Reihan duduk termenung sambil menyantap sarapan seadanya, roti panggang setengah gosong dan kopi hitam yang sudah dingin. Tak ada kegiatan kampus hari ini, dan ia pun tak terikat pada pekerjaan tetap seperti orang kebanyakan.
Hidupnya… lebih menyerupai bayangan digital yang tak tercatat. Ia bekerja di jaringan bawah tanah sebagai penyedia jasa IT independen untuk hal-hal yang tak ingin dibicarakan orang secara terbuka: pemulihan akun yang dibobol, peretasan ringan untuk kepentingan pribadi, hingga menghapus jejak digital seseorang tentu jika bayaran cocok. Laptopnya menyala di meja, menampilkan beberapa permintaan yang masuk. Satu di antaranya meminta bantuan untuk mengambil kembali akun milik pacarnya yang “diretas mantan.” Yang lain menginginkan akses ke server kantor untuk "pengecekan data kecurangan internal." Reihan tak banyak bertanya. Ia memilih klien berdasarkan insting, bukan empati. Namun pagi ini, pikirannya lebih tertuju pada satu hal: Alea. Ia membuka folder khusus yang ia beri nama “.mirage.” hanya dia yang tahu maknanya. Di dalamnya, tersimpan puluhan foto Alea yang diambil diam-diam, potongan percakapan dari rekaman suara, hingga tangkapan layar aktivitas digital yang berhasil Reihan kloning melalui nomor ponsel Alea. Bukan karena ia seorang penguntit. Tapi karena ia merasa… harus melindunginya. Bahkan jika Alea tak pernah memintanya. Bahkan jika Alea tak pernah tahu. Reihan menyeruput sisa kopi dinginnya, lalu membuka rekaman terbaru dari kamera tersembunyi yang ia pasang di tiang lampu dekat jendela kafe. Di dalam video itu, Ryan terlihat duduk santai. Kamera merekam jelas aktivitas di ponsel yang sedang ia buka. Email, akun, hingga aktivitas digital pria itu terekam tanpa ia sadari. Reihan memperbesar tangkapan layar dari rekaman itu. Jemarinya lincah menelusuri setiap frame, memperhatikan detail demi detail yang mungkin terlewat oleh mata biasa. “Aryan Purnama?” gumamnya pelan. “Jadi… nama laki-laki itu Aryan, biasa dipanggil Ryan?” Rasa penasarannya semakin dalam. Ia tahu, ini bukan pertemuan biasa. --- Di sisi lain, Selthara kembali menghubungi Ryan melalui benda aneh yang menyerupai ponsel. “Kau harus lebih hati-hati. Ada seseorang yang mulai curiga padamu.” “Siapa? Apakah laki-laki yang selalu duduk di kafe itu?” tanya Ryan penuh selidik. “Aku tak yakin. Tapi yang jelas, dia bisa mengganggu misimu.” Sambungan itu terputus seketika. Suara menghilang, meninggalkan denging aneh. “Sialan… pasti laki-laki itu yang mengacau.” Batin Ryan kesal. “Aku harus cepat mengembalikan ingatan Alea sebelum terlalu banyak yang ikut campur.” --- Sementara itu, Zio berusaha tetap profesional dalam pekerjaannya sebagai sales mobil. Ia menjaga agar para calon pembeli merasa nyaman dan tertarik dengan penawaran-penawaran yang disampaikannya. Tak hanya komunikasinya yang memikat, parasnya yang rupawan dan gaya bicaranya yang tenang membuat banyak pelanggan, terutama wanita merasa betah berlama-lama meski hanya untuk bertanya-tanya. Namun Zio sudah terbiasa dengan itu semua. Ia tahu kapan harus tersenyum sopan, dan kapan harus kembali menggiring percakapan ke inti penjualan. Baginya, pekerjaan ini bukan hanya soal menjual mobil, tapi juga menjaga citra. Di dunia yang menilai dari kesan pertama, penampilan adalah senjata. Meski begitu, ada satu hal yang tak bisa ia manipulasi: pikirannya yang terus melayang pada Alea. Setiap kali ponselnya berbunyi, ia berharap itu dari adiknya. Tapi sejak pesan terakhir