Share

Bab 4 - Puerto La Cruz

"Martin, aku mencintaimu, aku tidak rela melihat kau menyentuh wanita lain, selain aku ...."

Sedari tadi Cordelia menitihkan air mata kala mendengar Martin akan mencari wanita lain bermaksud ingin mendapatkan anak. Karena sampai saat ini Cordelia tak kunjung hamil. Cordelia tahu jika tetua alias papa angkat Martin memerlukan keturunan untuk melanjutkan bisnis hitam Martin.

Martin duduk di sofa sambil memegang cerutu. Asap terlihat udara, menandakan cerutu baru saja disesap. Mata elang nan tajam itu memandang ke arah Cordelia sedang terduduk di atas lantai sejak tadi.

"Lalu apa yang harus aku lakukan, Cordelia? Kemarin Papaku bertanya kapan kau akan hamil? Sebelum papa pergi, dia memintaku untuk segera memberinya seorang pewaris. Kau tahu sendiri kan, Papa hanya memiliki aku saja.

Di umur tujuh tahun, Martin Martinez sudah tidak lagi memiliki orang tua. Orang tua kandungnya dibunuh oleh komplotan mafia lain. Masa lalu kelam mempertemukan Martin dengan Pablo. Pablo yang kebetulan tidak mempunyai istri ataupun sanak saudara, mengangkat Martin menjadi anaknya dan mengganti nama belakang Martin menjadi Martinez. Bisnis Pablo di antaranya adalah narkoba, perdagangan senjata ilegal, perdagangan organ manusia, dan masih banyak lagi.

Pablo adalah kartel narkoba terkenal di Venezuela. Hanya segelintir orang yang mengetahui bisnis rahasia Pablo. Perusahaan yang diwariskan Pablo kepada Martin hanyalah kedok semata, untuk penyeludupan barang-barang ilegal tersebut.

"Tunggulah beberapa bulan lagi, Martin. Aku sangat mencintaimu ...."

Martin enggan menanggapi, matanya masih menatap lurus ke depan. Dia tak menyangka wanita yang pernah ditemuinya di club begitu cinta padanya. Martin menikahi Cordelia atas perintah Pablo. Meskipun di awal ia tak langsung menikahi Cordelia, melainkan Diana. Di hari pernikahan, Cordelia menghilang tiba-tiba. Dia kembali lagi saat di hari perceraiannya dengan Diana. Cordelia mengatakan dia diculik oleh seseorang, Martin tak peduli. Namun, karena titah Pablo pernikahan harus tetap dilanjutkan, mau tak mau setelah bercerai dia menikahi Cordelia.

Awal pertemuan dengan Cordelia. Berlangsung sangat cepat waktu itu, saat Martin menghadiri pertemuan bersama tetua-tetua di club. Cordelia tak sengaja menabrak tubuhnya dan berakhir Pablo meminta Martin menjalin hubungan dengan Cordelia. Martin pun berusaha mendekati Cordelia meski tak mencintai wanita tersebut. Hati Martin begitu keras dan dingin sehingga sampai saat ini belum pernah merasakan cinta.

Sedari kecil Martin mendedikasikan hidupnya kepada perkerjaan. Martin berkerja tanpa mengenal rasa lelah, dari subuh hingga menjelang malam buta. Hal itulah yang membuat Pablo kagum padanya. Martin benar-benar melebarkan bisnis hitam Pablo tidak hanya di Caracas saja, di luar ibu kota bahkan keluar pulau.

Saat ini, Martin tengah berada di kota Puerto La Cruz. Tak begitu jauh dengan ibu kota. Kota Puerto ini berdekatkan dengan lintang khatulistiwa dan sedang mengalami musim panas. Beberapa bulan lalu Martin sering datang kemari hendak meninjau pembangunan gedung baru. Besok dia akan meresmikan gedung yang akan mulai beroperasi di sini.

"Martin, kenapa kau diam?" Cordelia mendekat. Air matanya membuat riasan di wajah luntur sekarang. Maskara hitamnya terlihat di bawah mata.

"Hmm, baiklah. Malam ini aku akan bertemu Papa untuk membicarakannya." Martin menyesap kembali cerutu tersebut kemudian menghembuskan asap ke udara kembali.

Cordelia tersenyum tipis lalu menghapus jejak air mata.

