Bab 4
Saat hendak menutup rolling door, tiba-tiba Bu Sari, pelanggan lamaku datang.
"Butiknya mau tutup ya, Del? Ini loh, mau mengambil pesanan yang kemarin?" tanya Bu Sari, beliau seperti kebingungan melihatku yang tiba-tiba mau menutup butik.
Aku dilanda kebingungan, tidak tahu harus bagaimana. Pulang atau tetap di sini. Di satu sisi Bu Sari adalah pelanggan tetap di butik ini, takutnya ia akan kecewa jika kutolak. Tapi menyelidiki hubungan Mas Farid dengan Rini juga tidak kalah penting.
"Del, kok' bengong? Gamis yang saya pesan kemarin sudah ada, kan?"
"Su--sudah kok, Bu!" jawabku terbata. Akhirnya kuputuskan untuk menunda rencanaku. Jika Bu Sari hanya ingin mengambil pesanannya saja, tidak akan memakan waktu lama. Aku masih bisa pulang ke rumah setelah menyerahkan pesanan Bu Sari.
"Mari kita ke dalam, Bu!" Aku pun mempersilahkan Bu Sari untuk masuk.
"Ini gamis yang Bu Sari pesan," ucapku sambil menyerahkannya kepada Bu Sari.
"Taruh aja dulu di situ. Saya mau lihat-lihat dulu, sepertinya banyak model baru ya!" Bu Sari meninggalkanku di meja kasir karena mau melihat-lihat koleksi gamis di butikku.
Kulirik jam tangan yang menempel di pergelangan tangan kiriku, sudah menunjukkan jam 13.00. itu artinya Mas Farid sudah kembali ke kantor.
Aku menjatuhkan bokong di atas kursi, pasrah. Mungkin belum sekarang waktunya. Pasti nanti akan ada waktu yang tepat. Semoga kecurigaanku tidak benar.
Kufokuskan kembali pikiranku, Bu Sari masih ada di butik. Aku harus totalitas dalam melayani pelanggan seperti yang kulakukan selama ini. Jangan sampai pelanggan kecewa dengan sikapku. Itu akan merugikan diriku sendiri nantinya, karena pelanggan tidak akan mau lagi membeli daganganku jika aku bersikap cuek seperti tadi. Untungnya Bu Sari bukanlah orang yang mudah tersinggung.
***
Aku sengaja menutup butik lebih cepat agar bisa pulang lebih awal. Semoga saja aku bisa mendapatkan jawaban atas kecurigaanku.
Kupacu motor matic ku dengan kecepatan sedang. Biarpun sedang terburu-buru, aku harus tetap menjaga keselamatan. Berkendara dengan mengikuti rambu-rambu lalu lintas dan tetap hati-hati pastinya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, akhirnya sampai juga di gang menuju rumahku. Kuturunkan kecepatan motor yang sedang kukendarai karena di gang ini biasanya banyak anak-anak yang sedang bermain.
Rumahku letaknya paling ujung, jadi harus melewati beberapa rumah warga dulu sebelum tiba di rumahku.
Saat hendak berbelok menuju halaman depan rumah, tiba-tiba Bu RT dan Bu Tari memanggilku.
"Ada apa, Bu?" tanyaku setelah mematikan mesin motor yang sedang kukendarai.
"Ada hal penting yang ingin kami sampaikan. Kita bicara di rumahku saja, jangan di sini." Bu RT menarik tanganku, sedangkan Bu Tari mendorong motorku ke depan rumah Bu RT.
Rumahku dan rumah Bu RT bersebelahan. Hanya berjarak sekitar lima meter saja.
"Duduk dulu, Del." Bu RT menyajikan cemilan serta minuman dingin di atas meja.
Sebenarnya aku bingung, kenapa Bu RT dan Bu Tari tiba-tiba ingin membicarakan hal penting denganku. Ada apa ini sebenarnya? Batinku bertanya-tanya.
"Del, kalau boleh tahu, wanita hamil yang di rumahmu itu siapa?" tanya Bu RT, memulai pembicaraan setelah kami sama-sama duduk di atas sofa.
