Suara terompet pagi meraung di udara, menandai dimulainya apel. Derap sepatu menghentak lapangan markas. Barisan prajurit tegak lurus, wajah mereka kaku dengan pandangan lurus ke depan.
Di barisan depan, seorang perwira muda berdiri dengan tegap. Seragam lorengnya rapi, dada bidangnya dibalut lencana yang mencerminkan dedikasi dan darah yang sudah ia korbankan untuk tanah air. Itulah Praja seorang komandan muda yang namanya harum di kalangan pasukan. “Perhatian!” suara sang Komandan batalyon menggema, membuat semua tubuh menegak lebih kaku. “Hari ini, ada penugasan baru di wilayah perbatasan pedalaman. Pasukan Bravo dipimpin langsung oleh Kapten Praja!” Nama itu disebut lantang. Semua mata menoleh pada sosok yang disebut. Praja melangkah ke depan, wajahnya tenang, meski pikirannya penuh kalkulasi. “Siap, Komandan!” suaranya tegas, membahana. Sang Komandan mendekat, menepuk bahunya. “Kau tahu betul situasi di sana, Praja. Wilayah itu rawan. Ada laporan perdagangan manusia, penyelundupan, bahkan infiltrasi. Tugasmu bukan sekadar mengamankan desa, tapi juga menumpas sindikat yang selama ini beroperasi.” “Siap laksanakan!” Semua prajurit menahan napas, kagum dengan ketegasan itu. Nama Praja bukan hanya disegani karena kepangkatannya, tapi juga karena keberaniannya di medan pertempuran. Namun di balik wajah dingin dan sorot mata tajam itu, ada beban yang selalu ia pikul. Malam kelam lima tahun lalu—malam di mana kesadarannya direnggut oleh racun musuh, dan ia hanya mengingat pecahan-pecahan kabur yang masih menghantui dalam tidur malamnya. Ia tidak tahu, bahwa jejak dari malam itu akan kembali menemuinya di desa kecil tempat di ditugaskan. *** Perjalanan ke desa dimulai. Konvoi truk tentara berderap di jalanan berdebu, debu beterbangan memenuhi udara. Deru mesin dan bau solar memenuhi hidung. Para prajurit duduk rapi di bak belakang, senjata tergenggam, wajah penuh keseriusan. Praja duduk di kursi depan, sesekali menatap peta di pangkuannya. “Kita akan tiba di Desa Mandala menjelang sore. Desa kecil, tapi jalurnya strategis. Pastikan perimeter dijaga ketat. Aku tidak ingin ada satu celah pun yang bisa dimanfaatkan musuh.” “Siap, Kapten!” jawab salah satu bawahannya, Letda Seno, dengan lantang. Praja melirik sejenak pada Seno, perwira muda yang penuh semangat. Masih polos, tapi punya naluri yang tajam. “Kau akan banyak belajar di sini, Seno. Jangan hanya mengandalkan senjata. Desa itu penuh dengan warga. Kalau kita gagal melindungi mereka, kita gagal sebagai tentara.” “Siap!” Truk berderak melewati jalanan berbatu. Di kejauhan, hamparan sawah membentang hijau, gunung berdiri megah di balik kabut. Namun di balik keindahan itu, Praja tahu ada bahaya yang mengintai. Saat mereka tiba, desa menyambut dengan rasa ingin tahu. Anak-anak kecil berlarian di jalan, ibu-ibu menatap penuh rasa penasaran, dan para bapak berhenti dari cangkulnya, memandang truk-truk tentara yang memasuki wilayah itu. “Lihat, ada tentara!” seru seorang anak kecil dengan riang. Prajurit turun, membentuk barisan rapi. Praja berdiri paling depan, matanya menyapu seluruh desa. Kepala desa menghampiri, menyalami dengan sopan. “Selamat datang, Kapten. Kami bersyukur sekali tentara ditempatkan di sini. Belakangan ini… desa kami