Aku dan Mas Adam bersamaan memandang ke arah Nira yang saat ini menunduk. Tampaknya ia tidak berani mengangkat kepalanya untuk menatap kami.
"Mbak Nira ngga boleh pergi dari sini. Cleo sayang Mbak Nira," ucap Cleo yang tiba-tiba datang dari arah dapur. Sepertinya putera bungsu kami itu pun juga mendengar perdebatan yang sempat terjadi antara aku dan Mas Adam.Cleo memeluk Nira. Wajah anakku itu terlihat sedih melepas kepergian Babysitter barunya yang belum ada 24 jam bekerja disini.Tapi mau bagaimana lagi, aku tetap tidak menyukainya. Sangat pantang bagiku jika orang asing memasuki kamarku."Cleo," panggilku dengan lembut. Aku berjongkok dan membentangkan kedua tanganku ke arah Cleo, untuk memanggilnya dalam pelukanku. Namun, si bungsuku itu tetap memeluk Nira."Mbak Nira mau ambil cuti," kataku kepada Cleo. Sengaja ku perhalus, agar anak-anak tidak mengetahui problem yang sebenarnya.Cleo menggeleng dengan kuat. "Nggak boleh. Mbak Nira baru nemenin Cleo kemarin. Masa mau ambil cuti aja." Bibirnya mengerucut kedepan. Sudah pasti si bungsuku itu sedang merajuk.Aku menatap Mas Adam. Mencoba mencari jawaban lewat tatapan matanya ke arahku. Mas Adam membalasnya, namun dengan wajah yang datar. "Terserah kamu. Kan kamu yang mau jadi kepala keluarga dirumah ini. Buatlah keputusan sesukamu!" Begitu ucap Mas Adam kepadaku. Setelah itu, suamiku itu melangkahkan kaki keluar rumah untuk mengantar Xabi ke sekolahnya.Aku berdiri dan menghembuskan napas sembari memijat-mijat keningku. Berusaha untuk mencari jalan keluarnya. Keinginanku tentu tidak ingin gadis belia bernama Nira itu bekerja disini. Namun, tampaknya si bungsuku sudah menyukainya. Sehingga Cleo terus menahannya dan tidak akan mau melepas Nira begitu saja. Aku sungguh sangat mengenal bagaimana putraku itu. Keinginannya memang harus selalu dituruti. Jika tidak, ia bisa demam berhari-hari. Terlebih lagi, Cleo adalah tipe anak yang sulit beradaptasi dengan Babysitternya. Sudah banyak yang mengundurkan diri sendiri karena susah membujuk Cleo. Berbeda dengan Nira, belum ada 24 jam ia sudah disukai Cleo."Mama, Mbak Nira tetep disini ya jagain Cleo," kata Cleo dengan mimik muka sedih.Aku sungguh tak bisa berkata-kata lagi selain mengangguk dan tersenyum ke arahnya."Bantu Cleo untuk persiapan les pianonya nanti, Nira. Setelah itu kamu temui saya dimeja makan," kataku pada Nira."M-mmaf, Bu. Hari ini Cleo nggak ada jadwal les pianoy. Tapi les renang." Nira membenarkan ucapanku."Iya, Ma. Adek les renang sama miss Tere." Cleo menambahi.Astaga, aku sampai tidak tahu jadwal kegiatan anakku sendiri. Padahal aku ibunya. Sedangkan Nira yang belum lama disini saja sudah hapal.Aku menjawab dengan sedikit gagap. "O-oh. Ya sudah bantu Cleo untuk persiapan les pianonya."Kemudian aku berjalan ke arah dapur untuk melanjutkan sarapanku.Saat ini aku merasakan dilema. Antara ingin memecat Nira atau mempertahankannya. Sebenarnya aku was-was dan takut setelah kejadian ia memasuki kamarku dengan lancang. Takutnya suamiku akan tergoda dengan kemolekan tubuhnya. Aku akui, Nira gadis muda yang cantik. Tapi sepertinya karena dia berasal dari latar belakang keluarga yang tidak mampu secara ekonomi, hal itu yang menjadi faktor Mas Adam kasihan padanya dan menerimanya bekerja sebagai Babysitter Cleo. Aku tahu mas Adam adalah tipe orang yang mudah luluh ketika melihat keluarga yang ekonominya lemah."M-maaf, Bu. Saya sudah siap