Share

Membalas Pembunuh Suamiku
Membalas Pembunuh Suamiku
Penulis: pipitxomi

Mei 1

"Mei, maaf aku harus memberi kabar buruk untukmu hari ini." Mei sedang di kamar, menyortir laporan restorannya. Mendengar kalimat Dimas yang mencurigakan, dia langsung menghentikan kegiatannya.

"Ada apa, Dimas? Katakan!" desak Mei. Hatinya mendadak menjadi gundah.

Dimas adalah pemilik bengkel mobil langganan Mei. Dan Dimas tidak pernah meneleponnya seperti ini. Sepertinya Mei benar-benar akan mendengar berita yang sangat buruk hari ini.

"Beberapa hari yang lalu kau memintaku untuk memperbaiki mobilmu yang rusak akibat kecelakaanmu waktu itu. kau ingat?"

"Tentu! Tentu saja! Ada apa dengan mobil itu?"

"Ada yang aneh. Sepertinya ada yang sengaja meledakkan ban mobilmu hingga kau mengalami kecelakaan dengan suamimu."

Pensil yang sedang dipegang Mei langsung patah begitu saja karena dia meremasnya begitu kuat. Nafasnya seketika sesak seakan ada ratusan batu menghantam dadanya. Air matanya sudah terkumpul di ujung matanya. Dia harus melakukan sesuatu sebelum depresinya kembali muncul dan dia akan mengamuk.

Bayangan Albert, suaminya, meregang nyawa di depannya saat kecelakaan tunggal yang melibatkan mobil mereka melintas dengan cepat di pikirannya tanpa bisa dia cegah. Wajah tampan Albert penuh dengan darah. Kemejanya yang berwarna biru berubah merah karena darah. Mobil mereka berguling, menabrak semak-semak dan akhirnya berhenti setelah menghantam sebuah pohon di pinggir jalan. 

Luka Mei tidak cukup parah. Untung saja perutnya yang berisi janin berumur empat bulan selamat dengan ajaib. Namun tidak untuk Albert. Matanya tertutup untuk selamanya tidak lama setelah kecelakaan itu.

Meski sudah lebih dari satu tahun, tapi bayang-bayang kecelakaan itu tidak bisa hilang sepenuhnya. Tangan Mei bergetar hebat. Dia sangat ingin bertemu Dimas sekarang, tapi itu tidak mungkin. Mungkin besok. Ya, besok saja. Sekarang dia harus segera bertemu Erik untuk menyalurkan rasa frustrasinya.

--

Seorang wanita tampak begitu fokus memberikan jab dan hook pada samsak di depannya. Peluhnya bercucuran membasahi kaos longgar dan celana panjang olah raga yang dipakainya. Matanya yang tampak dingin tidak dapat menutupi wajahnya yang cantik khas Indonesia. Dia tengah berkonsentrasi penuh meluapkan segala amarah yang terpendam di dalam dirinya, berharap benda mati yang tergantung di depannya itu mampu menyerap segala emosinya yang terpedam.

Pelatihnya yang bernama Erik setia berdiri di depannya sambil memegangi samsak. Berbagai instruksi dia ucapkan untuk wanita itu.

“Jab!”

“Lagi!”

“Left hook!”

“Right hook!”

“Again!

“Do it again, Mei! Fokus! Jangan kendor!”

Meilina nama wanita itu. Beberapa pasang mata memerhatikannya yang terus berlatih. Mei cukup populer di kalangan mereka karena Erik selalu memperlakukannya berbeda. Tekadnya yang kuat membuat kemampuan tinjunya berkembang sangat pesat.

Sang wanita tidak memedulikan tatapan laki-laki lain yang juga berlatih di sasana tinju itu. Dia adalah seorang ibu muda berusia dua puluh lima tahun yang ditinggal oleh dua orang terkasihnya, suami dan ayahnya. Kematian kedua orang itu yang berdekatan membuat Mei merasakan kesedihan yang mendalam. Hal itu memicu depresi dan baby blue. 

“Kak, tolong biarkan aku membantumu. Jangan kau pendam sendiri seperti ini. Tidakkah kau merasa ayah dan Kak Albert bersedih jika melihatmu seperti ini?” Begitu kata Lili dulu. “Pikirkan Alan juga, Kak. Dia bukti cinta Kak Albert padamu. Jangan sia-siakan putramu!”