Ternyata mereka ingin membahas soal wanita itu. Rupanya tetangga sudah mengetahui bahwa di rumahku ada wanita hamil.
"Oh, itu, dia sepupunya Mas Farid, Bu," jawabku, meskipun aku sendiri juga belum yakin.
"Sepupu? Kamu yakin?" Kali ini giliran Bu Tari yang bertanya.
"Kata Mas Farid sih wanita itu sepupunya yang baru datang dari kampung." Aku berusaha meyakinkan Bu RT dan Bu Tari. Biarpun sebenarnya aku juga tidak percaya pada pengakuan mereka berdua.
"Terus kamu mau percaya begitu saja dengan pengakuan suamimu?" wajah Bu RT terlihat gusar.
"Lantas Adel harus bagaimana?" Kupandangi wajah Bu RT dan Bu Tari secara bergantian.
Jujur, aku tidak ingin orang lain ikut campur dalam masalah rumah tanggaku karena itu merupakan aib bagiku. Tapi mau bagaimana lagi, toh mereka sudah lebih dulu menaruh curiga pada Mas Farid dan wanita itu.
"Hari ini suamimu enggak ke kantor ya? Tadi Ibu lihat suamimu pergi berduaan dengan wanita yang sedang hamil itu. Ibu nggak tahu kemana. Pas pulangnya, suamimu membukakan pintu mobil dan membantu wanita itu turun dari dalam mobil, kemudian suamimu melingkarkan tangannya di pinggang wanita itu, membawanya masuk ke rumah," papar Bu RT.
"Iya, saya juga melihatnya. Kemarin juga, saya melihat wanita itu bergelayut manja di dada suamimu sesaat setelah turun dari mobil," sambung Bu Tari, membenarkan ucapan Bu RT.
Tanganku mengepal, menahan amarah. Mataku terasa panas karena menahan butir-butir air mata yang ingin keluar sejak tadi. Tapi sebisa mungkin aku harus bisa menahannya, tidak mau terlihat lemah di hadapan Bu RT dan Bu Tari.
"Ibu-ibu yakin?" tanyaku santai agar terlihat biasa saja di depan mereka.
"Yakin seratus persen, Del. Pasti suamimu ada main sama wanita itu di belakangmu," tegas Bu RT.
"Iya, Del. Jangan biarkan wanita itu merebut suamimu. Kamu harus secepatnya bertindak. Kami tidak berniat untuk memanas-manasimu, kami hanya kasihan padamu. Mereka bersenang-senang di rumahmu sementara kamu mati-matian kerja keras di luar sana," sambung Bu Wati.
Setahuku, Bu Wati dan Bu Tari bukanlah orang yang suka kepo terhadap kehidupan orang lain. Mereka juga bukan tipe ibu-ibu yang hobi bergosip seperti kebanyakan ibu-ibu di depan gang sana. Selama yang kutahu, mereka adalah orang baik. Pasti mereka berkata jujur.
"Satu hal lagi yang perlu kamu ketahui, Del. Sebelum tinggal di sini, wanita itu tinggal di kontrakan sebelah, di kontrakan teman saya. Mobil suamimu sering terparkir di halaman kontrakan. Dan saya beberapa kali bertemu dengan wanita itu saat dia berbelanja ke warung depan kontrakan. Anak saya belajar mengaji di kontrakan sebelahnya, makanya saya tahu. Enggak mungkin saya bicara sembarang jika tidak ada faktanya," ungkap Bu Wati.
Ya Allah, sakit sekali rasanya mendengar cerita dari tetanggaku ini. Berarti selama ini Mas Farid membohongiku. Teganya kamu, Mas!
"Enggak usah sedih begitu, Del. Kebohongan harus diungkap. Kamu harus tetap kuat. Jika tidak ingin suamimu diambil wanita itu, pertahankan dan segera usir wanita itu dari rumahmu." Bu RT terlihat menggebu-gebu, seperti dirinya saja yang berada di posisiku saat ini.
