"Amel mana sih, tumben pulangnya lama banget nyampe rumah." Arum menggendong Aisha sembari sesekali menengok ke arah luar untuk memastikan Amel sudah datang atau belum.
Padahal hanya telat beberapa menit saja, tetapi dibilang lama. Ia sudah pegal menggendong Aisha. "Aisha, disini dulu ya Nenek mau ke kamar mandi." ucapnya sambil menurunkan Aisha di kursi depan. Bukannya ke kamar mandi, Arum malah ke kamar untuk merebahkan tubuhnya. Ia meninggalkan cucunya sendirian di depan. Tak lama kemudian, terdengar suara motor matic dari dalam rumah. Dengan tangkas Aisha langsung berjalan menghampiri suara motor tersebut. Ya, Aisha adalah anak yang pintar, ia tau bahwa suara motor itu adalah ibunya. Aisha menyambutnya dengan berdiri tepat di depan pintu, dengan wajah cerianya. "Maa Syaa Allah... Anak Ibun, nungguin disini? Kamu pinter banget sayang." Rasa lelah Amel karena bekerja, seketika hilang karena melihat senyum putrinya. "Mama mana? Kok gak sama Aisha." Amel terheran, ia menatap di sekelilingnya namun tak menjumpai Arum ada disana. Ia menggendong Aisha dan mencari Arum. "Apa di dalam kamar ya." Batinnya. Ia pun mencari Arum ke kamarnya. Kreekk! Suara pintu terbuka, wanita paruh baya yang sedang merebahkan tubuhnya sambil bermain dengan gawainya itu terkejut karena Amel. "Kamu itu, kalau mau masuk ketuk pintu dulu dong, gak sopan banget jadi mantu." Refleks Arum langsung terbangun dari tidurnya. "Iya, Ma.. Maaf. Amel kira Mama kemana, kirain gak ada di kamar. Soalnya pas Amel pulang tadi ngelihat Aisha sendirian di ruang depan." "Sengaja Mama tinggalin, kamu lama banget ditungguin gak pulang-pulang." Astaghfirullah... Belum juga ada lima belas menit Amel telat, tapi Arum mengomelinya seakan-akan ia telat berjam-jam. "Tadi jalanan macet, Ma. Terus Amel nyimpang dulu beliin kue keju buat Aisha dan Tifa. Ini punya Tifa, Ma." Amel memberikan plastik yang berisikan kue pada Arum. "Ya sudah, sana keluar dari kamar Mama. Nanti kue nya biar Mama kasih ke Mega. Oh iya, satu lagi. Itu piring jangan lupa di cuciin, numpuk tuh." Bukannya ucapan terimakasih yang diterima Amel, ini malah menyuruhnya untuk keluar kamar. Belum lagi baru saja ia datang, Amel sudah di suguhkan untuk mencuci piring-piring kotor. "Ibun, Aish apel lom makan." (Ibun, Aish lapar belum makan) "Siang tadi Aish di suapin makan gak sama Nenek?" Tanya Amel. Walaupun baru berumur dua puluh bulan, namun Aisha sedikit-sedikit sudah bisa merespon ucapan di sekelilingnya. "Dak, Bun. Aish dak makan." jawabnya dengan tangan melambai-lambai, memberi kode bahwa ia belum di beri makan oleh Arum. "Ya Allah. Kamu pasti laper banget ya sayang, ini makan kue dulu. Ibun bawain kue keju buat Aisha ya... Setelah itu kita makan nasi, oke?" Amel mengacungkan jempol pada putrinya. "Mama tega banget gak kasih makan Aisha, dia jadi laper kaya gini. Mestinya kalau memang gak suka sama aku, gak apa-apa. Mau memperlakukan aku kaya gimanapun juga bakal berusaha sabar, tapi jika Aisha yang diperlukan seperti ini, rasanya aku gak terima." Batinnya sambil menatap Aisha sedang duduk dan lahap memakan kue. Rasanya, Amel sudah kesal dan sakit hati karena perlakuan Mama mertuanya. Ia mencoba untuk tenang dan tak gegabah. Berusaha santun pada orang yang lebih tua darinya, terlebih ia adalah Mama mertuanya sendiri. Usai memastikan Aisha sudah