membantu Cleo untuk bersiap-siap les renang hari ini." Suara Nira menyadarkanku dari lamunan.Aku menoleh ke belakang. Ia sudah berdiri disana masih dengan kepala yang menunduk.Aku mempersilahkannya duduk didepanku. "Duduk disitu."Saat ini kami duduk berhadapan."Saya belum tahu tentang kamu lebih detail. Boleh perkenalkan diri dulu ke saya?" pintaku.Nira mengangguk. "Tentu boleh, Bu."Ia sejenak terdiam. Berdehem terlebih dulu sebelum memperkenalkan dirinya."Nama saya Livia Danira. Biasa disapa Nira, Bu. Saya anak pertama dari empat bersaudara. Saya tinggal hanya dengan ibu saya yang sudah lama mengidap penyakit lumpuh. Saya sebagai tulang punggung keluarga membiayainya dan juga ketiga adik saya yang masih bersekolah," ucapnya memperkenalkan diri kepadaku.Ia kembali bersuara. "Bapak sudah lama meninggal. Sekitar 3 tahun yang lalu. Sejak itu, Ibu pun jatuh sakit dan saya yang mengambil alih untuk mencari pundi-pundi rupiah demi bertahan hidup."Aku tetap diam. Membiarkan gadis yang tengah duduk dihadapanku ini menyelesaikan kalimatnya."Saya sudah memiliki beragam pengalaman bekerja, Bu. Mulai dari menjadi pembantu rumah tangga, tukang sapu jalanan, cleaning sevice, dan kerja serabutan lainnya," imbuh Nira."Terus, kenapa kamu milih kerja menjadi Babysitter? Kamu masih muda. Kamu cantik juga. Kenapa nggak coba pekerjaan yang mudah dengan gaji tinggi? Seperti karyawan kantoran gitu," kataku dengan masih memandangnya. Baru kusadari ternyata wajah Nira masih terlihat polos dan lugu. Bisa ku tebak usianya masih sangat belia. Mungkin sekitar 17 atau 20 tahun."Saya sudah mencoba untuk melamar pekerjaan karyawan dikantoran, Bu. Tapi ijazah saya hanya lulusan SMP. Nggak memenuhi persyaratan," jawabnya dengan sopan.Aku melipatkan kedua tanganku diatas dada. Latar belakang keluarganya cukup membuat hatiku tersentuh. Karena aku juga bukan berasal dari keluarga kaya. Sewaktu aku masih muda, aku juga mencoba pekerjaan apapun sama seperti Nira. Pertimbanganku untuk memecatnya bekerjapun luntur. Ditambah lagi dukungan Cleo, si bungsuku yang sudah menyukainya."Oke. Kamu nggak jadi saya pecat," ucapku. Ku lihat ia mengangkat wajahnya dengan sumringah."Tapi..." tambahku ingin memberikan beberapa persyaratan.Nira sudah serius memandang ke arahku. Ia tampaknya penasatan dengan kata tapi yang masih menggantung dari mulutku."Tapi, kamu nggak boleh ulangin yang kemarin ya. Jangan masuk ke kamar saya tanpa izin. Saya nggak suka."Nira mengangguk dengan cepat. "Baik, Bu. Saya berjanji nggak akan mengulanginya lagi.""Satu lagi," kataku. Aku menyeruput teh sebelum melanjutkannya. Sementara Nira sudah menungguku. Tidak sabar ingin mendengarkan syarat yang selanjutnya."Apa itu, Bu?" tanya Nira."Tolong kamu jangan pakai pakaian ketat begitu dirumah ini. Kamu tahu kan anak saya dua-duanya laki-laki. Mereka juga masih terlalu kecil. Kalau ngeliat kamu sehari-hari berpakaian seperti ini, nanti timbul rasa penasaran mereka," ucapku sambil menunjuk baju ketat lengan pendek yang ia kenakan. Sangking ketatnya, lekukan tubuhnya terlihat jelas. Apalagi dari pinggul sampai kakinya, ia tampak seperti tidak memakai celana.Sebenarnya alasanku melarangnya mengenakan pakaian itu karena aku tidak ingin suamiku
