Aku duduk di ruang tamu, mengemas jualanku yang semakin hari semakin ramai. Aku bersyukur ditengah sulitnya hidup, masih ada rezeki terselip untukku.
Aku bahkan meminta Siti, tetanggaku di sini untuk membantu membungkus barang. Dia anak putus sekolah, tidak bisa lanjut ke SMA. Namun sangat rajin dan pekerjaannya juga rapi.Sekarang aku bahkan bisa mengirim uang pada ibu di kota sebelah. Sesuatu yang sejak dulu tak bisa aku lakukan karena tak memiliki uang sendiri, sekarang bisa aku lakukan.Memang tak seberapa, hanya empat ratus ribu setiap bulan. Aku kirim dua kali, setiap dua minggu. Ibu sebenarnya tak meminta, bahkan menolak namun biarlah sekedar untuk membeli jajan kalau ibu ingin sesuatu."Sari.. Sari!"Aku melihat keluar, teriakan ibu mertuaku begitu nyaring. Ibu tampak tergesa-gesa masuk kedalam, sepertinya arisan dan kumpul-kumpulnya baru selesai.Melihat raut wajah dan tatapannya padaku, Ibu pasti sudah mendapat laporan dari anak-anak lelakinya. Dasar pengadu!Lima tahun berumah tangga mas Aldo memang tak berubah. Setiap kali ada masalah, dia akan berlari pada induknya, bersembunyi pada keketiak ibunya dan mencari pembenaran dari semua kesalahannya sendiri. Dan ibu tentu saja akan datang padaku, berteriak dengan makian dan hinaannya yang panjang.Aku sudah terbiasa! Tapi saat kulihat Siti, gadis itu ketakutan. Siti sampai terdiam tak berani bergerak mendengar teriakan ibu, kasian sekali. Mungkin baru hari ini dia melihat manusia mengamuk seperti induk srigala!"Kamu jual makanan ke ibu?"Aku berdiri dan duduk di sofa, kuminta Siti membawa semua dagangan ke ruang tengah."Duduk dulu bu, tidak capek teriak-teriak, malu juga dilihat orang.""Ngak perlu, ibu hanya minta kamu jawab saja. Kamu jual makanan ke Ibu dan Akmal?""Iya bu, ke mas Aldo juga""Aldo juga? Istri tidak waras kamu Sari. Ya Allah, kasihan sekali nasib anakku!""Lho, Sari kan memang jualan. Hari ini baru mulai jualan, jadi apa salah kalau sari memberi harga pada pelanggan pertama?"Ibu berkacak pinggang melihatku, gelangnya gemerincing karena beradu dan kalung yang dipakainya, sampai bergoyang karena napas ibu terengah-engah."ck..ck..ck.. Dengan suami saja kamu berani begitu, bagaimana nasib anakku kalau terus begini?"Ibu menatapku tanpa berkedip. "Lalu apa maksudnya kamu jual juga itu sabun mandi, odol, shampo, memangnya kamu pikir, kamu itu beli pakai uang siapa?""Uang sari lah!""Uang kamu? Mimpi! Bagaimana bisa kamu beli barang-barang itu? hasil jualanmu saja paling besar dua ratus ribu!""Lalu uang siapa? Kalau uang mas Aldo, kenapa juga Sari harus jual ke mas Aldo?""Lalu uang siapa yang kamu pegang tadi siang? Ha! Tak tau diri memang kamu Sari. Sudah bagus anakku masih mau menerimamu. Bukanya bersyukur, masih banyak tingkah!"Aku yang tak tau diri? Bukanya mereka yang tak tau diri. Sudah bagus bermantukan aku yang baik hati dan menerima kekikiran mereka. Tak tau terimakasih memang.Aku tahan amarah ini agar bisa membuat mertuaku naik darah nantinya. Aku tau betul, dia akan suka jika aku terpancing memakinya. Akan jadi bahan baginya mengadu pada Mas Aldo segala keburukanku."Bu, Mas Aldo sendiri yang memberi izin