Bagian 3
"Ini sarapannya, Mas." Aku meletakkan roti tawar dan susu hangat tersebut di atas meja.
Aku melirik Nia sejenak, ia terlihat kesal padaku, terlihat dari sorot matanya yang memandangku dengan tatapan tidak suka. Tapi aku tidak peduli, aku harus melindungi suamiku dari Nia. Yang jelas, aku tidak suka dengan sikapnya yang selalu mencari perhatian dari Mas Ilyas.
"Sandra, kenapa sih nasi gorengnya kamu buang? Tadi sudah kucicipi kok, rasanya enak dan nggak asin." Nia protes karena aku membuang nasi goreng buatannya tersebut.
"Nasi gorengnya benar-benar asin, Nia. Rasanya juga nggak enak. Masa kamu ingin memberikan nasi goreng seperti itu untuk Mas Ilyas. Aku aja nggak pernah masak makanan seasin itu," ucapku tak mau kalah.
Nia memonyongkan bibirnya, kelihatan sekali bahwa ia tidak suka padaku. Dulu, aku memang selalu menuruti apapun yang diinginkan Nia, tapi sekarang tidak lagi. Aku mencium gelagat tidak baik dalam dirinya, sehingga aku harus extra hati-hati padanya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel berbunyi, Mbok Yuli langsung membukakan pintu. Setelah itu mbok Yuli menghampiri kami yang sedang berada di ruang makan dan mengatakan bahwa ada Mas Rian-suaminya Nia, sedang menunggu di ruang tamu.
Nia bersikeras tidak mau menemui suaminya itu, meskipun aku sudah membujuknya. Malah Nia menangis seperti orang yang sedang ketakutan saat mengetahui kedatangan suaminya ke rumah ini.
"Nia, nggak usah takut. Kan ada aku dan juga Mas Ilyas." Aku masih berusaha membujuk Nia agar ia mau menemui suaminya itu.
"Iya, Nia. Kamu nggak usah khawatir," sambung Mas Ilyas, membenarkan ucapanku.
"Mari kita temui dia," ucap Mas Ilyas setelah menyudahi sarapannya.
Mas Ilyas beranjak dari tempat duduknya, begitu juga denganku. Tapi tiba-tiba Nia meraih tangan Mas Ilyas. "Mas, tolong! Nia nggak mau bertemu dengan Mas Rian. Dia jahat. Nia nggak mau dipukul lagi." Nia semakin mengeratkan genggaman tangannya, sementara Mas Ilyas tidak melakukan apa-apa. Hingga akhirnya aku berinisiatif untuk menjauhkan tangan Nia, agar genggaman tangannya terlepas. Aku tidak suka melihat wanita lain memegang tangan suamiku sendiri. Meskipun ia adalah sahabatku sendiri.
"Ayo kita temui suamimu," ucapku sambil menarik tangan Nia dengan paksa.
"Nia." Mas Rian menyunggingkan senyuman sesaat setelah kami tiba di ruang tamu.
"Nia, Mas ingin menjemputmu. Pulang, yuk. Mas kangen padamu," ucap Mas Rian sambil berusaha meraih tangan Nia.
Nia menepisnya dan langsung menangis di hadapan kami.
"Tolong jangan sakiti aku lagi, Mas. Aku sudah nggak kuat." Nia berlari dan bersembunyi di belakang Mas Ilyas.
"Kapan Mas menyakitimu. Jangan mengada-ada, Nia. Mas tidak pernah sekalipun berbuat kasar padamu." Mas Rian menyangkal ucapan Nia serta berusaha membela dirinya.
Aku tidak melihat kebohongan di wajah Mas Rian. Apa jangan-jangan, Nia yang telah berbohong?
"Rian, cukup. Berhenti bersandiwara. Nia sudah menceritakan semuanya. Jadi aku minta, pergilah dari sini sebelum aku berbuat kasar padamu." Mas Ilyas membentak Mas Rian, ia sama sekali tidak mau mendengar penjelasan Mas Rian. Padahal, aku ingin sekali kami membicarakan hal ini dengan baik-baik, tentunya dengan kepala dingin.
