Sampai di Rumah Sakit, aku mendapat perawatan, dua kakiku harus di perban dan aku meminta pulang saja dan rawat jalan.
"Kamu kenapa Mas?"Aku tanyai lelaki yang sejak tadi mondar-mandir seperti setrikaan."Telphone ibu, mas lupa ngak bawa uang!""Ngak bawa uang atau ngak punya uang?""Ngak punya. Tadi sore ibu minta semua uang mas. Sekarang ATM dan buku tabungan ibu yang pegang"Darah tinggi aku mendengar jawaban mas Aldo. Ini lelaki sudah besar, tua malah, tapi segitu manutnya sama ibu. Seperti sapi di cucuk hidungnya!"Lalu bagaimana biaya rumah sakitnya?"Aku tak akan mau keluar uang. Dia sudah terlalu banyak kuberi maklum, hingga lupa dengan kewajiban sendiri."Pakai uangmu dulu gimana?""Apa-apa kok pakai uangku. Kamu itu jadi suami bagaimana sih mas, belanja rumah kurang, pakai uangku. Ini istri kena musibah masih minta uangku!" Muak aku dengan alasan dan bodohnya mas Aldo. "Yaa gimana, salah kamu juga pakai bilang aku dapat bonus. Yaa sekarang bagaimana lagi, kamu fikir lah sendiri biaya obatnya""Oh mau bilang aku bohong, mau jadi alasan aku harus memikirkan diriku sendiri. Ya sudah aku bayar sendiri, sekalian juga aku buat laporan penganiayaan""Ma... maksudmu apa?""Apa? Lupa ini ulah siapa? Kamu kan yang manarikku tanpa berpikir bahayanya didekat kompor dan air mendidih!" Mas Aldo terdiam, sepertinya sedang mencerna perkataanku. Sebentar kemudian mbak Yayuk dan mbak Nur datang. Membawa minuman dan kue. Mas Aldo yang sedang binggung bertambah binggung karena tak bida lagi bicara denganku."Sudah selesai mbak?"Mbak Nur berjalan mendekat, meletakkan bungkusan kue di meja."Sudah mbak. Tinggal nunggu mas Aldo bayar saja" Aku melirik mas Aldo yang masih binggung karena ibu tak bisa dihubungi. Terlebih ancamanku yang membuatnya semakin panas dingin. Rasakan mas. Sana, percaya saja pada ibumu yang gila uang itu."Saya keluar sebentar yaa mbak"Mas Aldo pamit meninggalkan kami di ruang IGD."Suamimu kenapa Sar?"Mbak Yayuk menarik kursi dan duduk disamping ranjangku."Binggung bayar Rumah Sakit mbak. Uangnya disita ibu suri"Mbak Yayuk dan mbak Nur tertawa bersama. Mereka memang sudah tau bagaimana watak ibu mertuaku. Setiap hari mereka mendengar teriakannya membahana dirumah kami.Mas Aldo mana pernah tau, dia selalu ke kantor pagi. Jika sempat, mampir sebentar untuk makan siang lalu kembali lagi sampai malam."Ibu mertuamu itu memang ajaib Sar. Sama mantunya sendiri seperti lintah darat tapi gayanya loyal sekali dengan geng sosialitanya"Mbak Yayuk berucap setengah berbisik."Memang kenapa mbak?"Aku yang penasaran memintanya bercerita. Sepertinya tadi ada berita baru yang belum aku tau."Ibumu belikan teman-temannya baju senam. Seragam. Biar mereka kompak katanya."Ya Allah, pantas saja uangnya langsung habis. Satu set baju aerobic paling murah saja dua ratus ribuan."Pantas saja mbak, minta lagi uang mas Aldo""Heran aku sama mertuamu itu. Dia kaya tapi suka sekali mempersulit anak sendiri. Untung mertuakua ngak begitu. Bisa mati berdiri aku setiap hari seperti kamu" Mbak Nur berbicara setengah berbisik"Kakimu ngak apa-apa?" Mbak Yayuk memperhatikan kakiku yang diperban."Kita lapor polisi saja Sar, ini sudah masuk KDRT lho" mbak Nur menambahi."Nanti saja lapornya. Kita buat mereka ketakutan dulu. Aku ngak mau pergi dari rumah jika belum membalas mertuaku itu""Kamu mau pisah?Mbak Nur terkejut dengan kalimatku."Nanti mbak, setelah hitung menghitung ini impas!