"Sari!"
Mas Aldo berteriak saat masuk ke dalam rumah. Aku yang tengah masak sayur terkejut mendengarnya."Sini kamu!"Mas Aldo menarik tanganku keruang tengah. Disana sudah ada ibu dan Akmal duduk dengan santainya."Duduk kamu!""Aku matikan kompor dulu mas.""Duduk!"Mas Aldo melemparku duduk dikursi. Ya Allah punggungku. Kenapa kasar sekali kamu mas!"Kamu bilang ibu hari ini aku terima bonus?"Aku menelan ludah. Aku memang bilang begitu karena sebal dengan sikap ibu yang tak berubah. Aku sengaja membuatnya kesal dengan ucapanku."Jawab sari, kamu bilang Aldo terima gaji dan bonus tadi sore. Yaa kan?"Ibu kini melipat tangan dan menatapku tajam."Ibu jangan mengarang, ibu kesini cuma memakiku dan pergi begitu saja!"Mas Aldo melempar semua belanjaanku dimeja ruang tenggah. Sepatu, gamis dan semua jilbab baru itu kini bertebar dilantai.Aku menatap tak suka pada mas Aldo. Dia ini, sudah tak pernah menyukupi kebutuhanku, kini melempar semua barangku dilantai."Mengarang apanya, jelas tadi ibu dengar kamu sebut dua belas juta"Kini ibu berdiri melihat kearahku. Aku masih duduk santai. Melipat tangan dan memandang mereka. "Aduh bu, jangan beli giwang terlalu berat bu. Jadinya pendengarannya terganggukan?""Eh lha, kamu bilang ibu budek. Begitu mbak? Lagian ya mbak, kamu itu cuma numpang, kenapa belagu sekali. Berharap dapat jatah lebih!"Ya Allah ingin sekali aku ulek mulut Akmal. Cowok lemah gemulai yang hobi sekali mengadu domba kakak dan iparnya."Benar tidak kamu bilang ke ibu, kalau mas terima gaji dan bonus?""Kalau aku bilang enggak, mas lebih percaya siapa?""Em... Ya mas percaya yang bilang jujur"Aku hanya tersenyum. Biasanya aku jujur saja kamu tak percaya. Coba sekarang aku lihat, kalau aku berbohong, kamu percaya tidak mas!"Yasudah. Aku jujur, kalau mas ngak percaya juga ngak apa-apa." Aku berdiri, ingin segera kembali kedapur.Ibu menarik tanganku kasar dan mendorongku duduk lagi di kursi."Kamu mau bilang ibu berbohong? Tadi kamu bilang ibu budek, sekarang kamu bilang ibu berbohong? Lihat Aldo istrimu, sudah berani dia sekarang menghina ibu""Ayo bela ibu mas. Aku mau lihat kamu bela siapa?"Aku berdiri, menatap tajam wajah mereka satu-satu." Sudah tak mau jujur, belanja tak pakai otak. Begini caramu mengunakan uang dari anakku? Kamu belanjakan sesuka hatimu sendiri. Tanpa memikirkan susahnya anakku bekerja?"Aku malas sekali menjawab. Aku masukkan semua barang belanjaan itu kedalam tas dan menaruhnya kembali ke atas meja."Ibu ambil gamis ini do. Sepertinya cocok sekali dengan jilban yang ibu beli tadi siang"Ibu merebut gamis marun yang menyembul dari dalam paper bag. Aku melihatnya. Memang gamis itu aku beli untuk ibu. Hanya belum sempat aku berikan karena memasak dulu.Mas Aldo menatapku sebentar lalu melihat kembali kearah ibu."Yaa sudah, ibu ambil saja""Kamu, kenapa diam saja? Marah aku ambil bajumu? Tak suka aku meminta barang anakku sendiri?""Mbak Sari itu tak tau diri bu. Sudan dikasih suami pegawai, gaji cukup,hidup enak dengan suami, tapi perhitungan sekali" suara Akmal membuatku naik darah. Aku menatap mas Aldo yang hanya diam melihatku diperlakukan begitu. "Tak tau diri!" Aku berjalan kembali kedapur."Siapa yang tak tau diri!" Ibu berteriak membentakku.Aku tak perduli. Aku berlalu kembali