Bab 5
"Tapi Om Jodi adalah seorang pebisnis yang handal. Perusahaan miliknya berkembang pesat di kota Jambi. Bahkan ia tidak hanya memiliki perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit saja. Tapi sekarang dia punya perusahaan yang bergerak di bidang industri." Alvin duduk di hadapan Rindi sambil menyatukan kedua tangannya.
"Abangmu benar. Perusahaan Jodi yang berpusat di ibukota Jambi yang bergerak di bidang industri saat ini sedang berkembang pesat. Bahkan perusahaan itu adalah perusahaan industri terbesar di Sumatera," ujar Pak Candra.
Lelaki itu mengusap-usap rambut Putri semata wayangnya. "Bersyukur dia mau mengajarimu mengelola perusahaan. Mengingat dia sangat sibuk," tambahnya lagi.
"Perusahaan industri terbesar di pulau Sumatera? Bukannya perusahaan yang terbesar di Sumatera itu adalah perusahaan Aiden?" Alis Rindi saling tertaut mendengar penjelasan dari ayahnya.
"Kamu mengenali perusahaan itu?" Pak Candra dan Alvin bertanya secara bersamaan.
"Itu ... Perusahaan di mana Mas Malik bekerja." Rindi menatap lekat-lekat kedua lelaki yang tengah duduk di hadapannya.
"Serius? Malik bekerja di perusahaan besar seperti itu?" Alvin seakan tak percaya dengan perkataan Rindi.
"Aku serius, Bang. Mas Malik bekerja di perusahaan itu sebagai manajer. Karena dia kuliah S1 dan s2-nya memang di bidang industri. Selain itu dia sempat magang di perusahaan itu selama 1 tahun. Dikarenakan prestasinya bagus di perusahaan, ditambah lagi dia lulusan S2, maka jabatannya dinaikkan selama 2 tahun terakhir," sahut Rindi.
"Hmmm. Ternyata begitu? Abang malah baru tahu kalau Malik bekerja di perusahaan itu. Abang kira dia hanya bekerja di perusahaan kecil saja."
"Papa kira juga begitu. Soalnya selama ini Rindi masih menggeluti bisnis online-nya. Seharusnya kalau memang Malik bekerja di perusahaan besar, Dia memberikan nafkah keseluruhan kepada Rindi dan membiarkan Rindi hidup berbahagia di rumah saja." Pak Candra menanggapi ucapan Alvin.
"Mas Malik bilang gajinya mau ditabung karena dia mau membeli rumah satu lagi yang lebih mewah. Ia bilang ingin merenovasi rumah di kampung juga," sahut Rindi.
"Padahal kenyataannya, uang itu dia pakai buat bersenang-senang dengan selingkuhannya."
Rindi tertunduk. Apa yang dikatakan oleh Alvin memang benar adanya. Miris.
"Tunggu dulu ... Sejauh yang Papa ketahui, Pak Jodi memiliki aturan ketat di semua perusahaannya. Setiap karyawan di perusahaannya tidak boleh menjalin hubungan asmara. Dan jika sampai ketahuan, maka mereka akan dipecat dari perusahaan Itu." Pak Candra kemudian menoleh pada Rindi yang sedang termenung.
"Papa yakin?"
"Tentu saja yakin. Dia sering datang ke sini untuk bertukar pikiran dengan Papa. Dia sendiri yang mengatakan tentang keberatannya jika ada karyawan yang menjalin hubungan. Dia tidak mau jika nanti di perusahaan itu terjadi skandal ataupun kinerja karyawannya tidak bagus karena masalah perasaan dengan karyawan yang lainnya."
Rindi terdiam mendengar perkataan ayahnya. Ia tiba-tiba menggulung senyum. "Rindi mau diajarkan oleh Om Jodi. Rindi juga mau bekerjasama dengan perusahaan Om Jodi. Rindi sangat yakin, melalui Om Jodi, maka balas dendam Rindi akan terlaksanakan," ujar perempuan itu.
"Abang setuju sama ide kamu. Kita akan gunakan perselingkuhan Malik dan Karin untuk menghancurkan mereka berdua." Alvin pun ikut mengulum senyum.
"Memangnya Karin juga karyawan di perusahaan Aiden?"
