Tyo baru saja memasuki kamar tidurnya ketika pintu rumah diketuk kasar dari luar. Tyo kembali keluar kamar dan langsung membuka pintu rumahnya yang sederhana.
"Dimanam Widya!?" Salah seorang dari dua orang lelaki bertubuh tegap menyerobot masuk ketika Tyo membuka pintu.
"Hey, kalian? Burhan, Toni! Ada apa ini...!?" Hardik Tyo tak tahu persoalan, seketika ia terpancing emosinya meski Tyo mengenal dua orang tamunya. Tyo mengenal Burhan dan Toni karena mereka sering bertemu di tempat hiburan malam.
Burhan si penyerobot itu mendorong Tyo hingga terjerembab duduk di kursi tamu, "Kamu sembunyikan di mana, Widya?"
"Kamu ini kenapa, Burhan!?" Tyo benar-benar tak mengerti duduk persoalan.
"Widya menghilang dari hotel, Tyo," hardik Toni turut masuk.
Kini Burhan dan Toni berdiri angkuh di hadapan Tyo yang terduduk dengan wajah kebingungan.
"Kamu belum tahu beritanya, Tyo? Antara pukul tujuh tadi, pihak hotel mendapati Widya tidak ada di kamarnya dan meninggalkan Mr. Ben dalam keadaan tak bernyawa, " Toni mengabarkan mewakili Burhan
"Siapa? Mr. Ben? Tamu yang ditemani Widya, mati?" Tyo kian kebingungan.
Burhan merangsek dan kedua tangannya mencengkram kerah baju Tyo lalu menariknya hingga Tyo dipaksa berdiri, "Jangan pura-pura, Tyo. Kamu adalah pengawal pribadi Widya, bukan? Begitu pengakuanmu waktu kami menghubungimu untuk membantu kami mencarikan wanita penghibur tercantik dan termahal di kota ini untuk Bos kami?"
"Terbukti bukan? Widya sesuai permintaan Bos kalian? Widya tidak mengecewakan Bos kalian berdua?" Tyo berusaha membebaskan diri dari Burhan namun tubuhnya kalah tinggi dan kalah kokoh dari Burhan.
"Pelayanan Widya tak lagi penting sekarang. Beritahu kami di mana Widya, itu jauh lebih penting jika kamu tidak ingin celaka, Tyo!" Ancam Burhan.
"Sudah Burhan! Kita ditugasi Bos untuk membawa Tyo ke hadapannya. Tak perlu Tyo kita periksa di sini. Hey, kalian! bawa dia ke mobil!" Seru Toni memanggil dua orang teman lainnya yang berdiri siaga di luar pintu.
Tyo tak berdaya melawan empat orang yang menyeretnya keluar dari rumahnya sendiri tanpa tahu dirinya hendak di bawa kemana.
Sebuah rumah megah berdiri-menyendiri di lereng bukit tak jauh dari perbatasan Jakarta bagian Selatan dengan Bogor menjadi tujuan Burhan dan Toni membawa Tyo. Berpagar mewah nan tinggi, pekarangan luas ditumbuhi beragam pohon hiasan serta aneka bunga langka yang tak sembarang orang dapat memiliki dan menanamnya di halaman rumah.Tersedia garasi yang mampu menampung setengah lusin mobil, namun kemegahan rumah itu tak dapat dilihat Tyo sebab matanya ditutupi kain hitam sedari ia dibawa masuk ke dalam mobil oleh Burhan cs. Memerlukan perjalanan setengah jam Burhan dan Toni membawa Tyo ke rumah megah itu.
Melewati akses serupa gang kecil di sebelah garasi rumah megah itu menuju taman belakang, Tyo benar-benar tak dapat mengenali di mana keberadaannya kini. Burhan dan Toni membawa Tyo menyelinap ke bagian belakamg rumah, sedang dua kawannya menunggu di mobil.
Burhan dan Toni tiba di bagian belakang rumah yang merupakan taman sekaligus padang golf mini milik pribadi. Di tengah padang golf nampak seorang lelaki paruh baya bertubuh sedang berperut buncit, rambutnya tipis disisir rapih ke belakang mencipta dahinya nampak lebar, ia sedang fokus mematut-matut letak stik golf siap mengayunkannya ditemani gadis belia berpakaian seksi.