siang tadi, Alea belum juga membalas. Padahal biasanya, ia langsung menjawab, walau hanya satu kalimat singkat. "Zio." Suara rekan kerja memecah lamunannya. “Pembeli yang tadi udah siap tanda tangan kontrak. Kamu bisa bantu?” Zio mengangguk, tersenyum profesional, dan segera menjalankan tugas. Tapi hatinya tertinggal di tempat lain, bersama kekhawatiran yang tak bisa ia jelaskan. Hari itu berjalan lambat. Senja mulai turun, tapi showroom tempat Zio bekerja masih cukup ramai. Satu per satu pelanggan datang dan pergi. Ada yang benar-benar berniat membeli, ada pula yang sekadar mencuri pandang. Zio tak heran. Ia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Tapi di balik senyum dan keramahan itu, ia tak pernah membiarkan siapa pun benar-benar masuk. “Zio, kamu pegang yang ini ya. Katanya mau test drive,” ujar salah satu rekan kerja, menyodorkan kunci dan data pembeli. Zio menerima kunci itu, lalu melangkah ke area parkir. Udara mulai dingin. Langit mengguratkan warna oranye keemasan. Namun ada yang mengganggu. Sebuah perasaan asing menggelitik tengkuknya seperti sedang diperhatikan. Ia berhenti sejenak. Menatap sekeliling. Kosong. Hanya deretan mobil berkilau dan pantulan cahaya senja di kaca-kaca. Tapi rasa itu tetap ada. Usai sesi test drive, Zio kembali ke ruang kerja. Saat hendak memainkan ponsel, ia melihat bayangan aneh di cermin kecil bayangan yang memantulkan wajahnya… rusak. Bola mata kanannya hilang. Zio tidak terkejut. Sudah beberapa hari ini, bayangan itu muncul. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Pantulan itu memperlihatkan kulitnya yang terkelupas, darah mengering di pipi, dan rongga kosong di sisi wajah. Tapi ia tetap tenang. Hanya tangannya yang menggenggam erat, seolah tubuhnya memberontak pada kenyataan yang hanya bisa dilihat melalui cermin. Ia mencoba memotret bayangan itu, namun hasilnya selalu menunjukkan wajahnya yang normal. Dunia nyata dan cermin seolah berada di jalur berbeda. Mual dan pusing menyerangnya lagi. Ia pun memutuskan pulang lebih awal, berharap hal itu tak terulang lagi. --- Dari kejauhan, Ryan mengamati Zio. Ia menggenggam sebuah benda logam bundar Core Seeker artefak kuno yang mampu mendeteksi energi spiritual dari jiwa-jiwa lama yang bereinkarnasi. Cahaya ungu dari benda itu berdenyut, makin terang saat Zio semakin dekat. “Kalau benar dia Lucanir… kenapa belum menunjukkan tanda-tanda?” Zio memberi makan kucing jalanan di trotoar. Tak menyadari ada seseorang yang memperhatikannya dari kejauhan. “Itu dia,” gumam Ryan. Ia segera bergerak mendekat. Core Seeker berpendar lebih terang. Ryan pura-pura menabrak Zio dari belakang. “Maaf, saya nggak sengaja, Mas,” ucap Ryan cepat. Zio menoleh dan menatap tajam. “Nggak apa-apa. Lain kali hati-hati.” Pandangan Ryan tertuju pada name tag yang dikenakan Zio, Kenzio Vallerio, Sales Executive. Sebuah ide melintas di benaknya. “Mas, sales mobil di dekat sini ya?” tanyanya santai. Zio mengangguk. “Iya. Kalau ada waktu, boleh mampir. Kami punya banyak unit baru.” “Pas banget,” balas Ryan. “Saya memang lagi cari mobil buat kerja. Boleh simpan kontak Mas?” Zio merogoh saku kemejanya dan menyerahkan kartu nama bertuliskan: Kenzio Vallerio – Sales Executive, lengkap dengan nomor dan alamat showroom. Ryan menerima kartu itu, matanya memperhatikan tulisan nama di sana agak lama. “Kenzio Vallerio…” gumamnya lirih. “Terima kasih, Mas Zio. Kayaknya saya bakal sering ganggu nanti.” Zio tersenyum sopan. Tapi hatinya menegang. