Setelah makan aku kembali mengambil resi pengiriman. Siti kuminta pulang lebih dulu, sebab aku punya ide agar ibu semakin panas melihatku dengan mas Aldo.
Setelah urusanku dengan pengiriman selesai, aku mencoba menghubungi mas Ald, namun tak ada jawaban. Akhirnya kuputuskan menunggunya di depan tempat fitnes, di depannya ada kedai jus aku duduk di sana sambil menikmati jus Alpukat.Tak lama, mas Aldo keluar. Sudah rapi dengan baju kerjanya. Dia berjalan menuju mobilnya."Assalamualaikum mas"Mas Aldo terlonjak kaget dengan kedatanganku sekaligus penampilanku. Aku sengaja memakai riasan yang sedikit mencolok. Memperlihatkan mata beloku dengan bulu mata yang lentik."Sari? Kamu ngapain disini sar?" Dia nampak celinggukkan melihat kebelakangku.Aku memasang wajah cemberut lalu memukul lengannya pelan."Aku udah lama nunggu lho mas"Dia nampak tersenyum kaku, bagaimana tak kaku, aku bergelayut manja seperti monyet minta makan."Kamu dari mana?""Dari ekspedisi mas, kirim pesanan. Aku ikut pulang yaa""Kamu tau aku disini dari mana?""Ngak sengaja sih, lihat mobil mas di sini tadi."Aku memperhatikan eajah binggung mas Aldo."Kamu bener sendiri?"Aku mengangguk manja. "Iya, ayuk mas kita pulang"Aku menarik mas Aldo ke dalam mobil. Mobil peninggalan Bapak mas Aldo yang di pakainya sekarang. Mobil yang hampir tak pernah aku naiki setelah kepergian Bapak mertua. Ibu akan memberi seribu alasan agar aku tak meminjamnya untuk kepentingan jualanku. Bahkan untuk menjenguk ibuku di kampung pun, mobil ini sangat sulit keluar.Dijalan aku masih berdandan, mas Aldo tersenyum senyum melihatku. Sengaja aku bergaya di depanya."Cantik sekali istriku ini."Aku tersenyum menatapnya. "Iya lah, istrimu kok ngak cantik. Em mas, kita mampir belanja sebentar mau?""Belanja apa?""Belanja sayur buat besok masak. Sama aku mau beli sepatu baru. Mas mau aku belikan sesuatu ?"Mas Aldo tersenyum menatapku, wajahnya nampak berbinar memikirkan apa yang ingin dia beli." dipikirkan dulu mas, kita sambil jalan ke Mall kencana"Mas Aldo menganggukkan kepala. Duh yang bakal diberikan istri, semangat sekali.Sampai diparkiran mall aku mengajaknya berselfi sebentar lalu kami masuk bersiap berbelanja. Aku beli dua gamis, dua sepatu, lalu beli kue, sayuran dan kebutuhan rumah."Ayo mas kita pulang" Aku mengandeng tangan mas Aldo kedalam lif."Ngak ada yang lupa sar?" Mas Aldo bertanya "Engak. Apa yang lupa memang?""Katanya mau belikan mas sesuatu?"Dia nampak tergugup saat mengingatkanku, aku menahan tawaku sendiri. Ingat juga rupanya, berharap sekali ya mas?"Em, Besok aja gimana? Soalnya sudah mau magrib. Mas mau nanti ibu marah? Ibu kalau sore begini kan sering ke rumah" aku mencari alasan.Aku memang tak berniat membelikannya sesuatu. Enak saja mau beli pakai uangku, uang yang kucari susah payah sampai punggungku nyeri saat membungkus pesanan. Bahkan dia tak sedikitpun membantu.Mas Aldo diam, nampak berpikir sejenak."Yasudah. Ayo pulang."Aku tersenyum mengandengnya. Aku sebenarnya tak keberatan membelikan sesuatu untuk suamiku, tapi biar ini jadi pelajaran buat kamu dan ibu dulu.Sampai di rumah benar saja, ibu sudah duduk di teras rumah kami melihat serius kearah mobil kami. Ibu berdiri, terkejut melihatku keluar mobil bersama mas Aldo, mobil yang selama ini begitu anti bila aku ada di dalamnya. Aku masuk menyalami ibu, namun tangan ini ditepisnya kasar. Astagfirullah! Aku berusaha tersenyum meski nyeri batinku."Assalamualaikum bu" aku masih bersikap manis. Ah ibu, andai saja sikapmu baik, aku akan seribu kali lebih baik darimu.Ibu memandang aku dari atas kebawah, aku berusaha tersenyum, nampak beda ya bu?Ibu menyenggol lenganku dan berlalu."Dari mana kamu do, Kenapa