Dialah Dance, lelaki dengan separoh darah manado dari ibu dan separohnya dari bapak keturunan china. Semua Pengusaha nasional Indonesia nyaris tak ada yang tidak mengenalnya, terutama para Pengusaha tambang Batu Bara dan Pengusaha perkebunan Kelapa Sawit, tentu tak asing dengan nama Dance sebagai Penguasa ekspor dua bidang usaha komoditi unggulan Indonesia yang mendunia.
Mengetahui kehadiran Burhan dan Toni, Dance menunda ayunan stick golf-nya. Melalui kerlingan matanya Dance mengusir gadis yang mendampinginya agar menjauh. Sang gadis pun pergi memasuki bagian belakang rumah milik Dance yang sebenarnya itu bukan rumah utama yang ditinggali bersama keluarganya. Rumah itu hanya sesekali disinggahi ketika ada acara besar dengan sesama koleganya, atau untuk urusan lain yang tidak perlu diketahui orang lain seperti kali ini.
"Burhan, Toni, siapa yang kalian bawa itu!?" Tegur Dance ketika Burhan dan Toni menahan langkahnya antara sepuluh meter dari tempat Dance berdiri.
"Dia ini orang yang merekomendasikan Widya untuk menemani Mr. Ben, Pak. Orang yang memberikan nomor telepon Widya pada saya, dan saya memberikan nomor Widya pada Bapak, kemarin," Sahut Burhan.
Perlahan Dance melangkah lebih mendekati Burhan dan Toni yang mengapit Tyo. "Burhan, Toni, kalian tidak ingin memperlihatkan wajah orang ini?" Mata Dance memperhatikan kain hitam penutup kepala Tyo.
"Baik, Pak," Burhan segera menarik kain penutup kepala Tyo.
"Siapa namamu, Bung?" Dance mulai memeriksa Tyo dalam sikap angkuh penuh kuasa.Tyo menoleh pada Burhan dan Toni di kanan-kirinya, "Kalian bawa aku ke tempat apa, ini?"
Bugh..! Satu tinju Burhan menohok ulu-hati Tyo, "Jawab pertanyaan Bos kami, Tyo! Di sini kamu tak ada hak bertanya!" Bentak Burhan.
Tyo terhuyung nyaris rubuh andai Burhan dan Toni tidak mengapitnya.
"Oh, Tyo, namamu?" Dengan bagian bawah ujung stick golf, Dance mengangkat dagu Tyo, "di mana Widya? Aku sudah membayar lunas jasanya untuk satu minggu menemani Mr. Ben. Kenapa dia lari dari tanggungjawabnya?" Suara Dance terdengar menggeram.
"Widya memberitahuku, tamu yang ditemaninya di hotel bernama Mr. Ben. Tetapi aku tidak tahu Mr. Ben itu yang mana? Aku hanya mengantarnya sampai lobi hotel. Seperti itulah tugasku dari Widya," Jawab Tyo, nalurinya mengatakan sesuatu yang buruk akan menimpa dirinya.
"Jadi kamu tidak tahu sekarang Widya di mana? Pergi ke mana?" Sambung Dance suaranya lebih menekan.
Tyo terdiam. Ia bimbang hendak berkata jujur. Tyo merasa Widya sedang dalam masalah namun dirinya merasa tak perlu gegabah dengan memberitahukan keberadaan Widya.
"Jangan bohongi aku, Tyo!" Ancam Dance melihat Tyo bimbang. Dance lebih menekankan ujung stick golf ke bawah dagu Tyo.
Kepala Tyo mendongak terdorong stick golf, sedang kedua tangannya dipegang kuat oleh Burhan dan Toni, "Bagaimana aku bisa bicara kalau leherku ditekan begini?" Suara Tyo tercekat.
Dance mengendurkan tekanan stick golfnya, "Bekerjasama denganku, itu akan menguntungkanmu, Tyo."
"Apakah Mr. Ben punya kolega bernama Sam?" Tyo balik bertanya.
Dance terperanjat mendengar nama Sam disebut oleh Tyo. Dance menurunkan stick golf dari leher Tyo dan merangsek lebih mendekatkan wajahnya ke wajah Tyo. "Sam? Kamu baru saja menyebut nama, Sam?" Suara Dance setengah berbisik.