***Dua jam kami menunggu lelaki bergelar suami itu pergi, tapi tak juga nampak batang hidungnya datang."Suamimu mana sih Sar. Dia ini pergi bayar atay kemana?" Mbak Yayuk nampak sudah kesal juga dengan mas Aldo."Apa dia pulang ya mbak?"Tiba-tiba saja pikiran itu terlintas dikepala. Bisa saja kan dia pulang meminta uang pada ibunya yang sangat ajaib itu."Coba di hubungi sar, barang kali sudah dekat di sekitar sini!"Aku menelphone mas Aldo. Nada sambung terdengar, namun tak ada jawaban. Kucoba terus sampai sebuah suara kudengar."Halo, apa Sar?"Aku terkejut, suara ibu mertuakau terdengar. Berarti mas Aldo pulang kerumah."Mana mas Aldo bu?""Tidur. Kamu pulang sama Yayuk lagi saja. Nggak apa-apa to kakimu? Begitu saja manja!"Yaa Allah, ingin aku sulam bibir mertuaku ini."Bangunkan bu, suruh kerumah sakit!""Besok dia kerja. Sudah kamu pulang sendiri saja!"Apa? Minta dirujak rupanya ibu dan anak ini."Suruh dia kemari, bawa uang bayar rumah sakit. rnak saja lari dari tanggung jawab""Tanggung jawab apa? Itukan ulahmu sendiri, masak orang lain suruh tanggung jawab!"Apa? Orang lain ibu bilang. Benar-benar sudah tidak singkrong itu fikiran mertuaku."Aku ini istrinya bu. Bukan orang lain!""Tetap saja, kamu itu orang luar, cuma minta dikasihani. Makanya jangan macam-macam. Kuwalat kamu!"Aku langsung berteriak pada mbak Yayuk."Mbak, antar aku pulang mau, Sekalian mampir ke kantor polisi"Sengaja aku keraskan suaraku supaya ibu mertuaku mendengarnya.Mbak Yayuk dan mbak Nur kini cekikikan sendiri."Halo... Halo... Sari. Hey kamu ngapain ke kantor polisi?"Suara ibu terdengar dari speaker HP."Apa bu?""Ngapain ke kantor polisi?"Laporlah bu. Ini sudah termasuk KDRT. Kalau ngak lapor nanti tuman! ""Lapor apa? Heh, siapa yang mau kamu laporkan!"Suara ibu mertuakau melengking di telinga. Duh sakitnya telingaku."Yang membuat kakiku cidera siapa? Anak lelaki ibu yang sangat ibu cintai itu kan? Yaa berarti dia yang mau aku laporkan.""Bikin masalah saja. Kamu ini waras atau tidak? Suami sendiri mau dilaporkan!""Ibu itu yang waras atau tidak. Sudah tau Mas Aldo itu suamiku, masak iya aku suruh bayar sendiri, pulang sendiri. Kalau begitu kan sama saja aku orang lain!" "pandai membantah kamu yaa!""Mbak sari, bayar pakai uangku saja. Biar cepat kita ke kantor polisinya"aku berkedip meminta mbak Yayuk bicara."Heh..Tunggu. Apa-apaan itu""Sudah dulu bu. Kalau mas Aldo ngak mau kesini, ngak apa-apa. Aku mau pulang dulu""Eh sari...eh..."Kututup telphone segera. Biar saja kalang kabut ibu memimirkan ancamanku. Kami sama-sama tertawa sekarang."Begitu saya sudah kebakaran hatinya mertuamu" mbak Nuri berucap sambil tertawa.Sebentar kemudian HP ku kembali berbunyi. Nomor mas Aldo. Aku biarkan saja. Sampai beberapa lama tak aku perdulikan. Sekarang ganti Nomor ibu yang menghubungi."Halo, aku mau pulang bu, sibuk. Sudah yaa""Eh, Sari! Anak kurang ajar. Eh jangan matikan""Ada apa lagi bu"" Aldo mau kesitu. Jangan macam-macam kamu!""Ngapain ke sini bu?""Yaa bayar biaya berobatmu, sekalian jemput kamu. Sudah kamu di situ. Diam saja!""Iyaa ibu sayang! Sari tunggu."Aku tutup telphone dan menunggu mas Aldo kembali menjemputku. Enak saja mau lari dari tanggung jawab. Dendamku sudah di ubun-ubun dengan kalian. Akan aku balas bagaimanapun caranya. Satu persatu akan aku hitung!Mas Aldo datang bersama ibu dan Akmal. Bisa ditebak kan bagaimana wajah ibu suri ketika melihat menantunya ini? Sudah terlipat seperti kumpulan lemak diperut."Jangan lama-lama do, ibu ngak betah di sini. Jangan lupa kuwitansi pembayarannya disimpan, nanti kamu bisa ajukan klaim asuransi di kantormu kan?"Ya Allah, sudah sejauh itu rupanya menejemen keuangan negaraku ini. Aku, Mbak Yayuk dan Mbak Nur sudah saling pandang menahan senyum."Yaa bu, sebentar Aldo ke kasir dulu."Mas Aldo sudah keluar dari kamar ini."Sakit begini saja minta kamar bagus. Giliran bayar minta dibayarin, katanya usaha sendiri, punya hasil, bayar sakitnya sendiri saja masih minta-minta!"Aku beristigfar dalam hati. Benar-benar mulut si Akmal ini. Harusnya dia pakai rok saja. Mulutnya sudah macam token listrik habis. Bising dan menganggu!"Mal, ini bukan kamar ya, ini ruang sementara di kasih izin klinik dipakai. buat nunggu masmu yang pulang ngak bilang-bilang." Mbak Nur menjelaskan."Ngapain anakku pulang har
