Beranda / Romansa / Reihan: Enkripsi Perasaan / [ 4 ]-nyanyian di kabut sejarah

Share

[ 4 ]-nyanyian di kabut sejarah

Penulis: Lunaraelle
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-25 20:26:02

Reihan duduk termenung sambil menyantap sarapan seadanya, roti panggang setengah gosong dan kopi hitam yang sudah dingin. Tak ada kegiatan kampus hari ini, dan ia pun tak terikat pada pekerjaan tetap seperti orang kebanyakan.

Hidupnya… lebih menyerupai bayangan digital yang tak tercatat. Ia bekerja di jaringan bawah tanah sebagai penyedia jasa IT independen untuk hal-hal yang tak ingin dibicarakan orang secara terbuka: pemulihan akun yang dibobol, peretasan ringan untuk kepentingan pribadi, hingga menghapus jejak digital seseorang tentu jika bayaran cocok.

Laptopnya menyala di meja, menampilkan beberapa permintaan yang masuk. Satu di antaranya meminta bantuan untuk mengambil kembali akun milik pacarnya yang “diretas mantan.” Yang lain menginginkan akses ke server kantor untuk "pengecekan data kecurangan internal." Reihan tak banyak bertanya. Ia memilih klien berdasarkan insting, bukan empati.

Namun pagi ini, pikirannya lebih tertuju pada satu hal: Alea.

Ia membuka folder khusus yang ia beri nama “.mirage.” hanya dia yang tahu maknanya. Di dalamnya, tersimpan puluhan foto Alea yang diambil diam-diam, potongan percakapan dari rekaman suara, hingga tangkapan layar aktivitas digital yang berhasil Reihan kloning melalui nomor ponsel Alea.

Bukan karena ia seorang penguntit. Tapi karena ia merasa… harus melindunginya.

Bahkan jika Alea tak pernah memintanya.

Bahkan jika Alea tak pernah tahu.

Reihan menyeruput sisa kopi dinginnya, lalu membuka rekaman terbaru dari kamera tersembunyi yang ia pasang di tiang lampu dekat jendela kafe.

Di dalam video itu, Ryan terlihat duduk santai. Kamera merekam jelas aktivitas di ponsel yang sedang ia buka. Email, akun, hingga aktivitas digital pria itu terekam tanpa ia sadari.

Reihan memperbesar tangkapan layar dari rekaman itu. Jemarinya lincah menelusuri setiap frame, memperhatikan detail demi detail yang mungkin terlewat oleh mata biasa.

“Aryan Purnama?” gumamnya pelan. “Jadi… nama laki-laki itu Aryan, biasa dipanggil Ryan?”

Rasa penasarannya semakin dalam. Ia tahu, ini bukan pertemuan biasa.

---

Di sisi lain, Selthara kembali menghubungi Ryan melalui benda aneh yang menyerupai ponsel.

“Kau harus lebih hati-hati. Ada seseorang yang mulai curiga padamu.”

“Siapa? Apakah laki-laki yang selalu duduk di kafe itu?” tanya Ryan penuh selidik.

“Aku tak yakin. Tapi yang jelas, dia bisa mengganggu misimu.”

Sambungan itu terputus seketika. Suara menghilang, meninggalkan denging aneh.

“Sialan… pasti laki-laki itu yang mengacau.” Batin Ryan kesal.

“Aku harus cepat mengembalikan ingatan Alea sebelum terlalu banyak yang ikut campur.”

---

Sementara itu, Zio berusaha tetap profesional dalam pekerjaannya sebagai sales mobil. Ia menjaga agar para calon pembeli merasa nyaman dan tertarik dengan penawaran-penawaran yang disampaikannya.

Tak hanya komunikasinya yang memikat, parasnya yang rupawan dan gaya bicaranya yang tenang membuat banyak pelanggan, terutama wanita merasa betah berlama-lama meski hanya untuk bertanya-tanya.

