Share

Bab 5

Setelah merasa cukup beristirahat di Race Area Padalarang, Sam kembali memacu Landcrusernya melaju di Jalan Tol arah Cileunyi. Di sebelah Sam, Widya nampak segar setelah mandi dan sarapan, namun begitu keceriaan tak begitu kentara di wajah Widya. Widya kian menyadari dirinya kini sedang dalam pelarian dari praduga pembunuhan meskipun ia bukan pelakunya.

Widya tidak tahu sejauh mana Sam akan mampu membantu-melindungi dirinya sedang Sam sendiri besar kemungkinan akan sama seperti dirinya sebagai orang yang paling dicari setelah kematian Mr. Ben diketahui Polisi.

   "Sam..!" Widya berkata lirih.

   "Ya?"

   "Tubuhmu tidak terasa lengket tanpa mandi pagi hari?"

   "Perjalanan masih jauh. Aku bisa diserang kantuk kalau tubuhku merasa segar setelah mandi." 

   "Ini sudah pukul sembilan. Adakah kemungkinan pihak hotel sudah mengetahui keadaan Mr. Ben?" Alih Widya.

   "Sepertinya, sudah."

   "Perlukah aku cari berita di portal berita daring?" Usul Widya seraya mengeluarkan ponsel dari tas wanita di pangkuannya.

   "Jangan!" Sergah Sam menoleh cepat ke Widya tanpa mengurangi fokus pada kemudi 

   "Kenapa? Jaman sekarang, dalam hitungan menit saja suatu kejadian di ujung dunia dapat tersebar ke belahan dunia lainnya. Siapa tahu kita menemukan pemberitaan Mr. Ben?"

   "Kamu akan merasa lebih tertekan jika menemukan pemberitaan kematian Mr. Ben."

   "Kamu pikir sekarang aku sedang baik-baik saja, Sam?" Widya mendelik.

   "Setidaknya kamu belum tahu sudah sejauh mana keberadaan Mr. Ben diketahui Polisi, dan siapa saja nama-nama yang disebut Polisi yang menurut mereka patut dicurigai. Orang-orang terdekat korban pembunuhan akan jadi yang pertama dimintai keterangan oleh Polisi. Itu sudah jadi teori baku investigasi hukum. Sedangkan aku dan kamu adalah yang sangat mungkin jadi sasaran pertama yang akan dimintai keterangan oleh Polisi. Kita berdua adalah orang terakhir yang berinteraksi secara dekat dengan Mr. Ben, sebelum kematiannya."

   "Sial betul aku menerima pekerjaan dari orang itu!" Umpat Widya, "aku terlalu semangat tergiur oleh sejumlah uang yang masuk rekeningku tanpa aku tahu siapa orang yang membayarku untuk menemani Mr. Ben? Andai tahu bakal begini jadinya, tak mungkin aku terima pekerjaan darinya. Aku tak peduli dengan angka besar yang menambah saldo rekeningku dari orang yang tak aku ketahui wujudnya."

   "Bagaimana awalnya orang itu dapat menghubungimu?"

   "Dia mengaku mendapatkan nomorku dari Tyo."

   "Dari Tyo?"

   "Ya."

   "Selalu begitu?"

   "Maksudmu?"

   "Setiap ada orang yang memerlukanmu melalui Tyo, Tyo memberikan nomormu pada mereka? Tyo tidak kamu beri kepercayaan untuk bernegosiasi?"

   Widya menggeleng, "Tyo tidak mau dilibatkan dengan urusan nogesiasi antara aku dengan siapapun yang memerlukan jasaku. Dan tidak semua orang yang memerlukan aku, aksesnya  selalu lewat Tyo. Jikapun ada yang melalui relasi Tyo, Tyo lebih suka memberikan nomorku kepada relasinya, dan Tyo cukup senang menerima fee dariku serta ia dilibatkan untuk mengawalku selama aku menemani tamu di hotel."

   "Kalau begitu, Tyo pasti tahu atau mengenal orang yang mengisi saldo rekeningmu dan mengutusmu untuk menemani Mr. Ben?"

   "Ya. Mustinya Tyo mengenalnya? Perlukah aku menanyakannya pada Tyo?"

   "Tentu. Tapi tidak saat ini kita menanyai Tyo."

   "Lantas?"

   Sam berpikir sejenak, lalu, "Setibanya kamu di hotel, berapa lama kamu sempat berbincang dengan Mr. Ben?"

   "Tidak lebih satu jam, aku kira? Setelah itu Mr. Ben pamit keluar kamar dan berpesan padaku, dia akan pulang larut malam."

   "Selama kamu sendirian ditinggal Mr. Ben, adakah kamu temui sesuatu yang menurutmu janggal, di dalam kamar?"

   "Maksudmu? Aku menemukan hal yang janggal seperti apa? Aku melihat hantu, begitu?" 

