Pagi itu, kereta ekonomi jurusan perbatasan–Jawa Timur berderit panjang, seperti menjerit lelah membawa ratusan orang dengan mimpi dan beban masing-masing.
Di salah satu kursinya, Sekar duduk memeluk tas lusuh, menatap jendela dengan pandangan kosong. Rambut hitamnya tergerai, wajah pucatnya nyaris tanpa ekspresi. Perjalanan itu seakan tak ada ujung. Setiap suara pedagang asongan, setiap tawa anak kecil, semuanya terasa jauh dari dirinya. Sekar seakan terasing di tengah keramaian. Sekar masih ingat jelas malam itu—malam kelam yang menghancurkan dirinya sekaligus mengikatnya pada sesuatu yang tak pernah ia duga. Tangannya meraba perutnya yang masih rata. Belum ada tanda apa-apa, tapi hatinya sudah bisa merasakan. Ada kehidupan yang tumbuh di sana. “Tidak mungkin,” bisiknya lirih. “Tuhan, jangan sampai.” Namun hari-hari berikutnya, tubuhnya memberi jawaban yang berbeda. Mual setiap pagi, lemas tanpa sebab, dan… keterlambatan itu. Sekar terisak diam-diam di kamar kontrakan kecil milik bibinya. Dunia seakan menutup semua pintu untuknya. “Sekar, kau pucat sekali. Kau sakit?” tanya Bu Ratna, bibinya, sambil membawa segelas teh hangat. Wanita paruh baya itu dikenal cerewet, tapi berhati lembut. Sekar tersenyum paksa, menerima teh itu. “Mungkin masuk angin, Bi. Biasa perjalanan jauh kemarin.” “Jangan terlalu banyak pikiran, Nak. Kau sudah selamat, itu yang penting.” Selamat? Kata itu seperti pisau. Benarkah ia selamat? Tidak. Ia hancur. Hanya saja bibinya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di perbatasan sana. Sekar memilih diam. Lidahnya terkunci rapat, menahan rahasia yang mulai menumbuhkan nyawa di rahimnya. Hari demi hari berlalu. Minggu ketiga sejak kepulangannya, ia tak bisa lagi mengelak. Tubuhnya makin lemah, mual tak tertahankan. Pada malam itu, setelah semua orang di rumah tidur, Sekar berlari kecil ke halaman belakang, memuntahkan isi perutnya di dekat pohon pisang. Tubuhnya gemetar. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Ini nyata. Aku hamil. Sekar memegangi perutnya, menunduk pasrah. Benih lelaki itu tentara itu. Sekar terisak tanpa suara. Malam yang sepi menjadi saksi, ketika ia untuk pertama kalinya benar-benar mengakui bahwa dirinya akan menjadi ibu—meski tanpa suami, tanpa pernikahan, tanpa cinta. Bulan demi bulan berlalu, perutnya mulai membuncit. Sekar mencari alasan demi alasan di depan keluarga dan tetangga. “Aku bekerja di kota, Bi. Aku harus kuat.” “Aku kecapekan, jadi badanku agak aneh.” “Tidak, aku baik-baik saja, jangan khawatir.” Namun seiring waktu, semakin sulit menutupi kenyataan. “Sekar, perutmu apa kau—” bibinya suatu hari menatapnya dengan raut terkejut. Sekar menunduk, tubuhnya gemetar. “Bi…aku mohon, jangan tanya. Aku tidak bisa cerita. Aku hanya aku hanya ingin melahirkan anak ini.” Air mata Bu Ratna jatuh. Hatinya hancur, tapi ia bisa merasakan luka yang lebih dalam di balik diamnya keponakannya itu. “Siapa ayahnya, Sekar? Katakan padaku.” Sekar menggeleng keras, sambil terisak. “Aku tidak bisa, Bi. Aku tidak bisa…” Akhirnya, bibinya menyerah. Ia hanya bisa mendekap Sekar erat. “Baiklah. Kau tidak sendiri, Nak. Aku akan mendampingimu. Tapi kau harus janji, jangan pernah biarkan anak ini merasa tak punya tempat di dunia.” Sekar menangis tersedu, memeluk bibinya erat. Untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasa ada seseorang