Sari jualan""Mana mungkin! Aldo ngak mungkin kasih izin kamu jualan. Dia saja malu kamu jualan barang-barang itu" ibu menunjuk satu kardus daganganku diujung ruangan.Malu dia bilang? Kalau bukan karena jualan ini, sudah makan kerikil anakmu sebulan kemarin."Kenapa harus malu. Harusnya mas Aldo bangga, istrinya cari uang sendiri""Bangga apanya, memang kurang uang yang diberikan Aldo? Gajinya saja besar. Kamu masih merasa kurang dapat jatahnya?"Apa ibu tanya kurang atau tidak. Ya jelas kurang lah, itu untuk beli sabun mandi, shampoo dan deodorant mas Aldo saja sudah habis!"Cukup bu, Tujuh juta sebulan itu cukup sekali bu. Bahkan lebih dari cukup!"Sengaja memang aku lebihkan nominalnya. Aku tau betul watak mertuaku. Dia tak akan pernah rela nominal uang yang diberikan anaknya padaku lebih besar dari yang dia terima.Ibu tampak terbelalak dengan ucapanku."Tu_tujuh juta? Aldo memberimu Tujuh juta Sari?""Lho, iya. Masak ibu tidak tau? Katanya ibu yang suruh?"Nah lo...Aduh ibu, Sesak napas saja bu, jangan sampai jantungan. Permain saja baru aku mulai. Mana seru jika antagonisnya sudah kalah duluan.Aku kini berdiri, lalu berbisik ditelingga ibu mertuaku." Ibu tau tidak, Gaji mas Aldo hari ini kan keluar bersama bonusnya. hampir dua belas juta lho ibu"Aku tersenyum menatap wajah ibu yang kini terlihat pucat. Sabar bu, sabar!Semakin melotot mata ibu karena terkejut. Antara marah dan kaget bercampur jadi satu, bahkan tanpa berkata apapun ibu pergi dari rumah ini.Aku tersenyum melihatnya, ibu berjalan pulang dengan langkah gontai. Rasakan mas! Setelah ini, kamu yang habis di interogasi ibumu sendiri.*** Setelah semua barang selesai kukemas, aku membawanya ke tempat pengiriman dengan taksi online. Aku pituskan mengirimnya melalui salah satu ekspedisi atas saran teman, sebab ekspedisi biasa tempatku mengirim tutup lebih awal. Aku dibantu Siti mengeluarkan semua barang dari dalam mobil, lalu melakukan pendataan dan pengecekan di dalam.Beberapa jualanku memang barang pecah belah, karena itu kami memilah dengan hati-hati. Cukup lama aku di sini, hingga perut terasa melilit, sambil menunggu resi yang sedang di proses, aku putuskan mengajak Siti makan di resto depan.Kami duduk di ujung, memesan dua porsi ayam tulang lunak. Resto ini ada di depan ekspedisi tempat kami mengirim barang. Di sampingnya sebuah studio senam dan fitnes. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat taman belakang studio yang terbuka untuk member yang merokok.Alat firnes juga terlihat dari kaca sampingnya yang hanya tertutup beberapa poster. Namun kami masih bisa melihat suasana di dalamnya.Beberapa lelaki di sana nampak bercanda-canda dan mencoba berbagai alat dengan bantuan instrukturnya, mataku membulat melihat lelaki yang tengah berpose eenghadap ke arah kami.Berlagak seperti binaraga, dia mempraktekan setiap gerakan foto binaraga yang terpampang pada dinding ruang itu.Tawaku meledak, aku ambil ponselku dan merekamnya. Akan sangat menyenangkan menunjukkan ini nanti bila diperlukan. Siti yang melihatku merekam ikut juga mengamati."Ya Allah mbak, itu mas Aldo?"Aku hanya tersenyum dan menutup mulutku