   "Bukan. Eummm, apa ya kira-kira...?" Sam serupa bingung oleh pertanyaannya sendiri.

   "Ah, iya..." Widya teringat sesuatu, "...sepengalamanku tidur di hotel mewah dan mahal di mana pun, belum pernah aku temui seorang pelayan kamar hotel berperawakan tinggi tegap selayaknya seorang bodyguard? Sedang di hotel JWM itu, tak lama setelah Mr. Ben meninggalkanku seorang diri, ada seorang seorang pelayan kamar mengetuk pintu untuk keperluan mengganti semua minuman kemasan yang ada di lemari pendingin di dalam kamar. Sesuatu yang tak biasa aku temui di hotel bintang lima manapun. Apakah itu tergolong sesuatu yang janggal menurutmu, Sam?"

   "Kamu mempersilahkannya?"

   "Tentu saja. Aku sendiri  dimintanya mengeluarkan semua minuman kemasan dari dalam lemari pendingin dan memasukkan pengganti yang dibawanya. Dia bilang, itu bagian dari standar pelayanan hotelnya."

   Seketika Sam menurunkan kecepatan Landcruser dan beralih dari lajur cepat ke lajur lambat.

   "Ada apa lagi?" Widya mengira Sam hendak berhenti.

   "Apakah menurutmu tidak aneh? Pihak hotel melakukan pergantian isi lemari pendingin di saat kamar sudah dihuni tamunya? Mustinya setiap kamar hotel berbintang lima, segala apa yang menjadi fasilitas dalam kamar, sudah rapih disiapkan segala sesuatunya? Bukan begitu?" Tanya Sam seraya melajukan Landcruser lambat sekali.

   "Setahuku, begitu?"

   "Adakah kemungkinan itu atas permintaan Mr. Ben sendiri selaku tamu hotel?"

   "Itu aku tidak tahu?"

   "Apakah jenis semua minuman kemasan yang kamu keluarkan dari lemari pendingin, diganti dengan jenis yang sama?"

   "Ya. Semua diganti dengan jenis dan jumlah yang sama."

   "Kamu melihat ada sesuatu yang diminum Mr. Ben, dari lemari pendingin?" Kian lama pertanyaan Sam seperti sedang memeriksa Widya.

   Widya mengingat-ingat, dan, "Di hadapan Mr. Ben di atas meja, aku melihat sebuah Beer kemasan kaleng ber-Alkohol rendah. Aku yakin itu bekas Mr. Ben. Karena aku tidak memimum apapun selain air mineral selama ditinggal Mr. Ben."

   "Beer?"

   "Ya. Sebelum keluar kamar aku mengambil gambar Mr. Ben dari beberapa sudut menggunakan kamera ponselku. Kemasan kaleng Beer itu pasti tertangkap kamera ponselku. Kamu mau melihatnya, Sam?"

   "Eummm, ya. Aku harus melihatnya, tapi tidak sekarang. Baguslah kamu berinisiatif mengambil gambar posisi terakhir Mr. Ben. Aku mulai melihat adanya beberapa kejanggalan dari pelayanan hotel itu."

   "Apa itu?"

   "Nanti kita mendalaminya bersama-sama, Widya. Aku tak bisa sepenuhnya fokus mengemudi sembari membahas masalah berat seperti ini," Sam kembali memacu Landcruser beralih kembali ke lajur cepat di jalur kanan.

   "Kalau membahas hal yang ringan? Bagaimana?" Usul Widya mengajak Sam bercanda.

   "Boleh. Ajaklah aku membincangkan apa saja yang ringan-ringan agar aku tak diserang kantuk. Dari semalam mataku belum terpejam sama sekali."

   Widya menimbang sejenak, kemudian, "Membincangkan mimpiku tadi, bagaimana?" 

   "Rupanya tadi kamu benar-benar bermimpi dalam perjalanan?"

   Widya terkekeh tersipu, "Ya. Aku bermimpi, tadi."

   "Mimpi buruk? Tubuhmu sempat seperti kejang-kejang, tadi?"

   "Aku nyaris tenggelam diseret ombak dalam mimpiku. Tapi sebelum itu, mimpiku indah betul."

   "Mimpi apa?" Sam penasaran.

   Widya segera mengisahkan mimpinya dari awal hingga terjaga setelah dibangunkan oleh Sam.

   Menit kemudian seusai Widya berkisah, Sam tertawa lepas.

   "Oh, tidak, Sam. Tolong jangan tertawakan mimpiku?" Widya menutup muka dengan tas wanitanya.

   "Kamu percaya akan pengakuanku? Seperti dalam mimpimu?" Tanya Sam disela tawa.

   "Soal kebutuhan saluran biologismu?"

   "Hu-um."