Namun Zio sudah terbiasa dengan itu semua. Ia tahu kapan harus tersenyum sopan, dan kapan harus kembali menggiring percakapan ke inti penjualan. Baginya, pekerjaan ini bukan hanya soal menjual mobil, tapi juga menjaga citra. Di dunia yang menilai dari kesan pertama, penampilan adalah senjata.

Meski begitu, ada satu hal yang tak bisa ia manipulasi: pikirannya yang terus melayang pada Alea.

Setiap kali ponselnya berbunyi, ia berharap itu dari adiknya. Tapi sejak pesan terakhir siang tadi, Alea belum juga membalas. Padahal biasanya, ia langsung menjawab, walau hanya satu kalimat singkat.

"Zio." Suara rekan kerja memecah lamunannya. “Pembeli yang tadi udah siap tanda tangan kontrak. Kamu bisa bantu?”

Zio mengangguk, tersenyum profesional, dan segera menjalankan tugas. Tapi hatinya tertinggal di tempat lain, bersama kekhawatiran yang tak bisa ia jelaskan.

Hari itu berjalan lambat. Senja mulai turun, tapi showroom tempat Zio bekerja masih cukup ramai. Satu per satu pelanggan datang dan pergi. Ada yang benar-benar berniat membeli, ada pula yang sekadar mencuri pandang.

Zio tak heran. Ia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Tapi di balik senyum dan keramahan itu, ia tak pernah membiarkan siapa pun benar-benar masuk.

“Zio, kamu pegang yang ini ya. Katanya mau test drive,” ujar salah satu rekan kerja, menyodorkan kunci dan data pembeli.

Zio menerima kunci itu, lalu melangkah ke area parkir. Udara mulai dingin. Langit mengguratkan warna oranye keemasan.

Namun ada yang mengganggu. Sebuah perasaan asing menggelitik tengkuknya seperti sedang diperhatikan.

Ia berhenti sejenak. Menatap sekeliling. Kosong. Hanya deretan mobil berkilau dan pantulan cahaya senja di kaca-kaca. Tapi rasa itu tetap ada.

Usai sesi test drive, Zio kembali ke ruang kerja. Saat hendak memainkan ponsel, ia melihat bayangan aneh di cermin kecil bayangan yang memantulkan wajahnya… rusak. Bola mata kanannya hilang.

Zio tidak terkejut. Sudah beberapa hari ini, bayangan itu muncul.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

Pantulan itu memperlihatkan kulitnya yang terkelupas, darah mengering di pipi, dan rongga kosong di sisi wajah. Tapi ia tetap tenang. Hanya tangannya yang menggenggam erat, seolah tubuhnya memberontak pada kenyataan yang hanya bisa dilihat melalui cermin.

Ia mencoba memotret bayangan itu, namun hasilnya selalu menunjukkan wajahnya yang normal.

Dunia nyata dan cermin seolah berada di jalur berbeda.

Mual dan pusing menyerangnya lagi. Ia pun memutuskan pulang lebih awal, berharap hal itu tak terulang lagi.

---

Dari kejauhan, Ryan mengamati Zio. Ia menggenggam sebuah benda logam bundar Core Seeker artefak kuno yang mampu mendeteksi energi spiritual dari jiwa-jiwa lama yang bereinkarnasi.

Cahaya ungu dari benda itu berdenyut, makin terang saat Zio semakin dekat.

“Kalau benar dia Lucanir… kenapa belum menunjukkan tanda-tanda?”

Zio memberi makan kucing jalanan di trotoar. Tak menyadari ada seseorang yang memperhatikannya dari kejauhan.

“Itu dia,” gumam Ryan. Ia segera bergerak mendekat.

Core Seeker berpendar lebih terang. Ryan pura-pura menabrak Zio dari belakang.

“Maaf, saya nggak sengaja, Mas,” ucap Ryan cepat.

Zio menoleh dan menatap tajam. “Nggak apa-apa. Lain kali hati-hati.”