"Kalian mengenalnya?" Lagi, Tyo bertanya.
"Tentu saja. Sam adalah temanku, juga bekas karyawan andalan di perusahaanku. Kamu mengenal Sam, Tyo?"
"Jadi benar? Sam kolega Mr. Ben?" Tyo menuntut penegasan.
"Sesungguhnya kamu terlalu lancang telah banyak bertanya kepadaku, Tyo. Tapi baiklah. Kali ini aku jawab pertanyaanmu; Benar, Sam adalah pengawal pribadi sekaligus orang kepercayaan Mr. Ben. Ada kabar apa dari Sam, Tyo?"
"Tadi aku bertemu dengan Sam. Pagi-pagi buta. Dia bersama Widya. Mereka mengaku sudah berteman lama dan dipertemukan tak sengaja oleh Mr. Ben," jelas Tyo akhirnya ia berterusterang karena belum juga mengerti pangkal persoalan, dan ia menyadari keselamatannya kini sedang terancam.
"Sam bersama Widya?" Tanya Dance reaksinya sulit percaya, "kamu tidak salah bicara, Tyo?"
"Sebenarnya ini ada persoalan apa di antara kalian dengan Widya, Sam, dan Mr. Ben?" Merasa dapat kesempatan bertanya, Tyo manfaatkan keadaan.
Dance terdiam sejenak. Sesuatu yang sulit ia mengerti mendadak muncul mengganggu pikirannya. Kemudian, "di mana kamu bertemu Sam, Tyo? Pukul berapa kamu bertemu Widya terakhir kali?"
"Beritahu dulu aku, apa yang terjadi pada Mr. Ben?" Tuntut Tyo.
"Oh, kamu belum tahu rupanya, Tyo? Pagi tadi telah bermunculan berita di berbagai stasiun tivi dan portal berita daring yang mewartakan kematian misterius Mr. Ben di kamar hotel tempatnya menginap?"
Tak sadar mulut Tyo terbuka dengan ekspresi sulit percaya. Pikirannya langsung tertuju pada Widya. Tyo berharap bukan Widya tertuduh pembunuh Mr. Ben.
"Sekarang, giliranmu memberitahuku, di mana kamu bertemu Sam dan Widya terakhir kali, Tyo?" Tanya Dance suaranya kembali menekan.
Berpikir percuma berbohong, Tyo pun berkisah awal pertemuannya dengan Sam yang membawa Widya keluar dari hotel JWM dan hendak pergi keluar kota.
"Begitu? Sam dan Widya menceritaimu? Mereka berdua mengaku teman semasa sekolah SMP dan SMA?" Dance ragu oleh pengakuan Sam dan Widya kepada Tyo.
"Entah mereka membohongiku atau benar adanya? Yang pasti itulah pengakuan mereka padaku."
"Jadi, kamu dapat mengikuti Widya, karena Widya kamu bekali alat pelacak?"
"Ya. Itu bagian tugasku yang disepakati Widya."
Dance bereaksi senang, wajahnya berubah berseri, "Burhan, Toni, berikan kebebasan untuk Tyo. Lepaskan tangan Tyo agar dia bisa memperlihatkan keberadaan Sam dan Widya di layar ponselnya!"
Burhan dan Toni membebaskan kedua tangan Tyo.
"Lekas pantau keberadaan Sam dan Widya di ponselmu, Tyo!" Titah Dance.
Merasa tak cukup nyali menghadapi Burhan dan Toni, dua pengawal Dance yang bertubuh tinggi besar, dengan terpaksa Tyo mengeluarkan ponselnya kemudian membuka aplikasi untuk memantau kebaradaan Widya. Setelah keberadaan Widya terlacak, Tyo memperlihatkan layar ponselnya ke hadapan Dance.
"Tidak. Aku tidak perlu memeriksanya. Perlihatkan pada pengawalku, Tyo," Dance enggan repot melihat hasil pelacakan.
Burhan merebut ponsel dari tangan Tyo. Dengan teliti Burhan memeriksa titik merah petunjuk keberadaan Widya, "Pergerakannya baru saja keluar dari Race Area Padalarang, Pak," Burhan melaporkan
"Kamu bisa mengejarnya, Burhan?" Dance menugaskan tantangan.
