredam rasa canggungnya. “Kalau begitu sambil saya antar keliling showroom, kita bisa ngobrol sedikit.”

Mereka mulai berjalan menyusuri barisan mobil yang dipajang. Zio tetap menjelaskan spesifikasi seperti biasa, tapi matanya sesekali melirik Ryan yang tampak lebih fokus mengamati dirinya ketimbang mobil.

“Zio, kamu percaya sama hal-hal aneh gak?” tanya Ryan tiba-tiba, suaranya agak merendah, serius.

Zio terdiam sejenak. “Aneh gimana maksudnya?”

“Hal-hal yang gak bisa dijelaskan. Kayak... kenapa seseorang bisa tahu sesuatu padahal kamu belum pernah cerita. Atau mimpi aneh yang berulang terus. Atau... orang yang datang ke hidupmu tiba-tiba, tapi rasanya kayak udah pernah ketemu.”

Zio berhenti melangkah, alisnya mengerut. Pertanyaan Ryan bukan basa-basi biasa. Rasanya terlalu pas—terlalu menyinggung apa yang diam-diam juga pernah ia alami.

“Kenapa nanya gitu?” suara Zio merendah, nyaris seperti bisikan.

Ryan menatap Zio dengan tatapan yang jauh lebih dalam dari sebelumnya. “Karena kamu bukan orang biasa, Zio. Dan kamu juga tahu itu, kan?”

Untuk sesaat, dunia seakan berhenti bergerak. Suara riuh mal mengabur di telinga Zio. Napasnya tertahan. Ia tidak tahu dari mana datangnya perasaan itu, tapi nalurinya menjerit: Ryan tahu sesuatu yang seharusnya tidak ia ketahui.

“Apa maksudmu?” tanya Zio, mencoba tetap tenang.

Ryan hanya tersenyum, tapi kali ini senyumnya bukan lagi senyum nakal. Ada beban di baliknya, ada rahasia yang besar dan gelap.

“Kita gak punya banyak waktu. Aku akan ceritakan semua… asal kamu mau percaya.”

Zio mematung di tempatnya. Perasaan asing mulai menjalari dadanya, seperti gerbang yang selama ini terkunci mulai terbuka—perlahan, tapi pasti.

“Aku mau mobil yang warna putih itu” ucap Ryan sambil menunjuk ke arah mobil sport yang bermerek Marcedes.

Zio masih belum bisa mengalihkan pikirannya dari kata-kata Ryan barusan. Tapi ia tahu, sebagai staf showroom, ia harus tetap menjalankan tugasnya. Ia menatap mobil yang ditunjuk Ryan—sebuah Mercedes putih mengilap yang tampil mencolok di antara mobil lainnya.

“Mercedes-AMG A45,” ucap Zio sambil mendekat ke unit mobil tersebut. “Tenaga 421 hp, akselerasi dari 0 ke 100 dalam kurang dari 4 detik. Salah satu unit paling diminati tahun ini.”

Ryan mengangguk ringan, matanya menelusuri lekuk bodi mobil dengan ekspresi puas. Tapi Zio bisa melihat bahwa tatapan itu kosong. Ia tak benar-benar melihat mobil itu—ada sesuatu yang lain di kepalanya.

“Aku mau mobil ini. Hari ini juga,” ucap Ryan mantap.

Zio sedikit terkejut. “Hari ini? Tapi proses pembelian mobil seperti ini biasanya butuh waktu, ada beberapa dokumen yang perlu ditandatangani dan—”

“Aku sudah siapkan semuanya. Dan uangnya…”

Dalam hati, Ryan merasa puas melihat ekspresi Zio yang mulai goyah—campuran bingung, curiga, dan takut.

Tanpa banyak bicara, Ryan merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kalung kecil—artefak tua pemberian Selthara. Kilau logamnya tampak kusam, namun memancarkan aura yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Ambil ini,” ucap Ryan pelan, tapi tegas. “Kalung itu akan membantumu menemukan jawaban—termasuk tentang Alea.”

