Share

Membuang Lelaki Sampah!
Membuang Lelaki Sampah!
Penulis: Pramesti GC

Pembalasan!

Aku sedang menyiapkan makan siang, saat mas Aldo datang dari kantornya untuk makan. Mas Aldo pegawai di Bank besar, jabatanya adalah collector, dia bertugas menagih para nasabahnya yang telat membayar, jadi setiap makan siang, mas Aldo akan pulang untuk makan di rumah.

Dia duduk di meja makan, lalu meletakkan uangnya di atas meja.

"Ini bulananmu!"

Aku hitung tumpukan tipis uang di atas meja.

"Masak hanya ini mas uang bulanannya?"

Dia menyendok nasi ke dalam piring lalu melihatku sebentar.

"Itu dulu lah Sar, nanti kalau kurang tambah saja dengan uangmu dulu!"

What? Apa maksudnya ini! Bulan kemarin saja aku sudah bersabar dengan tujuh ratus ribu darinya. Masak ini masih harus bersabar lagi!

"Bukannya gajimu naik mas, jadi enam juta?"

"Iya, memang kenapa?"

"Kenapa hanya tujuh ratus ribu aku dapat?"

Geram sekali aku kali ini, belum sempat mas Aldo menjawab. Ibu mertuaku sudah datang. Saat dia masuk, mataku terasa terganggu.

Cincin, dan gelangnya berderet di tangan. Bahkan kalungnya banyak menjuntai. Aku jadi teringat akar pada pohon beringin tua.

"Mana jatah bulanan ibu do! Ibu sudah janjian sama ibu-ibu di sini, mau beli seragam senam bareng"

Aku memasang telinga baik-baik, Ibu baru saja menyebut jatah bulanan. Aku pandang mereka yang kini sedang duduk bersama di depan meja makan.

Mas Aldo mengambil amplop dalam tasnya dan seperti singa kelaparan, Ibu menyambar amplop cokelat yang baru keluar itu.

Dengan teliti ibu menghitung lembaran merah itu satu demi satu. Akupun ikut menghitungnya dalam hati, dua juta lima ratus aku hitung.

"Pas bu, tidak kurang. Aldo sudah simpan sendiri di amplop"

Apa dia bilang, sudah di simpan sendiri. Jadi uang untuk ibu sudah dia simpankan sendiri dalam amplop dan uang untukku bahkan tak ada setengahnya.

"Iya, ibu percaya, cuma memastikan saja kan ngak salah" ibu mengambil nasi dan lauk di meja lalu duduk kembali memainkan ponsel nya.

Aku pandang wajah dua manusia yang saling senyum di depanku itu, Aku bahkan mengeluarkan uangku sendiri untuk menambah biaya makan harian kami. Belum lagi gaya hidup mas Aldo yang tak selera bila makanan di meja tak mewah.

Sekarang dengan tanpa bersalahnya mas Aldo memberi ibu uang yang bahkan berkali-kali lipat lebih banyak dari jatah bulananku.

Aku bukan tak suka mas Aldo memberi uang pada ibunya, aku malah menyuruhnya memberi. Tapi jika itu memangkas dan memeras uang bulananku, tentu aku tak terima.

"Ibu mau kemana memang?"

"Ada pengajian di rumah hajah Safira. Tau kan kamu do, juragan beras kampung sebelah"

Mas Aldo hanya menganggukkan kepala

"Akmal minta sepatu baru, nanti dia ke sini ambil uangnya"

Mataku membelalak mendengar lagi kalimat ibu. Kenapa tidak uang itu saja sebagian di berikan juga ke Akmal ?

Sementara aku hanya melihat mas Aldo menganggukkan kepala. Apa maksudnya, dia akan memberi Akmal juga?

Akmal adik bungsu mas Aldo, kuliah Semester enam. Ibu membiayai kuliah Akmal dari hasil toko sembako di pasar. Toko sembako yang ditinggalkan Almarhum Bapak mertua untuk di kelola.

Jika dipikir, ibu termasuk orang mampu, mapan dan berada. Selain toko sembako, ibu masih punya dua petak sawah yang menghasilkan setiap kali panen, sebuah mobil pribadi dan mobil bak terbuka juga di tinggalkan Bapak.