bisa pulang bersama?"Nampaknya aku tak terlihat dimata ibu mas Aldo. Bukankah harusnya aku yang ditanya karena jarak kami lebih dekat."Dari belanja bu. Eh, mana mas kunci mobilnya. Aku sampai lupa"Aku menjawab sebelum mas Aldo menjelaskan pada ibu. Aku berusaha mencari perhariannya. Bukankah ini rencanaku sejak awal, membuat ibu panas dan darah tinggi.Aku ambil kunci di saku kemeja mas Aldo lalu berjalan membuka bagasi mobil. Ibu tak berhenti melihatku, sementara mas Aldo nampak belum membaca situasi yang berbahaya ini.Aku keluarkan semua belanjaanku ke teras, mata ibu langsung membulat sempurna melihat banyaknya tas belanja yang kini berjajar di lantai."Mas, tolong bawakan masuk y, didalam masih ada"Ibu terbengong melihat mas Aldo masuk, sengaja kuminta dia menjauh dari kami sebentar."Jangan melamun bu, nanti kesambet"Aku berbisik ditelingannya, ibu nampak tak suka memandangku lalu berjalan masuk."Boros sekali kamu do. Beli banyak barang tidak penting begini, ibu saja tidak pernah kamu belanjakan begini" ibu masuk lalu duduk diruang tengah.Mas Aldo nampak terdiam, lalu mendekat ingin menjawab. namun buru-buru aku cegah."Kalau membelikan istri memang kenapa? Ibu keberatan? Ibu merasa rugi atau bagaimana?"Mata ibu terlihat tak suka menatapku. "Ibu sedang bicara dengan anakku sendiri. Kamu orang luar diam dulu!"Sunguh ucapan itu begitu nyeri. Apa anak mantu itu bukan anaknya? Sampai - sampai harus ada kalimat orang luar."Apa aku orang luar bu?"Aku bertanya di depan ibu dan mas Aldo. Ibu nampak salah tingkah, menyadari ucapannya salah dan melihat wajah tak suka mas Aldo akan ucapan ibu.Ibu berdiri tanpa menjawab pertanyaanku."Ibu tunggu dirumah do, ada yang mau ibu bilang, jangan lama-lama."Ibu lalu berjalan keluar, nampak kesal dengan keadaan yang tak menguntungkan untuknya.Aku terduduk kesal dikursi."Dengar sendiri kan mas, aku ini orang lain untuk ibumu. Orang luar!"Mas Aldo nampak terdiam, aku tau dia sendiri sedang gamang."Coba jelaskan mas, apa kurangku sebagai menantunya. Semua hal baik sudah coba aku lakulan, namun apa, ibu bahkan masih menganggapku orang luar"Aku terisak, nyeri sekali rasanya mengingat perkataan ibu."Ibu begitu, mungkin karene mengira mas yang belanja sebanyak ini Sar""Memang kenapa kalau mas yang belanja? Apa sebegitu tak sukanya ibu padaku, sampai anaknya membelanjakan istri saja keberatan""Mas juga kan yang mengadu kejadian tadi siang pada ibu? Iya kan? Ibu datang ke sini memakiku""Ibu kesini?"Aku melihat wajah terkejut mas Aldo."Iya tadi siang, memakiku habis di depan Siti. Tu, orangnya masih hidup kalau mau cari saksi"Aku menunjuk arah samping rumah, tempat rumah Siti terletak."Siang tadi mas memang kesal padamu, tapi mas tidak bilang apa-apa ke ibu""Yaaa kalau bukan mas, berati Akmal"Mas Aldo nampak mendengus kesal saat aku menuduh adiknya."Kalau tak ada bukti, jangan asal tuduh. Sudah aku mau ke rumah ibu dulu, nanti ibu marah kalau kelamaan"Dia bahkan tak sempat berganti baju atau sekedar mencuci mukanya. Yaa begitulah suamiku, seberbakti itu pada ibunya. Sampai dia lupa, istri itu juga bagian dari tanggung jawabnya."Sari!"Mas Aldo berteriak saat masuk ke dalam rumah. Aku yang tengah masak sayur terkejut mendengarnya."Sini kamu!"Mas Aldo menarik tanganku keruang tengah. Disana sudah ada ibu dan Akmal duduk dengan santainya."Duduk kamu!""Aku matikan kompor dulu mas.""Duduk!"Mas Aldo melemparku duduk dikursi. Ya Allah punggungku. Kenapa kasar sekali kamu mas!"Kamu bilang ibu hari ini aku terima bonus?"Aku menelan ludah. Aku memang bilang begitu karena sebal dengan sikap ibu yang tak berubah. Aku sengaja membuatnya kesal dengan ucapanku."Jawab sari, kamu bilang Aldo terima gaji dan bonus tadi sore. Yaa kan?"Ibu kini melipat tangan dan menatapku tajam."Ibu jangan mengarang, ibu kesini cuma memakiku dan pergi begitu saja!"Mas Aldo melempar semua belanjaanku dimeja ruang tenggah. Sepatu, gamis dan semua jilbab baru itu kini bertebar dilantai.Aku menatap tak suka pada mas Aldo. Dia ini, sudah tak pernah menyukupi kebutuhanku, kini melempar semua barangku dilantai."Mengarang apanya, jelas
