Nira sudah serius memandang ke arahku. Ia tampaknya penasatan dengan kata tapi yang masih menggantung dari mulutku.
"Tapi, kamu nggak boleh ulangin yang kemarin ya. Jangan masuk ke kamar saya tanpa izin. Saya nggak suka."Nira mengangguk dengan cepat. "Baik, Bu. Saya berjanji nggak akan mengulanginya lagi.""Satu lagi," kataku. Aku menyeruput teh sebelum melanjutkannya. Sementara Nira sudah menungguku. Tidak sabar ingin mendengarkan syarat yang selanjutnya."Apa itu, Bu?" tanya Nira."Tolong kamu jangan pakai pakaian ketat begitu dirumah ini. Kamu tahu kan anak saya dua-duanya laki-laki. Mereka juga masih terlalu kecil. Kalau ngeliat kamu sehari-hari berpakaian seperti ini, nanti timbul rasa penasaran mereka," ucapku sambil menunjuk baju ketat lengan pendek yang ia kenakan. Sangking ketatnya, lekukan tubuhnya terlihat jelas. Apalagi dari pinggul sampai kakinya, ia tampak seperti tidak memakai celana.Sebenarnya alasanku melarangnya mengenakan pakaian itu karena aku tidak ingin suamiku lama-lama bisa tergoda padanya. Meskipun aku tahu bahwa Mas Adam tidak akan seperti itu. Tapi fitrahnya seorang istri tentu memiliki rasa cemburu karena merasa disaingi keseksiannya didepan suami oleh wanita asing.Nira mengangguk lagi. "Baik, Bu. Saya akan mengusahakannya. Karena saya nggak punya baju banyak. Ini baju udah lama waktu zaman saya sekolah. Makanya sudah sempit.""Mau beli baju baru selalu nggak ada uang. Uangnya selalu habis untuk keperluan dapur, adek-adek sekolah, dan obatnya ibu," tambahnya lagi. Menjelaskan keadaannya.Aku tersentuh mendengar pengakuannya itu. Keadan ekonominya memang benar-benar sulit. Pantas saja mas Adam menerimanya bekerja. Sebab, suamiku itu tidak bisa melihat orang susah.Aku mengeluarkan dompet yang ku kantongi dicelana. Berniat untuk memberikannya beberapa lembaran uang merah."Ini ada uang buat kamu. Nanti pergi kepasar beli lah baju yang agak longgar. Untuk sementara, sedapatnya aja ya. Dua atau tiga potong. Besok saya belikan lagi," kataku sembari memberikan 5 lembaran uang merah.Wajah Nira terlihat seperti sungkan mengambil uang ditanganku."Ini terlalu banyak, Bu. Saya beli baju yang murah-murah aja," jawabnya dengan sungkan."Enggak. Udah ambil aja ini," kataku memaksa.Akhirnya Nira mengambilnya dan mengucapkan, "Terimakasih banyak, Bu."Aku mengangguk. "Kamu boleh kembali temenin Cleo untuk les renangnya hari ini.""Baik, Bu." Nira langsung melangkahkan kakinya untuk menyusul bungsuku.Ting! Ting!Bel pintu rumah berbunyi.Aku segera berjalan ke pintu utama dan membuka pintu tersebut.Pintu sudah ku buka. Seorang wanita muda tersenyum sumringah ke arahku. "Kakak!!" Begitu jeritnya ketika melihatku membukakan pintu untuknya.Aku ikut senang juga. Ku terima pelukannya dengan senang."Ya ampun, Tere. Kita udah lama nggak ketemu," kataku masih memeluknya dengan erat.Tere melepaskan pelukanku. Ia membalas perkataanku. "Iya, Kak. Sejak covid ini nggak sih, Kak. Udah 6 bulan lebih."Aku tersenyum sumringah dan mengangguk juga. "Iya, Tere. Kamu apa kabar? Makin cantik aja." Aku memuji adik kandung sahabatku itu. Tere adalah adiknya Rere, sahabat SMA ku yang sampai saat ini masih terus berkomunikasi denganku. Sama-sama menjadi CEO diperusahaan tekstil, tapi tidak membuat kami bersaing. Malahan sering berbagi inspirasi untuk sama-sama memajukan perusahaan kami."Ah kakak bisa aja. Aku ya gini-gini aja dari dulu, Kak. Belum glow up. Hehe." Tere tertawa renyah diakhir kalimat yang ia ucapkan.Aku meliriknya dengan senang dari ujung kaki dan