yang bersedia menahannya agar tidak jatuh semakin dalam. Waktu terus berjalan. Hari kelahiran tiba dengan hujan deras mengguyur desa kecil itu. Sekar berjuang melawan rasa sakit luar biasa, ditemani bidan kampung dan bibinya. Jeritan panjang memecah malam, dan lahirlah seorang bayi laki-laki mungil, dengan tangisan nyaring yang membuat dada Sekar terasa remuk sekaligus penuh. Sekar menatap bayi itu dengan air mata bercucuran. “Nak maafkan ibu. Kau lahir dari luka, tapi bagiku kau cahaya.” Bayi itu diberi nama Arga—yang berarti gunung, kuat dan kokoh. Sekar berharap nama itu bisa menjadi doa, agar anaknya tumbuh tegar menghadapi dunia, tak seperti dirinya yang rapuh. Hari-hari setelah kelahiran Arga tak pernah mudah. Sekar harus belajar menjadi ibu sekaligus ayah. Malam-malam panjang ia habiskan untuk menimang, menenangkan tangis, hingga terlelap kelelahan dengan tubuh masih sakit. Namun setiap kali melihat Arga menggenggam jarinya dengan tangan mungil itu, Sekar merasa ada alasan untuk tetap hidup. “Anakku, kau harus kuat. Kau tidak boleh mewarisi rapuhnya ibumu,” bisiknya suatu malam sambil menciumi ubun-ubun bayi itu. Di desa, gosip beredar cepat. Banyak tetangga berbisik-bisik ketika melihat perut Sekar yang dulu membesar tanpa suami di sisinya. Tapi berkat wibawa Bu Ratna, gosip itu tak pernah benar-benar menyakiti. Bibinya selalu berdiri di depan, menutupinya. “Anak ini rezeki. Kalau kalian tidak bisa membantu, jangan menambah beban,” kata Bu Ratna tegas suatu kali saat ada tetangga yang bersuara sinis. Sekar berhutang besar pada bibinya. Tanpa wanita itu, mungkin ia sudah menyerah sejak lama. Waktu berjalan. Arga tumbuh menjadi bocah yang lincah dan penuh rasa ingin tahu. “Ibu, kenapa aku tidak punya ayah seperti teman-temanku?” tanyanya suatu malam, polos. Pertanyaan itu menusuk dada Sekar. Tangannya berhenti mengelus rambut anaknya. Ia terdiam lama, menahan air mata. Akhirnya ia tersenyum samar, meski suaranya bergetar. “Arga punya ayah, Nak. Hanya saja ayahmu sedang jauh sekali. Tapi ingat, kau tidak kurang apa pun. Kau tetap anak yang berharga.” Arga mengangguk kecil, lalu memeluk ibunya erat. “Aku sayang ibu.” Sekar menutup mata, membalas pelukan itu. Anakku, semoga kelak kau tidak pernah tahu luka yang menyertai kelahiranmu. *** Lima tahun setelah malam kelam itu, Sekar berdiri di halaman kecil sekolah PAUD tempat ia mengajar. Anak-anak berlarian, tertawa riang, dan ia tersenyum mengawasi mereka. Arga ikut berlarian, wajahnya memerah karena panas. Sekar tersenyum bangga. Hidupnya mungkin tak sempurna, tapi ia punya alasan untuk melangkah setiap hari. Sekar menatap langit sore yang merona jingga. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah selepas hujan. Ia memeluk tubuh sendiri, tiba-tiba merasa dingin. “Aneh kenapa perasaan ini tak mau hilang?” gumamnya pelan. Arga berlari menghampirinya dengan senyum ceria, menggandeng tangan ibunya. “Ibu, ayo pulang. Aku lapar.” Sekar tersenyum, meski hatinya berat. Ia menggenggam tangan kecil itu erat-erat. