Setelah merasa cukup beristirahat di Race Area Padalarang, Sam kembali memacu Landcrusernya melaju di Jalan Tol arah Cileunyi. Di sebelah Sam, Widya nampak segar setelah mandi dan sarapan, namun begitu keceriaan tak begitu kentara di wajah Widya. Widya kian menyadari dirinya kini sedang dalam pelarian dari praduga pembunuhan meskipun ia bukan pelakunya.
Widya tidak tahu sejauh mana Sam akan mampu membantu-melindungi dirinya sedang Sam sendiri besar kemungkinan akan sama seperti dirinya sebagai orang yang paling dicari setelah kematian Mr. Ben diketahui Polisi.
"Sam..!" Widya berkata lirih.
"Ya?"
"Tubuhmu tidak terasa lengket tanpa mandi pagi hari?"
"Perjalanan masih jauh. Aku bisa diserang kantuk kalau tubuhku merasa segar setelah mandi."
"Ini sudah pukul sembilan. Adakah kemungkinan pihak hotel sudah mengetahui keadaan Mr. Ben?" Alih Widya.
"Sepertinya, sudah."
"Perlukah aku cari berita di portal berita daring?" Usul Widya seraya mengeluarkan ponsel dari tas wanita di pangkuannya.
"Jangan!" Sergah Sam menoleh cepat ke Widya tanpa mengurangi fokus pada kemudi
"Kenapa? Jaman sekarang, dalam hitungan menit saja suatu kejadian di ujung dunia dapat tersebar ke belahan dunia lainnya. Siapa tahu kita menemukan pemberitaan Mr. Ben?"
"Kamu akan merasa lebih tertekan jika menemukan pemberitaan kematian Mr. Ben."
"Kamu pikir sekarang aku sedang baik-baik saja, Sam?" Widya mendelik.
"Setidaknya kamu belum tahu sudah sejauh mana keberadaan Mr. Ben diketahui Polisi, dan siapa saja nama-nama yang disebut Polisi yang menurut mereka patut dicurigai. Orang-orang terdekat korban pembunuhan akan jadi yang pertama dimintai keterangan oleh Polisi. Itu sudah jadi teori baku investigasi hukum. Sedangkan aku dan kamu adalah yang sangat mungkin jadi sasaran pertama yang akan dimintai keterangan oleh Polisi. Kita berdua adalah orang terakhir yang berinteraksi secara dekat dengan Mr. Ben, sebelum kematiannya."
"Sial betul aku menerima pekerjaan dari orang itu!" Umpat Widya, "aku terlalu semangat tergiur oleh sejumlah uang yang masuk rekeningku tanpa aku tahu siapa orang yang membayarku untuk menemani Mr. Ben? Andai tahu bakal begini jadinya, tak mungkin aku terima pekerjaan darinya. Aku tak peduli dengan angka besar yang menambah saldo rekeningku dari orang yang tak aku ketahui wujudnya."
"Bagaimana awalnya orang itu dapat menghubungimu?"
"Dia mengaku mendapatkan nomorku dari Tyo."
"Dari Tyo?"
"Ya."
"Selalu begitu?"
"Maksudmu?"
"Setiap ada orang yang memerlukanmu melalui Tyo, Tyo memberikan nomormu pada mereka? Tyo tidak kamu beri kepercayaan untuk bernegosiasi?"
Widya menggeleng, "Tyo tidak mau dilibatkan dengan urusan nogesiasi antara aku dengan siapapun yang memerlukan jasaku. Dan tidak semua orang yang memerlukan aku, aksesnya selalu lewat Tyo. Jikapun ada yang melalui relasi Tyo, Tyo lebih suka memberikan nomorku kepada relasinya, dan Tyo cukup senang menerima fee dariku serta ia dilibatkan untuk mengawalku selama aku menemani tamu di hotel."
"Kalau begitu, Tyo pasti tahu atau mengenal orang yang mengisi saldo rekeningmu dan mengutusmu untuk menemani Mr. Ben?"
"Ya. Mustinya Tyo mengenalnya? Perlukah aku menanyakannya pada Tyo?"
"Tentu. Tapi tidak saat ini kita menanyai Tyo."
"Lantas?"
Sam berpikir sejenak, lalu, "Setibanya kamu di hotel, berapa lama kamu sempat berbincang dengan Mr. Ben?"
"Tidak lebih satu jam, aku kira? Setelah itu Mr. Ben pamit keluar kamar dan berpesan padaku, dia akan pulang larut malam."
"Selama kamu sendirian ditinggal Mr. Ben, adakah kamu temui sesuatu yang menurutmu janggal, di dalam kamar?"
