"Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang?" tanya Mas Bram dengan sinis sembari melipatkan tangan di depan dada, saat jarak kami sudah berdekatan.
"Dari rumah sakit, Mas jengukin Oma yang kemarin aku ceritain," jawabku apa adanya. Lalu menyuruh Rania masuk terlebih dahulu, Rania pun menurut.
"Siapa laki-laki tadi, kenapa kalian begitu terlihat akrab?" Mas Bram bertanya penuh intimidasi.
"Bukan siapa-siapa, Mas!" jawabku jujur.
"Jangan bohong, kamu. Itu pasti selingkuhan kamu, 'kan?" Suara Mas Bram naik beberapa oktaf.
"Mas ...," teriakku tak terima karena tuduhannya. Bagaimana bisa Mas Bram berkata demikian, sementara di belakangku dialah yang sebenarnya telah berselingkuh, dan sekarang malah menuduhku.
"Udah jangan ngelak kamu, itu buktinya apa?" Mas Bram menunjuk paper bag yang kupegang.
Aku semakin tergeragap dengan perkataan Mas Bram, antara marah dan bingung mau jawab apa.
"Hem, gak bisa jawabkan kamu, ternyata d
"Mbak, Mbak gak apa-apa?" tanya seorang laki-laki sambil menepuk pundakku pelan. Aku masih menutup wajahku dengan kedua tangan. Gara-gara menyeberang sambil melamun aku hampir saja ketabrak, dan sekarang terduduk lemas di tengah jalan beraspal. Rasanya begitu syok."Mbak!" Laki-laki itu kembali memanggil.Aku pun perlahan menurunkan tangan yang menutupi wajah, nafasku rasanya masih tersengal."Lho, Ibu Naya?" Lelaki itu begitu terdengar kaget aku menurunkan tanganku, sementara aku masih berusaha menetralisirkan perasaan yang masih berdebar gara-gara terkejut. Namun, seketika aku pun mendongak saat namaku disebut."P-pak, Bayu," ucapku tak kalah kaget, saat menyadari laki-laki yang hampir saja menabrakku ternyata adalah Pak Bayu. Aku pun segera bangkit."Ibu mau kemana malam-malam begini?" tanyanya penasaran. Aku masih bergeming bingung mau jawab apa."Itu, Ibu bawa-bawa tas segala, apa Ibu mau pergi ke rumah saudara?" Pak Bayu kembali
Sudah dua hari aku pergi dari rumah, tepatnya terpaksa pergi, dan menemani Oma di rumah sakit. Sementara Oma baru diperbolehkan pulang besok."Kondisi, Ibu sudah lebih baik. Sepertinya besok sudah bisa pulang. Sekarang lebih baik banyak istirahat!" ucap seorang Dokter yang menangani Oma.Oma tersenyum ke arahku mendengar penjelasan dokter Irfan, yang mengatakan kalau besok Oma sudah bisa pulang."Alhamdulillah," ucapku sambil menggengam tangan Oma, rasanya bahagia akhirnya Oma bisa pulang."Terima kasih, Dok," ucap Oma pada Dokter Irfan.Dokter Irfan pun tersenyum, "Sama-sama, Bu kalau begitu saya permisi dulu,"Setelah Dokter Irfan keluar, aku segera menyuruh Oma istirahat."Sebaiknya Oma istirahat saja dulu, jangan banyak gerak, Naya mau pamit keluar sebentar." Biasanya pagi-pagi aku mendorong Oma duduk di kursi roda keluar menghirup udara segar di taman belakang rumah sakit."Mau kemana?" tanya Oma dengan wajah penasaran.
Kenapa ada Ibu sama Bapak di sini? Apa Oma sudah menceritakan semuanya? Bagaimana ini padahal aku selalu saja menutupi semuanya, agar Ibu dan Bapak tidak tau masalahku hingga membuat mereka sedih. Apa Oma sengaja merencanakan ini semua? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam hatiku. Perasaan sedih, kesal dan lainnya seketika bercampur menjadi satu."Naya, sini, Nak!" ucap Oma sembari tersenyum lebar.Pelan aku melangkah mendekat ke arah Ibu dan Bapak, tanpa mempedulikan Oma. Rasa penasaran sungguh tidak bisa kusembunyikan."Ibu, Bapak kok bisa ada di sini?" tanyaku sembari menyambut tangan keduanya lalu menciumnya dengan takzim.Mata Ibu langsung berkaca-kaca, Bapak pun terlihat menyeka sudut matanya. Ada apa ini? Apa mereka sudah tau tentang permasalahanku dengan Mas Bram?"Ibu, Bapak maafin, Naya kalau buat Ibu sama Bapak sedih," ucapku seraya menggenggam tangan keduanya."Ibu, sama Bapak yang harusnya minta maaf karena ...." Ibu sema