kedapur."Jaga mulutmu itu Sari! Siapa yang kamu bilang tak tau diri? Jawab"Mas Aldo mengekorku kedapur. Aku masih tak menjawab."Kamu punya mulut jangan keterlaluan ya?" Aku diam, berjalan mematikan kompor yang mulai naik airnya. Namun saat tanganku akan mematikan kompor, mas Aldo menarikku. Tanganku menyengol panci berisi sup panas mendidih. Aahhh...Aku menjerit. Melihat kakiku sendiri terkena tumpahan air. Wajah mas Aldo menjadi panik. Dia mengambil air lalu menyiram kakiku, mengambil kain dan membalutnya.Aku hanya terdiam. Sementara kulihat ibu sudah dipintu. Kini tertawa melihatku kesakitan."Begitu kalau berani dengan orang tua! Menantu mandul, tak tau diri! Sekarang tau kan bagaimana kuwalat itu""Sudah bu! Sari sedang sakit. Aldo mau bawa kerumah sakit dulu"Mas Aldo menggendongku duduk diruang tamu. Dia segera berlari mengambil kunci mobil di atas meja."Kita kerumah sakit dulu ya Sar. Mana lagi yang sakit? "Aku hanya diam. Merasakan perih dan panas menjalar pada kulitku. Aku berdiri di papah mas Aldo menuju keluar."Jangan bawa mobil itu!"Ibu berteriak dari dalam. Mas Aldo berhenti dan melihat kearah ibu."Bu, biar cepat kerumah sakitnya""Halah, sakit begitu saja manjamu tak karuan. Kebidan saja. Dekat disitu. Naik motor saja, bawa kemari kuncinya"Aku melepas pegangan mas Aldo. Merebut kunci ditangannya dan melemparnya dikaki ibu."Bawa pulang!"Ucapku dingin. Lalu berjalan tertatih mendekatinya. Kutarik gamis dari tangannya."Kembalikan punyaku! Sudah cukup aku diam. Pergi kalian"Aku berkata pelan, meminta ibu dan Akmal meninggalkan rumah kami."Aldo, beraninya istrimu ini mengusir ibu!"Mas Aldo mendekatiku."Jangan bicara lagi mas. Lihat sendiri dirimu dikaca. Kamu lelaki pengecut! Kamu tau ibu salah, tapi terus memojokkanku. Kamu tau, aku hanya diam karena masih menghormatimu sebagai suami.""Bukan begitu, mas hanya mau kamu menghormati ibu, kamu..."Sejak kapan aku tak menghormatinya? Kapan aku berani melawannya? Tapi ibu bukan sadar, justru semakin menginjakku. Terlebih kamu! Sebagai kepala keluarga, kamu punya kewajiban melindungiku, tapi kamu seolah bisu saat ibu terus menghinaku!""Dengar sendiri do, istrimu ini sudah pandai membangkang. Sudah pandai mencari alasan. Apa yang kamu pertahankan dari perempuan begini?""Lalu ibu mau perempuan bagaimana? Yang diam saat uang belanjanya kurang, yang mencintai anak ibu, cinta hingga buta mata dan hati? diam bahkan saat dia direndahkan?Ibu menatapku tajam. Akmal mendekati ibu."Memang beda ya bu, latar belakang itu mempengaruhi. Kalau dasarnya sudah perempuan kampungan, diajari sopan santun saja tak bisa""Jaga ucapanmu Akmal!"Aku berteriak melihat wajah Akmal dan ibu yang terkejut melihat sikapku. Bahkan Akmal kini berdiri dibelakang punggung ibu mertua. Lelaki lembek!"Berani kamu membentak anakku? Sudah berani kamu!"Ibu mulai mendekat, aku yang dalam keadaan begini,mana bisa melawan ibu yang buasnya melebihi singa lapar."Tolong...Tolong..!" Aku berteriak dipintu rumah."Apa sih kamu Sari! Jangan buat malu!"Aku tak perduli. Dari pada aku di dorong hingga terjengkang jatuh. Lebih baik aku permalukan saja sekalian ibu dan anaknya itu."Tolong mbak Yayuk, mbak Nur!""Kamu itu jangan buat malu. Dasar perempuan mandul, suka sekali membuat masalah!"ibuAku masih