Kami memutar mobil kembali ke klinik, padahal perjalanan sudah lumayan jauh. Saat sampai, akmal sudah mondar mandir di depan jalan."Mal! Akmal!"Ibu membuka kaca jendela, anak itu langsung berlari menghampiri mobil kami. Sudah mirip kucing ketemu induknya. Aku tak bisa menahan tawaku."Heh malah tertawa, nggak sopan! Lihat itu adekmu do, sampai takut begitu, Sari malah tertawa" Ibu membelakakkan matanya. Aku hanya menutup mulut sebentar.Akmal masuk, duduk di sebelahku dengan wajah sembab."Ibu jahat sekali, aku takut bu. Ditinggal sendiri di Klinik, mana sudah mulai sepi lagi""Kamu nangis?"Sepontan aku tertawa semakin kencang melihat wajah anak itu bersemu merah. Anak cowok, sudah besar, badanya juga ngak kecil-kecil amat. Ditinggal sebentar saja nangis."Apa kamu mbak, pasti ini ulahmu kan? Minta aku jajan terus kamu tinggal!" Dia berkacak pinggan melihatku. Lah, dia jajan sendiri kok aku yang di salahkan. Salahkan induk semangmu itu. Kenapa meninggalkan titisannya di Klinik!"L
Aku duduk di tepian ranjang. Melihat mbak Yayuk yang menempelkan telingannya di daun pintu."Ngak denger apa-apa Sar" Ucapnya pelan sembari mengerak-gerakkan tangannya. Aku hanya tersenyum."Aku pulang dulu saja ya sar. Besok aku kesini deh. Eh lupa, ini ada kue dan susu UHT, siapa tau kamu lapar malam-malam kan"Aku memganggukkan kepala. Mungkin memang baiknya mbak Yayuk segera pulang. Aku juga ngantuk sekali. "Makasih ya mbak kuenya" Aku letakkan kue itu diatas meja."Sama-sama. Eh, lewat samping bisak kan ya? Ngak enak aku lewat depan rumah""Bisa mbak, ngak dikunci juga gerbangnya. Makasih yaa mbak.""Udah ah, makasih terus. Kamu tapi ngak apa-apa ditinggal sendiri?"Aku menganggukkan kepala lagi."Mbak Yayuk, bisa carikan aku orang buat beres-beres dan masak enggak? Sama urus aku kalau lagi ngak ada mas Aldo?"Mbak Yayuk nampak berfikir sebentar. Rapi sepertinta belum menemukan yang cocok."Nanti deh mbak fikirkan siapa. Siti emang ngak bisa?""Ngak bisa mbak, aku saja masih kur
"Memangnya aku ini pembantu apa, pagi buta suruh ke sini. Ngapain!""Yasudah kalau begitu, ibu ngak usah protes kalau aku panggil orang buat kerja di sini!""Sudah berani menjawab terus ya kalau dibilangin, dasar mantu mandul, mantu durhaka kamu sama mertua!"Ya Allah bu, mengapa sumpah serepah kepadaku, seolah seperti makanan ringan di mulutmu. Apa tak ada kata baik yang bisa terlontar dari mulut ibu mertuaku?Ibu menunjuk-nunjuk aku tepat di depan wajah. Wajahnya merah padam saat menatapku. Siti nampak ketakutan melihat ibu, bagaimana tak takut, dada ibu saja sampai terlihat naik turun karena marahnya sendiri."Murni, kamu pulang saja sana. Nih upahmu kerja. Sudah ngak usah datang lagi!"Ibu menatap Bulek Murni. Melempar uang sepuluh ribu ke arah bulek Murni. Bulek Murni yang sedang membersihkan meja makan terdiam memandang uang yang jatuh ke lantai. Keterlauan ibu ini!"Ibu kenapa minta Bulek Murni pulang. Dia kerja di rumahku, jadi ibu ngak ada hak untuk memintanya pergi!"Jika me
