Angin malam perbatasan menusuk tulang. Hutan gelap itu hanya ditemani suara jangkrik dan lolongan anjing liar dari kejauhan.
Sekar berjalan dengan kaki diseret, tangannya terikat kasar, mulutnya ditutup kain kotor. Beberapa lelaki bertubuh kasar menyeretnya tanpa belas kasih. “Diam, Nduk! Jangan banyak gerak!” bentak salah satu pria berambut gondrong. Ia mendorong Sekar sampai jatuh tersungkur di tanah berpasir. Sekar meronta, tapi sia-sia. Tubuh mungilnya terlalu lemah melawan cengkeraman mereka. Air matanya mengalir, bercampur debu yang menempel di pipi. “Mahal ini. Besok laku keras di kota. Cantik, muda,” ucap lelaki lain sambil tertawa kasar. Sekar menutup matanya rapat. Ketakutan mencekik. Doa tak putus dari hatinya. Tiba-tiba DORRR! Suara tembakan memecah malam. Burung-burung beterbangan dari dahan. Para lelaki itu sontak panik. “Siapa itu?!” “Sial, tentara!” Dari balik kegelapan, seorang pria berseragam loreng muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya keras. Ia mengangkat senjata dengan sigap. Namun ada yang aneh. Matanya tidak fokus, napasnya berat, seolah sedang menahan sesuatu dari dalam tubuhnya. “Lepaskan dia!” suaranya bergema lantang, membuat beberapa lelaki mundur. “Tch! Sudah kena obat, tuh. Kita bisa kalahkan dia!” sahut yang gondrong sambil menghunus parang. Mereka serempak menyerang. Praja begitu nama prajurit muda itu melesat maju. Gerakannya cepat, tapi tak teratur. Peluh membasahi pelipisnya. Tubuhnya panas, wajahnya memerah. Obat bius bercampur perangsang yang dicampur musuh mulai mengambil alih kesadarannya. Namun, naluri militernya masih tajam. Satu tendangan keras menghantam perut lawan, membuat lelaki itu terkapar. Satu lagi dipukul dengan popor senapan. Sisanya kabur tunggang-langgang. Sekar masih terduduk di tanah, terikat. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar. Praja mendekat. Mata tajamnya menatap Sekar, tapi bukan dengan kejernihan. Ada kabut ganjil di sorotannya. “Tenang kamu aman,” suaranya bergetar, serak. Praja jongkok, melepaskan ikatan di tangan Sekar. Namun setelah itu, tubuhnya limbung. Nafasnya berat, wajahnya semakin merah. “Mas kamu kenapa?” Sekar memberanikan diri bertanya, meski suaranya parau. Praja tidak menjawab. Kepalanya menunduk, seolah melawan sesuatu. Tangannya mengepal, urat di leher menegang. “Aku harus bawa kamu pergi dari sini,” katanya akhirnya, suara serak bercampur lirih. Menarik Sekar berdiri, menuntunnya dengan langkah terhuyung. Namun malam itu, di bawah cahaya bulan yang muram, sesuatu berubah. Obat di tubuh Praja semakin meracuni kesadarannya. Nalurinya sebagai prajurit bercampur dengan dorongan yang tidak bisa kendalikan. Sekar terdiam. Rasa takut yang tadi pada para penculiknya kini berganti bingung. Matanya menatap Praja penyelamat sekaligus ancaman yang tak pernah diduga. Dan malam itu, di tengah hutan perbatasan, takdir keduanya terikat dengan cara yang kelak tak pernah bisa mereka lupakan. Sekar menatap prajurit di depannya dengan hati yang campur aduk. Lelaki itu jelas tentara, seragamnya masih melekat, lengkap dengan emblem di lengan. Tapi cara dia berdiri goyah, peluhnya menetes tanpa henti, seperti orang sedang melawan racun. “Mas kamu sakit?” suara Sekar pelan, ragu-ragu. Praja menahan kepala dengan satu tangan, menggertakkan gigi. “Bukan bukan sakit. Aku harus bawa kamu keluar dari sini.” Dia berusaha tegap, tapi langkahnya semakin kacau. Sekar masih gemetar. Tadi nyawanya hampir direnggut