sendiri. Suamiku, dengan berat hanya sekitar lima puluh delapan dan tinggi seratus tujuh puluhan, sangat tipis seperti kertas minyak. Kini hanya memakai kaus dalam dan kolornya, bergaya menghadap kami."Mas Aldo itu ngapain sih mbak? Aku jadi ngak selera makan"Siti berdecak lalu membalikkan badannya. Aku tertawa sendiri melihatnya geli dengan kelakuan mas Aldo. Duh mas, kamu itu ngapain di situ, a pa dia tak sadar jika kaca itu tembus pandang?Tapi karena melihat mas Aldo, aku jadi punya ide untuk membuat ibu mertua lebih panas dan sesak napas setelah ini. Sabar ya suami dan ibu mertua, nanti kita akan bermain lagi.Aku berjalan masuk masuk, perlahan mencoba tersenyum dalam canggung. Mencari jawaban dari Kania dan Ibu. Namun keduanya hanya diam. Kania menarikku kedekatnya."Ada apa Kan?" Dia hanya senyum-senyum tak menjawab. Ingin aku toyor kepalanya, namun tak enak hati, di pandang banyak matan."Apa kabar Mbak Sari?" Seorang wanita dengan jimbab panjang menyapaku. Wajahnya tak asing, tentu saja, aku tau dia ibu mas Atnan."Baik bu, Alhamdulillah. Ibu lurah sehat?""Sehat, bahkan siap untuk mantu."Aku terdiam. Tak tau kemana arah pembicaraan wanita itu."Jadi seperti yang sudah diutarakan keluarga nak Atnan nduk, mereka datang untuk meminangmu."Mataku membulat sempurna. Tak ada angin dan hujan kenapa pelangi datang setelah badai?"Me_melamarku?" Aku menatap wajah mas Atnan denang lekat. Lelaki itu hanya tersenyum simpul.Jawaban apa itu!"Iya nduk, bagaimana? Apakah kamu sudsh siap menerima nak Atnan?" Ibu kembali bertanya.Aku masih terdiam. Sejujurnya aku nyaman bersamanya, namun apakah hat
Ku gandeng ibu mas Aldo turun. Aku memang harus memapahnya masuk. Mata sayu wanita itu berkaca. Menatap kedepan kami. Aku melihat kemana arah mata itu sekarang. Rupanya wajah yang ia kenal tengah sibuk mengurus kertas-kertas di depannya. Sehingga ia tak memperhatikan siapa yang tengah berdiri tak jauh dari tempatnya.Iya, aku membawa ibu Ida menemui Akmal. Anak lelakinya yang dia usir dari rumah. Namun justru merubah hidup lelaki itu jauh lebih baik. Akmal kini memiliki tempat fotocopy dan percetakan. Ia membuka usaha itu dengan kerja keras dan bantuan mas Yuda.Dia jadi lelaki yang halus dan santun. Bahkan jambang dan janggutnya terlihat memanjang sekarang. Akmal kini jauh lebih dewasa dan meneduhkan."Assalamualaikum" Aku mengucap salam."Waalaikumsalam. Ada perlu a..." Dia terdiam, saat melihatku memapah ibu kandungnya berdiri, tepat di depan matanya sekarang. "Ibu?" Begitu kalimat yang kudengar. Entah mengapa membuat darah
"Mengapa kau membawa Fatih pergi?" Aku bertanya tanpa berbasa-basi lagi. Kesabaranku pada mas Aldo sudah ada diujungnya.Dia terdiam, membuang wajahnya kearah lain. Aku menemuinya di kantor polisi. Mas Aldo ternyata juga masuk daftar pencarian orang. Penipuan, adalah kasus yang kini juga menjeratnya."Baiklah, jika kamu hanya diam, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ini terakhir kalinya aku kemari!"Aku berdiri, melangkah menuju pintu. "Aku hanya ingin memeluk anakku!"Suaranya sumbang. Membuat kakiku berhenti melangkah. Aku berbalik, melihat punggungnya yang kecil di balik baju orange bertuliskan Tahanan itu."Anak siapa? Fatih bukan anakmu!""Dia anakku! Aku tau dia anakku Sari!" Dia kini berdiri, namun belum melihatku."Anak yang tak kau akui sejak dalam kandungan? Bukankah mulutmu sendiri yang bilang 'hanya anak Rani darah dagingku'. Itu kan yang kau katakan?" Dia diam, tak ada jawaban."Lalu sekarang dimana Veronica? Hem... Kau bahkan tak bisa menjadi ayah yang baik untuk bayi malan