Hari ini bulek Murni datang lebih pagi, aku minta dia memasakkan sarapan kami sekalian dari rumahnya. Sebab bulek meminta datang agak siang setelah selesai membersihkan rumahnya sendiri.Saat Bulek sudah datang, Ibu sudah menunggu di luar pagar untuk menahannya. Sebenarnya, Bulek Murni hanya datang untuk mengantarkan sarapan. Lalu akan pulang dan kembali lagi pukul sepuluh nanti.Aku yang sudah duduk di ruang tamu sejak subuh menyaksikan pemandangan itu. Ibu berkacak pinggang melihat kearah bulik Murni."Masuk bulek!"Aku berteriak dari dalam. Bulek hendak masuk, namun ibu masih berdiri di depan pagar. Tak juga beranjak dari tempatnya."Mbak Sari, nggak boleh masuk bu Ida""Lapor sana, memangnya aku takut apa. Kamu ke sini antar-antar makan. Pasti berharap dibayar kan?" Aku mendengar ucapan ibu dari dalam. Padahal masih setengah tujuh pagi. Tapi suara ibu sudah seperti toa pengumuman.Aku mendengus kesal, aku rasa ibu mertuaku itu butuh liburan jauh. Kalau perlu tak usah kembali. Isi
Kamu benar akan pergi?"Entah sudah keberapa kali pertanyaan itu terlontar dari mulut mas Aldo. Dan aku masih tetap diam tak merespon."Budek istrimu itu do! Biar saja pergi, nanti ibu carikan istri lagi. Yang lebih pinter, baik, nurut, nggak mandul."Aku memanas mendengar ucapan ibu. Aku bahkan belum melangkahkan kaki dari rumah ini. Dia sudah berbicara tentang mencaru menantu baru."Yaa, carilah bu. Jika ada perempuan sebodoh aku. Bertahan dengan kekuarga tak normal, lima tahun lamanya!""Apa maksud ucapanmu Sari?"Mas Aldo menarik tanganku kasar. Aku menghempaskannya dengan kencang. Perih. Kurasakan kukunya sempat menancap pada kulitku."Yaa memang bengitu kan? Selama ini aku sabar, diam, bahkan menggalah saat ibu dan adik tulang lunakmu itu menghinaku habis. Tapi lama-lama, orang waras juga bisa ikut gila berada disini?""Maksudmu kami semua gila?"Mas Aldo menatapku lebih tajam. Aku juga menamenatapnya kalah tajam."Kalian semua sakit!""Kurang ajar memang mulutmu itu Sari! Suda
Tiba di rumah ibu, Kania adik sepupuku sudah berdiri di pintu. Arya sudah memberi kabar tadi ketika kami masih di jalan. Kania membantuku turun dan masuk ke dalam rumah.Beberapa tetangga mengintip dari halaman mereka, pasti akan jadi bahan gibah yang menyenangkan setelah ini, ditambah bumbu karangan sendiri yang sedap untuk di sebarkan."Kakimu kenapa Sari?"Ibu berjalan mendekat saat melihatku dipapah masuk ke dalam rumah."Sakit bu, kesiram air panas. Tapi sudah mendingan kok bu.""Kok di antar Arya? Mana suamimu?""Budhe duduk dulu. Nanti baru kita bicarakan."Arya mencoba memberikan pengertian pada ibu."Iyo, budhe tak lungguh nang. Cobo Sari, ibu mau dengar kenapa sama kamu?""Sari ngak apa-apa bu, di sana Sari ngak ada yang ngerawat makanya sari pulang. Sari boleh tinggal di sini sementara bu?""Ya boleh, ini kan rumahmu. Tapi Aldo?""Mas Aldo tidak bisa antar, makanya Sari minta tolong Arya"Ibu hanya menganggukkan kepala, lalu melihat ke arah kakiku lagi."Ini ngak apa-apa?"
Berulang kali ibu mertuaku telphone tapi tak aku perdulikan. Biar saja, aku tau dia akan marah karena semua barang daganganku di ambil polisi, anak buah Arya. Membayangkan wajah ibu yang pasti masam seperti limau, lucu sekali. "Kamu ngak makan dulu Ar?"Ibu memanggil Arya saat dia beranjak dari sofa. "Nggak usah bude, Arya mau kembali ke kantor saja, yang penting mbak Sari sudah sampai disini. Nanti kalau libur, Arya kesini dengan Dinda" "Lah iya, ajak Dinda kemari. Mbak lama sekali ngak ketemu istrimu itu. Beberapa bulan cuma video call saja" "Gampang, nanti kalau longgar biar dia kesini sendiri. Kalian kalau sudah ketemu, pasti lupa pagi atau malam!"Aku cekikikan mendengar jawaban Arya " Ya, mau bagaimana Ar, namanya juga perempuan, banyak sabar saja."Aku memang dekat dengan Dinda, istri Arya. Dia baik dan sangat sopan. Siapapun pasti akan menyukainya, dia salah satu yang membantuku membesarkan bisnis onlineku.Dinda sering mempromosikan jualanku pada ibu-ibu Bhayang