Share

2. Kediaman Mahawira

Author: Manorra Lee
last update Last Updated: 2025-09-16 17:30:35

Rumah besar keluarga Mahawira selalu tampak megah, tetapi bagi Deana, rumah itu terasa seperti penjara yang pintunya sudah dikunci rapat. Ia menelan ludah susah payah ketika kini sudah menghadap pintu besar itu.

"Apa lagi yang kamu pikirkan? Tidak perlu takut. Kita cukup mengatakan kalau rumah kita dalam renovasi dan terpaksa menginap untuk beberapa hari. Bukankah itu bukan sesuatu yang sulit?" Ivan berbisik tajam di telinganya.

Mau tidak mau Deana mengangguk, walau kepalanya terasa berat.

Saat tangan Ivan terulur akan mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu. Ivan langsung memasang wajah sumringah, kontras dengan aura gelap yang tadi ia pancarkan.

"Kakak?" sapanya, tersenyum lebar, terlihat polos seperti anak kecil. Kebetulan sekali kakaknya itu ada di rumah. Jadi, tidak perlu repot-repot mencari alasan agar dia datang.

Kening Agra mengerut, terkejut lantaran tidak biasanya Ivan datang. Namun, bukan hal itu yang membuatnya heran. Pandangannya mengarah pada Deana yang menundukkan kepala dalam-dalam, tanpa sedikit pun menyapa.

"Apa istrimu sedang sakit?" tanyanya kemudian.

Ivan terperanjat beberapa saat, lalu menoleh ke arah sampingnya. "Sayang, apa yang kamu lakukan? Sapa kakak iparmu!"

Ia memegang sisi kanan kiri kepala Deana dengan kasar, lalu mengangkat wajahnya. "Astaga, kenapa kamu malah seperti ini? Cepat sapa kakakku!"

Deana yang terpaksa mendongak pun diliputi rasa malu. Wajahnya memerah, bibirnya bergetar walau hanya sekadar ingin tersenyum.

"Jangan memaksanya. Mungkin dia sedang tidak enak badan." Agra menyadari wajah pucat itu, kemudian melebarkan pintu, mengisyaratkan agar mereka masuk.

"Duduklah di sofa, akan kubuatkan teh hangat untuknya." Ia mengurungkan niatnya untuk keluar, memilih berjalan ke dapur untuk membuat teh.

Ivan mendengus, menatap punggung lebar kakaknya sembari mendudukkan diri di sofa. Lalu pandangannya beralih pada Deana. "Bagaimana kamu ini, memalukan! Kesan pertamanya saat melihatmu datang benar-benar memalukan!" sungutnya.

Dengan perasaan takut, Deana membawa wajah pucatnya untuk melihat Ivan. "Sebaiknya kita batalkan rencana ini, aku benar-benar takut. Aku tidak siap, Ivan," cicitnya.

"Apa yang kamu takutkan? Kamu akan tetap melakukannya dan menebus dosa ini setelah anak kalian lahir!" Ivan mengira Deana masih takut dosa.

Deana menunduk sedih. Bahkan, Ivan seakan lepas tangan akan dosanya dan terang-terangan tidak mengakui anaknya. Hati Deana seperti diremas-remas hingga hancur. Tidak menyangka, ternyata seperti ini pria yang ia nikahi, yang sangat ia cintai.

Tidak lebih dari pria brengsek berhati iblis.

Semua kekesalan dan amarah itu Deana telan mentah-mentah ketika matanya menangkap ibu mertuanya menuruni tangga dan berjalan ke arah mereka.

"Coba lihat siapa yang datang ...." Carla Pawastri tertawa sambil menggelengkan kepala, lalu membawa Ivan ke dalam pelukannya. Menepuk-nepuk punggungnya seraya melirik Deana yang sudah berdiri.

"Ibu," sapa Deana, hendak menyalami Carla, tetapi ia malah duduk di samping Ivan. Mengabaikannya.

Dengan perasaan berat Deana kembali duduk. Tangannya yang terasa dingin mencengkeram erat bagian samping dressnya, berusaha meredam gemuruh di dadanya.

"Bagaimana dengan perkembangan program kehamilan? Apa dia berhasil hamil?" tanya Carla seolah tidak ada Deana di sana.

