Baru saja sampai di rumah, Mei bergeas menuju kamar mandi. Badannya sudah sangat lengket setelah berlatih tadi di sasana bersama Erik. Belum lagi dia harus kembali mampir ke restoran untuk mengambil laporan. Kini dia ingin berendam air hangat sebentar sebelum adiknya pulang kuliah.
Mei keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Tangannya memegang satu handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya. Kakinya yang indah melangkah menuju meja rias. Dia pun duduk. Saat menggosok rambutnya, dia mendengar suara motor memasuki halaman. Itu pasti Lili. Senyum Mei terkembang. Dia segera menyelesaikan rutinitasnya dan keluar kamar.
Di luar, Mei melihat Lili berjalan menuju dapur. Sepertinya dia hendak menata makan malam.
“Sudah pulang?” tanya Mei.
Lili menoleh. “Eh, Kak. Iya, baru saja.”
Mei mendekat untuk membantu Lili menata meja.
“Wow, banyak banget! Emang bisa habis? ‘Kan kita Cuma berdua, Kak.”
Mei melihat ada lima menu di meja. Ada capcay, mi goreng, ayam bakar, balado telur, juga sate ayam.
Mei meringis. “Tadi kalap waktu di rumah makan. Jadi diambil semua. Kalau nggak habis nanti ditaruh di lemari es aja ya, Li.”
Lili mengangguk. “Bisa buat sarapan juga. Tapi lain kali, ambil secukupnya aja lah, Kak. Daripada mubazir.”
Mei setuju. “Oke! Sekarang lebih baik kamu mandi biar aku yang meneruskan.”
Lili justru menggeleng. “Nanggung, Kak.”
“Udah, Lili. Cepetan mandi biar kita makannya nggak terlalu malam. Lagi pula, kamu juga belum mengganti baju.”
Lili pun mengalah. Ini memang sudah hampir pukul tujuh malam. “Ya udah deh. Aku ke kamar dulu ya, Kak.”
Lili pun beranjak ke kamarnya dan Mei melanjutkan menata makan malam. Untung saja tadi dia juga sempat mampir untuk membeli buah. Jadi sepertinya malam ini meja makan akan terlihat penuh. Andai saja ayahnya masih hidup, sudah bisa dipastikan kalau telinga Mei dan Lili akan sakit karena diomeli. Ayahnya tidak suka dengan menu yang terlalu banyak. Lebih baik sederhana dan cukup daripada berlebihan tapi berpotensi membuang makanan.
Bibir Mei melekuk, tersenyum membayangkan ayahnya yang sudah tiada.
Dalam hati, Mei bersyukur. Kini dia tidak lagi histeris dan menjerit saat mengingat ayah atau suaminya. Dia cukup bangga dengan pencapaiannnya. Emosinya benar-benar stabil. Hanya saja terkadang ada saat di mana dia merasa hatinya begitu sakit dan dadanya sesak saat mengingat kematian Albert. Kebersamaan mereka yang terlalu singkat membuatnya sering menyalahkan takdir. Namun, kini Mei selalu berusaha mengikhlaskan kepergian Albert yang mendadak.
Tiba-tiba saja dia teringat dengan informasi dari Dimas. Dadanya kembali sesak mengingat kenyataan itu. Namun Mei harus menekan kuat perasaan itu. Dia harus sembuh agar bisa mengejar bajingan yang sudah membunuh suaminya.
“Hei, melamun aja! Ayo makan!” Lili menepuk bahu Mei.
Mei sontak tersadar dari lamunannya. Ternyata dia terdiam cukup lama hingga Lili sudah selesai mandi.
“Bagaimana kuliah?” tanya Mei sambil mengambil nasi.
“Gitu lah, Kak. Banyak tugas untuk tambahan nilai setelah ujian kemarin. Kakak sendiri gimana latihannya?” Giliran Lili yang mengambil nasi.
Mei terdiam. Dia bingung harus menjawab apa. Pikiannya lagi-lagi tertuju pada informasi dari Dimas tadi. Dia tidak tahu harus menceritakan yang sesunggguhnya pada Lili atau tidak.