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya tidak tenang. “Saya tunggu kabarnya,” ucap Zio singkat. Ryan berbalik, berjalan santai. Namun setelah cukup jauh, ia menatap kartu nama itu sekali lagi. Senyumnya berubah gelap. “Akhirnya... kita bertemu, Lucanir. Aku akan membuatmu ingat semuanya.” Zio masih berdiri di tempat. Perasaan aneh di dadanya tak juga pergi. Pria itu seperti membawa sesuatu—sesuatu yang bisa mengguncang segalanya. Ryan pun bersiap memulai misinya. Satu per satu. — Alea melihat sesosok wanita dergaun merah dengan rambut hitam ikal. Rambut wanita itu sama persis yang ia miliki serta kulit yang sama. Hanya membedakan kulit wanita itu lebih pucat. Alea sedikit ragu untuk mendekatinya karena yang ada pikirannya adalah itu hantu. “Apa itu hantu? Gak mungkin sore-sore ada hantu” “Kenapa baju nya seperti baju jaman dulu?“ Gumam Alea dalam hati. Alea melangkah perlahan dan memberanikan diri, semakin dekat Alea melangkah mulai terdengar nyanyian wanita. Suaranya terdengar sedih dan menghayati. Tetapi bagi Alea terdengar seram. “Hmmm, eyðimörk sára, blóðrök fyllir mold Herblær ber nafn þitt, þú brotna sál Hönd mín teygir til himins rauðs En þér glötuðust í þoku sögunnar...“ Alea bergedik ngeri karena suaranya seperti menyimpan kesedihan. “Hvar eru börnin mín, fædd úr legi mínu? Þúsund ár hef ég beðið, í beiskri svefni Maður minn týndur í tíma, aldrei snúinn En ég er hér enn... syngjandi í leit þinni...“ “Bahasa ini seperti gak asing di aku” pikirnya sambil mendengarkan. “Ég reisti altari úr beinum og tárum Kallaði á anda þína með loga þúsund vitlausra kerta Hverja nótt rist ég nafn þitt á stein Og hvísla: “Þú ert mitt, barn mitt…” “Ég er móðir... ei dauð... ei horfin... Ég bíð... í hverri órólegri draum Barn mitt... kom heim...“ (Terjemahan) “Hmmm,Sunyi tanah luka, berdebu darah Angin perang membawa namamu, wahai jiwa yang patah Tanganku menggapai, langit memerah Tapi kalian lenyap di kabut sejarah... Di mana anak-anakku, dari rahimku terlahir? Beribu tahun kutunggu, dalam tidur yang getir Suamiku tertelan waktu, tak pernah kembali Tapi aku masih di sini... mencarimu dalam nyanyi... Kubangun altar dari tulang dan air mata Kupanggil rohmu lewat nyala seribu lilin gila Setiap malam, kuhamparkan nama di batu Sambil berbisik: “Kau milikku, anakku…” Aku ibu... tak mati... tak punah... Kutunggu... di tiap mimpi yang gundah... Anakku... pulanglah...“Zio menatap kalung itu lama, seolah hendak menolak untuk mempercayai semua ini adalah nyata. Tapi sorot mata Ryan terlalu yakin, terlalu tahu, hingga sulit untuk dianggap sekadar omong kosong.“Kenapa kamu tahu nama adikku… dan semua hal ini?” bisiknya, nyaris tak terdengar.Ryan tidak langsung menjawab. Ia malah menyimpan kembali kalung itu ke saku dalam jaketnya, lalu menoleh ke arah Zio dengan senyum samar.“Kadang, jawaban nggak datang dalam satu percakapan, Zio. Tapi bisa muncul… kalau kamu berani mengingatnya sendiri.”Zio mengernyit. “Mengingat apa?”“Dirimu. Yang dulu.” Ryan mengedip pelan. “Dan juga siapa Alea sebenarnya.”Zio makin gelisah. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Ryan berbalik, seolah semuanya hanyalah obrolan ringan yang bisa dilupakan begitu saja.“Oh iya,” ucap Ryan santai, mengeluarkan map coklat dari tas kecil yang dibawanya. “Hampir lupa. Ini semua berkas untuk pembelian mobilnya. Surat-surat identitas, bukti transfer, NPWP. Kamu bisa langsung pros