Sampai di Rumah Sakit, aku mendapat perawatan, dua kakiku harus di perban dan aku meminta pulang saja dan rawat jalan."Kamu kenapa Mas?"Aku tanyai lelaki yang sejak tadi mondar-mandir seperti setrikaan."Telphone ibu, mas lupa ngak bawa uang!""Ngak bawa uang atau ngak punya uang?""Ngak punya. Tadi sore ibu minta semua uang mas. Sekarang ATM dan buku tabungan ibu yang pegang"Darah tinggi aku mendengar jawaban mas Aldo. Ini lelaki sudah besar, tua malah, tapi segitu manutnya sama ibu. Seperti sapi di cucuk hidungnya!"Lalu bagaimana biaya rumah sakitnya?"Aku tak akan mau keluar uang. Dia sudah terlalu banyak kuberi maklum, hingga lupa dengan kewajiban sendiri."Pakai uangmu dulu gimana?""Apa-apa kok pakai uangku. Kamu itu jadi suami bagaimana sih mas, belanja rumah kurang, pakai uangku. Ini istri kena musibah masih minta uangku!" Muak aku dengan alasan dan bodohnya mas Aldo. "Yaa gimana, salah kamu juga pakai bilang aku dapat bonus. Yaa sekarang bagaimana lagi, kamu fikir lah se
Mas Aldo datang bersama ibu dan Akmal. Bisa ditebak kan bagaimana wajah ibu suri ketika melihat menantunya ini? Sudah terlipat seperti kumpulan lemak diperut."Jangan lama-lama do, ibu ngak betah di sini. Jangan lupa kuwitansi pembayarannya disimpan, nanti kamu bisa ajukan klaim asuransi di kantormu kan?"Ya Allah, sudah sejauh itu rupanya menejemen keuangan negaraku ini. Aku, Mbak Yayuk dan Mbak Nur sudah saling pandang menahan senyum."Yaa bu, sebentar Aldo ke kasir dulu."Mas Aldo sudah keluar dari kamar ini."Sakit begini saja minta kamar bagus. Giliran bayar minta dibayarin, katanya usaha sendiri, punya hasil, bayar sakitnya sendiri saja masih minta-minta!"Aku beristigfar dalam hati. Benar-benar mulut si Akmal ini. Harusnya dia pakai rok saja. Mulutnya sudah macam token listrik habis. Bising dan menganggu!"Mal, ini bukan kamar ya, ini ruang sementara di kasih izin klinik dipakai. buat nunggu masmu yang pulang ngak bilang-bilang." Mbak Nur menjelaskan."Ngapain anakku pulang har
Kami memutar mobil kembali ke klinik, padahal perjalanan sudah lumayan jauh. Saat sampai, akmal sudah mondar mandir di depan jalan."Mal! Akmal!"Ibu membuka kaca jendela, anak itu langsung berlari menghampiri mobil kami. Sudah mirip kucing ketemu induknya. Aku tak bisa menahan tawaku."Heh malah tertawa, nggak sopan! Lihat itu adekmu do, sampai takut begitu, Sari malah tertawa" Ibu membelakakkan matanya. Aku hanya menutup mulut sebentar.Akmal masuk, duduk di sebelahku dengan wajah sembab."Ibu jahat sekali, aku takut bu. Ditinggal sendiri di Klinik, mana sudah mulai sepi lagi""Kamu nangis?"Sepontan aku tertawa semakin kencang melihat wajah anak itu bersemu merah. Anak cowok, sudah besar, badanya juga ngak kecil-kecil amat. Ditinggal sebentar saja nangis."Apa kamu mbak, pasti ini ulahmu kan? Minta aku jajan terus kamu tinggal!" Dia berkacak pinggan melihatku. Lah, dia jajan sendiri kok aku yang di salahkan. Salahkan induk semangmu itu. Kenapa meninggalkan titisannya di Klinik!"L