Bersamaan dengan pertanyaan itu, Agra datang dengan membawa nampan berisi dua gelas teh. Satu diletakkan di depan Deana, sedangkan satu lagi dibiarkan di atas nampan, kemudian ia duduk di sofa seberang Deana.

Wanita itu menundukkan kepala sekilas sebagai ucapan terima kasih.

"Sebentar lagi, Bu. Istriku akan lebih berusaha lagi. Aku sudah menyuruhnya untuk rutin meminum obat tradisional khusus untuk penyubur kandungan."

Ivan tersenyum hangat seolah tidak ada yang salah dengan ucapannya. Tentu saja, diam-diam Deana merasa sakit hati, merasa dijadikan kambing hitam agar wajah Ivan tetap aman. Tanpa sadar tangannya semakin mencengkram erat dress-nya.

“Jamu? Kenapa tidak ke dokter saja?" Agra yang dari tadi menyimak pun akhirnya menyahut.

Wajah Deana langsung terangkat memperhatikan pria itu. Dia tampak elegan dan tampan dengan menyandarkan tubuh di sofa, tangan terlipat di depan dada dan rautnya terlihat santai.

"Kurasa obat dokter hanya akan membuat tubuhnya lemah. Jadi, lebih baik mencari aman. Lagipula, banyak yang berhasil dengan obat tradisional." Ivan tersenyum kecut.

Agra hanya mengangguk. Ia tidak tahu apa maksud senyum Ivan itu, tetapi detik berikutnya adik laki-lakinya itu mendapat simpati dari sang ibu yang menepuk-nepuk lengannya dengan prihatin.

"Sabar ya, Nak. Aku yakin istrimu itu akan cepat hamil. Suruhlah dia untuk menurunkan sedikit berat badan. Terlalu gemuk kadang buat susah hamil," katanya.

"Tidak perlu sampai seperti itu, kalian hanya butuh dokter. Berat badan adik ipar sudah ideal, jangan memaksanya menurunkan berat badan," balas Agra keras, tidak setuju dengan usulan Carla.

Deana tertegun sesaat. Ia tidak menyangka kakak iparnya akan membelanya lagi.

"Ibu ada benarnya juga, Kak." Kemudian Ivan menoleh ke arah Deana, menatap wanita itu dengan lembut, mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang.

"Ibu sudah berpengalaman. Jadi, tidak ada salahnya mendengarkan masukannya. Mulai besok kamu harus menurunkan sedikit berat badan." Suaranya mengalun lembut dan berhasil membuat tubuh Deana lemas.

Mengangguk dan tersenyum tipis. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengikuti alur, walau penghinaan yang dilontarkan dengan halus itu menyakiti hatinya.

"Brengsek kamu Ivan, tega-teganya memperlakukanku seperti ini!" batinnya, menahan amarah.

Tanpa Deana sadari, sepasang mata hangat memperhatikan gerak-geriknya, menyadari ketidaknyamanan yang ia rasakan.

Lantas, pria itu berdeham. "Begini saja, aku akan mencarikan kalian dokter yang hebat dan terpercaya. Kalau ada masalah di antara kalian ... bisa langsung ditangani. Aku yakin adik ipar akan cepat hamil."

"A-ah, kakak tidak perlu repot-repot begitu." Ivan tergagap, tidak menyangka kakaknya yang dingin akan menanggapi permasalahannya dengan serius.

"Tidak repot. Aku melakukannya demi keluarga ini."

"Agra benar, Ivan. Bagaimanapun juga kamu harus cepat-cepat memiliki keturunan." Carla menimpali dengan maksud lain.

Sampai sekarang Agra belum juga memiliki istri, dan sepertinya tidak berniat mencari istri seolah wajah tampannya tidak berguna. Karena itu, keturunan dari Ivan sangat dibutuhkan untuk kelangsungan perusahaan dan keluarga.

Kadang, Carla berpikir bahwa Agra tidak menyukai wanita sebab setiap wanita yang ia kenalkan selalu ditolak mentah-mentah. Namun, ia mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh. Tidak mungkin anak sulungnya menyimpang.