Pandangan Ryan tertuju pada name tag yang dikenakan Zio, Kenzio Vallerio, Sales Executive. Sebuah ide melintas di benaknya.

“Mas, sales mobil di dekat sini ya?” tanyanya santai.

Zio mengangguk. “Iya. Kalau ada waktu, boleh mampir. Kami punya banyak unit baru.”

“Pas banget,” balas Ryan. “Saya memang lagi cari mobil buat kerja. Boleh simpan kontak Mas?”

Zio merogoh saku kemejanya dan menyerahkan kartu nama bertuliskan:

Kenzio Vallerio – Sales Executive, lengkap dengan nomor dan alamat showroom.

Ryan menerima kartu itu, matanya memperhatikan tulisan nama di sana agak lama.

“Kenzio Vallerio…” gumamnya lirih. “Terima kasih, Mas Zio. Kayaknya saya bakal sering ganggu nanti.”

Zio tersenyum sopan. Tapi hatinya menegang. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya tidak tenang.

“Saya tunggu kabarnya,” ucap Zio singkat.

Ryan berbalik, berjalan santai. Namun setelah cukup jauh, ia menatap kartu nama itu sekali lagi. Senyumnya berubah gelap.

“Akhirnya... kita bertemu, Lucanir. Aku akan membuatmu ingat semuanya.”

Zio masih berdiri di tempat. Perasaan aneh di dadanya tak juga pergi. Pria itu seperti membawa sesuatu—sesuatu yang bisa mengguncang segalanya.

Ryan pun bersiap memulai misinya. Satu per satu.

Alea melihat sesosok wanita dergaun merah dengan rambut hitam ikal.

Rambut wanita itu sama persis yang ia miliki serta kulit yang sama. Hanya membedakan kulit wanita itu lebih pucat.

Alea sedikit ragu untuk mendekatinya karena yang ada pikirannya adalah itu hantu.

“Apa itu hantu? Gak mungkin sore-sore ada hantu”

“Kenapa baju nya seperti baju jaman dulu?“

Gumam Alea dalam hati.

Alea melangkah perlahan dan memberanikan diri, semakin dekat Alea melangkah mulai terdengar nyanyian wanita.

Suaranya terdengar sedih dan menghayati. Tetapi bagi Alea terdengar seram.

“Hmmm, eyðimörk sára, blóðrök fyllir mold

Herblær ber nafn þitt, þú brotna sál

Hönd mín teygir til himins rauðs

En þér glötuðust í þoku sögunnar...“

Alea bergedik ngeri karena suaranya seperti menyimpan kesedihan.

“Hvar eru börnin mín, fædd úr legi mínu?

Þúsund ár hef ég beðið, í beiskri svefni

Maður minn týndur í tíma, aldrei snúinn

En ég er hér enn... syngjandi í leit þinni...“

“Bahasa ini seperti gak asing di aku” pikirnya sambil mendengarkan.

“Ég reisti altari úr beinum og tárum

Kallaði á anda þína með loga þúsund vitlausra kerta

Hverja nótt rist ég nafn þitt á stein

Og hvísla: “Þú ert mitt, barn mitt…”

“Ég er móðir... ei dauð... ei horfin...

Ég bíð... í hverri órólegri draum

Barn mitt... kom heim...“

(Terjemahan)

“Hmmm,Sunyi tanah luka, berdebu darah

Angin perang membawa namamu, wahai jiwa yang patah

Tanganku menggapai, langit memerah

Tapi kalian lenyap di kabut sejarah...

Di mana anak-anakku, dari rahimku terlahir?

Beribu tahun kutunggu, dalam tidur yang getir

Suamiku tertelan waktu, tak pernah kembali

Tapi aku masih di sini... mencarimu dalam nyanyi...