Aku duduk di tepian ranjang. Melihat mbak Yayuk yang menempelkan telingannya di daun pintu."Ngak denger apa-apa Sar" Ucapnya pelan sembari mengerak-gerakkan tangannya. Aku hanya tersenyum."Aku pulang dulu saja ya sar. Besok aku kesini deh. Eh lupa, ini ada kue dan susu UHT, siapa tau kamu lapar malam-malam kan"Aku memganggukkan kepala. Mungkin memang baiknya mbak Yayuk segera pulang. Aku juga ngantuk sekali. "Makasih ya mbak kuenya" Aku letakkan kue itu diatas meja."Sama-sama. Eh, lewat samping bisak kan ya? Ngak enak aku lewat depan rumah""Bisa mbak, ngak dikunci juga gerbangnya. Makasih yaa mbak.""Udah ah, makasih terus. Kamu tapi ngak apa-apa ditinggal sendiri?"Aku menganggukkan kepala lagi."Mbak Yayuk, bisa carikan aku orang buat beres-beres dan masak enggak? Sama urus aku kalau lagi ngak ada mas Aldo?"Mbak Yayuk nampak berfikir sebentar. Rapi sepertinta belum menemukan yang cocok."Nanti deh mbak fikirkan siapa. Siti emang ngak bisa?""Ngak bisa mbak, aku saja masih kur
"Memangnya aku ini pembantu apa, pagi buta suruh ke sini. Ngapain!""Yasudah kalau begitu, ibu ngak usah protes kalau aku panggil orang buat kerja di sini!""Sudah berani menjawab terus ya kalau dibilangin, dasar mantu mandul, mantu durhaka kamu sama mertua!"Ya Allah bu, mengapa sumpah serepah kepadaku, seolah seperti makanan ringan di mulutmu. Apa tak ada kata baik yang bisa terlontar dari mulut ibu mertuaku?Ibu menunjuk-nunjuk aku tepat di depan wajah. Wajahnya merah padam saat menatapku. Siti nampak ketakutan melihat ibu, bagaimana tak takut, dada ibu saja sampai terlihat naik turun karena marahnya sendiri."Murni, kamu pulang saja sana. Nih upahmu kerja. Sudah ngak usah datang lagi!"Ibu menatap Bulek Murni. Melempar uang sepuluh ribu ke arah bulek Murni. Bulek Murni yang sedang membersihkan meja makan terdiam memandang uang yang jatuh ke lantai. Keterlauan ibu ini!"Ibu kenapa minta Bulek Murni pulang. Dia kerja di rumahku, jadi ibu ngak ada hak untuk memintanya pergi!"Jika me
Hari ini bulek Murni datang lebih pagi, aku minta dia memasakkan sarapan kami sekalian dari rumahnya. Sebab bulek meminta datang agak siang setelah selesai membersihkan rumahnya sendiri.Saat Bulek sudah datang, Ibu sudah menunggu di luar pagar untuk menahannya. Sebenarnya, Bulek Murni hanya datang untuk mengantarkan sarapan. Lalu akan pulang dan kembali lagi pukul sepuluh nanti.Aku yang sudah duduk di ruang tamu sejak subuh menyaksikan pemandangan itu. Ibu berkacak pinggang melihat kearah bulik Murni."Masuk bulek!"Aku berteriak dari dalam. Bulek hendak masuk, namun ibu masih berdiri di depan pagar. Tak juga beranjak dari tempatnya."Mbak Sari, nggak boleh masuk bu Ida""Lapor sana, memangnya aku takut apa. Kamu ke sini antar-antar makan. Pasti berharap dibayar kan?" Aku mendengar ucapan ibu dari dalam. Padahal masih setengah tujuh pagi. Tapi suara ibu sudah seperti toa pengumuman.Aku mendengus kesal, aku rasa ibu mertuaku itu butuh liburan jauh. Kalau perlu tak usah kembali. Isi
Kamu benar akan pergi?"Entah sudah keberapa kali pertanyaan itu terlontar dari mulut mas Aldo. Dan aku masih tetap diam tak merespon."Budek istrimu itu do! Biar saja pergi, nanti ibu carikan istri lagi. Yang lebih pinter, baik, nurut, nggak mandul."Aku memanas mendengar ucapan ibu. Aku bahkan belum melangkahkan kaki dari rumah ini. Dia sudah berbicara tentang mencaru menantu baru."Yaa, carilah bu. Jika ada perempuan sebodoh aku. Bertahan dengan kekuarga tak normal, lima tahun lamanya!""Apa maksud ucapanmu Sari?"Mas Aldo menarik tanganku kasar. Aku menghempaskannya dengan kencang. Perih. Kurasakan kukunya sempat menancap pada kulitku."Yaa memang bengitu kan? Selama ini aku sabar, diam, bahkan menggalah saat ibu dan adik tulang lunakmu itu menghinaku habis. Tapi lama-lama, orang waras juga bisa ikut gila berada disini?""Maksudmu kami semua gila?"Mas Aldo menatapku lebih tajam. Aku juga menamenatapnya kalah tajam."Kalian semua sakit!""Kurang ajar memang mulutmu itu Sari! Suda