berteriak memanggil tetangga depan rumahku.ibu menarikku masuk kedalam. Ibu sudah siap menyumpal mulutku dengan kain lap di tangannya."Ya Allah mbak Sari, kenapa?""Iya mbak Nur, itu Kakinya mbak Sari melepuh begitu!"Mbak Yayuk dan mbak Nur sudah didepan pintu. Ibu terkejut melihat mereka datang. Ibu mundur membuang lap ditangannya."Kakinya ketumpahan sup yuk. Ini ibu mau bawa kerumah sakit"Astagfirullah. Bukanya tadi dia yang bilang kebidan saja. Kenapa sekarang berubah?"Antar saya kerumah sakit mbak Yayuk. Saya mau bawa mobil ngak boleh ibu"Sekalian saja aku bilang yang sebenarnya. Malas sekali melihatnya mencari muka."Ya Allah bu, teganya dengan mantu sendiri. Mas Aldo, ayo bantu berdirikan istrinya. Saya ambil mobil dulu yaa mbak Nur"Mbak Yayuk berlari pulang, mengeluarkan mobilnya dari bagasi."Saya ganti baju dulu mbak Sari"Mbak Nur pergi setelah mendudukan aku di dekat pagar rumah."Kenapa teriak-teriak sih sar? harus minta bantuan mereka juga"Mas Aldo berjongkok didekatku. Aku melihatnya tak suka."Biarkan. Tetangga saja mau perduli. Kamu dan ibumu mati rasa. Tadi kalau aku tak teriak, sudah mati aku disiksa ibumu! Lalu kamu jadi duda, dinikahkan dengan perempuam pilihan ibumu""Astagfirullah, ibu tak sejahat itu sari""Buka matamu itu mas. Jangan buta!"Aku berdiri saat mobik mbak Yayuk sudah di jalan. mbak Yayuk memapahku masuk kedalam mobil. Mbak Nur menyusul dibelakang."Ayo mas Aldo. Masak suaminya diam saja. Ini mas Aldo yang bawa mobil. Saya temani Sari dibelakang"Mbak Yayuk masuk duduk disampingku. Mbak Nur duduk di kursi paling belakang."Bu Ida atau Akmal tidak ikut?" mbak Yayuk menawari ibu. Ibu nampak salah tingkah mendengarnya."Dirumah saja mbak. Saya mual cium bau obat""Akmal?""Akmal biar temani saya dirumah"Aku terdiam memahan senyum. Bilang saja tidak mau keluar uang untuk biaya berobatku.Sampai di Rumah Sakit, aku mendapat perawatan, dua kakiku harus di perban dan aku meminta pulang saja dan rawat jalan."Kamu kenapa Mas?"Aku tanyai lelaki yang sejak tadi mondar-mandir seperti setrikaan."Telphone ibu, mas lupa ngak bawa uang!""Ngak bawa uang atau ngak punya uang?""Ngak punya. Tadi sore ibu minta semua uang mas. Sekarang ATM dan buku tabungan ibu yang pegang"Darah tinggi aku mendengar jawaban mas Aldo. Ini lelaki sudah besar, tua malah, tapi segitu manutnya sama ibu. Seperti sapi di cucuk hidungnya!"Lalu bagaimana biaya rumah sakitnya?"Aku tak akan mau keluar uang. Dia sudah terlalu banyak kuberi maklum, hingga lupa dengan kewajiban sendiri."Pakai uangmu dulu gimana?""Apa-apa kok pakai uangku. Kamu itu jadi suami bagaimana sih mas, belanja rumah kurang, pakai uangku. Ini istri kena musibah masih minta uangku!" Muak aku dengan alasan dan bodohnya mas Aldo. "Yaa gimana, salah kamu juga pakai bilang aku dapat bonus. Yaa sekarang bagaimana lagi, kamu fikir lah se