Kubangun altar dari tulang dan air mata

Kupanggil rohmu lewat nyala seribu lilin gila

Setiap malam, kuhamparkan nama di batu

Sambil berbisik: “Kau milikku, anakku…”

Aku ibu... tak mati... tak punah...

Kutunggu... di tiap mimpi yang gundah...

Anakku... pulanglah...“

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 12 ]-Rahasia Dan Kenjenggkelan

    Di dalam kamar yang remang, Alea duduk terpaku di tepi ranjang, memandangi sebuah liontin yang tergenggam erat di tangannya."Apa benar… kalau aku memakainya, semua mimpi dan kejadian aneh itu akan berhenti?" pikirnya, diliputi kebingungan.Perlahan, ia bangkit dan melangkah menuju cermin. Sorot matanya masih ragu, tapi ada kekaguman samar di sana."Entahlah... yang jelas, kalung ini memang cantik," gumamnya pelan, sebelum akhirnya ia mengalungkan liontin itu ke leher, menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan yang belum bisa ia jelaskan.“Cantik…” Alea tersenyum kecil ke arah cermin. “Tapi aku masih lebih cantik dari kalung ini,” gumamnya percaya diri, mata tak lepas dari pantulan dirinya.Tanpa ia sadari, pintu kamar perlahan terbuka. Sosok ayahnya berdiri di ambang pintu, memperhatikan putrinya yang sejak tadi berbicara sendiri di depan cermin.“Lea,” panggil sang ayah, suaranya lembut tapi jelas.Alea terlonjak sedikit dan buru-buru menoleh. “Ayah? Sejak kapan di situ?”“

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 11 ]-Antara Cinta dan Perintah

    Di tempat lain, sebuah ruangan gelap yang remang-remang, hanya diterangi cahaya merah dari kristal yang tergantung di langit-langit... Sesosok perempuan berdiri membelakangi jendela. Rambutnya panjang menjuntai, gaun merahnya menjuntai anggun. “Lucanir... Lunatyhs... kalian akhirnya mulai sadar.” Ia berbalik, memperlihatkan wajah yang cantik namun penuh luka masa lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh misteri. “Aku menunggu kalian. Dunia ini belum selesai...” Perempuan itu melangkah perlahan menuju sebuah meja batu yang dipenuhi gulungan naskah tua, simbol-simbol kuno, dan sebuah cermin oval yang mengambang tanpa sanggahan di udara. Bayangan dalam cermin tampak buram, namun perlahan mulai memperlihatkan dua sosok: Zio dan Alea, atau lebih tepatnya, Lucanir dan Lunatyhs. “Kalian adalah kunci,” bisiknya pelan. “Bukan hanya untuk membuka masa lalu... tapi juga untuk memutus siklus kutukan yang diwariskan sejak darah pertama ditumpahkan.” Tiba-tiba, dari balik tirai bayangan di

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 10 ]- Kita Bukan Orang Biasa

    Keesokan paginya, Zio memandangi adiknya yang sedang bersiap pergi bekerja. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi merasa ini bukan waktu yang tepat.“Lea,” panggil Zio pelan.Alea menoleh, matanya penuh tanya.“Ada apa, Kak?”Zio melangkah mendekat, suaranya menurun jadi bisikan.“Ada sesuatu yang harus Kakak sampaikan, tentang kejadian-kejadian yang kamu alami belakangan ini.”Alea mengernyit, bingung.“Tapi, Kak, di sini nggak enak, Ayah bisa dengar.”“Kalau begitu, bagaimana kalau nanti kita bertemu di taman dekat kafe?” usul Alea.Zio mengangguk pelan, setuju.___Sesampainya di tempat kerja, Alea langsung sibuk melayani pelanggan dengan penuh semangat dan teliti. Ia begitu fokus hingga tak menyadari Reihan yang baru saja masuk memperhatikannya dari pintu, lalu tersenyum kecil.“Alea, aku mau pesan Machiato dan dessert coklat, ya,” panggil Reihan dengan suara lembut.Alea tersenyum dan mengangguk cepat.“Baik, Kak. Tunggu sebentar, ya.”Ia segera mengambil pesanan Reihan dengan cekata