Jika yang dikatakan Bu RT dan Bu Tari itu benar, aku tidak usah repot-repot untuk mengusir wanita itu. Aku yang akan mundur, karena aku tidak sudi mempertahankan suami tukang selingkuh seperti Mas Farid.
"Terimakasih atas informasinya, ibu-ibu! Adel mau pamit dulu. Insyaallah, Adel bisa menghadapinya." Aku berucap dengan tegas dan percaya diri.
"Jika butuh bantuan, jangan sungkan-sungkan untuk mengeruk pintu rumahku," ucap Bu RT.
"Iya, Bu! Terimakasih sudah mau peduli. Adel pamit dulu."
Setelah berpamitan, aku mendorong motor dari halaman rumah Bu RT menuju garasi rumahku. Selain jarak yang tidak terlalu jauh, aku memang sengaja melakukannya agar kedatanganku tidak diketahui oleh mereka. Bisa saja di dalam sana mereka melakukan yang tidak-tidak.
Aku memang sudah menaruh curiga kepada Mas Farid dan wanita itu. Ditambah penjelasan dari Bu RT dan Bu Tari, membuatku semakin tidak sabar untuk mengungkap kebenarannya
Bersambung
Bab 68"Mbak Adel," tangan Rini bergerak, mengisyaratkan agar aku mendekat. Aku pun menurutinya, mendekat ke arah Rini."Mbak, maafin Rini, ya! Rini telah merusak rumah tangga Mbak Adel dengan Mas Farid. Mas Farid tidak bersalah, Mbak. Rini lah yang sudah menjebak dan memaksa Mas Farid. Ini semua adalah kesalahan Rini. Rini mohon, berikan kesempatan kedua buat Mas Farid, Mbak. Mas Farid sangat menyayangimu, Mbak."Rini kemudian menceritakan kisah masa lalunya. Mulai dari penolakannya saat dilamar oleh Mas Farid, sampai akhirnya ia nekat menyusul Mas Farid ke kota. Di stasiun seorang preman menawarkan bantuan, dan preman itulah yang menjebaknya dan merenggut kesuciannya. Rini juga menceritakan semua kisah pilunya saat dijual oleh preman tersebut hingga akhirnya ia terjebak, menjadi wanita penghibur di tempat prostitusi.Rini juga bercerita saat ia menjebak Mas Farid, hingga ia hamil dan tidak tahu anak siapa. Karena Rini tidak hanya berhubungan dengan Mas Farid, ia juga melakukan hubun
Bab 67Aku, Mas Farid, Ibu dan juga Mama, kini berada di rumah sakit umum, di ruang rawatnya Rini.Entah apa yang terjadi pada Rini sehingga kondisinya kritis seperti itu. Rini berbaring lemah tak berdaya di atas kasur yang hanya berukuran untuk satu orang itu. Di hidungnya dipasang selang pernapasan, sedangkan di punggung tangannya terdapat selang infus.Mas Farid tertunduk lesu melihat kondisi istrinya itu, sementara ibu mertua, entahlah. Aku tidak bisa menerka-nerka bagaimana perasaannya saat ini.Tak lama kemudian, seorang anggota kepolisian datang menghampiri kami. Beliau kemudian menjelaskan kondisi Rini kepada kami."Selamat pagi, Pak, Bu. Tadi, pasien sempat siuman, dia meminta agar kami menghubungi saudari Adel. Katanya ada hal penting yang ingin ia katakan pada saudari Adel," ucapnya sambil memandangi tubuh Rini yang kini sedang berbaring lemah tak berdaya."Sebenarnya, apa yang terjadi pada Rini, Pak?" tanya Mama penasaran. Ternyata Mama sama denganku, aku juga ingin menany
