Share

Chapter 3

Author: NamNamjoo
last update Huling Na-update: 2025-08-31 11:54:30

Suara terompet pagi meraung di udara, menandai dimulainya apel. Derap sepatu menghentak lapangan markas. Barisan prajurit tegak lurus, wajah mereka kaku dengan pandangan lurus ke depan.

Di barisan depan, seorang perwira muda berdiri dengan tegap. Seragam lorengnya rapi, dada bidangnya dibalut lencana yang mencerminkan dedikasi dan darah yang sudah ia korbankan untuk tanah air. Itulah Praja seorang komandan muda yang namanya harum di kalangan pasukan.

“Perhatian!” suara sang Komandan batalyon menggema, membuat semua tubuh menegak lebih kaku. “Hari ini, ada penugasan baru di wilayah perbatasan pedalaman. Pasukan Bravo dipimpin langsung oleh Kapten Praja!”

Nama itu disebut lantang. Semua mata menoleh pada sosok yang disebut. Praja melangkah ke depan, wajahnya tenang, meski pikirannya penuh kalkulasi.

“Siap, Komandan!” suaranya tegas, membahana.

Sang Komandan mendekat, menepuk bahunya. “Kau tahu betul situasi di sana, Praja. Wilayah itu rawan. Ada laporan perdagangan manusia, penyelundupan, bahkan infiltrasi. Tugasmu bukan sekadar mengamankan desa, tapi juga menumpas sindikat yang selama ini beroperasi.”

“Siap laksanakan!”

Semua prajurit menahan napas, kagum dengan ketegasan itu. Nama Praja bukan hanya disegani karena kepangkatannya, tapi juga karena keberaniannya di medan pertempuran.

Namun di balik wajah dingin dan sorot mata tajam itu, ada beban yang selalu ia pikul. Malam kelam lima tahun lalu—malam di mana kesadarannya direnggut oleh racun musuh, dan ia hanya mengingat pecahan-pecahan kabur yang masih menghantui dalam tidur malamnya. Ia tidak tahu, bahwa jejak dari malam itu akan kembali menemuinya di desa kecil tempat di ditugaskan.

***

Perjalanan ke desa dimulai. Konvoi truk tentara berderap di jalanan berdebu, debu beterbangan memenuhi udara. Deru mesin dan bau solar memenuhi hidung. Para prajurit duduk rapi di bak belakang, senjata tergenggam, wajah penuh keseriusan.

Praja duduk di kursi depan, sesekali menatap peta di pangkuannya. “Kita akan tiba di Desa Mandala menjelang sore. Desa kecil, tapi jalurnya strategis. Pastikan perimeter dijaga ketat. Aku tidak ingin ada satu celah pun yang bisa dimanfaatkan musuh.”

“Siap, Kapten!” jawab salah satu bawahannya, Letda Seno, dengan lantang.

Praja melirik sejenak pada Seno, perwira muda yang penuh semangat. Masih polos, tapi punya naluri yang tajam. “Kau akan banyak belajar di sini, Seno. Jangan hanya mengandalkan senjata. Desa itu penuh dengan warga. Kalau kita gagal melindungi mereka, kita gagal sebagai tentara.”

“Siap!”

Truk berderak melewati jalanan berbatu. Di kejauhan, hamparan sawah membentang hijau, gunung berdiri megah di balik kabut. Namun di balik keindahan itu, Praja tahu ada bahaya yang mengintai.

Saat mereka tiba, desa menyambut dengan rasa ingin tahu. Anak-anak kecil berlarian di jalan, ibu-ibu menatap penuh rasa penasaran, dan para bapak berhenti dari cangkulnya, memandang truk-truk tentara yang memasuki wilayah itu.

“Lihat, ada tentara!” seru seorang anak kecil dengan riang.

Prajurit turun, membentuk barisan rapi. Praja berdiri paling depan, matanya menyapu seluruh desa.

Kepala desa menghampiri, menyalami dengan sopan. “Selamat datang, Kapten. Kami bersyukur sekali tentara ditempatkan di sini. Belakangan ini… desa kami memang tidak aman.”