"Maksudmu? Aku menemukan hal yang janggal seperti apa? Aku melihat hantu, begitu?"
"Bukan. Eummm, apa ya kira-kira...?" Sam serupa bingung oleh pertanyaannya sendiri.
"Ah, iya..." Widya teringat sesuatu, "...sepengalamanku tidur di hotel mewah dan mahal di mana pun, belum pernah aku temui seorang pelayan kamar hotel berperawakan tinggi tegap selayaknya seorang bodyguard? Sedang di hotel JWM itu, tak lama setelah Mr. Ben meninggalkanku seorang diri, ada seorang seorang pelayan kamar mengetuk pintu untuk keperluan mengganti semua minuman kemasan yang ada di lemari pendingin di dalam kamar. Sesuatu yang tak biasa aku temui di hotel bintang lima manapun. Apakah itu tergolong sesuatu yang janggal menurutmu, Sam?"
"Kamu mempersilahkannya?"
"Tentu saja. Aku sendiri dimintanya mengeluarkan semua minuman kemasan dari dalam lemari pendingin dan memasukkan pengganti yang dibawanya. Dia bilang, itu bagian dari standar pelayanan hotelnya."
Seketika Sam menurunkan kecepatan Landcruser dan beralih dari lajur cepat ke lajur lambat.
"Ada apa lagi?" Widya mengira Sam hendak berhenti.
"Apakah menurutmu tidak aneh? Pihak hotel melakukan pergantian isi lemari pendingin di saat kamar sudah dihuni tamunya? Mustinya setiap kamar hotel berbintang lima, segala apa yang menjadi fasilitas dalam kamar, sudah rapih disiapkan segala sesuatunya? Bukan begitu?" Tanya Sam seraya melajukan Landcruser lambat sekali.
"Setahuku, begitu?"
"Adakah kemungkinan itu atas permintaan Mr. Ben sendiri selaku tamu hotel?"
"Itu aku tidak tahu?"
"Apakah jenis semua minuman kemasan yang kamu keluarkan dari lemari pendingin, diganti dengan jenis yang sama?"
"Ya. Semua diganti dengan jenis dan jumlah yang sama."
"Kamu melihat ada sesuatu yang diminum Mr. Ben, dari lemari pendingin?" Kian lama pertanyaan Sam seperti sedang memeriksa Widya.
Widya mengingat-ingat, dan, "Di hadapan Mr. Ben di atas meja, aku melihat sebuah Beer kemasan kaleng ber-Alkohol rendah. Aku yakin itu bekas Mr. Ben. Karena aku tidak memimum apapun selain air mineral selama ditinggal Mr. Ben."
"Beer?"
"Ya. Sebelum keluar kamar aku mengambil gambar Mr. Ben dari beberapa sudut menggunakan kamera ponselku. Kemasan kaleng Beer itu pasti tertangkap kamera ponselku. Kamu mau melihatnya, Sam?"
"Eummm, ya. Aku harus melihatnya, tapi tidak sekarang. Baguslah kamu berinisiatif mengambil gambar posisi terakhir Mr. Ben. Aku mulai melihat adanya beberapa kejanggalan dari pelayanan hotel itu."
"Apa itu?"
"Nanti kita mendalaminya bersama-sama, Widya. Aku tak bisa sepenuhnya fokus mengemudi sembari membahas masalah berat seperti ini," Sam kembali memacu Landcruser beralih kembali ke lajur cepat di jalur kanan.
"Kalau membahas hal yang ringan? Bagaimana?" Usul Widya mengajak Sam bercanda.
"Boleh. Ajaklah aku membincangkan apa saja yang ringan-ringan agar aku tak diserang kantuk. Dari semalam mataku belum terpejam sama sekali."
Widya menimbang sejenak, kemudian, "Membincangkan mimpiku tadi, bagaimana?"
"Rupanya tadi kamu benar-benar bermimpi dalam perjalanan?"
Widya terkekeh tersipu, "Ya. Aku bermimpi, tadi."
"Mimpi buruk? Tubuhmu sempat seperti kejang-kejang, tadi?"
"Aku nyaris tenggelam diseret ombak dalam mimpiku. Tapi sebelum itu, mimpiku indah betul."
"Mimpi apa?" Sam penasaran.
Widya segera mengisahkan mimpinya dari awal hingga terjaga setelah dibangunkan oleh Sam.
Menit kemudian seusai Widya berkisah, Sam tertawa lepas.
"Oh, tidak, Sam. Tolong jangan tertawakan mimpiku?" Widya menutup muka dengan tas wanitanya.