Mei yang merasa hidupnya sudah tidak berarti, tiba-tiba merasa tertampar dengan kalimat Lili. Ya, Alan, putranya dengan sang kekasih hati, Albert, yang baru berumur satu bulan memang membutuhkan dirinya, kasih sayangnya. Albert akan sangat sedih di atas sana melihat putra yang dia cintai justru disia-siakan oleh mamanya sendiri. Mei tidak ingin hal itu terjadi. Dia harus bangkit untuk merawat buah hatinya. Apalagi kini Alan sengaja dititipkan pada mertuanya karena mentalnya yang tidak stabil.

Mei langsung menyetujui kalimat Lili. Sang adik melonjak kegirangan. Akhirnya kakaknya yang terkena depresi dan baby blues kini mempunyai semangat untuk bangkit. Lili pun mengajaknya ke sebuah sasana yang direkomendasikan oleh temannya. Lili yakin olahraga adalah salah satu terapi terbaik untuk kakaknya. Itulah pertama kalinya Meli mengenal Erik. Lebih tepatnya, Erik adalah kakak Poppy, teman sekolah Lili.

Pria berumur dua puluh tujuh tahun itu menyambut hangat kedatangan Mei. Lili sudah menceritakan padanya tentang keadaan Mei meski hanya garis besarnya saja. Kesungguhan Mei untuk sembuh dan sehat membuat Erik selalu menatapnya dengan raut berbeda. Dan kini dia sudah sembilan bulan lamanya berlatih di sasana ini.

“Arghh!!” Dengan sekuat tenaga Mei memukul samsak sampai benda itu terpelanting.

Seluruh tenaganya sudah terkuras. Nafasnya memburu. Mei memejamkan matanya sebentar untuk meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

“Sudah mendingan?” Erik mendekati Mei dan memberikan handuk serta satu botol air.

“Terima kasih,” ucap Mei tanpa menjawab pertanyaan sang pelatih, Erik.

Mei duduk di bangku tidak jauh dari samsak, mengelap keringatnya, dan meminum air di botol hingga menyisakan separuh.

“Mau menceritakannya padaku?" tanya Erik lagi.

Mei mengambil nafas dalam-dalam. "Dimas mengatakan kalau kecelakaan itu hasil rekayasa."

"Kecelakaanmu dan Albet?" Kening Erik berkerut. Dia tampak tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

Mei mengangguk.

"Lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Mencari pelakunya, tentu saja!"

“Itu akan sangat berbahaya, Mei.”

Mei menatap Erik lekat-lekat. “Aku perlu meluapkan seluruh rasa frustrasiku, Erik! Bukankah kau selalu mengatakan itu? Aku harus mencari siapa pelakunya agar hidupku lebih tenang.”

Erik mengangguk. Pada akhirnya, dia setuju dengan Mei. "Aku akan membantumu."

Mei sontak menoleh. "Rik, ini tidak akan mudah. Siapa pun pelakukanya jelas menargetkan aku dan Albert. Kau bisa saja terluka."

Erik langsung terkekeh. "Apa kau lupa aku pelatih tinju dan mua thay?"

Mei terdiam. Erik memang ahlinya. Dan jujur saja sepertinya Mei memang akan membutuhkan tenaga Erik. Selain itu, Erik sudah menjadi sahabat yang baik untuknya selama sembilan bulan berlatih di sini.

"Baiklah. Kau ikut."

Senyum Erik langsung terbit. “Mau jalan?”

“Ke mana? Aku nggak mau terlalu jauh.”

“Nggak kok. Jalan kaki aja. Nggak jauh dari sini ‘kan ada banyak orang jualan. Masih sore juga. Jadi aku nggak ngajak kamu makan. Kita beli seblak atau pentol kesukaanmu. Kita juga butuh makan untuk mengejar penjahat.”

Membayangkan kuah gurih dan pedas seblak membuat air liur Mei menetes. Oh, betapa nikmatnya. “Oke,” jawabnya tanpa ragu. Matanya bahkan berbinar saat menjawab Erik.

