"Aku juga nggak tahu. Ayo kita masuk sekarang," ujar Malik seraya menggandeng tangan Karin agar segera masuk.
Mereka lebih terkejut lagi karena ternyata pintu rumah itu tidak dikunci. "Kayaknya rumah kita kemalingan deh," ujar Karin dengan perasaan cemas. Perempuan itu buru-buru masuk ke dalam rumah dan memeriksa barang-barang apa saja yang diambil oleh Maling. "TV masih ada. Kulkas juga masih ada," ujarnya setengah bergumam. "Nggak mungkin dong malingnya membawa barang elektronik berat seperti itu. Pasti mereka membawa barang-barang yang lebih mudah dibawa," sahut Malik. "Astaga perhiasanku!" "Uang tabunganku!" Sepasang kekasih itu berhambur masuk ke dalam kamar untuk mengecek barang-barang berharga mereka di dalam kamar. Keduanya menghela nafas lega karena ternyata di dalam kamar Itu semuanya masih ada. "Berarti nggak ada maling masuk rumah ini. Lalu siapa yang membuka pintu kamar dan pintu rumah?" Karin menoleh ke arah Malik dengan perasaan heran. "Mas juga nggak tahu sih. Kira-kira siapa ya? Dan Apa tujuan dia masuk ke dalam rumah ini," ujar Malik seraya duduk di tepian ranjang. Keduanya sibuk dengan pikiran yang bergelut. Mereka sama-sama merasa heran siapa kiranya yang masuk ke dalam rumah tanpa membawa barang berharga apapun dari rumah itu. "Atau jangan-jangan memang Rindi yang datang ke rumah ini. Bisa saja 'kan dia datang ke rumah ini untuk melepas rindu?" ujar Karin. "Entahlah. Mas juga tidak tahu. Soalnya semenjak mengamuk waktu itu, sampai sekarang tidak pernah lagi ada kabar dari Rindi." "Mas udah buka akun Tik tok dia belum? Apa dia masih sering live?" Karin mendelik pada Malik. "Ya enggaklah. 'Kan kamu sendiri yang minta Mas untuk tidak lagi mencari tahu tentang Rindi. Jadi Mas tidak pernah lagi melihat akun Tik tok dia ataupun akun sosmed sosial media dia yang lainnya." "Baguslah." "Tapi kalau bukan dia yang buka pintu ini, lalu siapa?" "Mungkin tadi kita lupa kalau sebenarnya pintu ini belum terkunci. Sudahlah tidak usah dipikirkan. Lebih baik sekarang kita beristirahat." Karin menyahut dengan senyum menggoda. *** Rindi hanya tersenyum melihat percakapan sepasang kekasih yang saat ini sedang bingung mengapa pintu rumah bisa dibuka. Ia menatap adegan itu di layar laptopnya yang tersambung ke kamera tersembunyi di setiap sudut rumah. "Gimana cara kerja anak buah Abang?" Alvin menghampiri Rindi yang sedang fokus menatap layar laptopnya. "Good. Mereka benar-benar bisa diandalkan," sahut Rindi sambil mengacungkan jari jempolnya. "Abang sudah memutuskan untuk pulang ke Bangka Belitung minggu depan saja. Sampai kamu benar-benar bisa memegang tampuk perusahaan," ujar Alvin. "Emangnya Kak Lia nggak keberatan?" "Alhamdulillah enggak. Tapi Abang minta tolong sama kamu untuk sering-sering mengajak dia berinteraksi. Secara selama ini dia jarang ketemu sama kamu," sahut Alvin. Rindi manggut-manggut mendengar perkataan abangnya. Tatapan matanya kembali fokus pada layar laptop. Namun hatinya tiba-tiba merasa sakit melihat adegan yang ada di laptop tersebut. "Dasar manusia laknat! Tunggu saja sebentar lagi! Kalian pasti akan kegatalan." Rindi langsung menutup layar laptopnya dan segera berjalan keluar kamar. Ia menemui para lelaki yang sedang duduk di sebuah saung di halaman rumahnya. "Ada yang bisa kami bantu, Non?" Seorang laki-laki berbadan tegap menghampiri Rindi. "Kalian nggak lupa 'kan menaburkan bubuk yang aku berikan kepada kalian tadi ke semua barang-barang yang akan dipakai oleh b******* itu?" Tanya Rindi saya menunjuk sebuah bungkusan plastik yang tadi dibawanya keluar. "Udah pasti dong, Non. Kami