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan melepaskanmu lagi. Sore itu, selepas mengajar, Sekar duduk di beranda rumah bersama Bu Ratna. Arga sudah tertidur di dalam, kelelahan setelah seharian bermain. “Sekar,” suara bibinya lirih, “kau yakin ingin terus menyembunyikan kebenaran dari Arga?” Sekar terdiam. Jemarinya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin. “Aku tidak bisa, Bibi. Bagaimana aku bisa menjelaskan pada anak sekecil itu kalau ayahnya adalah bayangan kelam masa laluku?” Bu Ratna menghela napas panjang. “Kau tidak salah ingin melindunginya. Tapi cepat atau lambat, kenyataan itu akan mengetuk pintu.” Sekar menoleh, menatap wajah wanita yang selama ini menjadi sandarannya. “Kalau saat itu tiba, aku akan hadapi. Asal jangan sekarang, Bi, aku masih butuh waktu.” Malam semakin larut, suara jangkrik bersahut-sahutan. Sekar masuk ke kamar, memandangi Arga yang tidur pulas. Ia menyibakkan rambut halus dari dahi anaknya dan mengecupnya lembut. “Tidurlah, Nak. Selama aku hidup, tidak akan ada yang merebutmu dariku.”Suara terompet pagi meraung keras, membangunkan seluruh pasukan. Di bawah langit yang masih abu-abu, barisan tentara mulai berkumpul di lapangan tanah merah yang basah oleh embun. Sepatu lars menghentak serentak, menimbulkan dentuman ritmis yang menggema ke bukit-bukit sekitar desa.“Siap, grak!”Komando suara lantang itu menggema. Praja berdiri tegap di depan pasukan, wajahnya dingin dan tak menunjukkan sedikit pun keraguan. Seragam loreng yang melekat di tubuhnya tampak rapi, pita komandan di bahunya berkilau tertimpa sinar matahari pagi yang mulai menyembul.Para prajurit menatapnya penuh wibawa. Meski usianya belum terlalu tua, Praja dikenal keras, disiplin, tapi adil.“Patroli hari ini, sektor barat dan utara. Jangan lengah. Ada laporan gerakan mencurigakan dari kelompok penyelundup,” suara Praja datar, tapi tajam.“Siap, Komandan!” sahut barisan kompak.Latihan pagi selesai, mereka langsung membagi regu. Beberapa prajurit muda tampak mengeluh pelan ketika harus membawa senjata
Suara jangkrik malam menutupi keheningan desa ketika mobil patroli berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Arga, dengan mata berbinar, langsung menunjuk rumah itu.“Ini, Komandan! Rumahku!” katanya polos.Praja menoleh, menatap rumah dengan lampu teras temaram. Ia mengangguk kecil, lalu membuka sabuk pengaman. “Baiklah, turunlah. Jangan suka berkelahi lagi, ya.”Arga mengangguk patuh. Baru saja ia turun dari mobil, suara seorang perempuan terdengar dari balik pintu.“Arga? Dari mana saja kamu, Nak? Ibu sudah khawatir sekali!”Seorang perempuan muncul di ambang pintu. Rambut hitamnya tergerai, wajahnya lelah namun tetap anggun. Matanya langsung menatap anaknya yang berlari kecil ke pelukannya.Sekar.Praja menatapnya tanpa suara. Ada sesuatu yang menusuk ingatannya, samar, seperti bayangan dari masa lalu. Namun wajah itu, ia tak benar-benar bisa mengingatnya.Sekar pun tertegun melihat sosok berseragam militer berdiri di samping mobil patroli. Dadanya berdegup kencang, napasnya terce
Suara deru mesin kendaraan patroli membelah jalan desa yang sepi sore itu. Mobil lapis sederhana dengan cat hijau khas militer berjalan pelan, rodanya menimbulkan debu tipis di jalan tanah. Praja duduk di kursi depan, matanya tajam mengawasi kiri-kanan.“Komandan, desa ini kelihatannya aman-aman saja,” ucap Seno, yang duduk di sampingnya.Praja menggeleng pelan. “Jangan terkecoh oleh permukaan. Justru saat kelihatan aman, kita harus lebih waspada.”Mobil itu terus menyusuri jalan. Sesekali warga melambaikan tangan, menghormati mereka dengan senyum hangat. Namun tiba-tiba, suara riuh terdengar di persimpangan dekat sekolah dasar.“Anak pungut! Anak pungut! Hahaha, pantas saja nggak ada yang jemput kau, ayahmu aja nggak jelas!”Seorang bocah laki-laki berteriak sambil mendorong tubuh seorang anak lain. Anak itu, dengan wajah keras kepala dan bola mata yang menyalak penuh amarah, balas mendorong. Tinju kecilnya melayang, menghantam pipi lawannya. Anak-anak lain di sekitar mereka menjeri