“Kata Erik aku sudah banyak kemajuan sih. Aku sendiri merasa sudah bisa mengontrol diriku dengan baik,” jawab Mei akhirnya. Mungkin dia akan mengatakannya pada Lili suatu saat nanti.
“Kakak hebat! Aku memang sudah sering melihatmu tersenyum sekarang,” ucap Lili bangga.
Senyum Mei semakin lebar. Rasa percaya dirinya meningkat. Dia yakin ayah dan Albert juga akan bangga juga padanya. Dengan begitu semakin cepat dia meringkus penjahatnya.
“Ini semua berkat kamu dan Erik, Lili. Terima kasih banyak untuk kalian berdua.”
Lili mengibaskan tangannya ke udara. “Semua dari dalam diri Kakak sendiri. Eh, Kak, gimana kalau minggu depan kita ke Singapura? Mumpung aku liburan. Aku kangen banget sama Alan,” pinta Lili.
“Minggu depan? Mm, aku usahakan ya. Semoga rumah makan nggak ada masalah jadi kita bisa liburan ke sana.” Mei memang sudah sangat merindukan putranya. Sejak didiagnosa mengalami baby blue, Alan diasuh oleh mertuanya yang tinggal di Singapura. Bagaimana tidak? Dua kali Mei hendak mencelakakan Alan. Untung saja Lili dan Budi memergokinya. Jika tidak, bisa dipastikan Alan akan segera menyusul papanya ke surga.
Keesokan harinya, Mei bangun dengan semangat baru. Celana panjang, kaos longgar yang dimasukkan celana, dan sepatu datar menjadi outfit-nya kali ini. Tidak lupa jam tangan dipakai untuk memudahkannya mengingat waktu. Mei ingin bertemu langsung dengan Dimas. Dia harus memastikan sendiri apa yang terjadi dengan kendaraannya.
Setelah sarapan bersama Lili, Mei melajukan mobilnya menuju bengkel. Butuh waktu sekitar dua puluh menit menuju ke sana. Mei tiba saat bengkel baru buka. Dia melihat sudah ada satu mobil yang menjadi pasien Dimas.
Dengan langkah penuh percaya diri, Mei memasuki bengkel mobil yang cukup terkenal itu. Seorang montir menanyaka keperluan Mei. dan saat wanita itu mengatakan namanya, montir itu langsung mengajak Mei ke sebuah ruang di belakang.
Rupanya itu adlah ruangan untuk klien VVIP yang ditangani langsung oleh Dimas dan kru andalan. Tampak dua mobil beada di dalamnya. Satu mobil adalah sebuah Maybach. Mei yakin itu. Dan satu lagi mobilnya. Mobil Mei adalah saksi bisu kecelakaan yang merenggut nyawa suami temannya. Dimas tidak bisa menganggapnya remeh.
Mei dan sang montir mendekati Dimas yang sedang mengamati mobil Mei. Mendengar suara mendekat, Dimas langsung menoleh.
Senyum langsung menghias wajah Dimas. “Mei? Ayo sini!”
Mei sempt mengucapkan terima kasih pada montir yang telah membawanya bertemu Dimas sebelum melangkah ke arah mobilnya.
“Ke sinilah!” Dimas mengajak Mei melihat velg yang ada di atas meja di samping mobil Mei.
Mei menurut. Dia juga penasaran.
“Lihatlah ini!” Dimas menunjuk sebuah lingkaran hitam di satu sisi dalam velg.
Mei melihatnya dengan seksama. Lingkaran hitam itu berada di daerah yang sulit dilihat.
“Ini seperti bekas ledakan. Kau tahu? Jenis ledakan yang berbeda dari ban meledak biasa. dan ini tidak akan terlihat jika velg tidak dilepas dari bodi mobil seperti ini. Mungkin ini yang menyebabkan polisi dengan mudahnya menganggap kecelakaanmu adalah human error.”
“Maksudmu ada yang sengaja meledakkan ban mobilku?”