"Terima kasih, Martin. Jangan pernah menyentuh wanita lain selain aku ya," ujar Cordelia sambil duduk di samping Martin lalu menyenderkan kepala di bahu lebar Martin.

Martin hanya diam saja, memandang ke depan dengan raut waja datar. Pria beriris cokelat itu tak berniat melirik Cordelia. Dalam sepersekian detik, Martin mendorong pelan kepala Cordelia dan bangkit berdiri.

"Aku mau keluar, kau di sini saja." Tanpa mendengar tanggapan Cordelia, Martin bergegas pergi menuju pintu.

"Ahk! Sialan!"

Setelah melihat pintu ditutup rapat Cordelia langsung berteriak histeris. Cordelia kesal hubungannya dengan Martin tak ada kemajuan. Kemarahan merasuk hatinya ketika Martin mengabaikannya lagi. Wajahnya yang sendu sekarang nampak angkuh.

"Ursula!!!" Cordelia memekik seketika, memanggil asisten pribadi yang berada di luar ruangan sedari tadi.

Saat mendengar namanya dipanggil, dengan buru-buru Ursula masuk ke dalam lalu membungkuk hormat.

"Iya Nona." Mata Ursula mengedar sejenak, melihat ruangan dalam keadaan baik-baik saja. Menarik napas lega, Ursula mencoba mendekati Cordelia. Meski mimik muka majikannya sekarang tak enak dipandang. Namun, dia tak mau terkena amukan Cordelia.

"Pergi kemana Martin tadi?" tanya Cordelia setengah berteriak.

"Tuan pergi ke bawah bersama tangan kanannya, Nona." Kepala Ursula menunduk. Suatu titah yang harus dilakukan jika berhadapan dengan Cordelia.

Cordelia bangkit berdiri. "Cih! Hanya itu saja, apa lagi yang dikatakan Martin?"

"Um, tadi Tuan juga bilang dia akan pergi ke perusahaan sebentar, melihat proses peresmian besok dan tidak akan pulang malam ini." Ursula menyampaikan perkataan Martin apa adanya tidak ditambah ataupun dikurang-kurangi.

Rahang Cordelia semakin mengetat, pupil matanya melebar lagi. Martin seakan memberi batasan dengannya. Sampai saat ini Cordelia tak tahu bagaimana perasaan Martin sesungguhnya. Martin tak mudah ditebak, sangat misterius dan dingin. "Sialan! Bagaimana aku bisa hamil! Jika dia sering keluar!"

Ursula tak berani menyanggah, memilih diam dengan kepala tertunduk dalam.

"Aku sangat bosan di sini, Ursula!" Dengan muka tertekuk sempurna, Cordelia menghempas tubuh ke atas sofa lalu bersedekap di dada dan mengangkat sedikit kakinya ke udara.

Melihat pergerakkan kaki sang majikan, Ursula berjongkok dan melepas sepatu Cordelia segera.

Ursula mengangkat kepala, menatap sekejap mata Cordelia sambil mengulum senyum. "Aku dengar besok akan ada karnaval yang diadakan di kota, Nona. Apa Nona mau pergi ke sana?"

Mata Cordelia langsung berbinar-binar, lantas berdiri dengan cepat. "Benarkah?"

"Iya, Nona." Ursula pun bangkit berdiri dan meletakkan heels runcing berwarna merah di sudut ruangan.

Cordelia menyungging senyum tipis setelahnya. "Baiklah, besok kita pergi ke sana, aku ingin menikmati kota Puerto ini."

Ursula berbalik. Dari sudut kamar, melihat Cordelia masih berada di dekat sofa. "Baik Nona. Apa Nona mau mandi? Cuaca sangat panas di sini?"

"Kau masih bertanya? Kau tidak lihat keringat di keningku ini hah!" bentak Cordelia dengan mata melotot tajam.

Ursula sedikit tersentak. Sikap Cordelia terkadang membuatnya serba salah, bisa berubah-ubah dalam kurun waktu tertentu. Ursula mengaruk tengkuk sambil tersenyum kikuk.

"Maaf Nona, kalau begitu aku akan ke kamar mandi menyiapkan air."

Cordelia tak menjawab. Malah memutar mata ke atas kemudian berjalan cepat mendekati jendela kamar.

