Share

Membawa Lari Benih Komandan
Membawa Lari Benih Komandan
Author: NamNamjoo

Chapter 1

Author: NamNamjoo
last update Last Updated: 2025-08-31 11:53:16

Angin malam perbatasan menusuk tulang. Hutan gelap itu hanya ditemani suara jangkrik dan lolongan anjing liar dari kejauhan.

Sekar berjalan dengan kaki diseret, tangannya terikat kasar, mulutnya ditutup kain kotor.

Beberapa lelaki bertubuh kasar menyeretnya tanpa belas kasih.

“Diam, Nduk! Jangan banyak gerak!” bentak salah satu pria berambut gondrong. Ia mendorong Sekar sampai jatuh tersungkur di tanah berpasir.

Sekar meronta, tapi sia-sia. Tubuh mungilnya terlalu lemah melawan cengkeraman mereka. Air matanya mengalir, bercampur debu yang menempel di pipi.

“Mahal ini. Besok laku keras di kota. Cantik, muda,” ucap lelaki lain sambil tertawa kasar.

Sekar menutup matanya rapat. Ketakutan mencekik. Doa tak putus dari hatinya.

Tiba-tiba

DORRR!

Suara tembakan memecah malam. Burung-burung beterbangan dari dahan. Para lelaki itu sontak panik.

“Siapa itu?!”

“Sial, tentara!”

Dari balik kegelapan, seorang pria berseragam loreng muncul.

Tubuhnya tegap, wajahnya keras. Ia mengangkat senjata dengan sigap. Namun ada yang aneh.

Matanya tidak fokus, napasnya berat, seolah sedang menahan sesuatu dari dalam tubuhnya.

“Lepaskan dia!” suaranya bergema lantang, membuat beberapa lelaki mundur.

“Tch! Sudah kena obat, tuh. Kita bisa kalahkan dia!” sahut yang gondrong sambil menghunus parang.

Mereka serempak menyerang.

Praja begitu nama prajurit muda itu melesat maju. Gerakannya cepat, tapi tak teratur. Peluh membasahi pelipisnya.

Tubuhnya panas, wajahnya memerah. Obat bius bercampur perangsang yang dicampur musuh mulai mengambil alih kesadarannya.

Namun, naluri militernya masih tajam. Satu tendangan keras menghantam perut lawan, membuat lelaki itu terkapar. Satu lagi dipukul dengan popor senapan. Sisanya kabur tunggang-langgang.

Sekar masih terduduk di tanah, terikat. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar.

Praja mendekat. Mata tajamnya menatap Sekar, tapi bukan dengan kejernihan. Ada kabut ganjil di sorotannya.

“Tenang kamu aman,” suaranya bergetar, serak.

Praja jongkok, melepaskan ikatan di tangan Sekar. Namun setelah itu, tubuhnya limbung. Nafasnya berat, wajahnya semakin merah.

“Mas kamu kenapa?” Sekar memberanikan diri bertanya, meski suaranya parau.

Praja tidak menjawab. Kepalanya menunduk, seolah melawan sesuatu. Tangannya mengepal, urat di leher menegang.

“Aku harus bawa kamu pergi dari sini,” katanya akhirnya, suara serak bercampur lirih.

Menarik Sekar berdiri, menuntunnya dengan langkah terhuyung.

Namun malam itu, di bawah cahaya bulan yang muram, sesuatu berubah. Obat di tubuh Praja semakin meracuni

kesadarannya. Nalurinya sebagai prajurit bercampur dengan dorongan yang tidak bisa kendalikan.

Sekar terdiam. Rasa takut yang tadi pada para penculiknya kini berganti bingung. Matanya menatap Praja penyelamat sekaligus ancaman yang tak pernah diduga.

Dan malam itu, di tengah hutan perbatasan, takdir keduanya terikat dengan cara yang kelak tak pernah bisa mereka lupakan.

Sekar menatap prajurit di depannya dengan hati yang campur aduk. Lelaki itu jelas tentara, seragamnya masih melekat, lengkap dengan emblem di lengan. Tapi cara dia berdiri goyah, peluhnya menetes tanpa henti, seperti orang sedang melawan racun.

“Mas kamu sakit?” suara Sekar pelan, ragu-ragu.

Praja menahan kepala dengan satu tangan, menggertakkan gigi. “Bukan bukan sakit. Aku harus bawa kamu keluar dari sini.”