para penculik, kini ia bersama prajurit yang menyelamatkannya tapi kenapa matanya semakin aneh? Ada hawa panas yang terpancar. Mereka berjalan beberapa langkah ke arah hutan yang lebih dalam. Namun tiba-tiba Praja berhenti. Nafasnya tersengal, tubuhnya terhuyung lalu menabrak batang pohon. “Mas!” Sekar refleks mendekat, meski masih takut. Praja menatapnya. Tatapan itu menusuk, seakan ia tak lagi bisa membedakan siapa kawan, siapa lawan. Pupus sudah kejernihan di matanya. Yang tersisa hanyalah bara yang mengganas. “Aku tidak bisa tahan lama,” gumamnya lirih, suaranya pecah. Sekar mundur setapak, naluri ketakutannya kembali bangkit. Tapi sebelum ia bisa lari, tangan Praja lebih dulu menggenggam lengannya. Kuat. Hangat. Bergetar. “Jangan tinggalkan aku,” bisik Praja, seakan itu jeritan terakhir akalnya yang tersisa. Sekar membeku. Ada detik panjang, hanya suara jangkrik dan desiran angin yang terdengar. “Aku takut,” lirih Sekar, matanya berkaca. Praja menggenggam rambutnya, matanya semakin merah. Tubuhnya mendekat, panas tubuhnya jelas menyergap. Ia berusaha menahan diri, terlihat dari rahangnya yang mengeras, tapi racun obat itu membuat kendalinya terlepas sedikit demi sedikit. “Maafkan aku,” hanya itu yang keluar dari bibirnya sebelum semuanya gelap dalam kabut kabur kesadaran. Malam itu, di hutan perbatasan, Sekar tak lagi bisa membedakan apakah ia sedang diselamatkan atau justru jatuh ke dalam jerat nasib yang lebih pahit. Sekar masih berusaha melepaskan genggaman tangan prajurit itu. Tubuhnya yang lelah membuat ia tak punya tenaga. Napasnya naik-turun, dada terasa sesak oleh rasa takut dan pasrah sekaligus. “Lepaskan aku,” bisiknya, hampir tak terdengar. Praja menggeleng, peluhnya menetes semakin deras. “Aku tidak bisa. Kepalaku panas sekali. Aku tidak mengerti.” Sekar menatap wajah itu lebih dekat. Wajah seorang tentara muda, rahang kokoh, sorot matanya tajam. Tapi kini, sorot itu berubah jadi kabur, seperti terbakar api yang tak bisa dipadamkan. Ada sesuatu yang membuat Sekar tercekat, ketampanan itu kontras dengan keadaan genting mereka. Seakan ia berhadapan dengan dua sisi manusia sekaligus: penyelamatnya sekaligus ancaman yang bisa menghancurkan dirinya. “Mas tolong sadar. Aku ini korban, bukan musuhmu,” ucap Sekar gemetar. Praja menutup mata sejenak, giginya bergemeletuk. “Aku tahu tapi tubuhku...” Praja berhenti, napasnya memburu, wajahnya menegang seakan melawan dorongan yang tak terkendali. “Aku tidak bisa menguasainya!” Tangannya terulur, menarik Sekar ke dadanya. Sekar terperanjat, tubuhnya membeku. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. “Lepas aku takut,” suara Sekar pecah, air matanya jatuh begitu saja. Namun Praja seperti orang linglung. “Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendiri di kegelapan ini.” Tubuhnya bergetar hebat, seolah obat itu merampas kesadarannya detik demi detik. Dalam kekalutan itu, ia hanya tahu satu halkehadiran Sekar adalah satu-satunya yang bisa ia genggam agar tidak jatuh sepenuhnya ke dalam jurang. Sekar mencoba mendorong dada kekar itu, tapi genggaman Praja terlalu kuat. Semakin ia meronta, semakin erat pula pelukan yang mengekangnya. “Kenapa harus aku?!” Sekar menangis lirih, memukul bahu tentara itu dengan lemah. “Kenapa aku lagi?!” Praja mengerang, kepalanya menunduk, suaranya pecah penuh rasa bersalah yang samar. “Maafkan aku aku tak bisa.” Malam itu, waktu seakan berhenti. Hutan perbatasan hanya menyisakan angin yang berdesir