"Kamu percaya akan pengakuanku? Seperti dalam mimpimu?" Tanya Sam disela tawa.
"Soal kebutuhan saluran biologismu?"
"Hu-um."
"Andaipun benar, apa salahnya? Apakah kamu memungkirinya, Sam?"
"Tidak. Aku tidak suka munafik atas hidupku sendiri. Ya, begitulah aku. Seperti pengakuanku dalam mimpimu. Aku lelaki normal. Tapi aku bukan lelaki yang kuat menahan desakkan hasrat biologisku dalam waktu tertentu," Sam blak-blakan tanpa perlu menutupi dari Widya.
"Berapa kali dalam sebulan?" Disertai tawa, Widya menggoda Sam.
"Eummm, seingatku, paling cepat, sebulan sekali aku menyalurkan hasrat biologisku. Itu pun jika aku tidak sedang disibukan oleh pekerjaan. Bila sedang banyak pekerjaan, malah hasrat itu agak terlupakan," terang Sam belum juga berhenti tertawa.
"Betul-kah?" Widya turut terkekeh.
"Menurut para ahli juga begitu, bukan? Kesibukan dan tekanan pekerjaan dapat menurunkan hasrat seksual seseorang?"
"Hmmm, ya, konon demikian adanya?"
"Bagaimana denganmu sendiri? Benarkah sama halnya pengakuanmu padaku dalam mimpimu?" Sam berhenti tertawa berharap pertanyaannya tidak menyinggung Widya.
"Seperti menurut para ahli juga, sepertinya apa yang aku alami, sama hal-nya dengan wanita kebanyakan? Wanita agak kesulitan melampiaskan hasrat seksualnya ke sembarang laki-laki. Terlebih, aku selalu menerapkan dua sarat ke semua lelaki yang membutuhkan aku."
"Dua sarat? apa, itu?"
"Sebelum membahas berapa aku minta dibayar, untuk berapa hari, mereka harus penuhi dua saratku. Pertama; aku tidak bisa melayani ciuman bibir. Kedua; mereka wajib menggunakan kondom. Bila dua sarat itu mereka keberatan, sebesar apapun nilai bayaran yang akan aku terima, aku memilih tidak."
"Begitu?"
"Begitulah aturan main-ku."
"Tapi benarkah wanita lebih kuat bertahan dari desakkan hasrat biologisnya?"
"Mungkin? Jika yang kamu tanyakan adalah: menahan diri ketika tak mendapat kesempatan. Lain soal kalau wanita terlanjur dekat dengan lelaki yang disukai, lalu bertemu kesempatan bercinta, aku tak yakin wanita itu masih kuat pertahanannya?" Jawab Widya seolah tak perlu lagi menjaga batas-batas pokok perbincangan dengan Sam.
"Hmmm, begitu, rupanya?"
"Aku kira lelaki pun sama, Sam? Apakah kamu tidak dapat membedakan kenikmatan bercinta dengan kekasihmu dulu, dibandingkan berhubungan intim dengan wanita penghibur sepertiku?" Dalam pertanyaannya, batin Widya merasakan tersayat oleh perkataannya sendiri.
"Sepertinya...,ya, ada semacam kenikmatan yang berbeda. Mungkin pengaruh emosi yang tidak didasari rasa saling mencintai, membuahkan kenikmatan yang hambar?" Suara Sam menggumam terkenang masa lalu ketika memiliki kekasih.
"Berapa lama lagi perjalanan kita untuk sampai ke Pangandaran, Sam?" Alih Widya, ia tahu Sam terungkit luka lamanya. Terbersit dalam khayal Widya hendak mengobati luka hati Sam dengan cara mempersembahkan segenap perhatiannya untuk Sam.
"Sekeluarnya dari gerbang Tol Cileunyi di depan itu, sekitar enam-tujuh jam lagi kita sampai Pangandaran."
"Enam-tujuh jam lagi? Kalau perjalanan tidak bertemu kemacetan?"
"Ya. Semoga perjalanan lancar saja."
"Kamu tidak capek, Sam? Aku bisa diandalkan kalau mau aku gantikan mengemudi?"
"Tidak perlu. Terima kasih."
"Tapi matamu nampak sekali kelelahan, Sam?"
"Kita akan istirahat bila aku memang sudah kepayahan."
"Baiklah. Asal jangan kamu paksakan diri, Sam. Aku tak ingin celaka gara-gara kantukmu tak dapat kamu kendalikan."
"Jangan khawatir. Bila aku kepayahan, aku akan singgah di mana saja bertemu hotel yang kita lewati, nanti."