memang tidak aman.” Praja mengangguk. “Kami di sini untuk memastikan keselamatan kalian. Laporkan padaku setiap gerak-gerik mencurigakan. Jangan ada yang ditutupi.” Kepala desa mengangguk cepat, matanya lega. Namun, di antara kerumunan yang menonton dari kejauhan, ada sepasang mata yang menatap dengan gemetar. Sekar. Tubuhnya kaku, napasnya tercekat. Tangannya refleks meraih lengan kecil Arga yang berdiri di sampingnya. “Itu....” suara Sekar tercekat, hampir tak bisa keluar. Anak kecil itu menatap kagum pada barisan tentara, lalu menunjuk. “Ibu, itu Kapten tentara ya? Gagah sekali.” Sekar hanya diam. Matanya membeku pada sosok tegap berseragam loreng, dengan sorot mata yang dingin tapi menyimpan sesuatu yang pernah ia kenal atau lebih tepatnya, ingin ia lupakan. Praja. Orang yang selama lima tahun ini ia kira hanya bayangan. Orang yang tanpa ia duga, kini berdiri di depan matanya lagi. Dan yang lebih menghantam dada Sekar adalah kenyataan bahwa anak kecil di sampingnya, darah daging dari pria itu, sedang menatap penuh kekaguman. *** Suara komando kembali menggema di lapangan desa. Praja berdiri tegak, tubuhnya kokoh dengan seragam loreng yang sudah berdebu. Senja mulai turun, namun wajah para prajurit masih penuh disiplin. “Barisan dibubarkan! Besok kita patroli sepanjang sungai. Jangan lengah. Daerah ini rawan penyelundupan,” suara Praja lantang, tegas namun terkendali. Para prajurit memberi hormat, lalu bubar dengan rapi. Praja menatap sekeliling—desa itu tampak damai, padahal ia tahu, seringkali kedamaian hanyalah topeng sebelum badai. Menarik napas dalam. Lima tahun bertugas di berbagai medan membuatnya keras, tapi kali ini ada yang berbeda. Ada sesuatu di desa kecil ini yang terasa… asing, seolah ada simpul masa lalu yang menunggunya terurai. “Komandan,” suara Seno, wakil komandan sekaligus sahabat lamanya, memecah lamunannya. “Warga sudah menyiapkan rumah dinas untukmu. Letaknya dekat sekolah TK.” Praja mengangguk. “Bagus. Dekat warga berarti dekat dengan masalah dan solusi.” Mereka berjalan menyusuri jalan tanah. Di kejauhan, terdengar tawa anak-anak, membuat langkah Praja melambat. Ada sesuatu dalam suara itu yang menusuk, entah kenapa dadanya bergetar aneh. Saat melewati pagar bambu, matanya sekilas menangkap seorang wanita yang sedang menuntun anak kecil masuk ke rumah sederhana. Ia tidak jelas melihat wajahnya, hanya siluet rambut hitam panjang dan postur yang begitu familiar. Praja mengernyit. Siapa dia? Kenapa terasa aku pernah mengenalnya? Namun sebelum pikirannya menelusuri lebih jauh, Seno sudah lebih dulu menepuk bahunya. “Ayo, Komandan. Besok kita sibuk.” Malam turun dengan cepat. Praja duduk di beranda rumah dinasnya, membuka catatan laporan. Namun matanya justru kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Wajah samar seorang perempuan, bayangan malam gelap lima tahun lalu, dan rasa getir yang tak pernah sepenuhnya hilang. Ia menutup buku laporannya, menegakkan badan. “Tidak aku tidak boleh hanyut. Aku punya tugas.” Tapi malam itu, entah kenapa, tidurnya kembali dipenuhi potongan bayangan—wanita yang menangis, tubuhnya yang lemah, dan perasaan bersalah yang tidak bisa ia pahami. Di tempat lain, hanya beberapa rumah dari situ, Sekar memeluk Arga yang mulai