Dengan langkah tergesa-gesa Ursula berjalan menuju kamar mandi di sebelah kanan ruangan. Meninggalkan Cordelia menatap lurus keluar jendela kamar. Entah apa yang dipikirkan wanita itu, tapi tatapannya begitu aneh, senyumannya pun sekarang terlihat mengerikan.

"Martin, aku akan membuat kau tunduk padaku," desis Cordelia pelan sembari melihat Martin di bawah sana sedang masuk ke dalam mobil bersama tangan kanannya, Lopez.

Menjelang petang, Martin tak pulang ke hotel memilih pergi ke club hendak bertemu Pablo. Membicarakan persoalan Cordelia sekaligus meninjau senjata api yang akan diselundupkan besok di gedung baru. Saat mendengarkan penjelasan Martin. Pablo tak langsung mengiyakan perkataan Martin. Namun, dari sorot matanya mengisyaratkan menghormati keputusan Martin dan berharap Cordelia akan hamil secepatnya.

Bersamaan dengan itu, Diana dan Martha serta kedua anaknya telah sampai di Puerto La Cruz. Sementara Ruth memilih menetap di Baracoa. Begitu sampai di rumah singgah, mereka langsung beristirahat.

***

Pagi telah tiba, langit di kota Puerto La Cruz tampak indah dan menawan. Pagi-pagi sekali Cordelia sudah siap dengan gaun renda. Wanita berpenampilan glamor itu memakai topi bundar di kepala dan sarung tangan berwarna merah. Dia terlihat senang kala mendapat kabar dari Lopez, bila Martin memintanya datang ke perusahaan nanti siang.

"Ayo cepat, Ursula! Aku penasaran ada barang apa saja yang dijajakan di karnaval?"

Saat ini, Cordelia sedang menunggu Ursula di pelataran hotel. Sebuah mobil hitam terlihat di depannya. Ursula baru saja sampai, tadi mengambil kipas tangan Cordelia yang tertinggal di dalam kamar.

"Baik Nona." Tak lupa Ursula menyodorkan kipas kayu kepada Cordelia lalu membukakan Cordelia pintu mobil.

Cordelia masuk dan pergi bersama Ursula ke pusat kota. Walau masih pagi, suasana sudah mulai padat di pusat kota, Cordelia sedikit terhibur dengan karnaval. Sesekali dia membeli pernak-pernik yang dijual para pedagang di pinggir jalan.

Berjarak belasan meter dari Cordelia dan Ursula.

Angelo dan Angela tengah duduk di kursi kayu plastik, tepatnya di dalam booth ice lemon tea. Selagi menunggu Diana dan Martha melayani pembeli di dalam toko pakaian. Keduanya menjual ice lemon tea bermaksud ingin membantu Mommynya mencari uang. Meski Diana melarang. Namun, permintaan Angela harus dituruti. Alhasil mau tidak mau Diana mengizinkan. Apalagi keadaan toko nampak padat.

Diana tak mengira pengunjung toko akan ramai kedatangan pengunjung hari ini. Padahal tadi Martha tidak mau membuka toko karena pakaian belum terpajang semua. Namun, salah seorang pelanggan menerobos masuk ke dalam ingin membeli syal. Syal bunga buatan Martha menjadi pilihan pembeli pertama dan ajaibnya pengunjung karnaval terpesona dengan syal tersebut lalu pergi ke toko Martha.

Dia dan Martha sempat kewalahan, namun melihat betapa antusiasnya pengunjung, keduanya tampak bersemangat. Diana tak lupa menitipkan Angelo dan Angela kepada Pedro, penjaga keamanan yang kebetulan berdiri di luar toko bertugas juga memantau si kembar.

"Bang Angelo, bagaimana dengan penampilan Angela hari ini cantik tidak?"

Sekarang, Angelo dan Angela sedang memperhatikan karnaval di depan mereka sambil menunggu pengunjung untuk membeli ice lemon tea.

Angelo menoleh sekilas lalu menatap lurus ke depan lagi. "Tidak!"

"What?" Angela terperangah kala Angelo mengatakan dirinya tidak cantik. Padahal sekarang penampilannya begitu indah, rambut panjang sepinggang tergerai di belakang, dress mungil berwarna merah dengan hiasan bunga anyelir di bawahnya dan di atas kepala terdapat mahkota bunga kecil hasil buatan Martha.