Dan Landcruser baru saja melewati pintu keluar gerbang Tol Cileunyi. Kini Sam mengarahkan kendaraannya ke arah kota Tasikmalaya, kemudian akan melintasi kota Ciamis, kota Banjar, dan beberapa kota kecamatan lainnya sebelum tiba di Pangandaran yang terletak di ujung tenggara wilayah Jawa Barat.
Masuk melalui gerbang Tol Jagorawi, sebuah Minivan hitam meluncur cepat menuju Bandung. Burhan dan Tyo duduk di kursi tengah, satu orang rekan Burhan di kursi depan dan seorang lagi mengemudi. "Burhan, kenapa Bos kalian tidak melapor Polisi saja kalau memang mencurigai Widya pelakunya?" Tanya Tyo, kali ini kepalanya sudah dibebaskan dari kain penutup. "Itu bukan urusanku. Juga bukan urusanmu, Tyo. Aku sendiri tidak tahu kepentingan Bos itu apa mengharuskan aku jangan sampai didahului Polisi menangkap Widya dan Sam? Yang aku tahu, tadi pagi aku turut menyaksikan berita di tv telah ditemukan seorang tamu hotel JWM telah meninggal dunia dalam posisi duduk di kursi di dalam kamarnya. Yang ditemukan meninggal itu tak lain adalah, Mr. Ben. Sedangkan Widya yang menemani Mr. Ben, sudah menghilang," sahut Burhan kini sikapnya pada Tyo lebih bersahabat setelah Tyo menyatakan sikap dirinya bersedia bekerjasama. "Bos-mu mengen
"Sam...!!" Jerit Widya kaget bukan main ketika roda sebelah kiri Landcruser melenceng dari aspal jalan turun ke tanah. Sam turut kaget sekaligus terjaga dari kantuknya oleh jeritan Widya. Sam segera membanting kemudi ke kanan mengembalikan Landcruser ke permukaan aspal jalan. Landcruser kembali melaju sempurna di badan jalan seutuhnya. "Jangan paksakan, Sam! Kamu harus istirahat! Hampir saja mobilmu ini tersungkur ke parit yang cukup dalam." "Sama sekali tidak terasa? Mataku kehilangan fokus sepersekian detik saja, arah mobil ini melenceng jauh?" Sam mengucek sepasang matanya. Sepersekian detik dalam kecepatan tinggi, tentu saja bisa jauh melenceng, Sam. Sini aku gantikan. Atau kita istirahat dulu?" "Kita baru saja memasuki kota Ciamis. Seingatku di depan sana ada hotel. Kita istirahat di sana." "Berapa lama kita sampai hotel itu?" "Sepulu
Menjelang petang Widya terjaga mendahului Sam yang belum nampak tanda-tanda segera bangun dari tidurnya. Akibat tadi malam tidak tidur sama sekali dan harus melakukan perjalanan jauh, ditambah tiga jam lalu usai Bercinta, menjadikan Sam makin terkuras sisa-sisa tenaganya. Widya harus mengulang mandi setelah keringat di tubuhnya menyatu dengan keringat Sam. Ada kelelahan berpadu suka-cita berbaur merubungi perasaan Widya. Sejujurnya Widya masih ragu telah terjadi pertautan asmara yang teramat cepat antara dirinya dengan Sam. Namun begitu Widya berupaya memelihara harapan baik terhadap Sam. Selesai mandi Widya harus mengulang juga mengeringkan rambutnya. Ketika tangannya hendak memungut alat pengering rambut di atas meja, Widya melihat layar ponselnya yang tergeletak di meja yang sama, menyala oleh satu pesan yang masuk. Segera Widya menyambar ponselnya. Widya hampir membuka pesan tetapi pada layar ponsel terlihat adanya jejak panggilan tak te
Sedari dua jam lalu, dengan alasan hendak menemui kolega yang menginap di hotel TP, Tyo izin pada karyawan hotel yang bertugas dan dipersilahkan oleh satuan pengamanan hotel untuk menunggu di lobi hotel dikawal dua orang teman Burhan. Mereka bertiga duduk-duduk tenang menirukan gaya seorang yang sedang mengemban urusan penting dengan tamu hotel yang hendak ditemuinya. Tyo sudah satu jam menunggu Widya yang sudah berjanji hendak menemuinya. Karena menunggu sesuatu yang membosankan, ditambah tubuh kelelahan, baik Tyo dan dua pengawalnya tertidur sejak Tyo menyudahi percakapan terakhir kali dengan Widya per-telepon, antara satu jam lalu. Ketiganya terlelap di kursi masing-masing melingkungi meja, saling berhadapan. Sedang pulas dalam tidurnya, Tyo dipaksa bangun oleh getaran ponsel di saku celananya. Mengutuk dalam hati setelah tahu siapa yang menghubnginya, tak urung Tyo menerima panggilan telepon, "Ya, Burhan?" "Belum