kencang, bercampur jeritan batin dua manusia yang terjebak di luar kendali. Sekar akhirnya hanya bisa menutup mata, air matanya mengalir deras. Dalam hatinya ia bersumpah: aku akan pergi, aku tidak akan biarkan diriku hancur di sini. Praja akhirnya ambruk di tanah, napasnya tersengal berat, seperti habis bertarung dengan dirinya sendiri. Ia jatuh pingsan, meninggalkan Sekar terkulai di sampingnya dengan tubuh gemetar. Sekar menatap lelaki itu, wajahnya penuh air mata. “Kau penyelamatku tapi juga perusak hidupku,” ucapnya lirih, hampir berbisik pada angin malam. Di kejauhan, suara langkah kaki para pasukan lain mulai terdengar. Sekar segera bangkit, tubuhnya goyah, tapi ia tahu ia harus pergi sebelum semuanya terlambat. Sekar menoleh sekali lagi pada prajurit itu—lelaki yang bahkan tak tahu apa yang baru saja terjadi. “Semoga aku tidak pernah bertemu denganmu lagi,” katanya getir. Sekar lalu melangkah ke dalam gelap.Suara terompet pagi meraung keras, membangunkan seluruh pasukan. Di bawah langit yang masih abu-abu, barisan tentara mulai berkumpul di lapangan tanah merah yang basah oleh embun. Sepatu lars menghentak serentak, menimbulkan dentuman ritmis yang menggema ke bukit-bukit sekitar desa.“Siap, grak!”Komando suara lantang itu menggema. Praja berdiri tegap di depan pasukan, wajahnya dingin dan tak menunjukkan sedikit pun keraguan. Seragam loreng yang melekat di tubuhnya tampak rapi, pita komandan di bahunya berkilau tertimpa sinar matahari pagi yang mulai menyembul.Para prajurit menatapnya penuh wibawa. Meski usianya belum terlalu tua, Praja dikenal keras, disiplin, tapi adil.“Patroli hari ini, sektor barat dan utara. Jangan lengah. Ada laporan gerakan mencurigakan dari kelompok penyelundup,” suara Praja datar, tapi tajam.“Siap, Komandan!” sahut barisan kompak.Latihan pagi selesai, mereka langsung membagi regu. Beberapa prajurit muda tampak mengeluh pelan ketika harus membawa senjata
Suara jangkrik malam menutupi keheningan desa ketika mobil patroli berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Arga, dengan mata berbinar, langsung menunjuk rumah itu.“Ini, Komandan! Rumahku!” katanya polos.Praja menoleh, menatap rumah dengan lampu teras temaram. Ia mengangguk kecil, lalu membuka sabuk pengaman. “Baiklah, turunlah. Jangan suka berkelahi lagi, ya.”Arga mengangguk patuh. Baru saja ia turun dari mobil, suara seorang perempuan terdengar dari balik pintu.“Arga? Dari mana saja kamu, Nak? Ibu sudah khawatir sekali!”Seorang perempuan muncul di ambang pintu. Rambut hitamnya tergerai, wajahnya lelah namun tetap anggun. Matanya langsung menatap anaknya yang berlari kecil ke pelukannya.Sekar.Praja menatapnya tanpa suara. Ada sesuatu yang menusuk ingatannya, samar, seperti bayangan dari masa lalu. Namun wajah itu, ia tak benar-benar bisa mengingatnya.Sekar pun tertegun melihat sosok berseragam militer berdiri di samping mobil patroli. Dadanya berdegup kencang, napasnya terce
Suara deru mesin kendaraan patroli membelah jalan desa yang sepi sore itu. Mobil lapis sederhana dengan cat hijau khas militer berjalan pelan, rodanya menimbulkan debu tipis di jalan tanah. Praja duduk di kursi depan, matanya tajam mengawasi kiri-kanan.“Komandan, desa ini kelihatannya aman-aman saja,” ucap Seno, yang duduk di sampingnya.Praja menggeleng pelan. “Jangan terkecoh oleh permukaan. Justru saat kelihatan aman, kita harus lebih waspada.”Mobil itu terus menyusuri jalan. Sesekali warga melambaikan tangan, menghormati mereka dengan senyum hangat. Namun tiba-tiba, suara riuh terdengar di persimpangan dekat sekolah dasar.“Anak pungut! Anak pungut! Hahaha, pantas saja nggak ada yang jemput kau, ayahmu aja nggak jelas!”Seorang bocah laki-laki berteriak sambil mendorong tubuh seorang anak lain. Anak itu, dengan wajah keras kepala dan bola mata yang menyalak penuh amarah, balas mendorong. Tinju kecilnya melayang, menghantam pipi lawannya. Anak-anak lain di sekitar mereka menjeri