Suara terompet pagi meraung di udara, menandai dimulainya apel. Derap sepatu menghentak lapangan markas. Barisan prajurit tegak lurus, wajah mereka kaku dengan pandangan lurus ke depan.Di barisan depan, seorang perwira muda berdiri dengan tegap. Seragam lorengnya rapi, dada bidangnya dibalut lencana yang mencerminkan dedikasi dan darah yang sudah ia korbankan untuk tanah air. Itulah Praja seorang komandan muda yang namanya harum di kalangan pasukan.“Perhatian!” suara sang Komandan batalyon menggema, membuat semua tubuh menegak lebih kaku. “Hari ini, ada penugasan baru di wilayah perbatasan pedalaman. Pasukan Bravo dipimpin langsung oleh Kapten Praja!”Nama itu disebut lantang. Semua mata menoleh pada sosok yang disebut. Praja melangkah ke depan, wajahnya tenang, meski pikirannya penuh kalkulasi.“Siap, Komandan!” suaranya tegas, membahana.Sang Komandan mendekat, menepuk bahunya. “Kau tahu betul situasi di sana, Praja. Wilayah itu rawan. Ada laporan perdagangan manusia, penyelundupa
Pagi itu, kereta ekonomi jurusan perbatasan–Jawa Timur berderit panjang, seperti menjerit lelah membawa ratusan orang dengan mimpi dan beban masing-masing. Di salah satu kursinya, Sekar duduk memeluk tas lusuh, menatap jendela dengan pandangan kosong. Rambut hitamnya tergerai, wajah pucatnya nyaris tanpa ekspresi.Perjalanan itu seakan tak ada ujung. Setiap suara pedagang asongan, setiap tawa anak kecil, semuanya terasa jauh dari dirinya. Sekar seakan terasing di tengah keramaian.Sekar masih ingat jelas malam itu—malam kelam yang menghancurkan dirinya sekaligus mengikatnya pada sesuatu yang tak pernah ia duga.Tangannya meraba perutnya yang masih rata. Belum ada tanda apa-apa, tapi hatinya sudah bisa merasakan. Ada kehidupan yang tumbuh di sana.“Tidak mungkin,” bisiknya lirih. “Tuhan, jangan sampai.”Namun hari-hari berikutnya, tubuhnya memberi jawaban yang berbeda. Mual setiap pagi, lemas tanpa sebab, dan… keterlambatan itu. Sekar terisak diam-diam di kamar kontrakan kecil milik b
Angin malam perbatasan menusuk tulang. Hutan gelap itu hanya ditemani suara jangkrik dan lolongan anjing liar dari kejauhan. Sekar berjalan dengan kaki diseret, tangannya terikat kasar, mulutnya ditutup kain kotor. Beberapa lelaki bertubuh kasar menyeretnya tanpa belas kasih.“Diam, Nduk! Jangan banyak gerak!” bentak salah satu pria berambut gondrong. Ia mendorong Sekar sampai jatuh tersungkur di tanah berpasir.Sekar meronta, tapi sia-sia. Tubuh mungilnya terlalu lemah melawan cengkeraman mereka. Air matanya mengalir, bercampur debu yang menempel di pipi.“Mahal ini. Besok laku keras di kota. Cantik, muda,” ucap lelaki lain sambil tertawa kasar.Sekar menutup matanya rapat. Ketakutan mencekik. Doa tak putus dari hatinya.Tiba-tibaDORRR!Suara tembakan memecah malam. Burung-burung beterbangan dari dahan. Para lelaki itu sontak panik.“Siapa itu?!”“Sial, tentara!”Dari balik kegelapan, seorang pria berseragam loreng muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya keras. Ia mengangkat senjata den