Bab 66Kembali? Berarti Mas Farid telah salah mengira. Ia pikir dengan aku memaafkannya, aku akan bersedia kembali lagi padanya. Aku memang sudah memaafkannya, tapi tidak untuk kembali lagi padanya."Tidak, Mas. Aku memang sudah memaafkanmu. Tapi untuk kembali, maaf aku tidak bisa," ucapku dengan tegas."Itu berarti, kamu belum ikhlas maafin Mas, Dek. Mas harus meyakinkanmu dengan cara apa lagi? Biar kamu tahu betapa Mas sangat mencintaimu?" Mas Farid terlihat frustasi, hingga ia menjambak rambutnya sendiri."Apa karena kaki Mas sudah cacat? Makanya kamu tidak bersedia lagi menerima Mas? Jawab, Dek." Mas Farid terus mendesakku agar menjawab pertanyaannya."Sejujurnya, bukan karena kondisi fisikmu yang membuatku tidak mau lagi bersama denganmu, Mas. Tetapi karena kebohongan dan juga pengkhianatanmu itulah yang membuatku enggan untuk kembali lagi bersamamu," tegasku lagi agar Mas Farid bisa mengerti.Andai saja Mas Farid tidak mengkhianatiku, mungkin saat ini aku masih setia mendampingi
Bab 65. POV AdeliaSyukurlah, akhirnya Rini ditangkap polisi. Kini tidak ada lagi yang mengusik ketenanganku. Sekarang, Rini sudah mendekam di dalam penjara, ia pantas menerima balasan atas apa yang telah ia lakukan terhadapku.Mas Farid juga sudah siuman dan kini kondisinya sudah semakin membaik. Mas Farid telah keluar dari rumah sakit dan kini ia tinggal di kontrakan bersama ibunya. Sedangkan Mas Rudi, memilih untuk kembali lebih dulu ke kampung karena tidak bisa berlama-lama meninggalkan anak dan istrinya.Sejak Rini ditangkap polisi, aku tidak pernah lagi menjenguk Mas Farid. walaupun Ibu dan Mas Rudi berulang-kali menelponku dan memintaku untuk datang, tapi aku tidak bisa memenuhi permintaan mereka.Ibu bilang, Mas Farid ingin sekali bertemu denganku, dan ia juga ingin meminta maaf padaku.Aku tidak berniat lagi untuk menemui Mas Farid. Bagiku, ia bukan siapa-siapa lagi, meskipun kami belum resmi bercerai. Tapi sekarang, proses perceraian kami sedang diproses dan sebentar lagi ka
Bab 64Semenjak Mbak Adel ninggalin rumah, Mas Farid selalu murung, apalagi setelah kami pindah ke kontrakan karena rumah tersebut sudah disita.Aku sudah mencoba menghiburnya, melakukan apapun agar bisa menarik perhatiannya dan membuatnya jatuh cinta padaku. Tapi sekeras apa pun usahaku, tetap saja tidak berhasil.Hingga pada suatu hari, Mas Farid nekat menemui Mbak Adel di butiknya. Aku tahu, pasti Mas Farid ingin membujuk Mbak Adel agar mau balikan padanya.Usaha Mas Farid gagal total karena aku berusaha memanas-manasi Mbak Adel dengan cara meminta harta gono-gini. Aku sudah tahu bahwa butik itu milik Mbak Adel, aku sengaja melakukannya agar Mbak Adel semakin kesal.Mas Farid terlihat kesal saat seorang ibu-ibu datang bersama seorang lelaki yang mengaku sebagai calon suaminya Mbak Adel.Mas Farid tidak terima, bahkan sampai adu jotos dengan lelaki itu.Aku dan Mbak Adel berusaha untuk melerai mereka, karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan.Mbak Adel memilih untuk pergi meni
Bab 63Akhirnya, aku nekat mendatangi rumah Mas Farid. Aku ingin tinggal bersama Mas Farid dan istrinya. Awalnya Mas Farid menolak, tapi akhirnya ia setuju setelah aku kembali mengancamnya. Saat Mbak Adel mendapati bahwa aku telah berada di rumahnya, ia terlihat tidak suka dan sepertinya menaruh curiga. Tapi aku beralasan bahwa aku adalah sepupunya Mas Farid dan suamiku sudah meninggal. Dengan berat hati, Mbak Adel mengizinkanku tinggal di rumah mereka. Rumah yang akan menjadi milikku juga.Hidup satu atap bersama Mas Farid dan istrinya membuatku tidak nyaman. Aku ingin, Mas Farid menjadi milikku satu-satunya. Aku tidak ingin berbagi.Aku sengaja berlagak seperti tuan putri di rumah itu agar Mbak Adel merasa tidak tenang dan akhirnya pergi meninggalkan Mas Farid. Aku sengaja membuat Rumah berantakan seperti kapal pecah, dengan begitu aku berharap agar mereka bertengkar dan akhirnya berpisah.Aku juga sering meminta sesuatu yang tidak wajar. Seperti AC misalnya. Agar Mbak Adel cembur