Ibu berdiri dan menatapku dengan senyuman yang entah berarti apa.

"Yang baru dapat duit jatahnya. Inget ya, jangan boros. Anakku kerja keras buat dapat itu. Beli makanan bergizi juga, obat penyubur, susu program hamil, biar cepat hamil kamu! Masak kalah sama Dena, anaknya bu Yuli itu nikah baru empat bulan, kemarim sudah tujuh bulanan!" 

Deg!

Mengapa ibu harus mengaitkan semua dengan kehamilan, membandingkan aku dengan anak tetangga sebelah. Jika ditanya, Aku juga ingin seperti perempuan lain. Segera hamil, lalu memiliki banyak anak. Tapi memang belum rezekiku.

Ibu bahkan bilang aku boros. Boros? Jangankan hidup Boros, berpikir untuk mencukupkan uang dari anaknya saja rasanya kepalaku buntu.

Ibu menunjuk uang di tanganku wambil berlalu pergi. Aku hanya mampu memandangnya pias. Ibu juga membawa sepiring nasi berisi lauk dan sayur keluar bersamanya.

"Kenapa kamu? Ambilkan minum aku haus!"

Aku masih terdiam dengan adengan demi adegan yang baru saja tersaji didepanku. Kini aku harus meminta penjelasan mas Aldo.

"Uang itu untuk ibu?"

Mas Aldo menatapku tak suka. Kenapa memang, aku bertanya karena merasa aku pun punya hak untuk tau.

"Iya, kenapa?"Santai sekali dia menjawab.

"Dua juta lima ratus mas?" Kupastikan lagi jumlah yang kulihat tadi tak salah hitung.

"Kenapa sih! Ibu yang minta, biar saja lah. Lagian aku kasih ke ibuku sendiri to! Kenapa, kamu tak suka?"

Aku terkejut, aku hanya bertanya dan meminta penjelasan, kenapa justeru bentakan yang aku terima.

" Bukan aku tak suka mas! Kamu beri ibu separuh gajimu, lalu untuk kita makan, tujuh ratus ribu?"

Aku sudah diam selama ini, melihatnya memberi ibu dengan jumlah lebih dari yang dia berikan padaku. Aku bahkan menerima uang satu juta perbulan darinya tanpa banyak bertanya.

Tapi sekarang, tujuh ratus ribu aku dapat darinya. Apa salah jika aku mempertanyakan pemberiannya pada ibu, yang bahkan lebih dari tiga kali lipat uang bulananku!

"Biasanya kan kamu ngak kerja, tapi sekarang, aku lihat usahamu sedang maju, jadi Mulai sekarang aku potong uangmu segitu saja! Itu cukuplah untuk beli sayuran, kalau pun kurang, kamu kan ada simpanan. Kalau ngak mau simpananmu terpakai, Putar otaklah biar cukup!"

Apa maksud ucapannya? Bukankah nafkahku adalah tanggung jawabnya. Aku berjualan, mengumpulkan uang untuk program bayi tabung.

Aku juga ingin seperti yang lain, punya anak dan memiliki keturunan. Sudah lima tahun berumah tangga, namun tak juga diberi kepercayaan.

Bahkan ibunya saja setiap kali bertemu hanya menyindir kehamilanku, rasanya hatiku bagai tersayat.

Berkali-kali aku meminta mas Aldo untuk kedokter kandungan. Dia selalu menolak, dia bilang keluarganya subur dan banyak anak. Jadi dia pasti subur juga. Jadilah aku yang selalu menjadi bahan cibiran. Karena aku seorang anak tunggal.

"Mana minumku, kenapa diam?" 

Mas Aldo mebuyarkan lamunanku. Aku berjalan kesal kedapur mengambilkan mas Aldo minum. Berhenti sebentar aku mengatur napas. Rasa marah dan kecewa bercampur di dalam hatiku.

Kuambilkan saja air putih, tak ada selera rasanya memanjakannya hari ini. Toh semua usahaku tak terlihat baik dimatanya.

