Share

Mei 2

Dua setengah tahun yang lalu

Di sebuah kapal pesiar Dream Asia Cruise, Mei dan Lili benar-benar menikmati liburan mereka. Kapal pesiar yang akan membawa mereka berkeliling Asia Tenggara ini mempunyai banyak fasilitas yang tidak akan dilewatkan oleh kakak beradik itu. Berbagai macam kemewahan terpatri sempurna di setiap sudut kapal. Kamar tidur yang mewah, makan ala restoran bintang lima, juga segala fasilitas kemewahan yang ada. Mereka berdua serasa benar-benar dimanjakan.

Liburan ini adalah hadiah dari ayahnya karena Mei baru saja diwisuda dan Lili baru lulus SMA. Ayahnya mengizinkan mereka bersenang-senang di kapal pesiar selama lima hari.

Dan malam ini, Meli dan Lili ingin sedikit menikmati hidup. Jadi, mereka memutuskan untuk mendatangi The Ambo Room, sebuah bar yang cukup terkenal di antara pengunjung. Mei sangat penasaran karena di dalamnya banyak lampu berwarna-warni yang indah juga banyak bambu yang ditata sedemikian rupa dan menambah nilai estetik.

Mei dan Lili sudah duduk di atas sofa yang lembut. Dua gelas minuman non-alkohol sudah tersedia di meja. Mereka membicarakan apa saja yang keluar di kepala mereka.

“Kak, kau sudah menghubungi ayah? Seharian ini aku lupa karena asyik mengambil gambar.” Lili berkata sambil meringis. Jari telunjuk dan tengah mengacung seperti simbol damai.

“Sudah tadi sore, selepas ayah pulang dari kantor. Ayah juga berpesan agar kita berhati-hati siapa tahu ada pencopet di sini,” kata Mei sambil menahan tawa.

Lili sontak tertawa. “Memangnya siapa yang mau mencopet di kapal pesiar seperti ini? Tiket naiknya saja mahal. Ayah ada-ada saja.”

Mei ikut tertawa mendengar perkataan adiknya. Tiba-tiba seorang pelayan datang dan memberikan minuman pada Mei.

“Permisi, tapi kami tidak memesan apa pun lagi.” Mei berkata dengan sopan.

“Ini free, Nona,” jawab sang pelayan.

“Oh ya? Lalu kenapa adikku tidak mendapatkannya?” tanya Mei penasaran.

“Maaf, ini hanya berlaku untuk satu meja.”

“O begitu. Baiklah. Terima kasih.”

“Sama-sama, Nona. Saya permisi dulu.” Pelayan itu pun pergi.

Mei memperhatikan minuman di gelas itu. “Kau mau mencobanya?”

Lili menggeleng. “Tidak. Kakak saja. Malam ini aku mau mengedit foto dan mengunggahnya di media sosialku. Aku ingin membuat semua temanku iri.” Lili pun tertawa membayangkan wajah-wajah teman sekelasnya yang pasti akan penasaran. Lalu tidak lama, pesan-pesan dan komentar akan membanjiri sosial media dan aplikasi pesannya. Lili sudah sangat bahagia membayangkan itu semua.

Tanpa berpikir panjang, Mei langsung menenggak minuman itu. Panas. Itu yang dirasakan Meli pertama kali. Tenggorokannya seperti tercekat dan terbakar. Namun setelahnya, mulai muncul rasa manis dan mint yang sejuk dan segar.

“Gimana?” tanya Lili.

“Panas tenggorokanku. Tapi enak kok, manis. Aku ke toilet sebentar. Sepertinya kantung kemihku sudah penuh gara-gara minum terus.”

Mei segera menuju toilet. Dia sempat mengantre sebentar, tapi tidak lama. Setelah semua hajatnya terpenuhi, Mei keluar.

Tiba-tiba dia merasa inti tubuhnya menghangat. Dia juga merasa tubuhnya sangat sensitif. Saat bersenggolan dengan penumpang lain, dia merasa intinya semakin basah dan ingin disentuh. Mei menjadi bergairah! Dia tidak bisa berpikir lurus karena dia tidak pernah merasakan gairah seperti ini!