Zio sontak menegang. Dadanya serasa berhenti berdetak sesaat. Ia menatap Ryan, tajam dan penuh tanya.

“Kenapa kamu tahu nama adikku?” bisiknya. Suaranya rendah, nyaris tercekat. “Apa yang kamu tahu tentang kami?”

Ryan tidak menjawab. Tatapannya hanya dalam dan serius, seolah mengatakan: kamu sudah tahu ini bukan kebetulan.

Kalung itu masih terulur di tangan Ryan—sebuah kunci menuju masa lalu yang selama ini Zio pikir telah terkubur bersama waktu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 12 ]-Rahasia Dan Kenjenggkelan

    Di dalam kamar yang remang, Alea duduk terpaku di tepi ranjang, memandangi sebuah liontin yang tergenggam erat di tangannya."Apa benar… kalau aku memakainya, semua mimpi dan kejadian aneh itu akan berhenti?" pikirnya, diliputi kebingungan.Perlahan, ia bangkit dan melangkah menuju cermin. Sorot matanya masih ragu, tapi ada kekaguman samar di sana."Entahlah... yang jelas, kalung ini memang cantik," gumamnya pelan, sebelum akhirnya ia mengalungkan liontin itu ke leher, menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan yang belum bisa ia jelaskan.“Cantik…” Alea tersenyum kecil ke arah cermin. “Tapi aku masih lebih cantik dari kalung ini,” gumamnya percaya diri, mata tak lepas dari pantulan dirinya.Tanpa ia sadari, pintu kamar perlahan terbuka. Sosok ayahnya berdiri di ambang pintu, memperhatikan putrinya yang sejak tadi berbicara sendiri di depan cermin.“Lea,” panggil sang ayah, suaranya lembut tapi jelas.Alea terlonjak sedikit dan buru-buru menoleh. “Ayah? Sejak kapan di situ?”“

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 11 ]-Antara Cinta dan Perintah

    Di tempat lain, sebuah ruangan gelap yang remang-remang, hanya diterangi cahaya merah dari kristal yang tergantung di langit-langit... Sesosok perempuan berdiri membelakangi jendela. Rambutnya panjang menjuntai, gaun merahnya menjuntai anggun. “Lucanir... Lunatyhs... kalian akhirnya mulai sadar.” Ia berbalik, memperlihatkan wajah yang cantik namun penuh luka masa lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh misteri. “Aku menunggu kalian. Dunia ini belum selesai...” Perempuan itu melangkah perlahan menuju sebuah meja batu yang dipenuhi gulungan naskah tua, simbol-simbol kuno, dan sebuah cermin oval yang mengambang tanpa sanggahan di udara. Bayangan dalam cermin tampak buram, namun perlahan mulai memperlihatkan dua sosok: Zio dan Alea, atau lebih tepatnya, Lucanir dan Lunatyhs. “Kalian adalah kunci,” bisiknya pelan. “Bukan hanya untuk membuka masa lalu... tapi juga untuk memutus siklus kutukan yang diwariskan sejak darah pertama ditumpahkan.” Tiba-tiba, dari balik tirai bayangan di

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 10 ]- Kita Bukan Orang Biasa

    Keesokan paginya, Zio memandangi adiknya yang sedang bersiap pergi bekerja. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi merasa ini bukan waktu yang tepat.“Lea,” panggil Zio pelan.Alea menoleh, matanya penuh tanya.“Ada apa, Kak?”Zio melangkah mendekat, suaranya menurun jadi bisikan.“Ada sesuatu yang harus Kakak sampaikan, tentang kejadian-kejadian yang kamu alami belakangan ini.”Alea mengernyit, bingung.“Tapi, Kak, di sini nggak enak, Ayah bisa dengar.”“Kalau begitu, bagaimana kalau nanti kita bertemu di taman dekat kafe?” usul Alea.Zio mengangguk pelan, setuju.___Sesampainya di tempat kerja, Alea langsung sibuk melayani pelanggan dengan penuh semangat dan teliti. Ia begitu fokus hingga tak menyadari Reihan yang baru saja masuk memperhatikannya dari pintu, lalu tersenyum kecil.“Alea, aku mau pesan Machiato dan dessert coklat, ya,” panggil Reihan dengan suara lembut.Alea tersenyum dan mengangguk cepat.“Baik, Kak. Tunggu sebentar, ya.”Ia segera mengambil pesanan Reihan dengan cekata