selalu menuruti apa saja yang diperintahkan oleh Bos Alvin. Jadi ketika Nona menyuruh kami melaksanakan semua perintah non Rindi, kami melakukannya," sahut lelaki berbadan tegap itu. "Baguslah. Kalian bubuhkan ke mana saja bubuk ini tadi." "Ke tumpukan pakaian, di dalam skin care, di dalam parfum, bahkan di dalam toren untuk mandi." Rindi langsung tersenyum puas mendengar perkataan anak buah abangnya. Ia puas karena sebentar lagi setiap hari akan melihat pemandangan yang menyenangkan melalui layar laptopnya. "Ya sudah. Kalian lanjut saja menikmati makanannya." Rindi melenggang pergi meninggalkan anak buah abangnya itu. Ia kembali masuk ke dalam rumah. Tenggorokannya terasa haus dan hendak menikmati segelas jus jeruk. Namun langkahnya terhenti ketika diambang pintu tiba-tiba Alvin sedang melipat kedua tangan sambil menatapnya dengan tatapan curiga. "Abang kenapa ngelihat aku seperti itu?" Ujar Rindi. Kedua alis perempuan itu saling tertaut. "Bukan apa-apa sih. Abang cuma penasaran aja bubuk apa yang kamu suruh anak buah Abang menaburkannya di rumah itu?" Rindi segera menyembunyikan bungkusan itu di balik punggungnya. "Ituuuu ....""Ini benar-benar aneh. Berani-beraninya mereka meletakkan nominal yang cukup besar dan jauh dari target yang aku tentukan." Rindi mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia kembali membuka lembaran demi lembaran yang ada di dalam berkas itu. Hingga akhirnya ia menyadari kalau ada banyak perbedaan nominal yang tertera di file di dalam komputer dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. "Ke ruangan saya sekarang!" Rindi segera menghubungi sekretarisnya untuk segera masuk ke ruangannya. Beberapa saat kemudian, sekretaris Rindi masuk ke dalam ruangan. "Apa-apaan ini? Kenapa berkasnya tidak sama dengan apa yang saya tulis di dalam file ini?" Ujar Rindi seraya menghempaskan map yang ada di hadapannya. "Ituuuu ...." Sekretaris itu terlihat gugup mendengar Rindi yang berbicara dengan nada lantang. "Itu kenapa? Jelas-jelas kemarin saya sudah mengirimkan file ini kepada anda tapi mengapa anda memberikan berkas yang berbeda pada saya?" Tanya Rindi lagi. "Kalau permintaan kita segini besar kepad
"Kamu diantar siapa?" Malik langsung menghadang Karin yang baru saja hendak masuk ke dalam kantor. Karin terkejut melihat Malik yang tengah berdiri sambil menyilangkan kakinya di depan pintu kantor tersebut. Ia merasa lega karena tadi kaca mobil kekasihnya tidak terbuka sehingga Malik pasti tidak melihat siapa yang ada di dalam mobil. "Barengan sama teman. Kebetulan dia lewat sini. Jadi aku numpang sama dia," sahut Karin. Ia berlalu masuk ke dalam kantor. "Laki-laki atau perempuan? Kok kamu senyum-senyum gitu sih?" Malik setengah berlari mengejar Karin."Kita ini di kantor ya, Mas. Jangan sampai orang-orang pada curiga dengan kedekatan kita," ujar Karin seraya mendelik pada Malik. Malik berdecih lirih dan membiarkan Karin yang hendak masuk ke dalam ruangannya. Ia juga khawatir jika nanti ada teman kantor yang melihat kedekatannya dengan Karin yang nanti akan mengundang kecurigaan bagi mereka. Secara peraturan di kantor tidak memperbolehkan ada karyawan yang menjalin hubungan. "B