kepala. Penampilan Tere berubah drastis. Gadis yang masih belia itu semakin cantik saja dan gaya pakaiannya juga apik. Fashionable sekali mengikuti trend-trend kekinian."Nggak ah. Kamu udah glow up. Makin cantik beneran," kataku memujinya lagi. Tere hanya bisa tertawa kecil. Menertawakan pujianku yang menurutnya tidak begitu."Eh, ayuk masuk dulu, Tere. Kakak sampai lupa ajak kamu masuk.""Iya, Kak." Gadis yang bernama Tere itu mengikutiku dibelakang. Ku persilahkan ia duduk disofa."Dimana Cleo, Kak? Hari ini jadwalnya les renang kan?" tanya Tere."Ah iya. Cleo masih siap-siap habis sarapan," jawabku. Tere memang menjadi pengganti guru renang Cleo sudah dua minggu berlangsung. Namun, minggu kemarin aku tidak sempat bertemu dengannya karena aku sudah pergi ke kantor lebih dulu."Minggu kemarin kita nggak sempat ketemu ya, Tere. Karna kakak udah pergi ke kantor duluan. Jadi Ayah Cleo yang nemenin Cleo kan?" tanyaku memastikan. Aku memang meminta Mas Adam untuk menemani Cleo les renang dirumah bersama Tere. Sebab, minggu kemarin Cleo belum memiliki Babysitter yang menjaganya.Terkadang, pekerjaanku sebagai CEO tidak serta merta aku bisa bersantai ria. Aku harus memastikan karyawanku bekerja dengan baik dikantor, dan harus menandatangani berkas-berkas persetujuan distributor dan segala macamnya yang menyangkut nama perusahaan yang sudah kubangun sejak aku belum menikah.Untung saja aku memiliki suami pengangguran yang bisa menghandle anak-anak dirumah. Ya, Mas Adam tidak bekerja. Tugasnya hanya mengurusi kebun kepala sawit yang kami punya. Alasan Mas Adam tidak bekerja karena fisiknya lemah. Ketika muda, suamiku itu pernah mengalami kecelakaan hebat sehingga menyebabkan beberapa fungsi organnya lemah dan tidak diperbolehkan bekerja.Tere mengangguk. "Iya, Kak. Pinter banget Cleonya. Nggak ngerepotin Ayahnya." Tere tersenyum memuji si bungsuku."Iya. Kemarin karena dia belum ada Babysitter. Jadi untuk sementara Ayahnya dulu yang ngejagain."Jadi, sekarang Cleo udah ada Babysitter, Kak?"Aku mengangguk menjawab pertanyaan Tere. "Ada, Re. Baru masuk tadi malam.""Halo, Miss Tere." Cleo muncul dari belakangku dan langsung menyapa guru renangnya itu. Ia bersama Nira."Hello, Cleo. How are you today?" Tere bertanya kepada Cleo dengan sumringah."I am fine. Thank you," jawab bungsuku."Oh ini Babysitter barunya Cleo ya?" tanya Tere kepada perempuan yang berdiri disebelah Cleo.Nira mengangguk dan tersenyum ke arah Tere."Kakak nggak salah pilih mempekerjakan dia sebagai Babysitternya Cleo?" tanya Tere berbisik kepadaku.Aku memandang Tere sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja ia bisikkan kepadaku. "K-kenapa, Re?" Aku balik bertanya dengan kening yang berkenyit.Tere berdehem. Ia memandang ke arah putraku lebih dulu. "Cleo, tunggu di kolam renang ya. Nanti miss menyusul." Tampaknya Tere sengaja memberi perintah Cleo untuk pergi dari hadapan kami. Gadis itu seperti ingin mengatakan sesuatu padaku.Si bungsuku itu mengerti dengan perintah Tere. Cleo diikuti Nira berjalan ke arah taman belakang.Setelah memastikan keduanya hilang dari pandangan kami, Tere menghadap ke arahku lagi. "Pakaiannya begitu, Kak. Nggak masalah?" tanya Tere mempertanyakan pakaian seksi yang dikenakan Nira.Aku tersenyum agak ragu. "Iya. Kakak udah tegur dia kok. Besok dia nggak akan pakai baju kayak gitu lagi.""Gimana sama Mas Adam, Kak?" tanya Tere tiba-tiba."M-maksudnya?" Aku mengernyitkan dahi. Belum mengerti dengan maksud pertanyaan Tere."Maksudku, apa Mas Adam nggak masalah sama Babysitter baru Cleo? Nggak risih ngel