Dia berusaha tegap, tapi langkahnya semakin kacau.

Sekar masih gemetar. Tadi nyawanya hampir direnggut para penculik, kini ia bersama prajurit yang menyelamatkannya tapi kenapa matanya semakin aneh? Ada hawa panas yang terpancar.

Mereka berjalan beberapa langkah ke arah hutan yang lebih dalam. Namun tiba-tiba Praja berhenti. Nafasnya tersengal, tubuhnya terhuyung lalu menabrak batang pohon.

“Mas!” Sekar refleks mendekat, meski masih takut.

Praja menatapnya. Tatapan itu menusuk, seakan ia tak lagi bisa membedakan siapa kawan, siapa lawan. Pupus sudah kejernihan di matanya. Yang tersisa hanyalah bara yang mengganas.

“Aku tidak bisa tahan lama,” gumamnya lirih, suaranya pecah.

Sekar mundur setapak, naluri ketakutannya kembali bangkit. Tapi sebelum ia bisa lari, tangan Praja lebih dulu menggenggam lengannya. Kuat. Hangat. Bergetar.

“Jangan tinggalkan aku,” bisik Praja, seakan itu jeritan terakhir akalnya yang tersisa.

Sekar membeku. Ada detik panjang, hanya suara jangkrik dan desiran angin yang terdengar.

“Aku takut,” lirih Sekar, matanya berkaca.

Praja menggenggam rambutnya, matanya semakin merah. Tubuhnya mendekat, panas tubuhnya jelas menyergap. Ia berusaha menahan diri, terlihat dari rahangnya yang mengeras, tapi racun obat itu membuat kendalinya terlepas sedikit demi sedikit.

“Maafkan aku,” hanya itu yang keluar dari bibirnya sebelum semuanya gelap dalam kabut kabur kesadaran.

Malam itu, di hutan perbatasan, Sekar tak lagi bisa membedakan apakah ia sedang diselamatkan atau justru jatuh ke dalam jerat nasib yang lebih pahit.

Sekar masih berusaha melepaskan genggaman tangan prajurit itu. Tubuhnya yang lelah membuat ia tak punya tenaga. Napasnya naik-turun, dada terasa sesak oleh rasa takut dan pasrah sekaligus.

“Lepaskan aku,” bisiknya, hampir tak terdengar.

Praja menggeleng, peluhnya menetes semakin deras. “Aku tidak bisa. Kepalaku panas sekali. Aku tidak mengerti.”

Sekar menatap wajah itu lebih dekat. Wajah seorang tentara muda, rahang kokoh, sorot matanya tajam. Tapi kini, sorot itu berubah jadi kabur, seperti terbakar api yang tak bisa dipadamkan.

Ada sesuatu yang membuat Sekar tercekat, ketampanan itu kontras dengan keadaan genting mereka. Seakan ia berhadapan dengan dua sisi manusia sekaligus: penyelamatnya sekaligus ancaman yang bisa menghancurkan dirinya.

“Mas tolong sadar. Aku ini korban, bukan musuhmu,” ucap Sekar gemetar.

Praja menutup mata sejenak, giginya bergemeletuk. “Aku tahu tapi tubuhku...” Praja berhenti, napasnya memburu, wajahnya menegang seakan melawan dorongan yang tak terkendali. “Aku tidak bisa menguasainya!”

Tangannya terulur, menarik Sekar ke dadanya. Sekar terperanjat, tubuhnya membeku. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat.

“Lepas aku takut,” suara Sekar pecah, air matanya jatuh begitu saja.

Namun Praja seperti orang linglung. “Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendiri di kegelapan ini.”

Tubuhnya bergetar hebat, seolah obat itu merampas kesadarannya detik demi detik. Dalam kekalutan itu, ia hanya tahu satu halkehadiran Sekar adalah satu-satunya yang bisa ia genggam agar tidak jatuh sepenuhnya ke dalam jurang.

Sekar mencoba mendorong dada kekar itu, tapi genggaman Praja terlalu kuat. Semakin ia meronta, semakin erat pula pelukan yang mengekangnya.

“Kenapa harus aku?!” Sekar menangis lirih, memukul bahu tentara itu dengan lemah. “Kenapa aku lagi?!”