Mas Aldo datang bersama ibu dan Akmal. Bisa ditebak kan bagaimana wajah ibu suri ketika melihat menantunya ini? Sudah terlipat seperti kumpulan lemak diperut."Jangan lama-lama do, ibu ngak betah di sini. Jangan lupa kuwitansi pembayarannya disimpan, nanti kamu bisa ajukan klaim asuransi di kantormu kan?"Ya Allah, sudah sejauh itu rupanya menejemen keuangan negaraku ini. Aku, Mbak Yayuk dan Mbak Nur sudah saling pandang menahan senyum."Yaa bu, sebentar Aldo ke kasir dulu."Mas Aldo sudah keluar dari kamar ini."Sakit begini saja minta kamar bagus. Giliran bayar minta dibayarin, katanya usaha sendiri, punya hasil, bayar sakitnya sendiri saja masih minta-minta!"Aku beristigfar dalam hati. Benar-benar mulut si Akmal ini. Harusnya dia pakai rok saja. Mulutnya sudah macam token listrik habis. Bising dan menganggu!"Mal, ini bukan kamar ya, ini ruang sementara di kasih izin klinik dipakai. buat nunggu masmu yang pulang ngak bilang-bilang." Mbak Nur menjelaskan."Ngapain anakku pulang har
Kami memutar mobil kembali ke klinik, padahal perjalanan sudah lumayan jauh. Saat sampai, akmal sudah mondar mandir di depan jalan."Mal! Akmal!"Ibu membuka kaca jendela, anak itu langsung berlari menghampiri mobil kami. Sudah mirip kucing ketemu induknya. Aku tak bisa menahan tawaku."Heh malah tertawa, nggak sopan! Lihat itu adekmu do, sampai takut begitu, Sari malah tertawa" Ibu membelakakkan matanya. Aku hanya menutup mulut sebentar.Akmal masuk, duduk di sebelahku dengan wajah sembab."Ibu jahat sekali, aku takut bu. Ditinggal sendiri di Klinik, mana sudah mulai sepi lagi""Kamu nangis?"Sepontan aku tertawa semakin kencang melihat wajah anak itu bersemu merah. Anak cowok, sudah besar, badanya juga ngak kecil-kecil amat. Ditinggal sebentar saja nangis."Apa kamu mbak, pasti ini ulahmu kan? Minta aku jajan terus kamu tinggal!" Dia berkacak pinggan melihatku. Lah, dia jajan sendiri kok aku yang di salahkan. Salahkan induk semangmu itu. Kenapa meninggalkan titisannya di Klinik!"L
Aku duduk di tepian ranjang. Melihat mbak Yayuk yang menempelkan telingannya di daun pintu."Ngak denger apa-apa Sar" Ucapnya pelan sembari mengerak-gerakkan tangannya. Aku hanya tersenyum."Aku pulang dulu saja ya sar. Besok aku kesini deh. Eh lupa, ini ada kue dan susu UHT, siapa tau kamu lapar malam-malam kan"Aku memganggukkan kepala. Mungkin memang baiknya mbak Yayuk segera pulang. Aku juga ngantuk sekali. "Makasih ya mbak kuenya" Aku letakkan kue itu diatas meja."Sama-sama. Eh, lewat samping bisak kan ya? Ngak enak aku lewat depan rumah""Bisa mbak, ngak dikunci juga gerbangnya. Makasih yaa mbak.""Udah ah, makasih terus. Kamu tapi ngak apa-apa ditinggal sendiri?"Aku menganggukkan kepala lagi."Mbak Yayuk, bisa carikan aku orang buat beres-beres dan masak enggak? Sama urus aku kalau lagi ngak ada mas Aldo?"Mbak Yayuk nampak berfikir sebentar. Rapi sepertinta belum menemukan yang cocok."Nanti deh mbak fikirkan siapa. Siti emang ngak bisa?""Ngak bisa mbak, aku saja masih kur
"Memangnya aku ini pembantu apa, pagi buta suruh ke sini. Ngapain!""Yasudah kalau begitu, ibu ngak usah protes kalau aku panggil orang buat kerja di sini!""Sudah berani menjawab terus ya kalau dibilangin, dasar mantu mandul, mantu durhaka kamu sama mertua!"Ya Allah bu, mengapa sumpah serepah kepadaku, seolah seperti makanan ringan di mulutmu. Apa tak ada kata baik yang bisa terlontar dari mulut ibu mertuaku?Ibu menunjuk-nunjuk aku tepat di depan wajah. Wajahnya merah padam saat menatapku. Siti nampak ketakutan melihat ibu, bagaimana tak takut, dada ibu saja sampai terlihat naik turun karena marahnya sendiri."Murni, kamu pulang saja sana. Nih upahmu kerja. Sudah ngak usah datang lagi!"Ibu menatap Bulek Murni. Melempar uang sepuluh ribu ke arah bulek Murni. Bulek Murni yang sedang membersihkan meja makan terdiam memandang uang yang jatuh ke lantai. Keterlauan ibu ini!"Ibu kenapa minta Bulek Murni pulang. Dia kerja di rumahku, jadi ibu ngak ada hak untuk memintanya pergi!"Jika me