"Yups. Benar sekali. Tadi pagi aku mendapatkan informasi dari Dinda kalau ternyata Karin itu adalah salah satu staf di perusahaan di mana mas Malik bekerja. Namun Dinda tidak menjelaskan bagaimana lebih detailnya hubungan mereka."
"Hmmm. Ternyata dunia ini sangat kecil. Kalau gitu, secepatnya kamu temui Jodi dan bicarakan semua ini dengannya," ujar Pak Candra.
Rindi mengangguk tegas dan segera menghubungi kontak relasi bisnis ayahnya itu untuk diajak segera bertemu. Perempuan itu berbicara dengan sopan yang terkadang dibantu oleh Pak Candra karena mereka melakukan panggilan video.
"Baiklah. Besok pagi aku akan datang ke kantor Om Jodi. Doakan aku semoga bisa menerima materi yang diajarkan oleh Om Jodi dengan cepat," ujar Rindi.
"Semangat, Dek. Kamu memang harus belajar cepat agar bisa membalaskan dendammu," sahut Alvin sambil menggenggam erat tangan Rindi yang tengah menggenggam tangannya.
***
"Kamu kenapa, Sayang? Kok kayaknya uring-uringan gitu?" Karin memeluk Malik dari belakang.
Sepasang kekasih itu baru saja selesai memadu cinta di kamar yang dulu digunakan oleh Malik dan Rindi.
Semenjak Rindi angkat kaki dari rumah itu, Karin memutuskan untuk tinggal di rumah Malik dan mereka hidup bersama.
"Aku berencana untuk mendatangi kampung Rindi." Malik memutar tubuh agar bisa menatap wajah Karin yang cantik jelita.
"Kampung Rindi? Mau ngapain?"
"Aku mau mengambil mobilku. Enak saja Rindi pergi membawa mobil itu."
"Benar juga ya. Aku baru sadar kalau mobil Kamu dibawa pergi oleh Rindi."
"Makanya esok pagi aku akan pergi ke kampung Rindi untuk menjemput mobil milikku."
Mereka kembali berpelukan di malam yang dingin sambil merencanakan pesta pernikahan yang akan digelar setelah kelahiran bayi Karin.
***
Keesokan harinya, Malik sudah bersiap-siap hendak berangkat ke kampung Rindi. Tentu saja ia pergi ke kampung itu ditemani oleh Karin karena nanti Malik akan membawa pulang mobil yang dibawa oleh Rindi.
Sepanjang perjalanan menuju kampung Rindi, mereka bersenda gurau dan sudah merencanakan untuk menjual mobil milik Malik karena akan dipergunakan untuk keperluan lainnya.
"Rindi? Dia tidak ada di sini." Lelaki paruh baya yang tengah memakai pakaian khas petani menatap heran pada Malik dan Karin yang tengah berada di ambang pintu.
"Loh kok nggak ada di sini? Bukannya dia pulang kampung?" tanya Malik dengan wajah heran. "Terus ayahnya Rindi mana? Saya mau bertemu dengannya," tambahnya lagi.
"Rumah ini sudah lama dijual oleh ayahnya Rindi. Saya tidak tahu di mana keberadaan lelaki itu sekarang," sahut lelaki itu.
"Nggak mungkin lah. 5 bulan yang lalu kami masih datang ke sini. Ayahnya Rindi masih sehat wal afiat dan menggarap sawah. Tidak mungkin kalau dia sudah pindah."
"Pak Candra pindah 2 bulan yang lalu. Saya tidak tahu dia pindah ke mana. Yang pasti sekarang rumah ini milik saya." Lelaki itu menyahut dengan tatapan sengit.
Malik sebenarnya masih hendak mempertahankan pendapatnya. Namun Karin segera membawa kekasihnya agar pergi dari tempat tersebut.
"Kayaknya lelaki itu memang tidak tahu di mana keberadaan ayahnya Rindi. Kita tidak bisa memaksakan dia," bisik Karin saat ditanya oleh Malik mengapa ia menyeret Malik pergi dari tempat tersebut.
"Terus ke mana aku harus mengambil mobil itu?" Malik berdecak kesal dan mengusap kasar wajahnya.