"Siap," Burhan menyanggupi.
"Di mana dua temanmu yang lain, Burhan?"
"Mereka ada di mobil, Pak."
"Kamu ajak dua temanmu mengejar Sam. Tak apa Toni siaga mengawalku seorang diri."
"Baik, Pak."
"Bawa serta Tyo. Dia yang memiliki akses untuk memantau ke mana Widya hendak berlari."
"Siap, Pak."
"Lekaslah kejar mereka! Aku inginkan Sam dan Widya kalian bawa ke hadapanku segera. Jangan sampai Polisi mendahului menemukan dan menangkap mereka," perintah Dance bernada ancaman bila Burhan gagal, maka Burhan akan terima konsekwensinya.
Burhan segera menutup kembali kepala Tyo dengan kain hitam dan bergegas menyeretnya kembali ke dalam mobil. Tyo dibawa turut serta memburu Widya.
Saat menikmati cerutu ditengah pikirannya mencari-cari siasat apa yang harus dilakukannya ketika berhadapan dengan Sam, Dance dikejutkan oleh ketukan dari balik pintu ruangan pribadinya. "Siapa!?" Hardik Dance. "Aku, Tyo." "Ada apa lagi, Tyo!? Suara Dance meninggi. "Ibunya Widya mulai membuat kita repot, Bos." "Masuk!" Tyo masuk dengan tongkatnya yang setia. "Bikin repot bagaimana?" Tanya Dance sebelum Tyo duduk di hadapannya. "Terus-terusan menanyakan anaknya." jawab Tyo setelah duduk. "Menjawab orang dalam gangguan jiwa-pun kamu tak becus mengatasinya, Tyo?" "Justeru karena bukan orang normal, aku sulit memberinya pengertian, berbagai alasan sudah aku sampaikan bahwa anaknya akan segera datang menemuinya." "Kalau kamu bisa membujuknya membawa dia dari tempatnya dirawat, mustinya kamu bisa atasi ini semua, Tyo. Kamu sendirikan yang mengusulkan rencana ini? Demi keinginanmu bertemu Widya?" "Ya. Aku kira tidak bakal serepot ini ibunya rewel karena anaknya tak kunjung datang
Landcruser memasuki pekarangan rumah yang cukup besar terletak di kawasan pemukiman mewah di bilangan Jakarta Timur. Sam mengajak Widya lekas turun ketika ia mematikan mesin Landcruser di muka garasi. Waktu menjelang sore saat mereka tiba setelah menempuh perjalanan jauh. "Aku akan bertemu ibumu, Sam?" Tanya Widya merasa kurang percaya diri harus bertemu dengan orangtua Sam. "Mungkinkah kamu bisa menghindarkan diri dari ibuku jika kamu tinggal sementara di rumahku?" "Aku..." "Ibuku tidak akan membuatmu tak betah sebagai tamuku. Ayolah!" "Itukah ibumu, Sam?" Mata Widya tertuju ke pintu utama rumah yang terbuka dan muncul perempuan paruh baya dengan tampilan sederhana namun nampak berkulit bersih serta wajah ceria menebar aura keramahan. Sam menoleh mengikuti arah pandang Widya, didapatinya ibunya menghampiri melintasi teras rumah yang luas menyambut kedatangan anaknya. "Sam, bersama siapa itu?" Sapa ibu Sam yang oleh tetangga dikenal ibu Sri. "Calon mantu ibu." Sahut Sam sekena
Dance duduk di kursi kerja yang mahal dengan sikap angkuh. Di ruangan pribadi Dance yang dianggapnya ruang kerja itu, Tyo duduk di kursi kerja lainnya yang tak seistimewa kursi Dance. Mereka hanya berdua di ruangan itu duduk berhadapan terbatasi meja. Keduanya baru saja memulai percakapan. "Jadi Tyo, menurutmu bagaimana mengenai kotak itu? kotak yang dibawa Widya?" "Bagaimana, bagaimana maksudnya, Bos?" "Kamu yakin, kotak itu bukan milik Widya yang selalu dibawa ke manapun ia pergi? Apa benar kotak itu diketemukan Sam di gedung aneh itu?" "Dua tahun aku bekerja pada Widya. Belum pernah aku lihat Widya membawa kotak semacam itu? Bentuknya saja tak begitu menarik." "Jadi kamu yakin kotak itu ditemukan Sam dari gedung itu?" Dance mencondongkan tubuh ke muka serta tatapannya menyelidik ke mata Tyo. "Ya." "Burhan dan dua temannya sempat melihat kotak itu?" Tyo mengingat-ingat, "kukira Burhan tidak. Burhan sedang pingsan saat Sam dan Widya keluar dari ruang bawah tanah gedung saat m