Suara terompet pagi meraung di udara, menandai dimulainya apel. Derap sepatu menghentak lapangan markas. Barisan prajurit tegak lurus, wajah mereka kaku dengan pandangan lurus ke depan.Di barisan depan, seorang perwira muda berdiri dengan tegap. Seragam lorengnya rapi, dada bidangnya dibalut lencana yang mencerminkan dedikasi dan darah yang sudah ia korbankan untuk tanah air. Itulah Praja seorang komandan muda yang namanya harum di kalangan pasukan.“Perhatian!” suara sang Komandan batalyon menggema, membuat semua tubuh menegak lebih kaku. “Hari ini, ada penugasan baru di wilayah perbatasan pedalaman. Pasukan Bravo dipimpin langsung oleh Kapten Praja!”Nama itu disebut lantang. Semua mata menoleh pada sosok yang disebut. Praja melangkah ke depan, wajahnya tenang, meski pikirannya penuh kalkulasi.“Siap, Komandan!” suaranya tegas, membahana.Sang Komandan mendekat, menepuk bahunya. “Kau tahu betul situasi di sana, Praja. Wilayah itu rawan. Ada laporan perdagangan manusia, penyelundupa
Pagi itu, kereta ekonomi jurusan perbatasan–Jawa Timur berderit panjang, seperti menjerit lelah membawa ratusan orang dengan mimpi dan beban masing-masing. Di salah satu kursinya, Sekar duduk memeluk tas lusuh, menatap jendela dengan pandangan kosong. Rambut hitamnya tergerai, wajah pucatnya nyaris tanpa ekspresi.Perjalanan itu seakan tak ada ujung. Setiap suara pedagang asongan, setiap tawa anak kecil, semuanya terasa jauh dari dirinya. Sekar seakan terasing di tengah keramaian.Sekar masih ingat jelas malam itu—malam kelam yang menghancurkan dirinya sekaligus mengikatnya pada sesuatu yang tak pernah ia duga.Tangannya meraba perutnya yang masih rata. Belum ada tanda apa-apa, tapi hatinya sudah bisa merasakan. Ada kehidupan yang tumbuh di sana.“Tidak mungkin,” bisiknya lirih. “Tuhan, jangan sampai.”Namun hari-hari berikutnya, tubuhnya memberi jawaban yang berbeda. Mual setiap pagi, lemas tanpa sebab, dan… keterlambatan itu. Sekar terisak diam-diam di kamar kontrakan kecil milik b
Angin malam perbatasan menusuk tulang. Hutan gelap itu hanya ditemani suara jangkrik dan lolongan anjing liar dari kejauhan. Sekar berjalan dengan kaki diseret, tangannya terikat kasar, mulutnya ditutup kain kotor. Beberapa lelaki bertubuh kasar menyeretnya tanpa belas kasih.“Diam, Nduk! Jangan banyak gerak!” bentak salah satu pria berambut gondrong. Ia mendorong Sekar sampai jatuh tersungkur di tanah berpasir.Sekar meronta, tapi sia-sia. Tubuh mungilnya terlalu lemah melawan cengkeraman mereka. Air matanya mengalir, bercampur debu yang menempel di pipi.“Mahal ini. Besok laku keras di kota. Cantik, muda,” ucap lelaki lain sambil tertawa kasar.Sekar menutup matanya rapat. Ketakutan mencekik. Doa tak putus dari hatinya.Tiba-tibaDORRR!Suara tembakan memecah malam. Burung-burung beterbangan dari dahan. Para lelaki itu sontak panik.“Siapa itu?!”“Sial, tentara!”Dari balik kegelapan, seorang pria berseragam loreng muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya keras. Ia mengangkat senjata den