Praja mengerang, kepalanya menunduk, suaranya pecah penuh rasa bersalah yang samar. “Maafkan aku aku tak bisa.”

Malam itu, waktu seakan berhenti. Hutan perbatasan hanya menyisakan angin yang berdesir kencang, bercampur jeritan batin dua manusia yang terjebak di luar kendali.

Sekar akhirnya hanya bisa menutup mata, air matanya mengalir deras. Dalam hatinya ia bersumpah: aku akan pergi, aku tidak akan biarkan diriku hancur di sini.

Praja akhirnya ambruk di tanah, napasnya tersengal berat, seperti habis bertarung dengan dirinya sendiri. Ia jatuh pingsan, meninggalkan Sekar terkulai di sampingnya dengan tubuh gemetar.

Sekar menatap lelaki itu, wajahnya penuh air mata. “Kau penyelamatku tapi juga perusak hidupku,” ucapnya lirih, hampir berbisik pada angin malam.

Di kejauhan, suara langkah kaki para pasukan lain mulai terdengar. Sekar segera bangkit, tubuhnya goyah, tapi ia tahu ia harus pergi sebelum semuanya terlambat.

Sekar menoleh sekali lagi pada prajurit itu—lelaki yang bahkan tak tahu apa yang baru saja terjadi.

“Semoga aku tidak pernah bertemu denganmu lagi,” katanya getir.

Sekar lalu melangkah ke dalam gelap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 21

    Praja akhirnya meninggalkan tenda. Langkah kakinya pelan, menuju rumah sederhana tempat Sekar dan Riri tinggal sementara. Dari kejauhan, ia melihat Sekar duduk sendirian di beranda. Riri tampaknya sudah masuk, meninggalkan Sekar yang menatap langit penuh bintang.“Sekar,” suara itu pelan, tapi cukup untuk membuat Sekar menoleh.Sekar terkejut, tapi cepat-cepat menunduk. “Komandan, malam-malam begini seharusnya istirahat. Ada apa?”Praja berhenti beberapa langkah darinya, seakan ragu untuk lebih dekat. Namun akhirnya ia menarik napas dan melangkah maju. “Aku tidak bisa tidur kalau kita masih dalam keadaan seperti ini.”Sekar menelan ludah. “Keadaan seperti apa?”Praja menatapnya dalam-dalam. “Keadaan di mana kamu menjauh dariku, padahal aku ingin lebih dekat. Keadaan di mana kamu menutup hatimu, padahal aku sudah membukanya lebar-lebar untukmu.”Sekar menghela napas berat, jemarinya meremas ujung kain selendangnya. “Komandan, jangan mempersulit. Kita sudah berbeda sejak awal. Kamu seor

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 20

    Sekar berjalan cepat meninggalkan tenda, langkahnya terburu-buru, nyaris berlari. Dadanya bergemuruh hebat, entah marah, kecewa, atau terluka—ia tak tahu. Hanya satu hal yang jelas: melihat Praja begitu dekat dengan Kirana membuatnya merasa hampa.“Sekar!” suara Praja memecah keheningan senja, terdengar di belakangnya.Sekar tak menggubris, malah mempercepat langkah. Namun suara langkah sepatu Praja makin mendekat, hingga akhirnya tangan kokoh itu meraih lengannya.“Sekar, tunggu sebentar!”Sekar berbalik dengan mata berkaca-kaca, berusaha menahan air mata agar tidak jatuh. “Lepaskan aku, Komandan! Saya tidak ingin ikut campur urusan pribadi Komandan dengan Dokter Kirana.”Praja terdiam sesaat, terkejut oleh nada suaranya. “Sekar, kamu salah paham.”“Tidak ada yang salah paham!” Sekar memotong cepat, suaranya bergetar. “Saya jelas melihatnya sendiri, Komandan berbicara berdua, begitu dekat, seakan ... seakan ...” suaranya tercekat, “seakan kalian memang berjodoh.”Praja menghela napas