"Baiklah, Bu." Ivan tersenyum lembut, menyembunyikan rasa kesalnya. "Ngomong-ngomong, bolehkah aku dan istriku menginap di sini untuk beberapa hari? Rumahku sedang direnovasi karena ada beberapa kerusakan."

"Tentu saja boleh!" Wajah Carla tampak bahagia. "Deana bisa membantuku mengerjakan pekerjaan rumah nanti."

Deana yang namanya disebut pun merasa terpanggil. Ia menoleh ke arah ibu mertuanya dalam diam, tersenyum kecut. Ternyata ia dibutuhkan hanya untuk dijadikan pembantu?

Mata Ivan mengarah pada Agra, bertanya dengan hati-hati, sedikit ragu, "Apakah kakak juga akan menginap?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   6. Ke Dokter?

    “Kakak ipar …. Jangan lakukan ini, jangan ….” Deana meronta dengan tidak terkendali saat tangan Agra perlahan menyusup ke dalam pakaiannya. Ia membeku begitu tangan hangat itu menyentuh permukaan kulit punggungnya tanpa penghalang.Sebuah lenguhan lolos tanpa sadar. Tangannya justru melingkar di leher Agra, membiarkan bibir pria itu menginvasi dada bagian atasnya. “Apa Ivan bisa memberimu ini, hem? Responmu seperti wanita yang sudah lama tidak disentuh.” Suara Agra rendah dan serak, menggerogoti kewarasannya.Tidak, Ivan tidak bisa memberikan kesenangan yang sama. Sudah lama sekali sejak Ivan mempermainkannya seperti ini. Sejak dituntut untuk memiliki keturunan, Ivan hanya fokus menumpahkan benih tanpa melakukan hal lain, seolah dia hanya menginginkan anak dan tidak peduli akan kepuasan Deana atau dirinya sendiri.“Kenapa tidak menjawab?” Agra mendongak, mengarahkan mata gelap berkabutnya ke wajah Deana yang duduk mengangkang di pangkuan. Tangannya perlahan merambat ke depan tubuh

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   5. Tidak Bisa Menahan Diri

    “Apa yang mengganggu pikiranmu?”Di tengah kegiatan menyantap sashimi, Agra dibuat sangat terganggu dengan gerakan gelisah Deana. Wanita itu tidak berhenti menggoyangkan kaki, dan menjatuhkan sumpit ke mangkok hingga menimbulkan dentingan nyaring.Dengan tatapan polos ia mendongak, bola matanya bergerak cepat seolah sedang mencari alasan. “Tidak ada. Hanya saja ….” Ia melihat ke arah pintu. “Kenapa Ivan lama sekali. Apa aku harus keluar untuk mencarinya?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. Di sisi lain, ia tidak mau disangka melarikan diri dari kecanggungan, walaupun memang itu yang sebenarnya ingin ia lakukan.“Kenapa harus repot-repot, kamu bisa menggunakan ponselmu.” Agra menunjuk ponsel yang tergeletak di atas meja.Mengikuti arah pandang Agra, ragu-ragu Deana mengambil ponsel itu dan mengetikkan sesuatu. Di dalam hati ia menggerutu kesal karena seolah pria itu tidak membiarkannya keluar.Pesan terkirim, Deana meletakkan ponselnya kembali, bersamaan dengan pintu yang dibuka dari l

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   4. Makan Malam

    “Kamu benar-benar menghancurkan segalanya!” Ivan menatap tajam sang istri yang duduk di tepi ranjang, sedang menunduk meremas tangannya yang dingin dan gemetar. “Kamu harus bertanggung jawab!”Dengan takut-takut Deana mengangkat kepalanya, sorot mata tajamnya berembun, bibirnya yang bergetar sedikit terbuka.“Aku sudah bertanggung jawab, mengobatinya dan membantunya bekerja semalaman kalau kamu tahu! Tentu saja kamu tidak tahu, kamu tidak pernah mau tahu apa yang kulakukan!” teriaknya, tertelan bersama saliva yang meluncur kasar di tenggorokan. Ia tidak bisa mengatakannya, ia tidak bisa berteriak seperti itu kepada Ivan.Tiga tahun ini ia selalu bersikap lembut dan baik, sekalipun pria itu telah menyakitinya. Karena ia mencintainya lebih dari apa pun di dunia ini. “Ap-apa yang harus kulakukan?” tanyanya kemudian, dengan terbata. Tenggorokannya mendadak sakit, suaranya keluar dengan kasar seperti memuntahkan kerikil. “Ivan, aku belum siap untuk melakukannya sekarang. Ak-aku butuh w