Kugendong Fatih yang menangis. Kupeluk dan kutenangkan dia dulu. " anak bunda sayang. Ini bunda" kutimang dia dalam dekapan. Kini tangisnya mulai reda. Dia memegang botol susunya dengan erat. Aku berjalan menuju pintu, tapi kudengar suara air dari dalam kamar mandi. Aku mendekat kearah pintu kamar mandi. Ada orang di dalam!Kutempelkan telingaku didaun pintu. Bunyi air itu sumakin jelas. "Sebentar nak, uti lagi buang air. Ini sudah selesai. Kamu jangan nangis lagi dong. Nanti mereka dengar!" Ibu ternyata ada di dalam. Aku kunci saja ibu dari luar. Biar saja dia berteriak-teriak didalam."Siapa itu! Hey siapa itu" suaranya berteriak mencoba membuka pintu."Jangan pernah lagi menyentuh anakku bu Ida!" Aku bicara dari luar. "Sari? Buka sari. Kembalikan Alex cucuku?"Alex? Keren amat namanya. Dikasih nama Muhammad Fatih kok jadi Alex. Kayak nama kedai Bakso di dekat Radio umum."Lha emang ibu punya cucu nama Alex?""Diam kamu. Keluarkan aku!""Diam ibu! Aku panggil polisi mau? Anakku b
"Assalamualaikum..." Suara itu membuatku melihat kearahnya. "Mas Atnan?"Saat aku sedang kalut. Mas Atnan datang tepat didepanku. Bisakah aku meminta bantuanmu juga mas?"Ada apa mbak?" Ia tampak terkejut melihatku yang tergugu"Bisa bantu saya mas. Anak saya hilang mas.""Aisyah?Aku menggelengkan kepala. "Fatih mas""Kok bisa? Dia kan masih kecil mbak. Yasudah kita kemobil dulu. Kita cari sama-sama. Nanti mbak bisa cerita kronoliginya sambil jalan."Aku menganggukkan kepala. Segera saja aku pergi menuju mobilku. Mas Atnan meminta kunci mobilku dan membukakanku pintu untuk masuk. Aku duduk di samping kemudi dan mas Atnan menyusul masuk. Tanpa berfikir panjang, kami pergi.***"Jadi Fatih di ambil mantan suami mbak kemarin itu? Aku menganggukan kepala."Secara biologis dia memang ayahnya mas. Tapi secara hukum fatih masuk anak saya dan mas Yuda. Entah bagaimana mas Yuda menuliskan Fatih anaknya yang sah.""Lalu Aisyah?""Dia anak angkat saya."Mas Atnan terdiam. "Mbak masih ingat kema
"Assalamualaikum " ibu datang bersama Kania dan anak-anak. Melihat mas Atnan dudukdi dalam saung bersamaku, membuat ibu menatapku penuh tanya."Ibu ingat, ini mas Atnan. Anaknya Bu lurah."Ibu duduk memperhatikan lelaki itu. "Oh, ibu ingat yang kemarun pas kita pulang ambil satur sama mak Idah kan?""Betul bu, itu saya. Apa kabar...""Baik mas, baik. Kok bisa sama-sama disini?" Kembali ibu mewawancara diriku."Oh, ini tempat makan punya mas Atnan bude" Kania ikut menjelaskan. Gadis sok tau inu tersenyum menggodaku. Dasar!Ibu nampak terkejut. Seban baru tau jika anak bu lurah itu polisi yang sukses punya tempat makan."Jadi beli sayur di rumah sana itu untuk di bawa kemari?""Iya bu. Betul. Tadinya kakak yang mengelola. Tapi sekarang diserahkan kesaya. Yasudah kalau begitu silahkan pesan. Saya pindah meja saja" Mas Atnan."Makan bareng saja nak, biar ramai" ibu memberikan tawaran."Iya mas, tadi bilang mau ikut bergabung. Gak apa-apa." Aku juga meminta."Betul mas, gak perlu gak enak
