Share

Chapter 2

Author: NamNamjoo
last update Huling Na-update: 2025-08-31 11:54:00

Pagi itu, kereta ekonomi jurusan perbatasan–Jawa Timur berderit panjang, seperti menjerit lelah membawa ratusan orang dengan mimpi dan beban masing-masing.

Di salah satu kursinya, Sekar duduk memeluk tas lusuh, menatap jendela dengan pandangan kosong. Rambut hitamnya tergerai, wajah pucatnya nyaris tanpa ekspresi.

Perjalanan itu seakan tak ada ujung. Setiap suara pedagang asongan, setiap tawa anak kecil, semuanya terasa jauh dari dirinya. Sekar seakan terasing di tengah keramaian.

Sekar masih ingat jelas malam itu—malam kelam yang menghancurkan dirinya sekaligus mengikatnya pada sesuatu yang tak pernah ia duga.

Tangannya meraba perutnya yang masih rata. Belum ada tanda apa-apa, tapi hatinya sudah bisa merasakan. Ada kehidupan yang tumbuh di sana.

“Tidak mungkin,” bisiknya lirih. “Tuhan, jangan sampai.”

Namun hari-hari berikutnya, tubuhnya memberi jawaban yang berbeda. Mual setiap pagi, lemas tanpa sebab, dan… keterlambatan itu. Sekar terisak diam-diam di kamar kontrakan kecil milik bibinya. Dunia seakan menutup semua pintu untuknya.

“Sekar, kau pucat sekali. Kau sakit?” tanya Bu Ratna, bibinya, sambil membawa segelas teh hangat. Wanita paruh baya itu dikenal cerewet, tapi berhati lembut.

Sekar tersenyum paksa, menerima teh itu. “Mungkin masuk angin, Bi. Biasa perjalanan jauh kemarin.”

“Jangan terlalu banyak pikiran, Nak. Kau sudah selamat, itu yang penting.”

Selamat? Kata itu seperti pisau. Benarkah ia selamat? Tidak. Ia hancur. Hanya saja bibinya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di perbatasan sana.

Sekar memilih diam. Lidahnya terkunci rapat, menahan rahasia yang mulai menumbuhkan nyawa di rahimnya.

Hari demi hari berlalu. Minggu ketiga sejak kepulangannya, ia tak bisa lagi mengelak. Tubuhnya makin lemah, mual tak tertahankan. Pada malam itu, setelah semua orang di rumah tidur, Sekar berlari kecil ke halaman belakang, memuntahkan isi perutnya di dekat pohon pisang.

Tubuhnya gemetar. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.

Ini nyata. Aku hamil.

Sekar memegangi perutnya, menunduk pasrah.

Benih lelaki itu tentara itu.

Sekar terisak tanpa suara. Malam yang sepi menjadi saksi, ketika ia untuk pertama kalinya benar-benar mengakui bahwa dirinya akan menjadi ibu—meski tanpa suami, tanpa pernikahan, tanpa cinta.

Bulan demi bulan berlalu, perutnya mulai membuncit. Sekar mencari alasan demi alasan di depan keluarga dan tetangga.

“Aku bekerja di kota, Bi. Aku harus kuat.”

“Aku kecapekan, jadi badanku agak aneh.”

“Tidak, aku baik-baik saja, jangan khawatir.”

Namun seiring waktu, semakin sulit menutupi kenyataan.

“Sekar, perutmu apa kau—” bibinya suatu hari menatapnya dengan raut terkejut.

Sekar menunduk, tubuhnya gemetar. “Bi…aku mohon, jangan tanya. Aku tidak bisa cerita. Aku hanya aku hanya ingin melahirkan anak ini.”

Air mata Bu Ratna jatuh. Hatinya hancur, tapi ia bisa merasakan luka yang lebih dalam di balik diamnya keponakannya itu. “Siapa ayahnya, Sekar? Katakan padaku.”

Sekar menggeleng keras, sambil terisak. “Aku tidak bisa, Bi. Aku tidak bisa…”

Akhirnya, bibinya menyerah. Ia hanya bisa mendekap Sekar erat. “Baiklah. Kau tidak sendiri, Nak. Aku akan mendampingimu. Tapi kau harus janji, jangan pernah biarkan anak ini merasa tak punya tempat di dunia.”