"Sepertinya Abang katalak! Tidak bisa membedakan mana cantik mana jelek! Huh menyebalkan!"

Karena suasana di dalam riuh, Angelo dan Angela terpaksa berteriak.

"Memang jelek kok, kau seperti badut! Badanmu pun gendut!"

Mendengar makian yang terlontar dari bibir Angelo, mulut Angela menganga. Dengan cepat ia bangkit berdiri kemudian melipat tangan di dada, menatap tajam Angelo tengah duduk di kursi pendek.

"Abang ini benal-benal ketellaluan! Angela kasihan pada jodoh abang nanti kalena memilih Abang menjadi suaminya!" seru Angela.

"Berisik! Sebut 'r' saja kau belum bisa, duduklah Angela, kau menghalangi pandanganku!"

Angela berdecak kemudian memutuskan duduk kembali.

"Bagaimana caranya berjualan, Angela. Kau tidak lihat, orang hanya lalu-lalang saja." Angelo memberi komentar tiba-tiba, karena belum ada pembeli yang datang ke booth mereka sedari tadi.

"Sabal! Tunggu sebental!" Angela berlari kecil ke dalam toko lalu keluar lagi sambi membawa sebuah kardus dan spidol hitam.

"Untuk apa itu?" tanya Angelo, heran.

Bibir Angela mencebik sejenak. "Diamlah Bang! Lihat saja cala keljaku ini! Aku yakin sekali kita dapat duit banyak hali ini, Bang!" serunya sambil menulis sesuatu di kardus.

Angelo membuang napas kasar, enggan membalas perkataan adiknya itu.

"Selesai!" Angela memperlihatkan isi tulisan kepada Angelo. "Lihat ini! Aku yakin sekali, akan ada banyak pembeli."

Wajah Angelo berubah masam. Saat membaca tulisan Angela, yang berisi membeli dua ice lemon tea dapat melihat senyuman manis darinya. "Apa kau sudah gila, Angela! Tidak ada orang yang mau melihat senyumku!"

Angela tersenyum smirk kemudian meletakkan kardus di atas booth. "Ish! Ini namanya teknik malketing, Bang. Diamlah, ikuti saja skenalio, Angela. Jika pembeli membeli 2 ice lemon tea, Abang tinggal tersenyum saja, oke?"

Angelo mengendus kasar, memilih mengalah.

Tak berselang lama, booth pun ramai pengunjung. Meski kesal Angelo tetap melaksanakan perintah Angela. Karena senyuman Angelo benar-benar manis. Dari dalam toko, melalui kaca pembatas, Diana sesekali melihat buah hatinya.

Setelah 2 jam berjualan, Angela terlihat kelelahan dan memilih menghitung uang yang didapatkannya tadi.

"Panas juga ya." Komentar Angela sambil menyusun uang di tangan mungilnya.

"Kau mau minum?" tanya Angelo.

"Tidak, itu kan untuk pembeli, kita halus belhemat bial cepat kaya laya!" Angela terlihat bersemangat menghitung uang.

"Hei! Kemarilah, berikan aku satu ice lemon tea!"

Angelo dan Angela reflek mengangkat kepala, berjarak sekitar 10 meter, di tengah-tengah kerumunan pengunjung karnaval, melihat wanita berambut panjang dan berpenampilan glamour bersama wanita berambut pendek, yang sedang memayungi wanita berambut panjang, siapa lagi kalau bukan Cordelia dan Ursula.

"Oh my God, pembeli aneh! Kenapa bukan dia yang ke sini!" kata Angelo, kesal.

Angela meletakkan duit di dalam saku dress seketika. "Abang, pembeli adalah laja, kita halus melayani meleka. Lebih baik Abang buatkan satu ice lemon tea, bial aku saja yang mengantal ke sana!"

Angelo tak mengubris perkataan Angela, memilih mengambil cup plastik dan mulai menuangkan lemon tea serta ice ke dalam cup. Setelah selesai, Angela membawa cup menuju Cordelia. Sementara Angelo memantau dari kejauhan gerak-gerik Angela sambil sesekali melayani pembeli yang datang ke booth.

"Ini Nona!" Begitu sampai Angela berjinjit dan menengadahkan kepala ke atas sambil menyodorkan cup kepada Cordelia.