Praja mengangguk. “Kami di sini untuk memastikan keselamatan kalian. Laporkan padaku setiap gerak-gerik mencurigakan. Jangan ada yang ditutupi.”

Kepala desa mengangguk cepat, matanya lega.

Namun, di antara kerumunan yang menonton dari kejauhan, ada sepasang mata yang menatap dengan gemetar. Sekar. Tubuhnya kaku, napasnya tercekat. Tangannya refleks meraih lengan kecil Arga yang berdiri di sampingnya.

“Itu....” suara Sekar tercekat, hampir tak bisa keluar.

Anak kecil itu menatap kagum pada barisan tentara, lalu menunjuk. “Ibu, itu Kapten tentara ya? Gagah sekali.”

Sekar hanya diam. Matanya membeku pada sosok tegap berseragam loreng, dengan sorot mata yang dingin tapi menyimpan sesuatu yang pernah ia kenal atau lebih tepatnya, ingin ia lupakan.

Praja.

Orang yang selama lima tahun ini ia kira hanya bayangan. Orang yang tanpa ia duga, kini berdiri di depan matanya lagi.

Dan yang lebih menghantam dada Sekar adalah kenyataan bahwa anak kecil di sampingnya, darah daging dari pria itu, sedang menatap penuh kekaguman.

***

Suara komando kembali menggema di lapangan desa. Praja berdiri tegak, tubuhnya kokoh dengan seragam loreng yang sudah berdebu. Senja mulai turun, namun wajah para prajurit masih penuh disiplin.

“Barisan dibubarkan! Besok kita patroli sepanjang sungai. Jangan lengah. Daerah ini rawan penyelundupan,” suara Praja lantang, tegas namun terkendali.

Para prajurit memberi hormat, lalu bubar dengan rapi. Praja menatap sekeliling—desa itu tampak damai, padahal ia tahu, seringkali kedamaian hanyalah topeng sebelum badai.

Menarik napas dalam. Lima tahun bertugas di berbagai medan membuatnya keras, tapi kali ini ada yang berbeda. Ada sesuatu di desa kecil ini yang terasa… asing, seolah ada simpul masa lalu yang menunggunya terurai.

“Komandan,” suara Seno, wakil komandan sekaligus sahabat lamanya, memecah lamunannya. “Warga sudah menyiapkan rumah dinas untukmu. Letaknya dekat sekolah TK.”

Praja mengangguk. “Bagus. Dekat warga berarti dekat dengan masalah dan solusi.”

Mereka berjalan menyusuri jalan tanah. Di kejauhan, terdengar tawa anak-anak, membuat langkah Praja melambat. Ada sesuatu dalam suara itu yang menusuk, entah kenapa dadanya bergetar aneh.

Saat melewati pagar bambu, matanya sekilas menangkap seorang wanita yang sedang menuntun anak kecil masuk ke rumah sederhana. Ia tidak jelas melihat wajahnya, hanya siluet rambut hitam panjang dan postur yang begitu familiar.

Praja mengernyit. Siapa dia? Kenapa terasa aku pernah mengenalnya?

Namun sebelum pikirannya menelusuri lebih jauh, Seno sudah lebih dulu menepuk bahunya. “Ayo, Komandan. Besok kita sibuk.”

Malam turun dengan cepat. Praja duduk di beranda rumah dinasnya, membuka catatan laporan. Namun matanya justru kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Wajah samar seorang perempuan, bayangan malam gelap lima tahun lalu, dan rasa getir yang tak pernah sepenuhnya hilang.

Ia menutup buku laporannya, menegakkan badan. “Tidak aku tidak boleh hanyut. Aku punya tugas.”

Tapi malam itu, entah kenapa, tidurnya kembali dipenuhi potongan bayangan—wanita yang menangis, tubuhnya yang lemah, dan perasaan bersalah yang tidak bisa ia pahami.