gelisah dalam tidurnya. Ia mengusap kepala kecil itu dengan lembut, berusaha menenangkan. “Tenanglah, Nak, jangan pernah tahu beban ibumu.” Namun hatinya mencelos ketika mendengar kabar dari Bu Ratna sore tadi: ada satuan militer baru yang ditempatkan di desa ini, dipimpin seorang komandan muda bernama Praja. Nama itu masih terngiang di telinganya, menusuk dada dengan getir yang sama seperti lima tahun lalu. Sekar menggigit bibir, menahan gemetar. “Kenapa kau harus datang ke sini lagi?”Suara terompet pagi meraung keras, membangunkan seluruh pasukan. Di bawah langit yang masih abu-abu, barisan tentara mulai berkumpul di lapangan tanah merah yang basah oleh embun. Sepatu lars menghentak serentak, menimbulkan dentuman ritmis yang menggema ke bukit-bukit sekitar desa.“Siap, grak!”Komando suara lantang itu menggema. Praja berdiri tegap di depan pasukan, wajahnya dingin dan tak menunjukkan sedikit pun keraguan. Seragam loreng yang melekat di tubuhnya tampak rapi, pita komandan di bahunya berkilau tertimpa sinar matahari pagi yang mulai menyembul.Para prajurit menatapnya penuh wibawa. Meski usianya belum terlalu tua, Praja dikenal keras, disiplin, tapi adil.“Patroli hari ini, sektor barat dan utara. Jangan lengah. Ada laporan gerakan mencurigakan dari kelompok penyelundup,” suara Praja datar, tapi tajam.“Siap, Komandan!” sahut barisan kompak.Latihan pagi selesai, mereka langsung membagi regu. Beberapa prajurit muda tampak mengeluh pelan ketika harus membawa senjata
Suara jangkrik malam menutupi keheningan desa ketika mobil patroli berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Arga, dengan mata berbinar, langsung menunjuk rumah itu.“Ini, Komandan! Rumahku!” katanya polos.Praja menoleh, menatap rumah dengan lampu teras temaram. Ia mengangguk kecil, lalu membuka sabuk pengaman. “Baiklah, turunlah. Jangan suka berkelahi lagi, ya.”Arga mengangguk patuh. Baru saja ia turun dari mobil, suara seorang perempuan terdengar dari balik pintu.“Arga? Dari mana saja kamu, Nak? Ibu sudah khawatir sekali!”Seorang perempuan muncul di ambang pintu. Rambut hitamnya tergerai, wajahnya lelah namun tetap anggun. Matanya langsung menatap anaknya yang berlari kecil ke pelukannya.Sekar.Praja menatapnya tanpa suara. Ada sesuatu yang menusuk ingatannya, samar, seperti bayangan dari masa lalu. Namun wajah itu, ia tak benar-benar bisa mengingatnya.Sekar pun tertegun melihat sosok berseragam militer berdiri di samping mobil patroli. Dadanya berdegup kencang, napasnya terce
Suara deru mesin kendaraan patroli membelah jalan desa yang sepi sore itu. Mobil lapis sederhana dengan cat hijau khas militer berjalan pelan, rodanya menimbulkan debu tipis di jalan tanah. Praja duduk di kursi depan, matanya tajam mengawasi kiri-kanan.“Komandan, desa ini kelihatannya aman-aman saja,” ucap Seno, yang duduk di sampingnya.Praja menggeleng pelan. “Jangan terkecoh oleh permukaan. Justru saat kelihatan aman, kita harus lebih waspada.”Mobil itu terus menyusuri jalan. Sesekali warga melambaikan tangan, menghormati mereka dengan senyum hangat. Namun tiba-tiba, suara riuh terdengar di persimpangan dekat sekolah dasar.“Anak pungut! Anak pungut! Hahaha, pantas saja nggak ada yang jemput kau, ayahmu aja nggak jelas!”Seorang bocah laki-laki berteriak sambil mendorong tubuh seorang anak lain. Anak itu, dengan wajah keras kepala dan bola mata yang menyalak penuh amarah, balas mendorong. Tinju kecilnya melayang, menghantam pipi lawannya. Anak-anak lain di sekitar mereka menjeri