"Tolong dengarkan penjelasanku dulu. Hubunganku dengan Nia baik-baik saja. Aku juga tidak mengerti kenapa Nia tiba-tiba kabur dari rumah," ucap Mas Rian.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku sudah tahu semuanya. Kamu selingkuh dengan wanita lain dan kamu ingin menikahi wanita selingkuhanmu itu. Kamu juga sering main tangan kepada Nia. Jangan pikir aku tidak mengetahui perbuatanmu itu. Aku sudah tahu semuanya. Pergi, jangan sampai kesabaranku habis." Wajah Mas Ilyas merah padam menahan emosi. Sebelumnya, aku tidak pernah melihatnya seperti itu.
"Ini fitnah. Aku tidak pernah melakukan seperti yang kalian tuduhkan padaku. Aku berani bersumpah." Mas Rian berusaha membuktikan kalau ia sama sekali tidak bersalah.
"Mas, kita dengerin penjelasan Mas Rian dulu, Dong. Mas nggak boleh bersikap seperti ini. Hanya mempercayai sebelah pihak saja," saranku pada Mas Ilyas, tapi Mas Ilyas tidak mau mendengarkan saran dariku.
"Sandra, kenapa sih, kamu nggak percaya padaku. Kamu lebih mempercayai omongan Mas Rian dibanding sahabatmu sendiri. Aku benar-benar kecewa padamu, San," ujar Nia, ia malah balik menyalahkanku.
Apa yang salah dari ucapanku? Justru aku ingin membantunya menyelesaikan persoalan rumah tangganya dengan suaminya sendiri. Tapi Nia malah berprasangka buruk padaku.
"Sudah-sudah! Aku minta, cepat tinggalkan rumah ini dan jangan pernah kembali lagi ke sini. Nia akan tinggal di rumah ini dan aku akan melindunginya dari lelaki bajing*n sepertimu," tegas Mas Ilyas. Sampai segitunya Mas Ilyas membela Nia.
"Oke, aku akan pergi. Tapi ingat, kebohongan tidak akan pernah bisa menang. Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat pasti akan jatuh juga. Camkan itu! Aku permisi." Mas Rian pun berlalu dari hadapan kami.
***
Setelah Mas Ilyas berangkat ke kantor, aku pun memutuskan untuk bertemu secara diam-diam dengan Mas Rian, setelah membuat janji terlebih dahulu dengannya. Aku ingin mencari tahu, sebenarnya apa yang terjadi.
Aku harus permisi kepada Mas Ilyas jika hendak keluar rumah, karena Mas Ilyas tidak suka jika istrinya terlalu lama berada di luar rumah. Mas Ilyas menginginkanku menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.
Aku memang jarang keluar rumah. Palingan aku keluar rumah hanya untuk berbelanja ke pasar atau ke supermarket, selebihnya menghabiskan waktu di rumah.
Dulu, aku sempat bekerja menjadi admin di sebuah perusahaan swasta. Setelah menikah dengan Mas Ilyas, ia melarangku untuk bekerja. Ia bilang lebih senang jika istrinya berada di dalam rumah. Aku pun menurutinya dan dengan senang hati menjalankan tugasku sebagai seorang istri.
Mas Ilyas menjabat sebagai manajer di sebuah perusahaan swasta, gajinya lumayan besar sehingga kami bisa menabung setiap bulannya.
Di usia pernikahan yang keempat, kami telah memiliki rumah, mobil, sebuah perumahan elit yang letaknya di pinggir kota dan juga uang tabungan yang sengaja kami persiapkan untuk masa depan anak-anak kami nantinya. Hanya satu yang kurang, sampai saat ini, kami belum dikaruniai keturunan. Rumah ini terasa sunyi tanpa kehadiran seorang anak.
Aku tidak henti-hentinya memohon kepada Sang khalik agar menitipkan seorang anak di dalam rahimku. Walaupun sampai detik ini doaku belum dikabulkan, tapi aku tidak akan pernah berputus asa.
Sebelum menemui Mas Rian, aku mengirimkan pesan kepada Mas Ilyas untuk meminta ijin bahwa aku akan keluar rumah. Biasanya Mas Ilyas akan langsung memberi ijin, asalkan jelas tujuannya.
[Mas, aku ijin keluar ya. Aku mau ke supermarket untuk membeli kebutuhan pokok.] Kukirimkan pesan tersebut kepada Mas Ilyas.
[Baiklah, hati-hati ya, Sayang.] Balasan pesan dari Mas Ilyas.
Setelah mendapat ijin, aku pun langsung menuju garasi karena sebelumnya aku sudah bersiap-siap.