Hari ini bulek Murni datang lebih pagi, aku minta dia memasakkan sarapan kami sekalian dari rumahnya. Sebab bulek meminta datang agak siang setelah selesai membersihkan rumahnya sendiri.Saat Bulek sudah datang, Ibu sudah menunggu di luar pagar untuk menahannya. Sebenarnya, Bulek Murni hanya datang untuk mengantarkan sarapan. Lalu akan pulang dan kembali lagi pukul sepuluh nanti.Aku yang sudah duduk di ruang tamu sejak subuh menyaksikan pemandangan itu. Ibu berkacak pinggang melihat kearah bulik Murni."Masuk bulek!"Aku berteriak dari dalam. Bulek hendak masuk, namun ibu masih berdiri di depan pagar. Tak juga beranjak dari tempatnya."Mbak Sari, nggak boleh masuk bu Ida""Lapor sana, memangnya aku takut apa. Kamu ke sini antar-antar makan. Pasti berharap dibayar kan?" Aku mendengar ucapan ibu dari dalam. Padahal masih setengah tujuh pagi. Tapi suara ibu sudah seperti toa pengumuman.Aku mendengus kesal, aku rasa ibu mertuaku itu butuh liburan jauh. Kalau perlu tak usah kembali. Isi
Kamu benar akan pergi?"Entah sudah keberapa kali pertanyaan itu terlontar dari mulut mas Aldo. Dan aku masih tetap diam tak merespon."Budek istrimu itu do! Biar saja pergi, nanti ibu carikan istri lagi. Yang lebih pinter, baik, nurut, nggak mandul."Aku memanas mendengar ucapan ibu. Aku bahkan belum melangkahkan kaki dari rumah ini. Dia sudah berbicara tentang mencaru menantu baru."Yaa, carilah bu. Jika ada perempuan sebodoh aku. Bertahan dengan kekuarga tak normal, lima tahun lamanya!""Apa maksud ucapanmu Sari?"Mas Aldo menarik tanganku kasar. Aku menghempaskannya dengan kencang. Perih. Kurasakan kukunya sempat menancap pada kulitku."Yaa memang bengitu kan? Selama ini aku sabar, diam, bahkan menggalah saat ibu dan adik tulang lunakmu itu menghinaku habis. Tapi lama-lama, orang waras juga bisa ikut gila berada disini?""Maksudmu kami semua gila?"Mas Aldo menatapku lebih tajam. Aku juga menamenatapnya kalah tajam."Kalian semua sakit!""Kurang ajar memang mulutmu itu Sari! Suda
Tiba di rumah ibu, Kania adik sepupuku sudah berdiri di pintu. Arya sudah memberi kabar tadi ketika kami masih di jalan. Kania membantuku turun dan masuk ke dalam rumah.Beberapa tetangga mengintip dari halaman mereka, pasti akan jadi bahan gibah yang menyenangkan setelah ini, ditambah bumbu karangan sendiri yang sedap untuk di sebarkan."Kakimu kenapa Sari?"Ibu berjalan mendekat saat melihatku dipapah masuk ke dalam rumah."Sakit bu, kesiram air panas. Tapi sudah mendingan kok bu.""Kok di antar Arya? Mana suamimu?""Budhe duduk dulu. Nanti baru kita bicarakan."Arya mencoba memberikan pengertian pada ibu."Iyo, budhe tak lungguh nang. Cobo Sari, ibu mau dengar kenapa sama kamu?""Sari ngak apa-apa bu, di sana Sari ngak ada yang ngerawat makanya sari pulang. Sari boleh tinggal di sini sementara bu?""Ya boleh, ini kan rumahmu. Tapi Aldo?""Mas Aldo tidak bisa antar, makanya Sari minta tolong Arya"Ibu hanya menganggukkan kepala, lalu melihat ke arah kakiku lagi."Ini ngak apa-apa?"