Minivan dipacu melampaui batas kecepatan yang tak sesuai peruntukkannya hingga Tyo dan Burhan sebagai penumpang di kursi belakang yang semula enggan menggunakan sabuk pengaman, terpaksa mereka pasangkan pada tubuhnya guna menghindari berkali-kali guncangan, akibat manufer Pengemudi yang diperintah Burhan agar segera dapat menyusul buruannya. "Apakah kita semakin mendekati mereka, Tyo?" Tanya Burhan pada Tyo yang perhatiannya tak lepas dari layar ponselnya mencermati titik target yang sedang dikejarnya. "Jarak kita dengan mereka kian mendekat. Sekitar sepuluh kilometer lagi selisih mereka dengan kita," sahut Tyo, matanya beralih memantau sekitar jalan yang dilaluinya. "Sepuluh kilometer itu, bukan jarak yang dekat, Tyo!" Gerutu Burhan. "Dibanding awal tadi kita mengejar mereka, selisih jarak dengan mereka lebih dua puluh kilometer, Burhan. Ternyata Pengemudi kita cukup bisa diandalkan dalam peng
Dua jam sejak meninggalkan Ciamis, bersama Landcrusernya kini Sam tengah melintasi daerah Banjarsari. Dari Banjarsari menyisakan satu jam untuk tiba di Pangandaran. Sam mengemudi dalam kecepatan wajar, sesuai permintaan Widya yang ingin menikmati setiap pemandangan sepanjang jalan, bertepatan malam ini merupakan malam purnama. Cahaya Bulan menciptakan gemerlap cahaya pada hamparan pematang sawah, juga menerangi pedesaan serta perbukitan yang sedang dilaluinya. "Kira-kira ke mana Truk itu membawa sepatumu, Sam?" Tanya Widya letak duduknya agak miring setengah menghadap pada Sam. "Entahlah? Dari Ciamis, tadi kita melewati kota Banjar. Kalau dari Banjar, Truk itu terus mengikuti jalan antar provinsi, Truk itu akan memasuki wilayah Jawa Tengah." "Mungkinkah Truk itu terkejar oleh Tyo dan...siapa itu namanya? Pelayan kamar itu?" "Burhan?" "Ya, Itu, Burhan. Jadi kamu mengenalinya, Sam?
"Bodoh, kalian..!" Hardik Dance dari ujung telepon setelah mendengarkan laporan dari Burhan, "...aku tidak mau kalian gagal! Kalian berempat tidak mencari cara lain, Burhan? Menemukan dan membawa mereka ke hadapanku?" "Maaf, Bos. Semua akan selesai kalau Tyo mendengarkan saranku." "Saranmu yang mana yang tak digubris Tyo?" "Andai Tyo menuruti saranku mendatangi kamarnya waktu mereka masih di hotel, mungkin kami telah membawa mereka ke hadapan Bos?" Kilah Burhan mengerling pada Tyo yang duduk di sebelahnya di sebuah rumah makan. "Bukan waktunya saling menyalahkan, Burhan! Sekarang kalian di mana?" Burhan bertanya melalui mata pada Tyo. "Banjar!" sahut Tyo disela menikmati rokok seusai bersantap malam. "Posisi kami di Banjar, Bos," Burhan meneruskan ke Dance. "Banjar?" "Betul, Bos." &n
Widya merasa jauh lebih segar setelah mandi, sisa-sisa tenaganya akibat terkuras bersama Sam karena Bercinta sepanjang malam, kini berangsur pulih tersirat dari wajahnya yang ceria. Andai tidak karena keharusan untuk segera mendatangi suatu tempat bersama Sam, Widya masih betah berleha-leha di atas pembaringan, bergumul bersama Sam di bawah selimut yang sama. Widya memutuskan tetap mengenakan pakaian kemarin sore; celana denim mini, kaos ketat tanpa lengan, dan jaket denim yang akan ia kenakan ketika di luar ruangan. Sudah menjadi ritual khusus bagi perempuan berambut panjang seperti dirinya, Widya memerlukan waktu untuk mengeringkan rambutnya terlebih dahulu sebelum merias wajah alakadarnya. Duduk di tepian tempat tidur menghadap layar televisi, Widya terpancing ingin melihat acara televisi, sekedar mengundang suasana gaduh di dalam kamar agar tidak sepi selagi Sam di kamar mandi. Layar televisi menampilkan stasiun T