Aku mengikuti dorongan Mas Adam untuk melepas pelukanku. Perlahan ku angkat kepalaku dan bertanya dengan bibir yang bergetar. "K-kenapa, Mas? Mas nggak mau maafin aku?" Ujung mataku sudah memanas. Riak air sudah ingin turun. Ditambah raut wajah Mas Adam yang datar. Sulit ku tebak."Kamu minta maaf terus. Tapi nol aksi. Besok-besok kamu lakuin hal yang sama lagi," kata Mas Adam datar tanpa ekspresi.Aku menggelengkan kepala dengan kuat. "Nggak, Mas. Aku janji kali ini nggak akan ngulangin hal yang sama lagi. Aku janji akan menghargai setiap keputusan yang Mas Adam buat." Aku mengatakan itu dengan terisak. Aku sangat mencintainya. Setiap kali kami memiliki masalah, selalu aku yang menangis tersedu-sedu. Tangisanku itu adalah ketakutanku kehilangan Mas Adam. Meski aku tahu, Mas Adam tidak akan kemana-mana. Ia tidak akan meninggalkanku. Kami sudah berjanji dari tujuh tahun yang lalu, bahwa kami akan terus melanggengkan pernikahan ini sampai maut yang memisahkan. Bagaimanapun cobaan yang me
Aku masih terlentang tidak berdaya di atas ranjang seusai bercinta dengan suamiku. Seluruh tubuhku terasa lemas. Tetapi rasanya sangat puas sekali karena kami sama-sama sampai di puncak kenikmatan dengan waktu yang bersamaan."Terimakasih, Sayang," ucap Mas Adam kepadaku sembari membelai rambutku. Suamiku itu masih berbaring juga di atas ranjang. Wajahnya terlihat lesu sebab pertempuran ini juga. Tapi aku tetap menyukainya."Mas mau lagi?" tanyaku menggoda. Ku kedipkan satu mataku ke arahnya. Itu hal yang biasa aku lakukan. Menggoda suamiku setelah kami bercinta untuk menantangnya.Mas Adam menggeleng. "Sayang, udah. Mas udah cukup puas."Aku terkekeh pelan. "Bilang aja nggak kuat lagi, kan?" Ku julurkan lidahku.Mas Adam tersenyum malu."Kamu nggak jadi pergi ke kantor?" tanyanya. Mata Mas Adam sudah mulai terpejam. Mungkin karena kelelahan."Iya, Mas. Ini aku mau mandi lagi. Terus siap-siap dan otw ke kantor," jawabku sembari mengikat rambutku yang sempat tergerai tidak beraturan ka
Pelakor’s POVAku terdiam. Belum menjawab permintaannya Mas Adam.“Sayang? Kenapa diam? Memangnya kamu nggak kangen samaku?” tanyanya lagi.Aku menghela napas kasar. Bayangan Mas Adam bersama istrinya tadi terus terbayang di kepalaku. Membuatku semakin badmood saja.“Tapi kan tadi pagi mas udah di service sama istri Mas,” kataku menyindir.“Haha.” Mas Adam terkekeh. “Jadi kamu cemburu ya, Sayang?” tanyanya padaku. Ia seperti telah mengetahui apa yang tengah aku rasakan saat ini.“Jadi menurut Mas gimana? Aku nggak akan cemburu? Aku biasa aja gitu?” Aku balik bertanya dengan nada kesal.“Iya-iya paham. Maaf ya. Itukan hubungan suami istri. Mas ngelakuinnya biar dia nggak curiga,” jawab Mas Adam santai. Mencoba untuk membuatku tenang.Aku masih tetap terdiam.“Eh ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu aku dan Ghinda bercinta tadi pagi?” Mas Adam bertanya padaku. Ia baru menyadarinya.“Hm. Aku ngeliat sendiri dari luar jendela,” jawabku ketus.“Ya ampun, Sayang. Kamu tahu itu membuat kamu