Aku memandang Tere sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja ia bisikkan kepadaku. "K-kenapa, Re?" Aku balik bertanya dengan kening yang berkenyit.Tere berdehem. Ia memandang ke arah putraku lebih dulu. "Cleo, tunggu di kolam renang ya. Nanti miss menyusul." Tampaknya Tere sengaja memberi perintah Cleo untuk pergi dari hadapan kami. Gadis itu seperti ingin mengatakan sesuatu padaku.Si bungsuku itu mengerti dengan perintah Tere. Cleo diikuti Nira berjalan ke arah taman belakang.Setelah memastikan keduanya hilang dari pandangan kami, Tere menghadap ke arahku lagi. "Pakaiannya begitu, Kak. Nggak masalah?" tanya Tere mempertanyakan pakaian seksi yang dikenakan Nira.Aku tersenyum agak ragu. "Iya. Kakak udah tegur dia kok. Besok dia nggak akan pakai baju kayak gitu lagi.""Gimana sama Mas Adam, Kak?" tanya Tere tiba-tiba."M-maksudnya?" Aku mengernyitkan dahi. Belum mengerti dengan maksud pertanyaan Tere."Maksudku, apa Mas Adam nggak masalah sama Babysitter baru Cleo? Nggak risih ngel
Aku mengikuti dorongan Mas Adam untuk melepas pelukanku. Perlahan ku angkat kepalaku dan bertanya dengan bibir yang bergetar. "K-kenapa, Mas? Mas nggak mau maafin aku?" Ujung mataku sudah memanas. Riak air sudah ingin turun. Ditambah raut wajah Mas Adam yang datar. Sulit ku tebak."Kamu minta maaf terus. Tapi nol aksi. Besok-besok kamu lakuin hal yang sama lagi," kata Mas Adam datar tanpa ekspresi.Aku menggelengkan kepala dengan kuat. "Nggak, Mas. Aku janji kali ini nggak akan ngulangin hal yang sama lagi. Aku janji akan menghargai setiap keputusan yang Mas Adam buat." Aku mengatakan itu dengan terisak. Aku sangat mencintainya. Setiap kali kami memiliki masalah, selalu aku yang menangis tersedu-sedu. Tangisanku itu adalah ketakutanku kehilangan Mas Adam. Meski aku tahu, Mas Adam tidak akan kemana-mana. Ia tidak akan meninggalkanku. Kami sudah berjanji dari tujuh tahun yang lalu, bahwa kami akan terus melanggengkan pernikahan ini sampai maut yang memisahkan. Bagaimanapun cobaan yang me
Aku masih terlentang tidak berdaya di atas ranjang seusai bercinta dengan suamiku. Seluruh tubuhku terasa lemas. Tetapi rasanya sangat puas sekali karena kami sama-sama sampai di puncak kenikmatan dengan waktu yang bersamaan."Terimakasih, Sayang," ucap Mas Adam kepadaku sembari membelai rambutku. Suamiku itu masih berbaring juga di atas ranjang. Wajahnya terlihat lesu sebab pertempuran ini juga. Tapi aku tetap menyukainya."Mas mau lagi?" tanyaku menggoda. Ku kedipkan satu mataku ke arahnya. Itu hal yang biasa aku lakukan. Menggoda suamiku setelah kami bercinta untuk menantangnya.Mas Adam menggeleng. "Sayang, udah. Mas udah cukup puas."Aku terkekeh pelan. "Bilang aja nggak kuat lagi, kan?" Ku julurkan lidahku.Mas Adam tersenyum malu."Kamu nggak jadi pergi ke kantor?" tanyanya. Mata Mas Adam sudah mulai terpejam. Mungkin karena kelelahan."Iya, Mas. Ini aku mau mandi lagi. Terus siap-siap dan otw ke kantor," jawabku sembari mengikat rambutku yang sempat tergerai tidak beraturan ka
Pelakor’s POVAku terdiam. Belum menjawab permintaannya Mas Adam.“Sayang? Kenapa diam? Memangnya kamu nggak kangen samaku?” tanyanya lagi.Aku menghela napas kasar. Bayangan Mas Adam bersama istrinya tadi terus terbayang di kepalaku. Membuatku semakin badmood saja.“Tapi kan tadi pagi mas udah di service sama istri Mas,” kataku menyindir.“Haha.” Mas Adam terkekeh. “Jadi kamu cemburu ya, Sayang?” tanyanya padaku. Ia seperti telah mengetahui apa yang tengah aku rasakan saat ini.“Jadi menurut Mas gimana? Aku nggak akan cemburu? Aku biasa aja gitu?” Aku balik bertanya dengan nada kesal.“Iya-iya paham. Maaf ya. Itukan hubungan suami istri. Mas ngelakuinnya biar dia nggak curiga,” jawab Mas Adam santai. Mencoba untuk membuatku tenang.Aku masih tetap terdiam.“Eh ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu aku dan Ghinda bercinta tadi pagi?” Mas Adam bertanya padaku. Ia baru menyadarinya.“Hm. Aku ngeliat sendiri dari luar jendela,” jawabku ketus.“Ya ampun, Sayang. Kamu tahu itu membuat kamu