"Sudahlah. Biarkan saja mobil itu menjadi milik Rindi. Harganya juga tidak seberapa 'kan? Yang penting kamu masih punya rumah yang megah dan mewah," ujar Karin berusaha menenangkan Malik.
Malik akhirnya mengalah dan bersedia diajak pulang oleh Karin. Lelaki itu berkali-kali menggerutu karena terlalu lalai saat Rindi pergi meninggalkan rumah.
Sesampai di halaman rumah. Malik segera turun dari mobil untuk membuka pintu pagar rumahnya.
Namun lelaki itu mengurutkan kening saat mendapati agar rumahnya sudah terbuka. "Siapa yang masuk rumahku? Kenapa pintu pagar ini terbuka?" Ia mendorong pintu pagar itu perlahan.
"Loh, Sayang. Kok pintunya terbuka?" Karin ikut turun dari mobil.
"Aku juga tidak tahu. Padahal tadi pintu pagar ini aku kunci."
"Apa Rindi yang membukanya?"
"Tidak mungkin. Dia tak punya kunci pagar ini karena hanya tersisa satu yang ada padaku."
Karin menatap ke arah rumah dengan curiga. "Kalau bukan Rindi, lalu siapa?"
"Kok buru-buru amat sih? Padahal aku baru mau ngobrol sama kamu," ujar Alvin yang baru saja datang bersama Lia. "Eee .. aku ...""Duduk lagi lah."Sepasang suami istri itu duduk di hadapan Deva dan mempersilahkan Deva duduk kembali. "Dari mana? Banyak banget belanjaannya?" Deva melirik ke arah barang-barang yang diberikan oleh Lia kepada asisten rumah tangga. "Oleh-oleh buat orang-orang di Bangka Belitung.""Emangnya kamu sudah mau pulang ke sana?" Deva menoleh ke arah Rindi dan Alvin bergantian. "Rencananya iya. Minggu depan kami akan segera pulang ke Bangka Belitung. Aku tidak bisa terlalu lama meninggalkan perusahaanku di sana," sahut Alvin. Rindi terkejut mendengar perkataan abangnya. Secara Alvin tidak pernah memberitahukan kepada Rindi Kalau ia akan kembali pulang ke Bangka Belitung. Tiba-tiba Rindi merasakan kesedihan menjalar di dadanya. Pasalnya selama beberapa bulan terakhir, semenjak ia kembali ke rumah papanya, ada Alvin yang setiap hari selalu dilihatnya dan membimb
"Iya. Kalau kita sudah menikah, perusahaan tidak bisa memecat kita. Bilang saja kalau kita sama-sama suka dan memilih menikah langsung agar tetap mempertahankan pekerjaan," sahut Malik. Karin merasa lega mendengar jawaban dari Malik. Ia lega karena tak dipecat dari pekerjaannya dengan ide yang diberikan oleh Malik. Sepasang kekasih itu pun mengemasi barang-barang mereka karena ingin mencari kontrakan lain yang tentunya lebih aman. "Untuk sementara waktu kamu pulang saja dulu ke rumahmu. Biar mas sendiri yang tinggal di kontrakan. Supaya orang-orang tidak curiga saat kita mengatakan ingin menikah," ujar Malik lagi. "Mas yakin nggak mau tinggal satu rumah denganku?""Ini semua demi kebaikan kita. Lagi pula sayang juga kalau kita harus mencari rumah kontrakan yang hanya ditempati sebelum kita menikah," sahut Malik. Malik berencana mengantarkan Karin pulang ke rumahnya bersama mobil kekasihnya itu. Sementara Ia memutuskan untuk membeli sepeda motor baru yang nanti akan digunakannya u
"Mereka yang membiayai pengobatan rumah sakit orang tua saya. Jadi saya benar-benar merasa berhutang Budi pada mereka," sahut sekretaris itu masih dengan linangan air mata. Rindi menghela nafas mendengar perkataan sekretarisnya itu. Ia tak menyangka jika Om Abdul dan Om Gunawan telah mempergunakan sekretarisnya yang lemah untuk menghancurkan perusahaan papanya. "Saya akan bayar hutangmu pada Om Gunawan dan Om Abdul. Dan saya tidak akan memecatmu dari perusahaan ini. Dengan catatan, kamu merahasiakan kepada Om Gunawan dan Om Abdul tentang bocornya rahasia ini," ujar Rindi. Sekretaris itu mengangguk dan menuruti semua yang diminta oleh Rindi. Ia merasa lebih aman bekerja sama dengan Rindi daripada dengan kedua laki-laki yang sudah tua itu. Setelah selesai membicarakan tentang permasalahan perusahaan, Rindi segera menghubungi Deva untuk menanyakan kerjasama selanjutnya. "Kamu tenang aja. Sekarang aku sedang fokus pada proyek baru yang tengah aku kelola. Proyek itu aku serahkan kepad