Dimas mengangguk. “Sebuah peledak kecil ditempelkan di sini. Kau lihat? Ini seperti bekas plester. Benar-benar sebuah keajaiban kau masih hidup setelah kecelakaan itu. Kau harus lebih menghargai hidupmu, Mei. Tuhan telah memberimu kesempatan kedua.”
Mei tersenyum tipis. “Kau benar. Sebuah kesempatan kedua untuk menghukum siapa pun yang telah mengusik hidupku,” ucapnya dengan nada suara yang dingin penuh amarah.
Jangan lupa follow FB Pipit Xomi dan instagram pipitxomi untuk info cerita lebih lanjut..
Sudah empat hari berlalu, dan Erik sudah sembuh dari lukanya.“Apa kau yakin sudah baik-baik saja?” tanya Mei. Tangannya masih sibuk dengan bawang di dapur. Dia sedang memasak pasta untuk makan malam kali ini.“Aku sudah baik-baik saja, Mei. Apa kamu tidak percaya?” keluh Erik.“Iya, aku percaya,” jawab Mei terkekeh.“Tidak, kamu masih belum mempercayainya. Mungkin jika aku menggendongmu, baru kamu percaya.”Wajah Mei sontak memerah. “Jangan bercanda! Aku sedang memegang pisau. Awas saja kalau kau berani!”Erik terbahak-bahak melihat bagaimana ekspresi wanita yang disukainya itu. “Aku tidak akan berani,” ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya.“Apa yang akan kita lakukan setelah ini?” tanya Erik.“Menemui Gunawan, mencari bukti keterlibatannya dengan Mary, lalu mengadili mereka berdua,” jawab Mei dnegan berapi-api.“Lalu Toni?”“Pria itu tidak tahu apa pun. Aku justru merasa kasihan padanya. Dia sudah dibohongi oleh dua orang yang dekat dengannya. Apa kau tahu bagaimana menyakitkan
Toni berjalan dengan tenang menuju meja panjang yang penuh dengan alat-alat penyiksaan. Ada gunting dan pisau dengan berbagai ukuran. Ada juga gergaji, tang, dan sebagainya. Di sebelahnya ada alat penghantar listrik. Dan yang tidak kalah seru, ada cincin tinju. Cincin itu yang paling Toni suka karena dia bisa melampiaskan amarahnya dengan hingga puas.“Kau boleh memilih, Bob. Apa kira-kira yang cocok untukmu?” Mata Toni menyisir seluruh benda yang ada di sana. Tangannya bergerak perlahan, memilih yang cocok untuk pembukaan.“Ha! Ambil saja sesukamu! Aku tidak takut. Justru sebenarnya kaulah yang harus takut. Apa kau tahu kalau polisi mulai menyelidikimu? Hahaha!!” Tawa Bobi membahana.DUGH!!Toni memukul ulu hati Bobi dengan sekuat tenaga, tanpa ampun. Dia begitu marah mendengar kalimat Bobi.“Argghh!!” Bobi menjerit dan memuntahkan darah yang cukup banyak. Dagu dan kaosnya semakin penuh dengan darah. Aroma amis semakin pekat memenuhi ruangan.Bobi mengernyit, menahan sakit. Perutnya
“Kenapa kau ada di dapur?” Mei mengerutkan keningnya melihat Erik yang sudah duduk manis di bar stool dengan dua cangkir cokelat di depannya.Erik menjawab pertanyaan Mei dengan senyum yang sangat menawan. “Aku sudah tidak apa-apa. Lukaku sudah sembuh.”“Jangan terlalu banyak bergerak. Nanti jahitanmu kembali terbuka.”“Jangan khawatir tentang itu!”Mei menggeser kursi di samping Erik dan mendudukinya. Erik pun mengulurkan satu cangkir cokelat. Mei membuka bungkus roti dan memberikannya pada Erik.“Aku sudah berbicara dengan Lily semalam dan pagi ini dia mengirimiku email. Sebentar!” Mei merogoh ponselya di saku, membuka aplikasi, dan menunjukkannya pada Erik.“Jadi pria itu kenalan anak buah Toni??”Mei mengangguk. “Setelah menusukmu, dia berlari keluar dan bertemu dengan orang kepercayaan Toni, Gunawan. Setelah semua ini, dia masih mengelak kalau dia tidak berhubungan dengan kasus itu?? Kurang ajar!!” Mata Mei memerah. Rahangnya mengetat. Tiba-tiba, kebenciannya pada Toni memuncak.