"Hm. A-anu. Mas mau keluar sebentar untuk beli nasi padang. Tiba-tiba kepikiran pengen makan itu," jawab Mas Adam sambil menggaruk tengkuknya.Aku mengernyitkan dahi. "Sejak kapan Mas suka nasi padang?" Aku hapal betul selera makan suamiku. Tujuh tahun menjadi istrinya, ia tidak pernah sama sekali menyentuh makana tersebut. Tapi malam ini Mas Adam mendadak menginginkannya."Eh iya, Sayang. Nggak tahu nih. Tiba-tiba aja gitu kepengen. Kayaknya enak malam-malam begini makan nasi padang." Mas Adam tersenyum ke arahku. Matanya yang berbentuk bulan sabit ketika tersenyum itu membuatku gemas dan jatuh cinta berkali-kali.Aku tersenyum menggoda. "Mas lagi nyidam ya?" Satu mataku berkedip.Mas Adam terdiam sejenak. Kemudian ia terkekeh malu. "Ah masa iya sih, Dek.""Ya mana tahu Xabi dan Cleo mau punya adik lagi," ujarku lagi."Memangnya kamu ada tanda-tanda?" tanya Mas Adam. Ku jawab dengan menaikkan kedua bahuku. "Belum tahu, Mas. Tapi doakan sajalah ya. Segera. Hehe."Kami memang berencana
Mas Adam segera mengambil handphonenya. Padahal aku belum sempat membaca kelanjutan isi dari notifikasi pesan WhatssAp tersebut.“Chat dari siapa, Mas?” tanyaku.“Dari temen aku, Dek.” Mas Adam menjawab tanpa menoleh ke arahku. Ia masih sibuk dengan gawainya. Sepertinya sedang membalas pesan itu.“Temen kamu check in hotel?” tanyaku lagi. Sebab, tadi aku tidak sengaja membaca ada nama hotel serta nomor kamarnya juga.Mas Adam mendadak tersedak makanan yang ia telan. Suamiku itu berulang kali terbatuk-batuk. Wajahnya tampak terkejut. Aku dengan segera menuangkan segelas air untuknya. “Ini mas minum dulu.” Aku memberikan segelas air kepada Mas Adam dan membantu untuk meminumkannya.Setelah meneguk setengah air di dalam gelas itu, Mas Adam mengucapkan, “Terimakasih, Dek.”Aku tersenyum. Mas Adam sedari dulu tidak pernah berubah. Ia selalu mengucapkan tiga kata ampuh yang bisa membuatku terkesima dan kagum terus padanya. Tiga kata itu adalah yang pertama kata tolong, yang selalu mas Adam
Pelakor's POVAku sangat kesal ketika membaca pesan dari Mas Adam. Dia tidak jadi datang menyusulku di hotel. Padahal aku sudah memesannya dan melakukan persiapan lainnya. Namun, hanya karena istrinya tiba-tiba pulang cepat. Itu penyebab kebatalannya."Aku nggak akan tinggal diam," kataku dalam hati. Aku sudah tidak tahan menjadi simpanannya."Aku harus bertemu sama Mas Adam malam ini juga. Nggak mau tahu." Aku mengirimkan pesan seperti itu kepada Mas Adam. Tidak lama setelah itu, ia membalas lagi. "Sayang, tolong mengerti aku. Ghinda baru pulang. Aku sudah cari alasan untuk pergi, tapi ada aja tingkah Ghinda yang mencegahku. Rencanaku untuk pergi selalu gagal.""Berarti Mas nggak berjuang untuk aku!" balasku lagi. Aku sangat kesal. Masa untuk keluar sebentar menemuiku saja Mas Adam tidak bisa. Pria itu tidak pintar mencari alasan yang tepat. Dia juga terlalu takut dengan istrinya. Padahal kan dia adalah seorang suami, yang harus memegang kendali atas semuanya.Aku melipatkan kedua ta