Cordelia langsung mengambil alih cup dari tangan mungil Angela dan meneguk minuman tersebut hingga tandas.

Sementara Angela menelisik penampilan Cordelia dari atas hingga ke bawah sambil berkacak pinggang.

'Hmm, sepeltinya banyak duit. Aku bisa membeli boneka beluang banyak-banyak nanti.' Boneka beruang kesayangan Angela tertinggal di Baracoa kemarin.

"Ya ampun panas sekali!" Cordelia memberi cup kosong kepada Ursula kemudian menggerakkan kipas kayu di wajahnya. Terlalu lama di bawah panas matahari tadi, membuat wajahnya terlihat merah sekarang.

"Nona, mana uangnya?" Dengan mata berkedip-kedip, Angela menengadahkan tangan kanan di hadapan Cordelia.

"Berapa?" tanya Cordelia sangat ketus.

"5 bolival!" Angela mengangkat jari-jemarinya sebanyak lima buah ke udara. Jika dihitung berjumlah sekitar delapan puluh ribu lebih.

Mata Cordelia melotot lebar sebab harga yang tertera di kardus di depan sana 1 bolivar. "Apa? 5 bolivar! Jelas-jelas tulisan di sana 1 bolivar!?"

Angela tersenyum smirk lalu menurunkan tangan dan berkacak pinggang lagi.

"Nona cantik, ini pelayanan khusus. Halga ice lemon tea memang 1 bolival tapi kalena jalak tempuhku ke sini lumayan jauh, tadi aku sempat menghitung sekitar 50 langkah, aku masih belbaik hati loh, membelimu diskon jadi 40 langkah, jadi 4 tambah 1 sama dengan 5 bolival," jelas Angela panjang lebar.

Cordelia terperangah. Sementara Ursula senyam-senyum sendiri melihat tingkah Angela sedari. Namun, Ursula sedikit heran, merasa tak asing dengan wajah Angela seperti mirip seseorang.

"Pemerasan! Apa Daddymu mengajari kau memalak orang hah?! Mana ada pelayanan khusus hah! Lagipula ice lemon tea itu tidak enak! Aku tidak mau membayar segitu!" seru Cordelia.

Angela langsung cemberut. "Daddy sudah mati! Tidak usah sangkut pautkan sama Daddy! Nona bilang tidak enak, tapi Nona habiskan tadi! Bayal saja cepat sekarang! Tidak usah banyak alasan!"

Cordelia mengeluarkan tawa remeh setelahnya."Haha! Sudah mati, pantas saja anak menyebalkan sepertimu memalak orang!

Angela naik pitam. Wajah bulatnya terlihat merah padam. Tidak suka dengan sikap Cordelia seakan merendahkannya. Biasanya orang dewasa akan bersimpati namun Cordelia berbeda. "Dengal ya, walaupun Daddy sudah mati, tapi ada manusia yang hatinya sudah mati total meneltawai kematian seseolang yaitu Nona!"

Cordelia menahan geram, ingin menampar Angela, namun banyak pasang mata memandangnya sekarang. "Kau! Berani kau denganku hah!"

"Tentu saja Angela belani, kata Aunty Maltha, kita tidak boleh takut sama olang yang tidak bisa mengholmati kita! Cepat bayal Angela sekalang!" Angela mengangkat tangan kanan lagi ke udara.

Cordelia tak mengubris perkataan Angela malah menoleh ke samping. "Ursula cepat berikan uang pada anak sialan ini!"

Ursula tersenyum kikuk lalu berbisik di telinga Cordelia. "Maaf Nyonya, aku tidak punya uang cash."

Mata Cordelia melebar lagi, sangat kesal karena Ursula tak membawa uang. "Kau!"

Dalam hitungan detik Cordelia memberikan kode pada Ursula untuk berlari. Ursula mengerti dan berlari bersama Cordelia seketika.

"Hei! Jangan kabul! Dasal penipu!" teriak Angela sambil berlari juga. Kaki mungilnya bergerak sangat lincah, menerobos kerumunan pengunjung karnaval yang lalu-lalang di sekitar.

"Angela!" Saat melihat Angela menjauhi area toko pakaian, Angelo bangkit berdiri kemudian mengejar Angela juga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status