"Om yang menjadi saksinya." Tiba-tiba Pak Abdul hadir di ruangan itu. Rindi menatap Pak Abdul dan Pak Gunawan bergantian. Ia sangat yakin kalau kedua saudara ayahnya itu tengah mengelabuinya. "Mana buktinya kalau Papa memberikan peralihan perusahaan kepada kalian berdua?" Ujar Rindi seraya menadahkan tangannya. "Kalau hanya melalui omongan saja, siapa yang mau percaya?" Tambahnya lagi. Pak Gunawan dan Pak Abdul saling pandang. Mereka saling melirik karena tak menyangka Rindi akan menanyakan hal tersebut. "Sudahlah, Rindi. Hal seperti ini tidak perlu diributkan." Pak Abdul menatap geram pada keponakannya itu. "Kamu sudah membaca sendiri 'kan surat yang tertulis di dalam map itu.""Aku memang sudah membacanya. Tapi aku tetap tidak percaya kalau Papa yang menuliskan surat peralihan itu." Rindi berkata dengan tegas. "Karena aku tahu persis siapa kuasa hukum Papa," tambahnya lagi. "Kenapa harus pakai kuasa hukum segala? Ini hanya perkara tentang peralihan perusahaan sementara menjelan
Rindi menyunggingkan senyum saat melihat Karin dan lelaki itu masuk ke dalam salah satu apartemen. Ia pun segera mengambil gambar nomor apartemen tersebut "Dari awal aku sudah curiga. Jangan-jangan bayi yang dikandung oleh Karin bukan bayi Mas Malik. Karena aku tidak mungkin mandul," ujar Rindi sambil tersenyum kecil."Kamu akan mendapat kejutan besar, Mas. Aku akan membuktikan kebusukan Karin agar kamu sadar akan kesalahanmu selama ini," tambahnya lagi. Rindi buru-buru meninggalkan lorong tersebut dan segera masuk ke dalam apartemen Deva. Sesampai di dalam apartemen, ia segera mengabarkan Deva. "Aku menemukan fakta adanya skandal antara Karin dan seseorang," ujar Rindi. "Skandal? Tentang apa?""Besok saja aku beritahu. Sekarang badanku benar-benar capek dan aku mau istirahat." Rindi memutuskan sambungan telepon secara sepihak. "Tapi, Rin." Deva menggerutu karena Rindi memutuskan sambungan telepon tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu. Namun seper detik berikutnya lelaki itu men
"Jangan ganggu aku!" Pergi kamu dari sini!" Malik mengibas-ngibaskan tangannya ke arah sosok besar itu. Tanpa pikir panjang ia langsung ambil langkah seribu. Tak dipedulikannya kondisinya yang saat itu tengah memakai celana pendek dan baju kaos. "Aku harus segera pergi meninggalkan rumah terkutuk itu. Aku tidak mau mati konyol di sana," ujar Malik yang langsung merogoh ponselnya. Malik merasa beruntung karena tadi ia sempat memasukkan dompet ke dalam saku celananya. Itu dikarenakan ia ingin memesan makanan delivery karena perutnya yang terasa lapar. "Sebaiknya aku menginap di hotel saja. Daripada tinggal di rumah mewah tapi penuh dengan hantu," ujarnya sembari mencari hotel melalui ponselnya. Malik pun menemukan hotel termurah dan segera mendatangi hotel itu dengan memakai ojek online. Ia mengistirahatkan tubuhnya dan berusaha menghubungi Karin kembali. "Keterlaluan sekali si Karin. Berani-beraninya dia ninggalin aku seorang diri di rumah. Padahal dia tahu kalau aku ini seorang
"Dasar anak kurang ajar! Berani-beraninya kalian mengusir Om dari sini?" Pak Abdul terkejut melihat Alvin yang mengusirnya. "Kami selalu diajarkan kok sama Papa, tapi kami tidak akan pernah membiarkan ada orang yang ingin menguasai harta Papa," ujar Rindi. Sedikitpun ia tidak takut pada ketiga saudara papanya yang saat ini terang-terangan ingin menguasai harta keluarga mereka. "Ingat ya, Om. Papa memang sedang sekarat di ruang ICU, tapi ada Rindi dan Bang Alvin yang akan mengelola harta kami. Jadi kalian tidak usah repot-repot mengurusi yang bukan hak kalian," tambah Rindi lagi. Pak Abdul menoleh pada kedua saudaranya. Hingga akhirnya mereka pun pergi meninggalkan rumah tersebut. "Dev, kamu masih di rumah sakit 'kan?" Alvin mengirimkan pesan pada Deva. "Masih. Ini lagi dalam ruangan ICU," balas Deva. Alvin dan Rindi bergegas menuju rumah sakit karena khawatir jika ketiga pamannya itu akan kembali datang ke rumah sakit dan berbuat jahat pada Papa mereka. Sepanjang perjalanan me