Sekar menangis tersedu, memeluk bibinya erat. Untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasa ada seseorang yang bersedia menahannya agar tidak jatuh semakin dalam.

Waktu terus berjalan.

Hari kelahiran tiba dengan hujan deras mengguyur desa kecil itu. Sekar berjuang melawan rasa sakit luar biasa, ditemani bidan kampung dan bibinya.

Jeritan panjang memecah malam, dan lahirlah seorang bayi laki-laki mungil, dengan tangisan nyaring yang membuat dada Sekar terasa remuk sekaligus penuh.

Sekar menatap bayi itu dengan air mata bercucuran. “Nak maafkan ibu. Kau lahir dari luka, tapi bagiku kau cahaya.”

Bayi itu diberi nama Arga—yang berarti gunung, kuat dan kokoh. Sekar berharap nama itu bisa menjadi doa, agar anaknya tumbuh tegar menghadapi dunia, tak seperti dirinya yang rapuh.

Hari-hari setelah kelahiran Arga tak pernah mudah. Sekar harus belajar menjadi ibu sekaligus ayah. Malam-malam panjang ia habiskan untuk menimang, menenangkan tangis, hingga terlelap kelelahan dengan tubuh masih sakit.

Namun setiap kali melihat Arga menggenggam jarinya dengan tangan mungil itu, Sekar merasa ada alasan untuk tetap hidup.

“Anakku, kau harus kuat. Kau tidak boleh mewarisi rapuhnya ibumu,” bisiknya suatu malam sambil menciumi ubun-ubun bayi itu.

Di desa, gosip beredar cepat. Banyak tetangga berbisik-bisik ketika melihat perut Sekar yang dulu membesar tanpa suami di sisinya. Tapi berkat wibawa Bu Ratna, gosip itu tak pernah benar-benar menyakiti. Bibinya selalu berdiri di depan, menutupinya.

“Anak ini rezeki. Kalau kalian tidak bisa membantu, jangan menambah beban,” kata Bu Ratna tegas suatu kali saat ada tetangga yang bersuara sinis.

Sekar berhutang besar pada bibinya. Tanpa wanita itu, mungkin ia sudah menyerah sejak lama.

Waktu berjalan. Arga tumbuh menjadi bocah yang lincah dan penuh rasa ingin tahu.

“Ibu, kenapa aku tidak punya ayah seperti teman-temanku?” tanyanya suatu malam, polos.

Pertanyaan itu menusuk dada Sekar. Tangannya berhenti mengelus rambut anaknya. Ia terdiam lama, menahan air mata.

Akhirnya ia tersenyum samar, meski suaranya bergetar. “Arga punya ayah, Nak. Hanya saja ayahmu sedang jauh sekali. Tapi ingat, kau tidak kurang apa pun. Kau tetap anak yang berharga.”

Arga mengangguk kecil, lalu memeluk ibunya erat. “Aku sayang ibu.”

Sekar menutup mata, membalas pelukan itu. Anakku, semoga kelak kau tidak pernah tahu luka yang menyertai kelahiranmu.

***

Lima tahun setelah malam kelam itu, Sekar berdiri di halaman kecil sekolah PAUD tempat ia mengajar. Anak-anak berlarian, tertawa riang, dan ia tersenyum mengawasi mereka.

Arga ikut berlarian, wajahnya memerah karena panas. Sekar tersenyum bangga. Hidupnya mungkin tak sempurna, tapi ia punya alasan untuk melangkah setiap hari.

Sekar menatap langit sore yang merona jingga. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah selepas hujan. Ia memeluk tubuh sendiri, tiba-tiba merasa dingin.

“Aneh kenapa perasaan ini tak mau hilang?” gumamnya pelan.

Arga berlari menghampirinya dengan senyum ceria, menggandeng tangan ibunya. “Ibu, ayo pulang. Aku lapar.”

Sekar tersenyum, meski hatinya berat. Ia menggenggam tangan kecil itu erat-erat. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan melepaskanmu lagi.

Sore itu, selepas mengajar, Sekar duduk di beranda rumah bersama Bu Ratna. Arga sudah tertidur di dalam, kelelahan setelah seharian bermain.