“Selidiki rekaman CCTV!” perintah Toni begitu dia mendengar Erik dan Mei diserang sesaat setelah keluar dari ruang private.Entah kenapa Toni merasa penyerangan itu berhubungan erat dengan penyelidikan yang sedang mereka lakukan. Namun, siapa orang yang begitu terang-terangan ingin menghabisi mereka? Bolet sudah di penjara. Tidak mungkin Mary sendiri begitu berani melukai Erik dan Mei di keramaian. Apalagi wanita itu dari tadi terus saja menghubunginya. Lalu siapa? Apakah ada orang lain yang berhubungan dengan kasus ini? Tapi siapa?Pertanyaan-pertanyan itu terus saja bergema di kepala Toni. Siapa selain Mary yang menginginkan Mei dan Erik celaka??Toni mengambil ponselnya. Dia mencoba menghubungi Gunawan. Namun, setelah dua kali panggilan, Gunawan tidak juga mengangkatnya. Toni berdecak. Ini sudah kedua kalinya Gunawan tidak mengangkat panggilannya. Tidak biasanya orang kepercayaannya berlaku seperti ini karena Gunawan tidak mungkin mengambil job dari orang lain.“Ini, Tuan.” Anak bu
Toni tersenyum miring melihat siapa yang meneleponnya sore ini. Dua kali Mary menelepon, tapi Toni terus mengabaikannya. Ini adalah pertama kali bagi pria itu tidak mengindahkan Mary. Dulu, Mary adalah prioritas hidupnya, tapi kini wanita itu prioritas amarahnya.Pria itu sudah mendarat di Jakarta tadi sore dan kini sedang duduk di sebuah private room di restoran. Tadi siang dia mengirim undangan makan malam kepada seorang pria dan wanita. Dan kini, dia sedang menunggu kedatangan mereka.Toni kembali menatap layar ponselnya yang berkedip tanpa berkeiginan untuk menjawabnya. Darahnya selalu mendidih mengingat pengkhianatan yang dilakukan Mary. Apa yang dilakukan wanita itu seakan membuatnya menjadi kambing hitam atas meninggalnya seorang pria bernama Albert. Toni berjanji dalam hati tidak akan membuat hidup Mary tenang.Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Toni. Seyumnya terbit dengan indah. Seorang laki dan perempuan memasuki ruang private restoran itu dengan pandangan datar
Hanya satu nama yang terlintas dalam benak Toni, tapi dia terus berusaha menghilangkannya. Semakin kuat dia mengingatnya, semakin kuat dia menyangkalnya.Bodoh!! Toni merasa sangat bodoh!! Kenapa dia tidak mengecek rekeningnya? Dia bisa tahu dari kartunya yang mana yang mengeluarkan uang untuk membayar Bolet."Cepat!!!" teriak Toni pada Wawan.Tanpa kata, Wawan menekan pedal gas lebih dalam. Dia tidak tahu apa yang membuat bos besarnya ini begitu ingin sampai bank dengan cepat. Wawan terus saja menekan gas dan klakson agar bisa cepat sampai. Sesekali dia melirik spion. Bos besarnya itu terus saja memandang jalanan dengan kening berkerut. Lima belas menit kemudian, Wawan sudah menghentikan mobilnya di depan pintu lobi bank yang dituju Toni.Dengan segera, Toni membuka pintu dan segera turun. Begitu Toni turun, Wawan pun memarkirkan mobilnya dan menunggu bosnya di sana.Toni merapikan bajunya sebelum berjalan masuk. Seorang sekuriti membukakan pintu untuk Toni dan menanyakan keperluan