Mei berjalan sempoyongan keluar dari The Ambo Room. Keringat mulai keluar dari telapak tangannya. Dia harus kembali ke kamar sebelum melakukan hal bodoh di luar sini. Entah apa nanti yang akan dilakukannya di kamar, dia tidak tahu. Yang penting dia harus segera menyingkir untuk menyelamatkan diri.

Saat sudah mencapai pintu, Mei membukannya dengan paksa. Dia melepas sepatunya sembarangan, melempar tasnya di sofa, dan bergegas menuju kamar mandi. Tapi kenapa pintu kamar mandinya berubah? Mungkin ini hanya efek dari gairahnya yang tidak tertahankan. Mei tidak ambil pusing. Dia segera membuka pintu kamar mandi dan melepas pakaiannya. Tiba-tiba sebuah suara yang dalam dan berat mengagetkannya.

“Apa yang kau lakukan, Nona?” Seorang pria dengan handuk yang menggantung di pinggangnya mengagetkan Meli.

“Aaahhh!! Apa yang kau lakukan di kamar mandiku?” Meli berteriak pada pria itu.

“Ini kamar mandiku. Nona siapa? Kamarmu di mana? Dan tolong, pakai bajumu.”

“Kamar mandimu? Tap-tapi, aku-akuuhhh...” Mei tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Gairahnya lebih meledak dari sebelumnya. Aroma sabun dan sampo yang menguar dari tubuh pria di depannya menggelitik hidungnya dan seketika meningkatkan gairahnya. Hal ini tentu membuat yang di bawah sana semakin basah.

“Nona, apa kau baik-baik saja? Jawab aku, Nona!” Pria itu melihat Mei seperti sedang mabuk tapi tidak mabuk. Namun dia seperti kehilangan kesadarannya. Entah bagaimana menggambarkannya.

“Aku. Aku..”

Mei tidak lagi bisa berbicara. Matanya meredup dan menggelap penuh dengan gairah yang harus segera diselesaikan. Dia bahkan sudah menyentuh dirinya sendiri. Pria itu kini mengerti apa yang terjadi pada Mei.

Dia segera mengisi bathup dengan air dingin. Lalu dia membawa Mei masuk ke dalamnya. Butuh perjuangan berat membawa Mei karena Mei terus saja mencium leher dan tengkuknya. Tangan Mei bahkan dengan kuat mengalungkannya di leher dan memaksa pria itu untuk masuk juga ke bathup. Pria itu sekuat tenaga menahan kedua tangannya agar tidak tercebur ke dalam bathup.

“Tolong! Tolong aku! Airnya dingin sekali. Kenapa kau memasukkanku ke dalam air? Apa kau tidak ingin menyentuhku?”

“Nona, kau berada di bawah pengaruh obat.”

“Tidak. Aku ingin berada di bawahmu. Lihatlah! Kau tidak ingin menyentuhnya?” Mei melebarkan pahanya dan menunjukkan intinya. Mei benar-benar kehilangan kewarasannya. Yang dia inginkan hanyalah disentuh.

Mei melihat pria itu hanya memejamkan matanya. Tangannya semakin erat menekan tengkuk pria itu dan menciumi wajah serta lehernya. Pria itu masih saja berusaha menahan diri dan berusaha melarikan diri. Kenapa dia ingin melarikan diri? Apa dia tidak tertarik?

Saat membuka matanya, pria itu melihat sabuknya di dekat wastafel. Dia segera berdiri dan meraihnya lalu mengikat tangan Meli agar tidak banyak bergerak. Dia pria normal. Melihat wanita setengah bugil dalam keadaan bergairah, adalah sebuah godaan yang nyata.

Mei tentu saja memberontak saat tangannya hendak diikat. Dia menjerit histeris dan memaki-maki pria itu tapi si pria seakan tuli dan tidak peduli. Setelah mengikat kedua tangan Mei, baru dia bisa bernafas lega.

Mei menangis sejadi-jadinya. Dia kedinginan, dia bergairah, tapi tidak ada yang menolongnya. Meli terus saja menangis dan meronta. Tubuhnya sakit, panas, tapi kedinginan. Tiba-tiba dia teringat mama dan ayahnya. Kini dia menangis sambil menyebut kedua orang tuanya. Entah berapa lama dia menangis hingga dia menjadi lemas dan capek. Lalu dia tidak mengingat apa pun.