Mas Rian telah mengirimkan lokasi yang akan kami jadikan sebagai tempat ngobrol, melalui W******p. Aku tahu tempat itu, hanya butuh waktu kira-kira dua puluh menit untuk sampai ke tempat itu.
Sebelum pergi, aku sempatkan untuk melihat Nia dulu. Kuketuk pintu kamarnya beberapa kali, tapi tak kunjung dibuka. Akhirnya, aku membuka pintu tersebut, dan ternyata Nia tidak berada di kamarnya.
"Mbok, Nia kemana?" tanyaku pada Mbok Yuli yang sedang sibuk mengelap guci keramik yang berada di ruang tamu.
"Oh, Bu Nia pergi, Mbok nggak tahu pergi kemana, Bu," jawab Mbok Yuli yang terlihat fokus mengerjakan tugasnya.
"Baiklah, Mbok. Aku pergi dulu ya."
"Baik, Bu. Hati-hati, ya!"
Aku pun menganggukkan kepala sambil tersenyum kepada wanita berusia lima puluh tahunan itu, yang telah lama bekerja di rumah ini
***
Aku memarkirkan mobil di depan supermarket yang letaknya berseberangan dengan cafe. Mas Rian sengaja memilih tempat yang dekat dengan supermarket tersebut karena sudah kukasih tahu terlebih dahulu. Aku tidak mau jika sampai Mas Ilyas melihatku bertemu dengan lelaki lain. Bisa-bisa, Mas Ilyas akan marah padaku.
Setelah memarkirkan mobil, aku melihat sosok yang tidak asing lagi di mataku. Mas Ilyas dan juga Nia. Mereka duduk berdua di dalam cafe, kelihatannya akrab sekali.
Sahabat dan suamiku ternyata sedang bersantai di dalam cafe, dan aku tidak diajak dan tidak diberitahu sama sekali.
Ada yang sakit di sini, di dalam hati ini. Aku tidak tahan melihat mereka berduaan seperti itu. Rasanya, kedua mata ini tidak sanggup menyaksikan pemandangan yang menyakitkan tersebut. Baiklah, aku akan melabrak mereka sekarang juga.
Bersambung
Bagian 63"Sandra, izinkan aku menyematkan cincin ini di jari manismu, ya. Pertanda bahwa aku telah mengikat hatimu," pinta Mas Romi.Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Terharu, senang, bahagia semuanya berpadu menjadi satu."Ma, kalau cuma pegang tangan doang boleh ya? Nggak dosa kan megang tangan calon istri sendiri?" "Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!""Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!"Mas Romi meraih tanganku, lalu menyematkan cincin di jari manisku. Ia kemudian mengecupnya. Membuatku tersipu malu."Udah ya pegangan tangannya. Sekarang mari kita tentukan tanggal pernikahan kalian. Mama sudah tidak sabar pengen punya mantu!" Mamanya Mas Romi tersenyum manis padaku. Membuatku teringat kepada almarhumah mama mertua. Sifatnya tidak jauh beda dengan mamanya Mas Romi. Ah, aku jadi rindu padanya."Leb
Bagian 62"Mas Romi datang bersama keluarganya, Mbok? Pagi-pagi begini? Serius?" Aku masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan Mbok Yuli barusan."Iya, Non. Sekarang mereka sedang nungguin Non sambil menikmati teh dan juga pisang crispy buatan Mbok. Non kenapa? Kok wajahnya jadi tegang begitu? Deg-degan ya mau ketemu sama calon mertua?" Mbok Yuli masih sempat-sempatnya menggodaku."Tuh kan, pipinya bersemu merah," ledeknya."Mbok apa-apaan, sih? Biasa aja kok!" Aku memalingkan wajah agar Mbok Yuli tidak bisa lagi melihat raut wajahku. Jujur, aku deg-degan dan juga grogi."Kapan nemuin tamunya kalau kita ngobrol terus di sini? Yasudah, Non siap-siap ya. Mbok mau turun lagi ke bawah."Aku pun menganggukkan kepala dan buru-buru menutup pintu kamar.Apa Mas Romi serius dengan ucapannya semalam? Apa ia sungguh-sungguh mencintaiku? Ia bahkan membawa keluarganya untuk bertemu denganku.Ah, kenapa aku jadi salah tingkah begini sih? Nggak biasanya aku begini. Gegas aku berjalan ke kamar