Suara terompet pagi meraung di udara, menandai dimulainya apel. Derap sepatu menghentak lapangan markas. Barisan prajurit tegak lurus, wajah mereka kaku dengan pandangan lurus ke depan.Di barisan depan, seorang perwira muda berdiri dengan tegap. Seragam lorengnya rapi, dada bidangnya dibalut lencana yang mencerminkan dedikasi dan darah yang sudah ia korbankan untuk tanah air. Itulah Praja seorang komandan muda yang namanya harum di kalangan pasukan.“Perhatian!” suara sang Komandan batalyon menggema, membuat semua tubuh menegak lebih kaku. “Hari ini, ada penugasan baru di wilayah perbatasan pedalaman. Pasukan Bravo dipimpin langsung oleh Kapten Praja!”Nama itu disebut lantang. Semua mata menoleh pada sosok yang disebut. Praja melangkah ke depan, wajahnya tenang, meski pikirannya penuh kalkulasi.“Siap, Komandan!” suaranya tegas, membahana.Sang Komandan mendekat, menepuk bahunya. “Kau tahu betul situasi di sana, Praja. Wilayah itu rawan. Ada laporan perdagangan manusia, penyelundupa
Pagi itu, kereta ekonomi jurusan perbatasan–Jawa Timur berderit panjang, seperti menjerit lelah membawa ratusan orang dengan mimpi dan beban masing-masing. Di salah satu kursinya, Sekar duduk memeluk tas lusuh, menatap jendela dengan pandangan kosong. Rambut hitamnya tergerai, wajah pucatnya nyaris tanpa ekspresi.Perjalanan itu seakan tak ada ujung. Setiap suara pedagang asongan, setiap tawa anak kecil, semuanya terasa jauh dari dirinya. Sekar seakan terasing di tengah keramaian.Sekar masih ingat jelas malam itu—malam kelam yang menghancurkan dirinya sekaligus mengikatnya pada sesuatu yang tak pernah ia duga.Tangannya meraba perutnya yang masih rata. Belum ada tanda apa-apa, tapi hatinya sudah bisa merasakan. Ada kehidupan yang tumbuh di sana.“Tidak mungkin,” bisiknya lirih. “Tuhan, jangan sampai.”Namun hari-hari berikutnya, tubuhnya memberi jawaban yang berbeda. Mual setiap pagi, lemas tanpa sebab, dan… keterlambatan itu. Sekar terisak diam-diam di kamar kontrakan kecil milik b
Angin malam perbatasan menusuk tulang. Hutan gelap itu hanya ditemani suara jangkrik dan lolongan anjing liar dari kejauhan. Sekar berjalan dengan kaki diseret, tangannya terikat kasar, mulutnya ditutup kain kotor. Beberapa lelaki bertubuh kasar menyeretnya tanpa belas kasih.“Diam, Nduk! Jangan banyak gerak!” bentak salah satu pria berambut gondrong. Ia mendorong Sekar sampai jatuh tersungkur di tanah berpasir.Sekar meronta, tapi sia-sia. Tubuh mungilnya terlalu lemah melawan cengkeraman mereka. Air matanya mengalir, bercampur debu yang menempel di pipi.“Mahal ini. Besok laku keras di kota. Cantik, muda,” ucap lelaki lain sambil tertawa kasar.Sekar menutup matanya rapat. Ketakutan mencekik. Doa tak putus dari hatinya.Tiba-tibaDORRR!Suara tembakan memecah malam. Burung-burung beterbangan dari dahan. Para lelaki itu sontak panik.“Siapa itu?!”“Sial, tentara!”Dari balik kegelapan, seorang pria berseragam loreng muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya keras. Ia mengangkat senjata den