Erik segera mengambil tas kecilnya. Begitu juga dengan Mei. Mereka pun keluar sasana setelah memakai jaket.

Sesuai rencana, Mei memilih seblak. Erik lebih memilih rujak buah. Mereka makan dengan lahap di sebuah bangku. Sore ini ada banyak orang di sini. Mungkin mereka baru pulang bekerja dilihat dari seragam yang mereka pakai. Ada juga anak-anak muda yang sedang berkumpul dengan teman-teman mereka. Untung saja Mei dan Erik masih bisa menemukan satu bangku kosong.

Selesai menghabiskan makanan, mereka pun kembali ke sasana.

 “Sebaiknya aku pulang sekarang sebelum Lili pulang,” ucap Mei sambil membuka pintu. 

“Aku lihat restoranmu semakin ramai," ucap Erik tiba-tiba.

Ya, uang pensiunan ayah dan suaminya sengaja Mei kelola menjadi rumah makan untuk menghidupi dirinya dan juga Lili. Karena mentalnya yang belum stabil, dia menunjuk manajer untuk mengelola rumah makan itu. Dan Lili sangat setuju dengan keputusan kakaknya.

Mei memiliki restoran yang menawarkan masakan khas Indonesia dengan tampilan modern dan artistik. Restoran itu cukup terkenal karena selain tampilannya yang menarik, gedung dan desain ruang yang nyaman, cita rasanya juga tidak mengecewakan. Rumah makan berkonsep industrial itu kini sudah memiliki tiga cabang, dua cabang di Surabaya dan satu lagi di Malang.

“Itu semua berkat manajernya. Aku hanya sesekali menengok,” sahut Mei.

“Kapan-kapan kau harus mentraktirku makan di sana,” goda Erik.

“Tentu! Setelah semua hal ini selesai, kita akan ke sana,” jawab Mei yakin. “Sudah ya! Aku juga belum menelepon Alan. Putraku itu pasti sudah menunggu.”

“Kau masih sering meneleponnya?”

Mei mengangguk. “Dia sudah hampir satu tahun. Sudah mulai mengerti dan mengenalku. Dia benar-benar anak yang pintar. Grandpa dan grandmanya merawatnya dengan baik. Aku berhutang budi pada mereka.”

“Alan cucu mereka juga. Jangan terlalu keras pada dirimu.”

Mei mengangguk. “Mungkin suatu saat aku akan mengajak Alan untuk tinggal denganku.”

“Kau akan menjadi ibu yang baik,” ucap Erik sambil menatap wajah di sampingnya dalam-dalam.

Mei menoleh. Mata mereka bertemu. “Terima kasih, Erik. Kau benar-benar sahabat yang baik.”

Erik hanya tersenyum dan mengangguk. "Keadaanmu sudah semakin baik, tapi kau masih harus tetap semangat!"

Mei mengangguk pasti.

Entah sampai kapan Mei menganggapnya sahabat. Erik berharap suatu saat Mei akan benar-benar bisa melihatnya sebagai seorang pria yang bisa diandalkan.

Mei pun berjalan ke arah loker untuk mengambil tas dan baju gantinya sebelum akhirnya pergi menjauh.

Erik terdiam. Dia hanya mampu menatap punggung wanita yang dia kagumi dari belakang. Mei, wanita cantik yang jatuh terpuruk karena kematian suami dan ayahnya dan kini mencoba bangkit. Bagi Erik, tidak ada wanita lain yang membuatnya terpaku selain wanita kuat seperti Meli.

“Aku berharap suatu saat kau mampu melihatku bukan sebagai sahabat atau coach-mu,” ucapnya dalam hati.

“Bos, jangan melamun terus! Ada yang perlu dilatih ini!” seru anak buahnya dari belakang.

Erik menoleh dan tertawa. Sebelum kembali melatih yang lain, dia menyempatkan kembali menoleh ke arah pintu yang baru saja menelan tubuh Mei dengan sempurna.

"Kau harus berjuang keras jika menyukainya, Bos! Dia tidak mudah ditaklukkan," goda anak buahnya.

Erik semakin tertawa keras mendengarnya. "Apa sekarang kau berperan menjadi mak comblang?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status