Di tempat lain, hanya beberapa rumah dari situ, Sekar memeluk Arga yang mulai gelisah dalam tidurnya. Ia mengusap kepala kecil itu dengan lembut, berusaha menenangkan.

“Tenanglah, Nak, jangan pernah tahu beban ibumu.”

Namun hatinya mencelos ketika mendengar kabar dari Bu Ratna sore tadi: ada satuan militer baru yang ditempatkan di desa ini, dipimpin seorang komandan muda bernama Praja.

Nama itu masih terngiang di telinganya, menusuk dada dengan getir yang sama seperti lima tahun lalu.

Sekar menggigit bibir, menahan gemetar. “Kenapa kau harus datang ke sini lagi?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 21

    Praja akhirnya meninggalkan tenda. Langkah kakinya pelan, menuju rumah sederhana tempat Sekar dan Riri tinggal sementara. Dari kejauhan, ia melihat Sekar duduk sendirian di beranda. Riri tampaknya sudah masuk, meninggalkan Sekar yang menatap langit penuh bintang.“Sekar,” suara itu pelan, tapi cukup untuk membuat Sekar menoleh.Sekar terkejut, tapi cepat-cepat menunduk. “Komandan, malam-malam begini seharusnya istirahat. Ada apa?”Praja berhenti beberapa langkah darinya, seakan ragu untuk lebih dekat. Namun akhirnya ia menarik napas dan melangkah maju. “Aku tidak bisa tidur kalau kita masih dalam keadaan seperti ini.”Sekar menelan ludah. “Keadaan seperti apa?”Praja menatapnya dalam-dalam. “Keadaan di mana kamu menjauh dariku, padahal aku ingin lebih dekat. Keadaan di mana kamu menutup hatimu, padahal aku sudah membukanya lebar-lebar untukmu.”Sekar menghela napas berat, jemarinya meremas ujung kain selendangnya. “Komandan, jangan mempersulit. Kita sudah berbeda sejak awal. Kamu seor

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 20

    Sekar berjalan cepat meninggalkan tenda, langkahnya terburu-buru, nyaris berlari. Dadanya bergemuruh hebat, entah marah, kecewa, atau terluka—ia tak tahu. Hanya satu hal yang jelas: melihat Praja begitu dekat dengan Kirana membuatnya merasa hampa.“Sekar!” suara Praja memecah keheningan senja, terdengar di belakangnya.Sekar tak menggubris, malah mempercepat langkah. Namun suara langkah sepatu Praja makin mendekat, hingga akhirnya tangan kokoh itu meraih lengannya.“Sekar, tunggu sebentar!”Sekar berbalik dengan mata berkaca-kaca, berusaha menahan air mata agar tidak jatuh. “Lepaskan aku, Komandan! Saya tidak ingin ikut campur urusan pribadi Komandan dengan Dokter Kirana.”Praja terdiam sesaat, terkejut oleh nada suaranya. “Sekar, kamu salah paham.”“Tidak ada yang salah paham!” Sekar memotong cepat, suaranya bergetar. “Saya jelas melihatnya sendiri, Komandan berbicara berdua, begitu dekat, seakan ... seakan ...” suaranya tercekat, “seakan kalian memang berjodoh.”Praja menghela napas

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 19

    Pagi itu, suasana desa terasa lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya. Praja berdiri di depan pos penjagaan, menatap ke arah hamparan sawah yang diselimuti kabut tipis.Dari jauh, Sekar datang membawa keranjang berisi sayuran segar untuk para prajurit. Praja melihat langkahnya yang anggun, sederhana, namun entah mengapa membuat dadanya bergetar. Ia menoleh sekilas, seolah tidak peduli, tetapi mata dan pikirannya tetap menuntunnya untuk memperhatikan Sekar.“Pagi, Komandan,” sapa Sekar sambil tersenyum tipis.“Pagi,” jawab Praja singkat. Suaranya dalam, tapi ada nada lembut yang jarang sekali ia keluarkan.Sekar menunduk, meletakkan keranjang di meja kayu. “Ini sayuran dari ladang. Untuk persediaan makan siang kalian. Aku titip sama prajurit yang lain saja.”Praja mengangguk, tapi sebelum Sekar beranjak pergi, ia memberanikan diri. “Sekar, tunggu.”Sekar berhenti, menoleh pelan. “Ada apa?”Praja menelan ludah. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi lidahnya terasa kelu. “Aku ..