Esoknya, Mei bangun dengan rasa capek dan penat di sekujur tubuhnya. Dia juga merasa sangat pusing. Perlahan-lahan dia mengerjapkan mata. Saat matanya sudah bisa menangkap sinar dengan baik, dia membuka matanya lebar-lebar. Ternyata hari sudah pagi. Tadi malam dia tidur jam berapa ya?

Tunggu dulu!

Kenapa kamarnya berbeda? Kamar ini lebih mewah daripada kamarnya sendiri. Kasurnya lebih luas dan sepreinya sangat lembut. Di mana ini?

“Kau sudah bangun?” Sebuah suara mengejutkannya. Mei menoleh.

“Kapten?” Mei menganga tidak percaya. Kenapa dia bisa bersama kapten? Mei cepat melirik bajunya.

“Semalam tiba-tiba saja kau masuk ke kamar mandi dan menyerangku. Seluruh bajumu basah. Jadi aku memanggil salah satu kru kapal perempuan untuk meminjamkan baju untukmu. Dia juga yang menggantikanmu. Jangan salah sangka!” terang Albert.

Dia baru saja menerima telepon. Seorang gadis mengaku kehilangan kakaknya dan Albert yakin gadis di depannya ini adalah kakak si penelepon.

Mei menatap wajah pria di depannya ini, sang kapten. Dia melihatnya kemarin saat pertama kali check in. Pria bule di depannya ini cukup tampan. Tunggu dulu!!

“Ak-aku pasti sudah melakukan hal gila padamu semalam. Maafkan aku! Aku pasti sangat merepotkan.” Wajah Mei sudah sangat memerah. Dia menunduk dalam-dalam, malu dengan perbuatannya sendiri.

Albert menggeleng. “Jangan membahas itu. Ada hal lain yang lebih penting. Siapa yang sudah memberimu obat perangsang?”

“Entahlah! Aku tidak mengenal siapa pun di kapal ini. Eh, tunggu! Apa benar kita tidak melakukan itu semalam?? Lalu bagaimana kau tahu aku menggunakan bahasa? Aku rasa kau bukan orang Indonesia.”

Albert tertawa tipis. “Tidak terjadi apa pun semalam. Kamu bisa mengeceknya. Lalu kenapa aku tahu kau menggunakan bahasa? Well, ayahku asli Singapura dan ibuku Yogyakarta. Saat ini aku memang tinggal di Singapura. Tapi tidak sulit untuk mengetahui kalau kau orang Indonesia atau Malaysia.”

Tiba-tiba saja sebuah ketukan di pintu terdengar. Albert berdiri untuk membukakan pintu. Mei berharap itu adalah adiknya. Dia segera menegakkan tubuhnya. Kepalanya sudah tidak sepusing tadi. Dia sudah lebih baik.

“Lili?? Itu kamu??” Mei sedikit berteriak karena Albert tidak kunjung kembali.

Namun sayangnya ternyata Albert tidak kembali dengan Lili. Seorang wanita cantik dengan wajah bule berjalan bersama Albert. Dia sangat cantik dengan matanya yang bulat dan berwarna abu-abu.

“Hai, aku Mary. Kaptenmu ini temanku,” sapa sang tamu. Dia mengulurkan tangannya. Bibirnya tersenyum menambah kecantikan wanita itu.

Mei menerima uluran itu dengan kikuk. Dia bahkan tersenyum sangat kaku. “Aku Mei.”

“Jadi Albert bagaimana bisa seorang penumpang tidur di kamarmu? Jangan-jangan -,” goda Mary. Matanya berkedip dan tersenyum.

“Tidak, Mary. Tidak begitu. Ada sedikit insiden semalam.”

Mei segera mengkonfirmasi pernyataann Albert. Dia takut kalau wanita cantik ini adalah gadis incaran sang kapten. “Iya! Kapten benar. Aku yang bersalah. Aku tidak sadar telah masuk ke kamar yang salah. Maafkan aku.”

Mary tersenyum lebar, tapi Mei merasa kali ini senyum Mary tidak tulus. Ada seringai licik di sana.

Sebuah ketukan kembali terdengar. Mei sangat berharap kali ini adiknya yang datang. Dia tidak ingin terlalu lama di sini. Kali ini Mei bisa bernafas lega karena Lili benar-benar datang dengan seorang pria di belakangnya.