"Nay, kamu dengar, Ibu gak?" tanya Ibu sembari menepuk pelan tanganku, membuyarkanku dari lamunan."Eh, iya de-dengar kok, Bu. Em itu, anu Mas Bramnya sibuk kerja," kilahku.Terlihat Ibu menghela nafas lega. "Oh gitu. Syukurlah Ibu pikir ada apa," ucap Ibu, lalu tersenyum.Aku pun ikut memaksa untuk tersenyum. "Oh iya, gimana caranya Ibu dan Bapak bisa sampai ke sini?" tanyaku penasaran menatap Ibu dan Bapak secara bergantian."Ibu sama Bapak dijemput, Pak Bayu," jawab Ibu singkat."Iya, Oma yang suruh mencari keberadaan orang tuamu, karena waktu pertama kali kita bertemu di pesta itu Oma merasa tidak asing denganmu, dan merasa ada ikatan batin, makanya Oma menyuruh orang suruhan Oma untuk menyelidiki tentangmu, dan orang tuamu," jawab Oma panjang lebar.Aku tidak tau kalau selama ini ternyata Oma mencari tau tentang latar belakang kehidupanku.***Hari ini Ibu dan Bapak akan pulang ke kampung halaman Ibu. Dengan berat hati aku
Aku yakin itu pasti selingkuhannya, Mas Bram. Hem, kuakui modis dan cantik memang, sangat berbeda jauh denganku. Apa cuma karena make up? Ah entahlah, yang jelas aku harus jaga jarak jangan sampai Mas Bram melihatku.Aku sudah tidak konsen mencari tas yang kumau, dan hanya berpura-pura memilih-memilah karena terus mengawasi pergerakan Mas Bram dan perempuan itu, tanganku tak sengaja meremas tas yang kupegang karena geram melihat kemesraan mereka, hingga membuat Mas Bram melihat kearahku. Namun, aku segera berpaling agar tidak ketahuan.Kulihat mereka melangkah menuju kasir, Sepertinya mereka sudah menemukan barangnya. Lalu, kemudian pergi lagi sepertinya ada yang ketinggalan.Aku tidak boleh diam, dan harus melakukan sesuatu. Aku segera memanggil Nisa, menyuruhnya untuk membeli tas yang sama seperti perempuan itu, jika perlu bayar dua kali lipat."Maaf, Mbak model tas seperti ini stoknya terbatas dan hanya tinggal ini, dan Mbak itu sudah lebih dulua
Hari ini aku akan datang ke kantor bersama Oma. Tetapi, tentunya sebelum itu aku harus ke salon terlebih dahulu, Oma ingin aku terlihat cantik sebagai cucu satu-satunya, sekaligus penerus Hanggara grup.Kata Oma Hanggara adalah nama Papa, sementara Mami bernama Dewi. Nama yang bagus menerutku.Sebelum berangkat kami sarapan terlebih dahulu, kalau biasanya di rumah Mas Bram aku harus bangun pagi-pagi dan menyiapkan sarapan, berbeda saat berada di rumah Oma. Saat bangun, semua sudah terhidang dengan rapi, dan tinggal makan.Pagi-pagi sekali Nisa sudah datang saat kami tengah sarapan."Selamat pagi, Bu. Mbak Naya!" sapanya sembari mengulas senyum hingga menampakkan lesung pipinya."Pagi, Nis," balasku. "Ayo sarapan dulu!""Saya sudah sarapan, Mbak," tolaknya.Usai sarapan aku bersiap-siap untuk pergi ke salon bersama Oma juga Nisa."Sayang, Mama pergi dulu ya! Rania jangan nakal sama Bi Sari," pamitku pada Rania."Iya
"Mau apa lagi kamu datang ke sini?" tanya Mama ketus, sembari berkecak pinggang melihat ke arahku dan Rania. Tidakkah Mama ada perasaan iba terhadap cucunya ini? Sehingga dengan ketusnya bertanya demikian.Aku hanya tertunduk tidak menjawab, dan pura-pura sedih. Karena tidak ada tempat untuk pulang, dan menyuruh Rania untuk masuk, tidak baik anak kecil mendengar orang tua teriak-teriak."Heh! Mama tanya malah diam aja bukannya dijawab! Kamu budeg?""Ada apa sih, Ma?" Mita muncul dari dalam mendengar Mama teriak-teriak."Itu lihat Kakak, iparmu yang tak tau diri datang lagi!"Mata mita terbelalak menatap ke arahku, seketika aku menyadari kalau ternyata aku lupa mengganti pakaian dan menghapus riasan di wajahku, gawat. Namun, secepat mungkin Mita bisa menguasai dirinya dari rasa takjub melihat penampilanku, lalu terkekeh."Itu ngapain pake dandan segala, mau bermimpi jadi orang kaya? Atau mau berpura-pura kayak di cerita-cerita KBM itu,
"Ng-ngapain juga, Mbak bohong," ucapku berusaha tenang. "Kalau kamu mau kamu bisa jadi pembantu kayak, Mbak!" sambungku lagi. "Apa Mbak? Jadi pembantu kayak, Mbak?" tanya Mita, mungkin tidak percaya akan tawaranku. Aku mengangguk, "Iya, kalau kamu mau, Mbak bisa ngomong sama majikan, Mbak." "Apa, Mbak gak salah ngomong nawarin aku jadi pembantu? Sorry ya, Mbak tampang kayak aku ini lebih cocoknya jadi bintang iklan," jawab Mita percaya diri. "Ya itu terserah kamu. Bagi, Mbak sih mau kerja apa aja yang penting gajinya besar," ucapku pura-pura cuek, aku yakin setelah ini mereka akan bertanya tentang gajiku. "Halah, mana ada pembantu gajinya gede!" "Memang berapa gajimu, berani nawarin Mita jadi pembantu?" tanya Mama dengan nada sombong. "Gak terlalu besar sih, Ma. Cuma 12 juta perbulan," jawabku asal, karena saat ini uang segitu bukan masalah bagiku. Kompak Mita dan Mama pun terbahak mendengar jawabanku yang terdeng