“Sekar,” suara bibinya lirih, “kau yakin ingin terus menyembunyikan kebenaran dari Arga?”

Sekar terdiam. Jemarinya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin. “Aku tidak bisa, Bibi. Bagaimana aku bisa menjelaskan pada anak sekecil itu kalau ayahnya adalah bayangan kelam masa laluku?”

Bu Ratna menghela napas panjang. “Kau tidak salah ingin melindunginya. Tapi cepat atau lambat, kenyataan itu akan mengetuk pintu.”

Sekar menoleh, menatap wajah wanita yang selama ini menjadi sandarannya. “Kalau saat itu tiba, aku akan hadapi. Asal jangan sekarang, Bi, aku masih butuh waktu.”

Malam semakin larut, suara jangkrik bersahut-sahutan. Sekar masuk ke kamar, memandangi Arga yang tidur pulas. Ia menyibakkan rambut halus dari dahi anaknya dan mengecupnya lembut.

“Tidurlah, Nak. Selama aku hidup, tidak akan ada yang merebutmu dariku.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 21

    Praja akhirnya meninggalkan tenda. Langkah kakinya pelan, menuju rumah sederhana tempat Sekar dan Riri tinggal sementara. Dari kejauhan, ia melihat Sekar duduk sendirian di beranda. Riri tampaknya sudah masuk, meninggalkan Sekar yang menatap langit penuh bintang.“Sekar,” suara itu pelan, tapi cukup untuk membuat Sekar menoleh.Sekar terkejut, tapi cepat-cepat menunduk. “Komandan, malam-malam begini seharusnya istirahat. Ada apa?”Praja berhenti beberapa langkah darinya, seakan ragu untuk lebih dekat. Namun akhirnya ia menarik napas dan melangkah maju. “Aku tidak bisa tidur kalau kita masih dalam keadaan seperti ini.”Sekar menelan ludah. “Keadaan seperti apa?”Praja menatapnya dalam-dalam. “Keadaan di mana kamu menjauh dariku, padahal aku ingin lebih dekat. Keadaan di mana kamu menutup hatimu, padahal aku sudah membukanya lebar-lebar untukmu.”Sekar menghela napas berat, jemarinya meremas ujung kain selendangnya. “Komandan, jangan mempersulit. Kita sudah berbeda sejak awal. Kamu seor

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 20

    Sekar berjalan cepat meninggalkan tenda, langkahnya terburu-buru, nyaris berlari. Dadanya bergemuruh hebat, entah marah, kecewa, atau terluka—ia tak tahu. Hanya satu hal yang jelas: melihat Praja begitu dekat dengan Kirana membuatnya merasa hampa.“Sekar!” suara Praja memecah keheningan senja, terdengar di belakangnya.Sekar tak menggubris, malah mempercepat langkah. Namun suara langkah sepatu Praja makin mendekat, hingga akhirnya tangan kokoh itu meraih lengannya.“Sekar, tunggu sebentar!”Sekar berbalik dengan mata berkaca-kaca, berusaha menahan air mata agar tidak jatuh. “Lepaskan aku, Komandan! Saya tidak ingin ikut campur urusan pribadi Komandan dengan Dokter Kirana.”Praja terdiam sesaat, terkejut oleh nada suaranya. “Sekar, kamu salah paham.”“Tidak ada yang salah paham!” Sekar memotong cepat, suaranya bergetar. “Saya jelas melihatnya sendiri, Komandan berbicara berdua, begitu dekat, seakan ... seakan ...” suaranya tercekat, “seakan kalian memang berjodoh.”Praja menghela napas

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 19

    Pagi itu, suasana desa terasa lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya. Praja berdiri di depan pos penjagaan, menatap ke arah hamparan sawah yang diselimuti kabut tipis.Dari jauh, Sekar datang membawa keranjang berisi sayuran segar untuk para prajurit. Praja melihat langkahnya yang anggun, sederhana, namun entah mengapa membuat dadanya bergetar. Ia menoleh sekilas, seolah tidak peduli, tetapi mata dan pikirannya tetap menuntunnya untuk memperhatikan Sekar.“Pagi, Komandan,” sapa Sekar sambil tersenyum tipis.“Pagi,” jawab Praja singkat. Suaranya dalam, tapi ada nada lembut yang jarang sekali ia keluarkan.Sekar menunduk, meletakkan keranjang di meja kayu. “Ini sayuran dari ladang. Untuk persediaan makan siang kalian. Aku titip sama prajurit yang lain saja.”Praja mengangguk, tapi sebelum Sekar beranjak pergi, ia memberanikan diri. “Sekar, tunggu.”Sekar berhenti, menoleh pelan. “Ada apa?”Praja menelan ludah. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi lidahnya terasa kelu. “Aku ..