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   3. Gara-Gara Kopi

    "Apa yang kamu lakukan di sana?" Ivan yang sedang menyelesaikan beberapa pekerjaan tiba-tiba bertanya ketika melihat Deana masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuh di atas ranjang."Aku ingin beristirahat. Memangnya kenapa? Ada yang harus kubantu?" Ia baru saja mencuci piring dan membereskan meja setelah makan malam. Tubuhnya sangat lelah disamping merasa tertekan karena Carla tidak berhenti menyinggungnya soal kehamilan."Kakak ada di mana?" tanya Ivan."Aku melihatnya sedang menerima telpon di ruang tengah, sepertinya dia sedang sibuk," jawab Deana acuh tak acuh. Sejujurnya ia sedang menghindari rencana Ivan dengan mengatakan Agra sedang sibuk, lantaran ia belum siap melakukan sesuatu. Entah kenapa, tatapan kakak iparnya itu membuat jantungnya berdebar-debar."Tck! Mungkin dia sedang bekerja." Ivan menarik napas panjang. "Begini saja. Kamu buatkan dia kopi dan sedikit basa-basi agar nantinya tidak terlalu kaku.”"Tapi, Ivan, aku benar-benar lelah. Besok saja ya, sekarang biark

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   2. Kediaman Mahawira

    Rumah besar keluarga Mahawira selalu tampak megah, tetapi bagi Deana, rumah itu terasa seperti penjara yang pintunya sudah dikunci rapat. Ia menelan ludah susah payah ketika kini sudah menghadap pintu besar itu."Apa lagi yang kamu pikirkan? Tidak perlu takut. Kita cukup mengatakan kalau rumah kita dalam renovasi dan terpaksa menginap untuk beberapa hari. Bukankah itu bukan sesuatu yang sulit?" Ivan berbisik tajam di telinganya.Mau tidak mau Deana mengangguk, walau kepalanya terasa berat.Saat tangan Ivan terulur akan mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu. Ivan langsung memasang wajah sumringah, kontras dengan aura gelap yang tadi ia pancarkan."Kakak?" sapanya, tersenyum lebar, terlihat polos seperti anak kecil. Kebetulan sekali kakaknya itu ada di rumah. Jadi, tidak perlu repot-repot mencari alasan agar dia datang.Kening Agra mengerut, terkejut lantaran tidak biasanya Ivan datang. Namun, bukan hal itu yang membuatnya heran. Pandangannya mengarah pada Deana yang m

  • Meminjam Benih Kakak Ipar   1. Mandul

    “Suami anda tidak bisa menghasilkan keturunan.” Kata-kata itu bergema di telinga Deana Kamanta.Ia duduk kaku di kursi rumah sakit, jemarinya gemetar menggenggam kertas hasil pemeriksaan yang masih hangat. Sedangkan matanya berulang kali membaca baris yang sama, berharap ada kesalahan cetak, berharap dokter keliru. Akan tetapi, tidak. Kata-kata itu tertulis sangat jelas.Infertilitas pria.Suaminya mandul, seperti yang dokter sampaikan.“Memalukan!” Ivan Mahawira, suaminya, bergumam seraya berjalan mondar-mandir di depannya. Sama seperti dirinya, ia juga sangat kecewa.Mendengar itu, lantas Deana mendongak, kemudian berdiri. Ia meraih lengan suaminya, berusaha menenangkannya. Ivan berhenti bergerak ketika Deana berbicara, “Aku tahu ini berat buat kita, tapi kamu harus tahu kalau ini bukan salah siapa-siapa. Ini medis, bukan Aib. Kita bisa coba program bayi tabung, donor sperma atau—” “Diam!” Ivan menoleh, matanya merah menyala dan suaranya menggema di sepanjang koridor. “Jangan seo

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status