Langit malam kian berat. Di atas kota, awan menggulung gelap, seakan menahan sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Alea baru membuka ponselnya setelah sepanjang hari tak membuka ponsel. “Reihan? Kenapa dia bisa tau kalau aku sakit?“ »”Alea kamu sakit? Apa aku boleh menjengukmu?“ »”Tadi aku mau ke rumahmu tapi sepertinya kamu gak mau di ganggu.“ »”Kalau masih sakit jangan paksakan kerja, Oke.“ Pesan yang Reihan kirimkan membuat hati Alea tersentuh. “Kalau aku gak kerja nanti di potong banyak.“ Alea mulai berpikir. “Reihan ternyata perhatian juga” batin Alea. Alea menghela napas perlahan, menatap layar ponselnya yang menyala dalam temaram kamarnya. Ia merasa tubuhnya masih lemah, tapi beban pikirannya jauh lebih berat dari rasa sakit itu sendiri. Jari-jarinya sempat ragu. Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Seolah tak ada kata yang cukup tepat untuk menjawab perhatian tulus yang tiba-tiba datang dari Reihan. Akhirnya, ia membiark
___Sementara di sisi lain Reihan mencari sosok yang ia cari untuk mengisi hari-harinya.“Alea tumben gak kelihatan” batin Reihan .Reihan langsung memesan Americano Coffe sambil mencari sosok yang ia cari.“Maaf kak, hari ini Alea libur?“ Tanya Reihan hati-hati.“Alea hari ini izin karena demam, dan lagian Alea baru ini izin sakit” jawab rekan kerja Alea.Reihan mengangguk mengerti, seharusnya kemarin dia ke kafe agar melihat kondisi Alea sebelum demam.Reihan duduk di pojok kafe yang biasa ditempati Alea saat istirahat. Kursi itu kosong, tapi seolah masih menyimpan kehadiran gadis itu, senyum tipisnya, suara tawanya yang jarang tapi menenangkan, dan tatapan matanya yang kadang melamun, kadang menusuk.Ia menyeruput Americano-nya pelan, tapi pahit kopi tak bisa menyaingi kegelisahan di dadanya. Pandangannya tertuju ke luar jendela, menyusuri jalanan, berharap Alea muncul tiba-tiba sambil tertawa dan berkata bahwa dia hanya bercanda.Tapi tidak. Tidak hari ini.Dan entah kenapa, hatin
Nyanyian dengan bahasa asing yang tidak di mengerti Alea seolah mengingatkan sesuatu tapi Alea belum bisa mengingat.Perempuan bergaun merah itu mengayunkan ayunan saat Alea sedikit lagi mendekat ke arahnya.“Lucanir, Lunathys di mana kalian?“Ucap pelan perempuan itu.Alea tercengang mendegar nama Lucanir dan Lunathys.Perasaan campur aduk anatara terkejut dan seperti tak asing baginya.Alea melanjutkan langkah nya yang terhenti agar mengetahui siapa wanita itu.Langkah demi langkah Alea paksakan karena rasa penasarannya lebih besar dari rasa takutnya.Ketika beberapa langkah lagi, kabut tebal langsung menyerbu perempuan itu dan akhirnya menghilang. Hanya ayunan kayu tua yang tertinggal.“Apa benar dia hantu? Kenapa tiba-tiba menghilang” gumam Alea panik.“Ayah, tolong Lea”“Lea gak tau ini dimana”“Kak Zio, tolong aku” Alea mulai menangis dan memanggil orang-orang yang ada di benaknya.Alea perlahan melangkah perlahan mencoba menenangkan diri. Kabut tebal yang semakin lama menipis m
Reihan duduk termenung sambil menyantap sarapan seadanya, roti panggang setengah gosong dan kopi hitam yang sudah dingin. Tak ada kegiatan kampus hari ini, dan ia pun tak terikat pada pekerjaan tetap seperti orang kebanyakan. Hidupnya… lebih menyerupai bayangan digital yang tak tercatat. Ia bekerja di jaringan bawah tanah sebagai penyedia jasa IT independen untuk hal-hal yang tak ingin dibicarakan orang secara terbuka: pemulihan akun yang dibobol, peretasan ringan untuk kepentingan pribadi, hingga menghapus jejak digital seseorang tentu jika bayaran cocok. Laptopnya menyala di meja, menampilkan beberapa permintaan yang masuk. Satu di antaranya meminta bantuan untuk mengambil kembali akun milik pacarnya yang “diretas mantan.” Yang lain menginginkan akses ke server kantor untuk "pengecekan data kecurangan internal." Reihan tak banyak bertanya. Ia memilih klien berdasarkan insting, bukan empati. Namun pagi ini, pikirannya lebih tertuju pada satu hal: Alea. Ia membuka folder khusus ya