Saat aku keluar,  Akmal sudah duduk di meja makan membuat darahku semakin mendidih melihat mas Aldo meletakkan uang di atas meja.

"Nih, jatah kamu. Kuliah yang benar, jangan menyusahkan ibu"

Baiklah kalau begitu, jika aku tak dapat meminta uangmu mas. Jika bagimu aku harus memutar otak. Akan aku pakai otakku ini mencari uang tambahan!

Braak!

Aku letakkan dengan kasar gelas diatas meja. Tepat di atas lembaran uang yang berjajar disana. Sengaja memang 

"Kaget aku mbak Sari, nggak lihat di sini ada uang? Basah kan jadinya uang itu"

Aku menatapnya tajam, Mas Aldo sekarang membelalak ke arahku dan aku tak perduli. Kulihat Akmal asyik sekali mengunyah paha ayam.

Aku perhatikan isi piringnya lalu mulai kuhitung satu persatu, kuambil saja kalkulator di dekat ruang TV.

"Nasi, ayam goreng, tempe, sambal dan sayur sop. Dua puluh tiga ribu"

Akmal dan suamiku menatap tajam, Aku pura-pura saja tak melihatnya.

"Maksud mbak apa sih?"

Kuambil uang ditangan Akmal lima puluh ribu. Lalu berjalan ke dapur mengambilkannya kembalian lima ribu.

"Ini kembaliannya, ibu tadi juga ambil makan sama sepertimu, sekalian saja kamu bayar. Harusnya sih empat puluh enam ribu, tapi aku diskon seribu. Air putihnya gratis!"

Kakak beradik itu sama-sama binggung dengan sikapku

"Maksudnya, makanan ini aku harus bayar mbak?"

"Iya, sekarang mbak jualan. Buat nambah penghasilan. Mbak kan harus putar otak supaya bisa tetap hidup dengan uang dari masmu!"

Aku lalu berjalan ke dapur, kulihat mas Aldo mengikutiku kedapur.

"Kamu kenapa suruh Akmal bayar makanannya? Makanan ibu tadi juga kamu hitung, Kamu masak bukannya pakai uangku? Jangan keterlaluan kamu!

"Aku sekarang jualan di rumah!"

Aku berucap tanpa menatap mas Aldo. Kusibukkam diri dengan mencuci semua prabotan dapur yang kotor karena terpakai.

"Jualan apa? Kapan kamu jualan"

Mas Aldo mendekat kearahku. Aku masih tak mau melihatnya.

"Hari ini. Aku sekarang jualan di rumah. Tiap ambil makan, akan aku hitung. Kalau tak bisa bayar, ya akan aku catat sebagai hutang!"

Dia pikir hanya dia yang bisa berbuat sesukanya? Aku juga bisa! Aku dua puluh lima jam bekerja di rumah tanpa minta gaji, melayani makannya, bajunya, ranjangnya, tak ada ucapan terimakasih barang secuil. Sekarang masih memotong uang bulananku!

"Bukannya aku memberimu uang setiap bulan. Lalu kenapa semua masih di hitung beli? Kalau kamu jualan, modal dagangannya juga dari aku kan?"

Aku menatap mas Aldo, lalu kulipat tanganku kedepan.

"Modal apa? Itu uangku. Uang darimu sudah habis aku pakai masak dua minggu. Dua minggu saja aku harus hemat. Bagaimana cukup untuk satu bulan!"

"Dua minggu kamu tak perlu bayar makan. Itu uangmu sendiri yang kamu titip ke aku. Setelah dua minggu baru aku hitung makanmu mas"

Dia menatapku dengan wajah yang sinis. Aku juga menatapnya sinis. Enak saja! Selama ini aku sudah diam, tapi justeru semakin di injak-injak. Gajinya saja naik, masak bulananku malah dipotong!

"Aku juga buka laundry. Perkilo empat ribu! Sabun mandi, odol, sikat, shampo di lemari itu juga jualanku. Kamu kalau ambil bayar!"

Aku menangkap ketidak sukaan pada raut wajahnya. Hah, aku tak perduli. Hatiku sudah jenggah dengan sikapnya yang begitu pelit pada istri sendiri!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Sudah jengah dengan sikapnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status