Bab 62Bus yang aku tumpangi sudah tiba di terminal. Hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit lagi untuk sampai ke kampung halaman. Desa tempat tinggalku merupakan desa terpencil, sehingga tidak bisa dilintasi oleh bus. Hanya mobil angkot lah satu-satunya angkutan umum di desaku.Sambil menunggu angkot, aku menyempatkan diri mengganti pakaian dengan yang lebih sopan. Untungnya, tadi Bang Zon menghentikan motornya di sebuah butik dan menyuruhku untuk membeli beberapa helai pakaian. Menurutnya, pakaian yang kukenakan tidak pantas dipakai oleh wanita baik-baik. Yah, Bang Zon menginginkan agar aku berubah menjadi wanita yang lebih baik setelah keluar dari tempat tersebut.Setelah mengganti pakaian, aku kembali ke tempat semula. Ternyata di sana sudah ada angkot yang menunggu penumpang.Aku pun segera menaiki angkot tersebut dan tidak lupa menyebutkan nama kampungku.Di tengah perjalanan, angkot yang aku tumpangi tiba-tiba mogok. Sementara, penumpangnya tinggal aku sendiri dan saat ini k
Bab 61"Mampir ke cafe dulu ya, Bang. Rini lapar nih," ucapku kepada Bang Zon saat kami dalam perjalanan pulang menuju tempat pros--titusi yang sudah menjadi tempat tinggalku. "Iya," ucapnya sambil menganggukkan kepala.Saat Bang Zon menghentikan laju motornya di depan cafe, aku melihat sosok seorang lelaki yang selama ini ku cari-cari. Lelaki itu adalah Mas Farid, lelaki yang sangat kurindukan dan sangat kucintai.Mas Farid keluar dari dalam cafe, bergandengan tangan dengan seorang wanita berhijab. Parasnya sangat cantik dan ayu. Aku tidak tahu siapa wanita itu.Tanpa terasa, bulir bening mengalir dari sudut netra saat melihat dengan langsung sang pujaan hati bergandengan dengan wanita lain. Ingin segera kupeluk lelaki yang sangat kucintai itu, tapi kuurungkan niatku. Tidak mungkin aku menemuinya dengan penampilanku yang seperti sekarang, apalagi Mas Farid sedang bersama dengan wanita lain.Aku masih berdiri, mematung di depan cafe sambil memandangi Mas Farid dari belakang. Mas Fari
Bab 60Saat membuka mata, aku shock bukan main saat mendapati lelaki yang sudah berumur, tidur satu selimut denganku. Tubuhku hanya ditutupi oleh selimuti, begitu juga lelaki itu, ia juga sama sepertiku.Air mata tidak bisa lagi kutahan, mengalir dengan deras begitu saja. Aku sudah kotor, najis dan hina. Tubuhku sudah tidak suci lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, meratapi nasibku."Kamu kenapa nangis?" Lelaki tersebut mendekat dan mencoba untuk mengelap air mataku. "Jangan sentuh aku," bentakku, membuat ia terkejut dan langsung bangkit dari tempat tidur."Nggak usah munafik. Kamu 'kan melakukannya bukan untuk yang pertama kalinya, kenapa malah menangis seperti itu? Kayak baru kehilangan keperawanan aja," ejeknya sambil memunguti bajunya yang berserakan di lantai."By the way, om suka pelayananmu. Lain kali, om akan boo-king kamu lagi," ucapnya. Setelah itu, lelaki itu pun pergi.Tubuhku masih dibalut oleh selimut. Perlahan, aku bangkit dari atas ranjang, memunguti pakaianku yang jug