"Hm. A-anu. Mas mau keluar sebentar untuk beli nasi padang. Tiba-tiba kepikiran pengen makan itu," jawab Mas Adam sambil menggaruk tengkuknya.Aku mengernyitkan dahi. "Sejak kapan Mas suka nasi padang?" Aku hapal betul selera makan suamiku. Tujuh tahun menjadi istrinya, ia tidak pernah sama sekali menyentuh makana tersebut. Tapi malam ini Mas Adam mendadak menginginkannya."Eh iya, Sayang. Nggak tahu nih. Tiba-tiba aja gitu kepengen. Kayaknya enak malam-malam begini makan nasi padang." Mas Adam tersenyum ke arahku. Matanya yang berbentuk bulan sabit ketika tersenyum itu membuatku gemas dan jatuh cinta berkali-kali.Aku tersenyum menggoda. "Mas lagi nyidam ya?" Satu mataku berkedip.Mas Adam terdiam sejenak. Kemudian ia terkekeh malu. "Ah masa iya sih, Dek.""Ya mana tahu Xabi dan Cleo mau punya adik lagi," ujarku lagi."Memangnya kamu ada tanda-tanda?" tanya Mas Adam. Ku jawab dengan menaikkan kedua bahuku. "Belum tahu, Mas. Tapi doakan sajalah ya. Segera. Hehe."Kami memang berencana
Mas Adam segera mengambil handphonenya. Padahal aku belum sempat membaca kelanjutan isi dari notifikasi pesan WhatssAp tersebut.“Chat dari siapa, Mas?” tanyaku.“Dari temen aku, Dek.” Mas Adam menjawab tanpa menoleh ke arahku. Ia masih sibuk dengan gawainya. Sepertinya sedang membalas pesan itu.“Temen kamu check in hotel?” tanyaku lagi. Sebab, tadi aku tidak sengaja membaca ada nama hotel serta nomor kamarnya juga.Mas Adam mendadak tersedak makanan yang ia telan. Suamiku itu berulang kali terbatuk-batuk. Wajahnya tampak terkejut. Aku dengan segera menuangkan segelas air untuknya. “Ini mas minum dulu.” Aku memberikan segelas air kepada Mas Adam dan membantu untuk meminumkannya.Setelah meneguk setengah air di dalam gelas itu, Mas Adam mengucapkan, “Terimakasih, Dek.”Aku tersenyum. Mas Adam sedari dulu tidak pernah berubah. Ia selalu mengucapkan tiga kata ampuh yang bisa membuatku terkesima dan kagum terus padanya. Tiga kata itu adalah yang pertama kata tolong, yang selalu mas Adam
Pelakor's POVAku sangat kesal ketika membaca pesan dari Mas Adam. Dia tidak jadi datang menyusulku di hotel. Padahal aku sudah memesannya dan melakukan persiapan lainnya. Namun, hanya karena istrinya tiba-tiba pulang cepat. Itu penyebab kebatalannya."Aku nggak akan tinggal diam," kataku dalam hati. Aku sudah tidak tahan menjadi simpanannya."Aku harus bertemu sama Mas Adam malam ini juga. Nggak mau tahu." Aku mengirimkan pesan seperti itu kepada Mas Adam. Tidak lama setelah itu, ia membalas lagi. "Sayang, tolong mengerti aku. Ghinda baru pulang. Aku sudah cari alasan untuk pergi, tapi ada aja tingkah Ghinda yang mencegahku. Rencanaku untuk pergi selalu gagal.""Berarti Mas nggak berjuang untuk aku!" balasku lagi. Aku sangat kesal. Masa untuk keluar sebentar menemuiku saja Mas Adam tidak bisa. Pria itu tidak pintar mencari alasan yang tepat. Dia juga terlalu takut dengan istrinya. Padahal kan dia adalah seorang suami, yang harus memegang kendali atas semuanya.Aku melipatkan kedua ta
Pelakor's POVAku dengan santai mengunyah makanan. Mas Adam terus mengomel padaku. Sementara aku sama sekali tidak melirik ke arahnya. Lelaki itupun geram padaku. "Tere! Jawab!"Aku sontak berhenti mengunyah. Ku telan makananku dengan cepat dan langsung menoleh ke arah Mas Adam. Jika dia sudah memanggil namaku, maka kekesalannya itu memang benar-benar."Apa, Mas? Kok malah Mas Adam yang marah-marah sama aku? Harusnya kan aku! Aku udah nunggu kamu di hotel. Tapi, kamu nggak dateng, Mas! Kamu malah lebih milih istri kamu," ujarku berbisik tepat di telinganya.Mas Adam mengacak rambutnya sembarangan. Ia terlihat frustasi menghadapi situasi seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Ini memang kesalahannya. Dan aku tidak akan mengalah."Ya, tapi kenapa harus nginep di sini? Kamu mau ngaduin ke Ghinda tentang kita? Hah?" tanyanya lagi. Mukanya sebagian sudah memerah. Kepanikannya tergambar jelas.Aku melipatkan kedua tanganku di atas dada. "Jadi, kamu nggak suka kalau aku nginep di sini? Bukan