   "Andaipun benar, apa salahnya? Apakah kamu memungkirinya, Sam?"

   "Tidak. Aku tidak suka munafik atas hidupku sendiri. Ya, begitulah aku. Seperti pengakuanku dalam mimpimu. Aku lelaki normal. Tapi aku bukan lelaki yang kuat menahan desakkan hasrat biologisku dalam waktu tertentu," Sam blak-blakan tanpa perlu menutupi dari Widya.

   "Berapa kali dalam sebulan?" Disertai tawa, Widya menggoda Sam.

   "Eummm, seingatku, paling cepat, sebulan sekali aku menyalurkan hasrat biologisku. Itu pun jika aku tidak sedang disibukan oleh pekerjaan. Bila sedang banyak pekerjaan, malah hasrat itu agak terlupakan," terang Sam belum juga berhenti tertawa.

   "Betul-kah?" Widya turut terkekeh.

   "Menurut para ahli juga begitu, bukan? Kesibukan dan tekanan pekerjaan dapat menurunkan hasrat seksual seseorang?"

   "Hmmm, ya, konon demikian adanya?"

   "Bagaimana denganmu sendiri? Benarkah sama halnya pengakuanmu padaku dalam mimpimu?" Sam berhenti tertawa berharap pertanyaannya tidak menyinggung Widya.

   "Seperti menurut para ahli juga, sepertinya apa yang aku alami, sama hal-nya dengan wanita kebanyakan? Wanita agak kesulitan melampiaskan hasrat seksualnya ke sembarang laki-laki. Terlebih, aku selalu menerapkan dua sarat ke semua lelaki yang membutuhkan aku."

   "Dua sarat? apa, itu?"

   "Sebelum membahas berapa aku minta dibayar, untuk berapa hari, mereka harus penuhi dua saratku. Pertama; aku tidak bisa melayani ciuman bibir. Kedua; mereka wajib menggunakan kondom. Bila dua sarat itu mereka keberatan, sebesar apapun nilai bayaran yang akan aku terima, aku memilih tidak."

   "Begitu?"

   "Begitulah aturan main-ku."

   "Tapi benarkah wanita lebih kuat bertahan dari desakkan hasrat biologisnya?"

   "Mungkin? Jika yang kamu tanyakan adalah: menahan diri ketika tak mendapat kesempatan. Lain soal kalau wanita terlanjur dekat dengan lelaki yang disukai, lalu bertemu kesempatan bercinta, aku tak yakin wanita itu masih kuat pertahanannya?" Jawab Widya seolah tak perlu lagi menjaga batas-batas pokok perbincangan dengan Sam.

   "Hmmm, begitu, rupanya?"

   "Aku kira lelaki pun sama, Sam? Apakah kamu tidak dapat membedakan kenikmatan bercinta dengan kekasihmu dulu, dibandingkan berhubungan intim dengan wanita penghibur sepertiku?" Dalam pertanyaannya, batin Widya merasakan tersayat oleh perkataannya sendiri.

   "Sepertinya...,ya, ada semacam kenikmatan yang berbeda. Mungkin pengaruh emosi yang tidak didasari rasa saling mencintai, membuahkan kenikmatan yang hambar?" Suara Sam menggumam terkenang masa lalu ketika memiliki kekasih.

   "Berapa lama lagi perjalanan kita untuk sampai ke Pangandaran, Sam?" Alih Widya, ia tahu Sam terungkit luka lamanya. Terbersit dalam khayal Widya hendak mengobati luka hati Sam dengan cara mempersembahkan segenap perhatiannya untuk Sam.

   "Sekeluarnya dari gerbang Tol Cileunyi di depan itu, sekitar enam-tujuh jam lagi kita sampai Pangandaran."

   "Enam-tujuh jam lagi? Kalau perjalanan tidak bertemu kemacetan?"

   "Ya. Semoga perjalanan lancar saja."

   "Kamu tidak capek, Sam? Aku bisa diandalkan kalau mau aku gantikan mengemudi?"

   "Tidak perlu. Terima kasih."

   "Tapi matamu nampak sekali kelelahan, Sam?"

   "Kita akan istirahat bila aku memang sudah kepayahan."

   "Baiklah. Asal jangan kamu paksakan diri, Sam. Aku tak ingin celaka gara-gara kantukmu tak dapat kamu kendalikan."

   "Jangan khawatir. Bila aku kepayahan, aku akan singgah di mana saja bertemu hotel yang kita lewati, nanti."

   Dan Landcruser baru saja melewati pintu keluar gerbang Tol Cileunyi. Kini Sam mengarahkan kendaraannya ke arah kota Tasikmalaya, kemudian akan melintasi kota Ciamis, kota Banjar, dan beberapa kota kecamatan lainnya sebelum tiba di Pangandaran yang terletak di ujung tenggara wilayah Jawa Barat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status