kenyang, Amel langsung ke dapur untuk mencuci piring-piring yang kotor. Ia mencoba menahan semua rasa lelahnya, walau sebenarnya ia merasa sudah tak sanggup lagi untuk tinggal di rumah ini. *** Waktu malam pun telah tiba, saatnya Amel untuk membuat makan malam. Semua keluarga menikmati makan bersama di meja makan, termasuk Aryo. Sementara, Amel dan Aisha hanya melihatnya dari pintu dekat dapur. "Aryo, besok kita makan malam di luar ya. Udah lama Mama gak keluar makan malam bareng," ujar Arum sambil menikmati masakan menantunya. "Ayo, Ma. Mau kemana kita?" Terimakasih sudah membaca karya Pena Ica. Akan ada kejutan untuk bab-bab selanjutnya ya Kak. Kejutan untuk para B-E-N-A-L-U 😂❤️"Lo denger gak apa kata bos gue? Apa mau gue sumpelin langsung ke mul ut lo?" Tanya salah satu napi yang lainnya."I-iya, Bang. Saya denger.""Gitu dong!" ujarnya sambil melemparkan bungkus yang berisi nasi bekas."Apes banget hidup disini, gak ada perasaan, udah mirip sama bina tang. Aku harus segera menghubungi Mama, agar mempercepat untuk bertemu dengan Amel dan segera membebaskan aku," batinnya sambil terus memandangi nasi bekas, Aryo merasa risih jika harus memakan nasi itu.Namun tak ada pilihan lagi selain menghabiskan nasi bekas itu, karena para napi yang lainnya juga memperhatikan gerak-gerik Aryo. Dengan terpaksa, lelaki itu memakannya, walau dalam hati sebenarnya ingin muntah.___Arum kini sudah tiba di klinik bersama Risma, ia langsung dilarikan ke UGD karena pendara-ha nya semakin hebat.Tubuhnya lemas terkulai hingga nyaris membuat Risma tak sadarkan diri. Dokter segera mengecek kondisinya, karena gumpalan da rah mulai keluar dari area sensi tifnya.Sementara dengan Aru
"Terus, langkah apa yang akan Mama ambil untuk sekarang? Apa Mama akan tetap mewakili Mas Aryo untuk mempersulit proses perceraian. Atau Mama memilih mengalah dan pasrah jika Mas Aryo dan Mbak Amel benar-benar sah bercerai?" Tanya Mega. Ia turut merasakan tegang bercampur resah, nyalinya untuk menghadapi Amel sudah tak se bar-bar dulu.Ia khawatir jika nantinya malah ikut terseret, karena dulu Mega pernah melakukan kekerasan terhadap Aisha hingga terluka. Bahkan, sampai sekarang Amel pun masih menyimpan bukti visum atas itu.Mega tak menyangka, Amel akan melakukan hal senekad ini. Ia benar-benar menjebloskan lelaki yang dulu pernah membuatnya mabuk kepayang tanpa rasa belas kasihan."Mbak Amel ke Mas Aryo aja bisa setega itu, padahal Mas Aryo adalah lelaki yang dulu pernah sangat ia cintai. Apalagi ke aku? Bisa habis aku dibuatnya," batinnya dengan dada yang berkembang kempis. Wajah wanita itu seketika nampak pias. Ia tak mau jika bernasib sama seperti Aryo."Yah, mau gak mau Mama har
"Semudah inikah Mama bisa mengucapkan kata maaf? Apa Mama gak ingat, bagaimana perlakuan Mama ke Amel waktu dulu? Dan bayangkan, berapa lama Amel menahan sabar atas sikap Mama yang zolim?""Mama menyesal Mel, gak ada yang bisa membantu Mama saat ini kecuali kamu. Karena kamu lah yang berkuasa untuk mencabut tuntutan itu," ujar Arum berusaha untuk terus memohon. Karena satu-satunya orang yang bisa membebaskan Aryo dari penjara adalah Amel.Sebenarnya, Aryo bisa keluar penjara dengan cepat, asal ia membayar denda sesuai dengan jumlah yang di tentukan. Namun, jangankan membayar denda, untuk kebutuhan sehari-hari saja sekarang keadaan keluarga mereka sangatlah sulit. Berbeda dengan yang dulu, uang mereka selalu utuh karena banyak bergantung dengan Amel."Iya, Mama menyesal karena baru tau kan kalau ternyata Amel gak seburuk dan semiskin yang Mama kira? Andai dari awal Mama mengetahui semua harta yang Amel punya, pasti Mama tak akan bersikap seperti itu, yang ada Mama bakal menjunjung ting