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 19

    Pagi itu, suasana desa terasa lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya. Praja berdiri di depan pos penjagaan, menatap ke arah hamparan sawah yang diselimuti kabut tipis.Dari jauh, Sekar datang membawa keranjang berisi sayuran segar untuk para prajurit. Praja melihat langkahnya yang anggun, sederhana, namun entah mengapa membuat dadanya bergetar. Ia menoleh sekilas, seolah tidak peduli, tetapi mata dan pikirannya tetap menuntunnya untuk memperhatikan Sekar.“Pagi, Komandan,” sapa Sekar sambil tersenyum tipis.“Pagi,” jawab Praja singkat. Suaranya dalam, tapi ada nada lembut yang jarang sekali ia keluarkan.Sekar menunduk, meletakkan keranjang di meja kayu. “Ini sayuran dari ladang. Untuk persediaan makan siang kalian. Aku titip sama prajurit yang lain saja.”Praja mengangguk, tapi sebelum Sekar beranjak pergi, ia memberanikan diri. “Sekar, tunggu.”Sekar berhenti, menoleh pelan. “Ada apa?”Praja menelan ludah. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi lidahnya terasa kelu. “Aku ..

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 18

    Suasana pos berubah hening saat iring-iringan kendaraan militer berhenti di depan. Para prajurit langsung berdiri tegak, memberi hormat. Dari mobil utama, seorang pria paruh baya turun dengan wibawa penuhJenderal Sudirman.“Siap grak!” suara lantang komandan jaga menggema.Praja melangkah ke depan, memberi hormat dengan sikap sempurna. “Selamat datang, Jenderal!”Sudirman menepuk bahu Praja dengan bangga. “Kerja bagus, Komandan. Desa ini mulai pulih, rakyat merasa terlindungi. Aku bangga padamu.”Senyum tipis itu lalu berubah serius. Ia menatap Praja dalam-dalam.“Praja, setelah misi ini selesai, aku ingin kau mempertimbangkan sesuatu.”“Perintah, Jenderal?”“Bukan sekadar perintah. Aku hanya percaya padamu. Karena itu, apakah kau bersedia menikah dengan putriku, Kirana?”Seketika dada Praja sesak. Ia menunduk, wajahnya tegang. Kata-kata itu berat, jauh lebih berat daripada memimpin pertempuran.“Jenderal, saya.” suaranya tertahan.Tak jauh dari sana, Sekar yang tengah membawa kain un

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 17

    Malam itu markas terasa sunyi setelah hiruk-pikuk penyelamatan Arga. Hanya suara jangkrik dan sesekali langkah prajurit yang berkeliling membuat suasana tidak sepenuhnya hening.Sekar berdiri ragu di depan ruang komando. Cahaya lampu minyak dari dalam membuat bayangan tubuhnya jatuh panjang di tanah. Setelah menarik napas dalam, ia memberanikan diri mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat itu terdengar.Praja duduk di balik meja, map laporan berserakan. Tatapannya langsung terarah pada sosok Sekar yang melangkah masuk dengan hati-hati. Wanita itu menunduk sebentar, lalu berkata lirih, “Komandan aku ingin minta maaf. Waktu itu, aku pernah menuduhmu dan aku menyesal. Terima kasih karena sudah menyelamatkan putraku. Kalau bukan karena keberanianmu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Arga.”Ruangan seketika hening. Praja hanya menatapnya lama, seakan sedang mencari jawaban dari wajah Sekar. Ada sesuatu yang berputar di kepalanya kenangan lama, malam kelam yang selama ini ia kubur rapa

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 16

    Suasana pos militer pagi itu riuh. Para prajurit sudah berkumpul di halaman, sebagian sibuk membersihkan senjata, sebagian lagi mendengarkan pengarahan. Namun di balik semua itu, wajah Praja terlihat lebih tegang dari biasanya.Doni, Yudha, Seno, dan Tama sempat saling pandang. Mereka tahu, ada sesuatu yang mengganjal di hati komandannya.“Komandan, laporan dari markas baru masuk,” ujar Doni sambil menyerahkan map. “Ada indikasi bandit yang semalam lolos, bergerak ke arah utara. Mereka kemungkinan menyusun kekuatan kembali.”Praja menerima map itu, matanya sekilas menatap dokumen, tapi pikirannya melayang. Yang ia lihat bukanlah peta pergerakan musuh, melainkan wajah Sekar semalam—murung, penuh luka, lalu pergi begitu saja tanpa mendengar penjelasannya.Praja menghela napas, menutup map dengan cepat. “Kita tidak boleh lengah. Siapkan regu patroli. Jangan beri kesempatan mereka menyakiti warga desa lagi.”Para prajurit serentak mengangguk. Namun Doni memperhatikan mata Praja yang sayu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status