  • Membawa Lari Benih Komandan    Bab 18

    Suasana pos berubah hening saat iring-iringan kendaraan militer berhenti di depan. Para prajurit langsung berdiri tegak, memberi hormat. Dari mobil utama, seorang pria paruh baya turun dengan wibawa penuhJenderal Sudirman.“Siap grak!” suara lantang komandan jaga menggema.Praja melangkah ke depan, memberi hormat dengan sikap sempurna. “Selamat datang, Jenderal!”Sudirman menepuk bahu Praja dengan bangga. “Kerja bagus, Komandan. Desa ini mulai pulih, rakyat merasa terlindungi. Aku bangga padamu.”Senyum tipis itu lalu berubah serius. Ia menatap Praja dalam-dalam.“Praja, setelah misi ini selesai, aku ingin kau mempertimbangkan sesuatu.”“Perintah, Jenderal?”“Bukan sekadar perintah. Aku hanya percaya padamu. Karena itu, apakah kau bersedia menikah dengan putriku, Kirana?”Seketika dada Praja sesak. Ia menunduk, wajahnya tegang. Kata-kata itu berat, jauh lebih berat daripada memimpin pertempuran.“Jenderal, saya.” suaranya tertahan.Tak jauh dari sana, Sekar yang tengah membawa kain un

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 17

    Malam itu markas terasa sunyi setelah hiruk-pikuk penyelamatan Arga. Hanya suara jangkrik dan sesekali langkah prajurit yang berkeliling membuat suasana tidak sepenuhnya hening.Sekar berdiri ragu di depan ruang komando. Cahaya lampu minyak dari dalam membuat bayangan tubuhnya jatuh panjang di tanah. Setelah menarik napas dalam, ia memberanikan diri mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat itu terdengar.Praja duduk di balik meja, map laporan berserakan. Tatapannya langsung terarah pada sosok Sekar yang melangkah masuk dengan hati-hati. Wanita itu menunduk sebentar, lalu berkata lirih, “Komandan aku ingin minta maaf. Waktu itu, aku pernah menuduhmu dan aku menyesal. Terima kasih karena sudah menyelamatkan putraku. Kalau bukan karena keberanianmu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Arga.”Ruangan seketika hening. Praja hanya menatapnya lama, seakan sedang mencari jawaban dari wajah Sekar. Ada sesuatu yang berputar di kepalanya kenangan lama, malam kelam yang selama ini ia kubur rapa

  • Membawa Lari Benih Komandan    Chapter 16

    Suasana pos militer pagi itu riuh. Para prajurit sudah berkumpul di halaman, sebagian sibuk membersihkan senjata, sebagian lagi mendengarkan pengarahan. Namun di balik semua itu, wajah Praja terlihat lebih tegang dari biasanya.Doni, Yudha, Seno, dan Tama sempat saling pandang. Mereka tahu, ada sesuatu yang mengganjal di hati komandannya.“Komandan, laporan dari markas baru masuk,” ujar Doni sambil menyerahkan map. “Ada indikasi bandit yang semalam lolos, bergerak ke arah utara. Mereka kemungkinan menyusun kekuatan kembali.”Praja menerima map itu, matanya sekilas menatap dokumen, tapi pikirannya melayang. Yang ia lihat bukanlah peta pergerakan musuh, melainkan wajah Sekar semalam—murung, penuh luka, lalu pergi begitu saja tanpa mendengar penjelasannya.Praja menghela napas, menutup map dengan cepat. “Kita tidak boleh lengah. Siapkan regu patroli. Jangan beri kesempatan mereka menyakiti warga desa lagi.”Para prajurit serentak mengangguk. Namun Doni memperhatikan mata Praja yang sayu.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status