“Ya ampun, Kak. Kau membuatku khawatir sepanjang malam.” Lili langsung berlari memeluk kakaknya, meninggalkan Jack, anak buah Albert yang ditugaskan memanggil Lili.

Setelah puas memeluk kakaknya, Lili pun duduk di samping Mei. “Jadi gimana ceritanya, Kak?” tanya Lili penasaran.

Dia duduk di samping kasur. Albert, Mary, dan Jack yang baru datang, duduk di sofa tidak jauh dari kasur. Mereka semua penasaran dengan cerita Mei.

“Hmm. Lili, kau tahu ‘kan semalam aku setelah minum welcome drink dari pelayan, aku pergi ke toilet. Keluar dari sana, aku tiba-tiba merasa aneh dengan tubuhku.” Meli mulai bercerita dengan gugup sambil memilin jarinya.

 “Aneh bagaimana?”

“Ya pokoknya aneh saja. Untung kapten menolongku.”

Mei tidak ingin berterus terang. Dia jelas malu pada adiknya, pada orang-orang di ruangan itu. Mereka tidak saling kenal. Akan sangat canggung jika Mei mengatakan kalau dia merasa sangat bergairah semalam. Namun sayangnya, mereka semua sudah dewasa. Jadi, mereka bisa mengira apa yang terjadi pada Mei, kecuali Lili tentu saja.

“Kapten menolongmu???” Lili berteriak histeris.

Tiba-tiba Albert langsung berdehem. “Ehm!!”

“Eh?” Lili pun menoleh ke belakang, mendapati sang kapten dan dua orang lainnya. Lili langsung terseyum kikuk dan meminta maaf.

Albert berdiri. “Jack, selidiki kasus ini. Pantau CCTV semalam. Cari pelayan yang memberinya minuman.”

Jack berdiri hendak melaksanakan tugasnya. “Baik, Kapten. Ada lagi?”

“Itu dulu. Kabari aku secepatnya!”

Jack mengangguk dan berlalu dari kamar Albert.

Mary yang mendengar itu lalu berucap, “Kenapa harus mencari pelakunya? Mungkin itu kerjaan sepasang kekasih atau suami istri yang ingin memberikan kejutan. Jangan dibuat serius, Albert.”

“Aku tidak bisa membiarkannya, Mary. Seorang penumpangku baru saja mengalami musibah. Untung saja dia bertemu denganku. Jika dia bertemu dengan orang brengsek, bisa jadi dia akan menjadi korban dua kali. Ini tidak bisa dibiarkan. Harus diadakan penyelidikan!”

“Baik. Terserah padamu saja. Sebaiknya aku juga keluar dan bersenang-senang. Sampai bertemu, Albert. Sampai bertemu, Mei. Semoga pelakunya segera ketemu.”

Mary menepuk pundak Mei sebentar sambil tersenyum. Dia lalu menyalami Lili.

“Iya. Terima kasih,” jawab Mei dan Lili. Albert hanya menjawab dengan anggukan. Setelahnya, Mary keluar dari kamar Albert.

Mei berdiri. Tubuhnya sudah semakin kuat. “Aku pamit, Kapten. Terima kasih banyak. Kapten benar. Jika semalam aku bertemu pria lain, mungkin nasibku sudah berubah. Terima kasih banyak.”

“Namamu Mei, ‘kan?”

“Iya. Bagaimana Kapten bisa tahu nama kakakku?” tanya Lili keheranan.

Albert menatap Lili dengan kening berkerut. “Bukankah kita sudah berkenalan waktu awal itu?”

Ya, saat pertama kali naik kapal, Albert memang ikut menyambut para penumpang di lobi saat check-in.

“Kau mengingatnya, Kapten?” tanya Lili tidak percaya.

Albert tersenyum. “Sulit melupakan seorang perempuan dengan wajah cantik khas Indonesia,” ucapnya sambil matanya menatap Mei tanpa kedip.

Mendengar itu, sontak wajah Mei memerah. Dia tidak menyangka sang kapten akan menggombalinya. Dan itu membuat jantungnya berdegup dua kali lebih kencang.

Sejak saat itu, Mei dan Albert sering menghabiskan waktu berdua. Dan tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk saling menyukai dan memutuskan untuk menikah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status