Reihan duduk lebih lama dari biasanya di kafe itu, pandangannya tertancap ke arah Ryan yang tadi berbincang santai dengan Alea. Ia tidak menyukai cara pria itu berbicara terlalu akrab, terlalu nyaman, seolah mereka sudah saling kenal lama. Terlebih, Reihan bisa membaca bahasa tubuh Alea. Meski gadis itu tampak tenang, ada kegelisahan samar di matanya reaksi instingtif terhadap sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya.Dan Reihan mempercayai insting Alea, bahkan lebih dari dirinya sendiri.Setelah Ryan pergi, Reihan mendekat ke meja bar.“Alea, tadi cowok itu siapa?” tanyanya pelan, tapi tatapannya tajam.Alea sedikit terkejut. “Gak tahu juga. Kayaknya pelanggan baru. Tapi dia bawa buku-buku aneh, gambar-gambar zaman dulu gitu…”Reihan menyipitkan mata. “Dia pernah datang ke sini sebelumnya?”Alea menggeleng. “Baru belakangan ini sering nongkrong. Tapi gak ganggu kok, paling cuma ngobrol bentar.”Reihan mengangguk perlahan, tapi pikirannya berputar cepat. Ia bukan hanya sekadar peduli kar
Hari-hari berjalan lambat bagi Alea, tapi ia sudah terbiasa dengan ritmenya. Pagi bekerja, sore membantu di rumah, malam meringkuk di kasur tipis dengan pikiran-pikiran yang tak pernah benar-benar pergi. Namun, sejak beberapa hari terakhir, perasaan tak nyaman mulai menghantuinya. Seolah ada yang mengintai... tapi selalu menghilang saat ia menoleh.Zio pun tak banyak bicara akhir-akhir ini. Wajahnya pucat, dan beberapa kali Alea melihatnya muntah diam-diam di kamar mandi. Saat ditanya, kakaknya hanya menjawab pendek, “Masuk angin biasa.”Tapi Alea tahu itu bukan hal biasa.Sore itu, saat kafe sedikit lengang, Reihan kembali datang. Tapi kali ini, ia tak sendiri. Bersamanya ada seorang perempuan tinggi berambut panjang, tampak seperti dosen atau kakak tingkat. Mereka terlihat akrab, namun pandangan Reihan tetap sempat terlempar ke arah Alea yang tengah menuang kopi ke gelas pelanggan.Setelah perempuan itu pergi, Reihan menghampiri meja bar.“Alea,” panggilnya pelan.Alea menoleh, sedi
Matahari mulai terbenam menandakan hari mulai helap. Alea baru saja pulang dari kafe tempatnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wajah lelah tergambar jelas di paras polosnya.Ia bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe tak jauh dari rumah yang ia tinggali bersama ayah dan kakak laki-lakinya.Dalam perjalanan pulang, ia melihat anak-anak seumurannya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Seharusnya Alea juga masih sekolah dan mengenakan seragam yang sama, namun karena keterbatasan ekonomi, ia harus ikut membantu keluarganya.Tatapan Alea teduh, penuh kerinduan akan kehidupan seperti mereka bersekolah dan memiliki banyak teman sebaya.Namun hidup tak pernah memberinya banyak pilihan. Ayahnya, yang dulunya seorang teknisi listrik, terpaksa banting setir menjadi buruh harian. Sementara kakaknya, Zio, belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Alea memilih menunda sekolahnya menggenggam mimpi dengan satu tangan, dan menahan kenyataan dengan tangan yang lain.Ia menunduk sam