Sudah satu jam Sam meninggalkan hotel ketika ponselnya bergetar menerima pesan . Seraya mengemudi Sam perhatikan layar ponselnya dan ia mengenali siapa si pengirim pesan. Awalnya Sam enggan membuka pesan setelah tahu itu pesan dari Dance. Namun Sam terpancing penasaran oleh bentuk pesan bertandakan sebuah gambar yang tidak bisa ia ketahui jika tak membuka pesan Dance. Akhirnya Sam membuka pesan dari Dance. Sam tercenung sesaat setelah melihat gambar di ponselnya menampilkan wajah seorang perempuan yang ditaksirnya seumuran dengan ibunya. Baru setelah membaca beberapa kalimat yang menyertai gambar itu, wajah Sam berubah antara marah dan bingung. Marah karena Dance sudah dianggapnya keterlaluan, bingung bagaimana cara menyampaikan kabar buruk itu kepada Widya yang duduk di sebelahnya tengah memperhatikan jalan di muka untuk membantu kesiagaan Sam yang perhatiannya terbagi antara kemudi dan ponsel. "Ada apa?" Tanya Widya ketika wajah Sam nampak mengeras saat menaruh ponselnya di atas da
Pagi hari di waktu jalanan seluruh sudut Jakarta padat oleh beragam jenis kendaraan mengangkuti orang hendak beraktivitas, di rumahnya yang megah terlindungi oleh pagar tinggi, Dance hendak melepas Tyo untuk menunaikan perintahnya. Di muka garasi rumahnya, Dance dikelilingi empat orang yang sedang mendengarkan arahan darinya. Mereka adalah Burhan, Tyo, dan dua rekan Burhan yang turut menemaninya mengawal Tyo ke Pangandaran. "Camkan oleh kalian semua, aku tidak ingin kalian gagal! Jangan beri aku alasan apa pun jika kalian tak berhasil menunaikan perintahku! Kalian mengerti?!" Dance membagi pandangannya ke semua wajah yang mengelilinginya. "Aku tergantun bagaimana Tyo mengomandoi kami bertiga, Pak." Sahut Burhan, "kan yang tahu siapa dan di mana orangtua Widya, hanya Tyo." "Ya, kalian harus kompak. Tidak saling mengandalkan satu sama lain. Caranya terserah kalian, yang aku inginkan, rencanaku jangan sampai kalian gagalkan!" dengus Dance dengan isyarat tangannya perintahkan Tyo seger
Selepas mandi, Sam rebah telentang di atas pembaringan hanya mengenakan celana pendek, pikirannya mengembara menduga-duga apa sebenarnya maksud Mr. Ben meminta dirinya mendatangi gedung batu Rosline Pananjung hingga dirinya menemukan kotak besi aneh itu? Pikiran Sam juga dijejali keingintahuan akan dokumen yang sempat diperiksanya beberapa menit lalu. Sam berniat melanjutkan pemeriksaannya secara lebih cermat namun tubuhnya menuntut untuk rehat. "Kamu melamun, Sam?" Tanya Widya baru keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk membungkus sebagian tubuhnya. Widya duduk di tepian kasur dekat Sam. Matanya penuh gairah menatap dada Sam yang bidang. Kian lama kebersamaannya dengan Sam, Widya tak lagi merasa canggung terhadap Sam. "Tidak. Hanya memikirkan isi dokumen itu." Dengan matanya Sam melirik kotak di atas meja. "Kamu mau memeriksanya kembali?" selidik Widya berharap jawaban Sam; tidak. "Mauku begitu. Tapi badanku sangat lelah." "Mau aku pijit?" Sam terkekeh, "Dipijit bener