"Aku harus segera membawa suamiku ke klinik, agar ia cepat sembuh dan bisa bekerja lagi. Benar-benar kacau, jika sampai tak ada yang menafkahi keluarga ini. Secara, mau makan pakai apa? Sedangkan Aryo juga belum bebas, Daniel pun tak selalu bisa di andalkan. Aku memang mempunyai uang tabungan. Tapi sayang sekali jika harus merogoh tabungan hanya untuk makan sehari-hari. Apa gunanya aku mempunyai anak dan suami jika harus memakai uang tabungan?" ujar Arum sembari melirik ke arah jalan dari kaca mobil yang tertutup. Sekarang, ia dan Hakim sedang dalam perjalanan menuju klinik. "Ma, rasanya gak kuat. Kepala Ayah kaya di putar-putar, rasanya juga mual." Hakim terus memegangi kepala, sambil menahan mual yang kini terasa mengkocok isi perutnya."Ayah, ini juga kita lagi di jalan, bentar lagi juga sampe. Biar enak nanti sampe sana gak usah ngantri lama, karena hari sudah mulai siang."Mobil yang di tumpangi Arum dan Hakim kini sudah berhenti di parkiran sebelah kanan klinik, mereka segera m
Arum langsung memutuskan teleponnya dengan Mega, ia dibuat kaget dengan kehadiran Lia yang berbisik tepat di telinganya. "Bu Arum, apa anda mendengar ucapan saya?" "Iya, saya dengar.""Baik, semuanya sudah jelas. Anda bisa pergi dari sini secepatnya,""Bu, lantas bagaimana dengan Aryo? Kapan ia bisa bebas? Tolong, kasihanilah anak saya." Pinta Arum sedikit memelas."Maaf, yang lebih berhak untuk memutuskan anak Ibu bisa keluar dari tahanan bukan saya, tapi Amel. Dia lah yang mempunyai hak, kapan bisa mencabut tuntutan itu. Karena, yang bersangkutan disini sebagai korban ialah putri saya." "Tapi, apakah Ibu gak bisa untuk membujuk Amel? Di penjara sana tempat orang-orang krim!nal Bu, saya takut Aryo kenapa-napa.""Tadi sudah saya jelaskan ya Bu Arum, yang bisa mengeluarkan Aryo dari sana bukan saya, tapi Amel.""Sekarang Amel ada dimana, Bu? Tolong sebelum saya pergi. Saya ingin tau keberadaan Amel.""Anak saya lagi kerja Bu, gak bisa diganggu di jam-jam sekarang.""Baik, kalau begi
"Saya ingin Aryo di bebaskan, tolong. Ibu gak bisa jika selalu semena-mena terhadap kami.""Semena-mena anda bilang? Apakah menurut kalian, bahwa perilaku kami terhadap kalian ini tak pantas?" Lia berjalan mendekati Arum, tepat di sebelah kolam ikan yang menghiasi halaman rumahnya."Iya, memang anda tak pantas jika berperilaku seperti itu pada anak saya Bu. Apalagi Aryo itu ayahnya Aisha. Jika anak Bu Lia memang mau menggugat anak saya tolong kalian bersikap yang adil.""Adil apa yang anda maksud? Apakah selama ini anda berlaku adil kepada putri saya saat pertama kali ia sah menjadi menantu anda? Apakah anda memperlakukan Amel dengan baik dengan mengingat bagaimana cara Ibu mertuaharus bersikap kepada menantunya?" Lia mencerca Arum, ia mulai geram.Karena Lia paham dengan karakter besannya itu. Pasti Arum takkan terima jika putra sulungnya mendekam dalam tahanan. Arum sesaat hening tak bergeming di hadapan Lia."Bagaimana pun Aryo, ia tetap Ayah biologis dari Aisha Bu. Ibu gak boleh