Sejak pagi mas Aldo masih terus menghubungi. Bahkan semalam dia pergi kerumah. Entah berapa lama dia ada di depan gerbang. Mungkin srbsiknya aku pindah saja. Rasanya tak nyaman diteror hamoit setiap hari.Dan setelah kufikirkan semalaman. Ada baiknya memang aku menerima tawaran untuk datang ke warung mas Atnan. Rasanya berterimakasih saja tak cukup. Mas Atnan sudah membantuku dari mas Aldo.Akhirnya menjelang siang, Kuberanikan diri mampir kewarung mas Atnan. Aku membawakan beberapa cemilan dan buah juga. Sebagai rasa terimakasih sudah membantuku kemarin saat mas Aldo kembali datang menganggu."Ada yang bisa dibantu kak?" Seorang pelayan wanita memberikan menunya padaku.Aku menerimanya. "Eh, saya mau pesan nasi ayam saja mbak. Untuk dua puluh delapan orang. Kirim untuk makan siang di toko depan ya"Wanita itu mencatat pesananku. Aku masih mencoba mencari-cari dimana mas Atnan berada."Em, maaf.. ada lagi yang lain bu?""Oh, tidak. Itu saja. Dimana kasirnya?" Wanita itu mengantarkan
"Aku hanya ingin bersamamu dek sari!" Mas Aldo mencegahku pulang dari toko.Entah hari keberapa ini, dia terus datang kemari. Tanpa henti dan tak kenal lelah. Aku bahkan merasa benar-benar sudah terganggu."Biarkan aku bersamamu dek..." Dia mencengkeram tanganku dengan erat. Kucoba melepasnya, namun tetap saja tak bisa. " Dengarkan dulu sari, aku dulu begitu takut pada ibu. Sekarang aku tak takut lagi." Dia mulai memaksa."Lepaskan! " Teriakku akhirnya. Setalah berkali kali kucoba bersabar.Satpam tokoku sedang di dalam, membantu mengurusi barang yang masuk. Jadilah aku didepan sendiri. Mengurusi manusia tak tau malu ini."Aku tak bisa lagi melepaskanmu Sari. Aku masih mencintaimu" Dia menatapku memelas. Dia fikir aku akan tersentuh? Dimataku, Aldo hanyalah barang bekas yang sudah kubuang. "Apa maumu mas?""Kembali padamu. Aku mohon. Mas janji dek, mas tak akan menyakitimu. M
Ibu masih terlihat menangis. Beberapa warga memeluknya dengan erat. Sebentar kemudian mobil lain mendekat. Lalu seseorang turun daru dalam mobil."Mas Alan" Ucapku pelan. Tiba-tiba aku begitu khawatir, terlihat mas Alan datang dengan membawa Arcila dan Almira, tanpa mbak Asya.Mbak Nur tiba-tiba berlari kearah kami. "Mbak, siapa yang meninggal?""Kamu belum dengar Sari?" Mbak Nur berbalik tanya.Aku menggelengkan kepala. "Mana aku tau mbak. Memang siapa?""Asya..."Astagfirullah...!Tubuhku tiba-tiba bergetar karena terkejut. Mbak Asya meninggal? Kenapa mbak Asya bisa meninggal? Bukankah kudengar terakhir kali dia akan menikah lagi."Jangan bercanda kamu Nur, bukanya Asya mau menikah bulan depan?" Mbak Yayuk bertanya. Sepertinya sama sepertiku, mbak Yayuk juga terkejut dan tak percaya."Masak berita orang mati aku buat-buat to mbak. Kalau aku buat-buat, menurut mbak siapa yang ada dalam peti itu?""Gak tau Nur, Aldo mungkin lebih pantas!" Ucap mbak Yayuk. "Lelaki tak tau diri itu pa