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 9 ]-Core Seeker: Gerbang yang Terbuka

    Setelah pulang dari showroom di mal, Zio memilih berjalan kaki daripada memesan kendaraan. Meski jaraknya cukup jauh, ia tetap melangkah dengan letih. Saat sampai rumah ia langsung merebahkan tubuhnya karena letih dan pikiran yang masih melayang mengingat perkataan Ryan. “Kenapa dia bisa kenal dengan Alea?“ Pikir Zio. Tak lama Alea muncul dari kamar yang hendak ke dapur. Zio hanya melirik sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Tatapannya kosong, pikirannya masih dipenuhi tanya. Alea, yang menyadari keberadaan Zio di ruang tamu, sempat berhenti sejenak. “Kak, baru pulang?” tanyanya sambil membuka kulkas. Zio mengangguk pelan. “Iya...” Hening sejenak. Suara kulkas yang ditutup pelan menjadi satu-satunya bunyi di antara mereka. Alea menoleh, menatap kakaknya yang terlihat lebih diam dari biasanya. “Kakak kenapa? Kelihatan capek banget.” Zio menarik napas, lalu duduk tegak. Ia menatap Alea, ragu-ragu. “Alea...” ucapnya pelan. “Kamu kenal seseorang bernama Ryan?” Alea

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 8 ]-Mengingat Yang Terlupa

    Zio menatap kalung itu lama, seolah hendak menolak untuk mempercayai semua ini adalah nyata. Tapi sorot mata Ryan terlalu yakin, terlalu tahu, hingga sulit untuk dianggap sekadar omong kosong. “Kenapa kamu tahu nama adikku… dan semua hal ini?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Ryan tidak langsung menjawab. Ia malah menyimpan kembali kalung itu ke saku dalam jaketnya, lalu menoleh ke arah Zio dengan senyum samar. “Kadang, jawaban nggak datang dalam satu percakapan, Zio. Tapi bisa muncul… kalau kamu berani mengingatnya sendiri.” Zio mengernyit. “Mengingat apa?” “Dirimu. Yang dulu.” Ryan mengedip pelan. “Dan juga siapa Alea sebenarnya.” Zio makin gelisah. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Ryan berbalik, seolah semuanya hanyalah obrolan ringan yang bisa dilupakan begitu saja. “Oh iya,” ucap Ryan santai, mengeluarkan map coklat dari tas kecil yang dibawanya. “Hampir lupa. Ini semua berkas untuk pembelian mobilnya. Surat-surat identitas, bukti transfer, NPWP. Kamu bisa

  • Reihan: Enkripsi Perasaan   [ 7 ]-Mereka yang terhubung

    Langit malam kian berat. Di atas kota, awan menggulung gelap, seakan menahan sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Alea baru membuka ponselnya setelah sepanjang hari tak membuka ponsel. “Reihan? Kenapa dia bisa tau kalau aku sakit?“ »”Alea kamu sakit? Apa aku boleh menjengukmu?“ »”Tadi aku mau ke rumahmu tapi sepertinya kamu gak mau di ganggu.“ »”Kalau masih sakit jangan paksakan kerja, Oke.“ Pesan yang Reihan kirimkan membuat hati Alea tersentuh. “Kalau aku gak kerja nanti di potong banyak.“ Alea mulai berpikir. “Reihan ternyata perhatian juga” batin Alea. Alea menghela napas perlahan, menatap layar ponselnya yang menyala dalam temaram kamarnya. Ia merasa tubuhnya masih lemah, tapi beban pikirannya jauh lebih berat dari rasa sakit itu sendiri. Jari-jarinya sempat ragu. Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Seolah tak ada kata yang cukup tepat untuk menjawab perhatian tulus yang tiba-tiba datang dari Reihan. Akhirnya, ia membiark

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status