Bagian 61"Sebaiknya kalian pulang saja, Mas. Beri aku waktu untuk berpikir karena aku belum bisa memutuskan sekarang."Setelah diam cukup lama, akhirnya aku angkat bicara."Nggak bisa gitu dong, Sandra. Kamu harus jawab sekarang juga. Mas sudah sangat lama menunggumu. Mas mohon, mau ya jadi istrinya Mas." Mas Rian tetap memaksa. Ia sama sekali tidak mau mendengarku."Rian, sebaiknya kita pulang. Kasih waktu untuk Sandra berpikir. Lagian, Ini sudah malam dan Sandra mau beristirahat." Mas Romi memberi saran."Kamu saja yang pulang. Aku tidak akan pulang sebelum Sandra menerima lamaranku." Mas Rian tetap bersikeras pada pendiriannya."Rian, jangan paksa Sandra. Beri waktu padanya untuk memikirkan jawabannya. Biarkan dia beristirahat malam ini sambil memikirkan siapa yang akan dipilihnya.""Tidak, aku maunya malam ini.""Memang benar-benar keras kepala ya! Kamu nggak bisa diajak bicara baik-baik. Jangan salahkan jika aku berbuat kasar padamu." Mas Romi terlihat kesal melihat sikap Mas Ri
Bagian 60"Hentikan, Mas. Tolong jangan membuat keributan di sini. Jika pelanggan butik ini melihat ada keributan di sini, pasti mereka enggak akan mau berbelanja di butik ini. Aku mohon, Mas!" Aku menangkupkan kedua tangan, berharap Mas Rian mendengar permintaanku."Maafin Mas, Sandra. Mas hanya terbawa emosi. Mas sudah mencarimu ke mana-mana. Tiap hari tiada lelah untuk mencari keberadaanmu. Mas juga sudah bertanya pada Romi, dia bilang tidak mengetahui keberadaanmu. Tapi nyatanya dia bohong, bahkan dia sedang menemuimu sekarang. Benar-benar licik!" Mas Rian terlihat kecewa pada Mas Romi. Padahal ini bukanlah salah Mas Romi. Ia melakukan itu atas permintaanku."Aku memang sengaja meminta Mas Romi agar tidak memberitahu siapapun tentang keberadaanku. Aku ingin hidup tenang, Mas. Sudah terlalu banyak masalah dan ujian hidup yang harus kuhadapi. Itu sebabnya aku memilih untuk pergi jauh, aku tidak ingin diganggu oleh siapapun. Jadi tolong mengertilah!"Aku sengaja menjauh dari Mas Rian
Bagian 59Enam bulan sudah aku menetap di tempat kediamanku yang sekarang. Sekarang, hari-hariku disibukkan dengan urusan butik. Seminggu sekali aku juga menyempatkan diri mengikuti pengajian untuk memperdalam ilmu agama. Kuakui ilmu agama yang kumiliki masih sangat dangkal. Aku harus sering-sering mengikuti pengajian untuk menambah kecintaanku kepada Allah SWT, sang pemilik kehidupan.Aku tahu, di balik ujian dan cobaan hidup yang diberikan oleh Allah padaku, pasti ada hikmah di balik semua itu."Sarapan yuk, Non. Nasi gorengnya sudah Mbok hidangkan di atas meja!" Ucapan Mbok Yuli tersebut seketika membuyarkan lamunanku."Iya, Mbok. Kita sarapan sama-sama ya," ajakku sambil menyunggingkan senyum manis kepada wanita yang sudah kuanggap seperti orang tuaku tersebut. "Baik, Non, mari!" Mbok Yuli tidak lagi memanggilkan dengan sebutan Bu Sandra, kini beliau memanggilku dengan sebutan Non. Padahal aku sudah memintanya untuk memanggilku dengan menyebut namaku saja, tapi beliau tidak mau
Bagian 58Akhirnya rumah ini pun terjual. Rumah yang sudah dihuni selama empat tahun lebih. Rumah yang dulu di dalamnya terdapat kehangatan dan kasih sayang. Tapi itu dulu, sekarang semuanya telah sirna. Saatnya membuka lembaran baru dan mengubur semua kenangan pahit. "Mbok, mohon maaf ya. Sandra tidak bisa lagi mempekerjakan Mbok. Rumah ini sudah dijual dan sebentar lagi akan ditempati oleh pemilik yang baru. Maaf jika Sandra ada salah selama Mbok tunggal di sini," ucapku saat memberikan gaji terakhir kepada Mbok Yuli beserta pesangonnya. Mata si Mbok terlihat berembun, mungkin ia sedih karena tidak bisa tinggal di rumah ini lagi. Sebenarnya aku jauh lebih sedih dibanding Mbok Yuli. Telah kehilangan suami, sekarang bahkan rumah ini juga terpaksa kujual.Jujur saja, aku tidak menginginkan harta yang berlimpah. Keinginanku cukup sederhana. Hanya ingin hidup bahagia bersama suami. Tapi ya sudahlah! Hati akan semakin sakit jika mengingatnya terus-menerus."Mbok nggak tahu harus tingg