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 9 ]-Core Seeker: Gerbang yang Terbuka

    Setelah pulang dari showroom di mal, Zio memilih berjalan kaki daripada memesan kendaraan. Meski jaraknya cukup jauh, ia tetap melangkah dengan letih. Saat sampai rumah ia langsung merebahkan tubuhnya karena letih dan pikiran yang masih melayang mengingat perkataan Ryan. “Kenapa dia bisa kenal dengan Alea?“ Pikir Zio. Tak lama Alea muncul dari kamar yang hendak ke dapur. Zio hanya melirik sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Tatapannya kosong, pikirannya masih dipenuhi tanya. Alea, yang menyadari keberadaan Zio di ruang tamu, sempat berhenti sejenak. “Kak, baru pulang?” tanyanya sambil membuka kulkas. Zio mengangguk pelan. “Iya...” Hening sejenak. Suara kulkas yang ditutup pelan menjadi satu-satunya bunyi di antara mereka. Alea menoleh, menatap kakaknya yang terlihat lebih diam dari biasanya. “Kakak kenapa? Kelihatan capek banget.” Zio menarik napas, lalu duduk tegak. Ia menatap Alea, ragu-ragu. “Alea...” ucapnya pelan. “Kamu kenal seseorang bernama Ryan?” Alea

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 8 ]-Mengingat Yang Terlupa

    Zio menatap kalung itu lama, seolah hendak menolak untuk mempercayai semua ini adalah nyata. Tapi sorot mata Ryan terlalu yakin, terlalu tahu, hingga sulit untuk dianggap sekadar omong kosong. “Kenapa kamu tahu nama adikku… dan semua hal ini?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Ryan tidak langsung menjawab. Ia malah menyimpan kembali kalung itu ke saku dalam jaketnya, lalu menoleh ke arah Zio dengan senyum samar. “Kadang, jawaban nggak datang dalam satu percakapan, Zio. Tapi bisa muncul… kalau kamu berani mengingatnya sendiri.” Zio mengernyit. “Mengingat apa?” “Dirimu. Yang dulu.” Ryan mengedip pelan. “Dan juga siapa Alea sebenarnya.” Zio makin gelisah. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Ryan berbalik, seolah semuanya hanyalah obrolan ringan yang bisa dilupakan begitu saja. “Oh iya,” ucap Ryan santai, mengeluarkan map coklat dari tas kecil yang dibawanya. “Hampir lupa. Ini semua berkas untuk pembelian mobilnya. Surat-surat identitas, bukti transfer, NPWP. Kamu bisa

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 7 ]-Mereka yang terhubung

    Langit malam kian berat. Di atas kota, awan menggulung gelap, seakan menahan sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Alea baru membuka ponselnya setelah sepanjang hari tak membuka ponsel. “Reihan? Kenapa dia bisa tau kalau aku sakit?“ »”Alea kamu sakit? Apa aku boleh menjengukmu?“ »”Tadi aku mau ke rumahmu tapi sepertinya kamu gak mau di ganggu.“ »”Kalau masih sakit jangan paksakan kerja, Oke.“ Pesan yang Reihan kirimkan membuat hati Alea tersentuh. “Kalau aku gak kerja nanti di potong banyak.“ Alea mulai berpikir. “Reihan ternyata perhatian juga” batin Alea. Alea menghela napas perlahan, menatap layar ponselnya yang menyala dalam temaram kamarnya. Ia merasa tubuhnya masih lemah, tapi beban pikirannya jauh lebih berat dari rasa sakit itu sendiri. Jari-jarinya sempat ragu. Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Seolah tak ada kata yang cukup tepat untuk menjawab perhatian tulus yang tiba-tiba datang dari Reihan. Akhirnya, ia membiark

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status