"Ini benar-benar aneh. Berani-beraninya mereka meletakkan nominal yang cukup besar dan jauh dari target yang aku tentukan." Rindi mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia kembali membuka lembaran demi lembaran yang ada di dalam berkas itu. Hingga akhirnya ia menyadari kalau ada banyak perbedaan nominal yang tertera di file di dalam komputer dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. "Ke ruangan saya sekarang!" Rindi segera menghubungi sekretarisnya untuk segera masuk ke ruangannya. Beberapa saat kemudian, sekretaris Rindi masuk ke dalam ruangan. "Apa-apaan ini? Kenapa berkasnya tidak sama dengan apa yang saya tulis di dalam file ini?" Ujar Rindi seraya menghempaskan map yang ada di hadapannya. "Ituuuu ...." Sekretaris itu terlihat gugup mendengar Rindi yang berbicara dengan nada lantang. "Itu kenapa? Jelas-jelas kemarin saya sudah mengirimkan file ini kepada anda tapi mengapa anda memberikan berkas yang berbeda pada saya?" Tanya Rindi lagi. "Kalau permintaan kita segini besar kepad
"Kamu diantar siapa?" Malik langsung menghadang Karin yang baru saja hendak masuk ke dalam kantor. Karin terkejut melihat Malik yang tengah berdiri sambil menyilangkan kakinya di depan pintu kantor tersebut. Ia merasa lega karena tadi kaca mobil kekasihnya tidak terbuka sehingga Malik pasti tidak melihat siapa yang ada di dalam mobil. "Barengan sama teman. Kebetulan dia lewat sini. Jadi aku numpang sama dia," sahut Karin. Ia berlalu masuk ke dalam kantor. "Laki-laki atau perempuan? Kok kamu senyum-senyum gitu sih?" Malik setengah berlari mengejar Karin."Kita ini di kantor ya, Mas. Jangan sampai orang-orang pada curiga dengan kedekatan kita," ujar Karin seraya mendelik pada Malik. Malik berdecih lirih dan membiarkan Karin yang hendak masuk ke dalam ruangannya. Ia juga khawatir jika nanti ada teman kantor yang melihat kedekatannya dengan Karin yang nanti akan mengundang kecurigaan bagi mereka. Secara peraturan di kantor tidak memperbolehkan ada karyawan yang menjalin hubungan. "B
"Om yang menjadi saksinya." Tiba-tiba Pak Abdul hadir di ruangan itu. Rindi menatap Pak Abdul dan Pak Gunawan bergantian. Ia sangat yakin kalau kedua saudara ayahnya itu tengah mengelabuinya. "Mana buktinya kalau Papa memberikan peralihan perusahaan kepada kalian berdua?" Ujar Rindi seraya menadahkan tangannya. "Kalau hanya melalui omongan saja, siapa yang mau percaya?" Tambahnya lagi. Pak Gunawan dan Pak Abdul saling pandang. Mereka saling melirik karena tak menyangka Rindi akan menanyakan hal tersebut. "Sudahlah, Rindi. Hal seperti ini tidak perlu diributkan." Pak Abdul menatap geram pada keponakannya itu. "Kamu sudah membaca sendiri 'kan surat yang tertulis di dalam map itu.""Aku memang sudah membacanya. Tapi aku tetap tidak percaya kalau Papa yang menuliskan surat peralihan itu." Rindi berkata dengan tegas. "Karena aku tahu persis siapa kuasa hukum Papa," tambahnya lagi. "Kenapa harus pakai kuasa hukum segala? Ini hanya perkara tentang peralihan perusahaan sementara menjelan