Bagian 57Bel berbunyi, aku pun segera membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang. Saat membuka pintu, aku terkejut karena Nia masih berada di depan rumahku. Padahal aku sudah terang-terangan mengusirnya. Kukira yang datang adalah Mas Romi, karena tadi sudah berjanji akan datang bersama calon pembeli rumah ini. Ternyata yang datang justru Mas Rian. Entah kenapa, aku sedang tidak ingin bertemu dengan Mas Rian. Aku juga tidak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, aku tidak ingin ditemui oleh lelaki manapun kecuali jika itu menyangkut hal penting."Ngapain kamu datang kemari, Mas?""Mas ada perlu denganmu, Sandra. Lagian sudah lama Mas tidak datang kemari. Kenapa? Sepertinya kamu tidak suka dengan kehadiran Mas?" Mas Rian malah balik bertanya padaku. "Hanya Sandra kah yang penting bagimu, Mas? sahut Nia, ia sepertinya kesal karena mantan suaminya itu mengunjungiku."Tentu! Lagian untuk apa kamu menanyakan hal itu? Kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa, jadi kamu tidak usah ikut
Bagian 56Sesampainya di tempat parkiran, aku terkejut melihat Mas Romi yang sedang berdiri di samping mobilku."Mas Romi? Ngapain kamu di sini?" tanyaku sesaat setelah menghampirinya."Nungguin kamu, jawabnya santai."Nungguin aku? Aku tidak pernah menyuruhmu untuk menungguku. Kamu tahu dari mana kalau aku sedang berada di tempat ini?" tanyaku penuh selidik. "Si Mbok yang memberitahu bahwa kamu sedang ziarah saat aku mendatangi rumahmu."Ah, aku lupa mengatakan kepada si Mbok agar jangan memberitahukan keberadaanku kepada siapapun."Sandra, kamu lupa ya? Tempo hari 'kan kamu yang menghubungiku untuk meminta bantuanku. Masih muda kok' sudah pikun," ledeknya sambil menertawakanku. Menyebalkan!Memang benar aku menghubungi Mas Romi tempo hari untuk meminta bantuannya. Pasalnya, aku akan menjual rumah yang sekarang kutempati. Aku ingin menghapuskan semua kenangan dengan Mas Ilyas. Aku berharap semoga dengan menjual rumah itu, bisa melupakan semua kenangan bersama Mas Ilyas. Aku ingin mo
Bagian 55POV Sandra Di sinilah aku sekarang. Mengunjungi makam ibu dan juga mama mertua. Ibu dan mama mertua memang dimakamkan di tempat pemakaman yang sama, makam mereka berdua pun berdampingan.Aku duduk di atas tanah, di antara makam Ibu dan mama mertua, lalu memandangi makam mereka secara bergantian.Saat menatap batu nisannya, kembali aku teringat pada wajah Ibu dan juga wajah mama mertua. Sungguh aku sangat merindukan kedua wanita yang sangat kusayangi tersebut. Tapi sayangnya, aku hanya bisa memendam rindu ini. Hanya untaian doa yang bisa kukirimkan. Semoga Ibu dan mama mertua bahagia di alam sana."Maafkan Sandra, Bu, Ma, Sandra telah gagal mempertahankan rumah tangga Sandra dengan Mas Ilyas. Sandra tidak bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Ilyas."Air mata mengalir begitu saja dari kelopak mata tanpa bisa dibendung saat mengucapkan kalimat itu. Fisikku memang kuat, tapi tidak dengan hatiku. Hatiku begitu sakit dan terluka. Sekuat tenaga mencoba untuk tetap tegar, tapi k