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 18

    Suasana pos berubah hening saat iring-iringan kendaraan militer berhenti di depan. Para prajurit langsung berdiri tegak, memberi hormat. Dari mobil utama, seorang pria paruh baya turun dengan wibawa penuhJenderal Sudirman.“Siap grak!” suara lantang komandan jaga menggema.Praja melangkah ke depan, memberi hormat dengan sikap sempurna. “Selamat datang, Jenderal!”Sudirman menepuk bahu Praja dengan bangga. “Kerja bagus, Komandan. Desa ini mulai pulih, rakyat merasa terlindungi. Aku bangga padamu.”Senyum tipis itu lalu berubah serius. Ia menatap Praja dalam-dalam.“Praja, setelah misi ini selesai, aku ingin kau mempertimbangkan sesuatu.”“Perintah, Jenderal?”“Bukan sekadar perintah. Aku hanya percaya padamu. Karena itu, apakah kau bersedia menikah dengan putriku, Kirana?”Seketika dada Praja sesak. Ia menunduk, wajahnya tegang. Kata-kata itu berat, jauh lebih berat daripada memimpin pertempuran.“Jenderal, saya.” suaranya tertahan.Tak jauh dari sana, Sekar yang tengah membawa kain un

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 17

    Malam itu markas terasa sunyi setelah hiruk-pikuk penyelamatan Arga. Hanya suara jangkrik dan sesekali langkah prajurit yang berkeliling membuat suasana tidak sepenuhnya hening.Sekar berdiri ragu di depan ruang komando. Cahaya lampu minyak dari dalam membuat bayangan tubuhnya jatuh panjang di tanah. Setelah menarik napas dalam, ia memberanikan diri mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat itu terdengar.Praja duduk di balik meja, map laporan berserakan. Tatapannya langsung terarah pada sosok Sekar yang melangkah masuk dengan hati-hati. Wanita itu menunduk sebentar, lalu berkata lirih, “Komandan aku ingin minta maaf. Waktu itu, aku pernah menuduhmu dan aku menyesal. Terima kasih karena sudah menyelamatkan putraku. Kalau bukan karena keberanianmu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Arga.”Ruangan seketika hening. Praja hanya menatapnya lama, seakan sedang mencari jawaban dari wajah Sekar. Ada sesuatu yang berputar di kepalanya kenangan lama, malam kelam yang selama ini ia kubur rapa

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 16

    Suasana pos militer pagi itu riuh. Para prajurit sudah berkumpul di halaman, sebagian sibuk membersihkan senjata, sebagian lagi mendengarkan pengarahan. Namun di balik semua itu, wajah Praja terlihat lebih tegang dari biasanya.Doni, Yudha, Seno, dan Tama sempat saling pandang. Mereka tahu, ada sesuatu yang mengganjal di hati komandannya.“Komandan, laporan dari markas baru masuk,” ujar Doni sambil menyerahkan map. “Ada indikasi bandit yang semalam lolos, bergerak ke arah utara. Mereka kemungkinan menyusun kekuatan kembali.”Praja menerima map itu, matanya sekilas menatap dokumen, tapi pikirannya melayang. Yang ia lihat bukanlah peta pergerakan musuh, melainkan wajah Sekar semalam—murung, penuh luka, lalu pergi begitu saja tanpa mendengar penjelasannya.Praja menghela napas, menutup map dengan cepat. “Kita tidak boleh lengah. Siapkan regu patroli. Jangan beri kesempatan mereka menyakiti warga desa lagi.”Para prajurit serentak mengangguk. Namun Doni memperhatikan mata Praja yang sayu.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status