LOGIN"Apa yang kamu lakukan di sana?"
Ivan yang sedang menyelesaikan beberapa pekerjaan tiba-tiba bertanya ketika melihat Deana masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuh di atas ranjang. "Aku ingin beristirahat. Memangnya kenapa? Ada yang harus kubantu?" Ia baru saja mencuci piring dan membereskan meja setelah makan malam. Tubuhnya sangat lelah disamping merasa tertekan karena Carla tidak berhenti menyinggungnya soal kehamilan. "Kakak ada di mana?" tanya Ivan. "Aku melihatnya sedang menerima telpon di ruang tengah, sepertinya dia sedang sibuk," jawab Deana acuh tak acuh. Sejujurnya ia sedang menghindari rencana Ivan dengan mengatakan Agra sedang sibuk, lantaran ia belum siap melakukan sesuatu. Entah kenapa, tatapan kakak iparnya itu membuat jantungnya berdebar-debar. "Tck! Mungkin dia sedang bekerja." Ivan menarik napas panjang. "Begini saja. Kamu buatkan dia kopi dan sedikit basa-basi agar nantinya tidak terlalu kaku.” "Tapi, Ivan, aku benar-benar lelah. Besok saja ya, sekarang biarkan aku istirahat." Deana berkata dengan nada memelas. Ia tidak sepenuhnya berbohong. "Kamu membantah? Kita tidak punya banyak waktu untuk terus-terusan tinggal di sini, pun, kesempatan seperti ini tidak datang dua kali!" Wajah Ivan memerah karena amarah, tanpa sadar berkata dengan nada tinggi. Juga, wataknya memang selalu tidak bisa dibantah. Saat tadi ia bertanya apakah Agra akan menginap, pria itu mengangguk. Kesempatan yang sangat langka. Pasalnya, Agra jarang datang ke rumah orang tuanya karena selalu tidak cocok dengan Carla. Mau tidak mau Deana bangkit dan berjalan keluar. Saat melewati ruang tengah, ia masih melihat Agra di sana. Kali ini dia sedang mengetikkan sesuatu di laptop sambil sesekali melihat kertas yang berhamburan di meja. Dengan langkah berat ia menghampirinya. "K-kakak, mau aku buatkan kopi?" tanyanya terbata. Namun, pria itu hanya mengangkat sebelah alisnya. Kemudian Deana buru-buru menjelaskan. "Aku tidak bisa tidur. Jadi, aku akan duduk di sini sambil meminum kopi. Aku akan membuatkan untuk kakak kalau mau," ucapnya cepat. Tatapan Agra melembut saat ia mengangguk. "Kopinya tiga sendok, gulanya setengah sendok." Deana sedikit melebarkan senyumnya, ada rasa lega di sana. Ternyata, tidak begitu menyeramkan seperti yang ia bayangkan, tetapi tetap saja ia merasa gugup. "Baik. Aku buatkan dulu." Langkahnya cepat terkesan terburu-buru saat ia berjalan ke dapur. Di meja dapur ia diam cukup lama untuk menetralkan jantungnya yang berdegup cepat. Setelah merasa sedikit lebih tenang, ia segera membuat dua cangkir kopi untuk dirinya dan Agra, kemudian kembali ke ruang tengah. Deana berjalan pelan, nyaris tidak bergerak karena gugup. Hingga sampai di meja Agra, ia berusaha meletakkan cangkir kopi dengan hati-hati. Satu ia letakkan di tempatnya akan duduk sedangkan satu lagi di samping Agra. Namun, tangannya terlalu bergetar saat akan meletakkan cangkir milik pria itu, hingga .... Akh! Jeritan tertahan meluncur dari bibirnya. Matanya membelalak lebar dengan bibir sedikit terbuka. "Ka-kak, kakak ipar, maafkan aku. Aku tidak sengaja!" Deana meletakkan cangkir kopi yang sudah kosong dengan sembarangan, panik, lalu dengan tergesa mengambil tisu di meja televisi. Spontan tangannya meraih tangan Agra dan membersihkan kopi panas yang tumpah di punggung tangannya. Tadi ia tidak sengaja menumpahkan kopi itu ketika tangan Agra terulur akan mengambilnya. Ia benar-benar gugup karena tidak sengaja melihat waja tampannya. "Tidak apa-apa, biar aku saja." Agra menyela, berusaha menarik tangannya dari genggaman Deana. "Tidak, kakak ipar, aku akan bertanggung jawab." Deana bersikeras. Setelah memastikan punggung tangan Agra kering, ia segera mengambil kotak obat di laci meja televisi. Ia mengambil kapas, cairan alkohol dan salep khusus luka bakar. "Aku bisa melakukannya sendiri." Suara Agra rendah dan dalam, bahkan sedikit serak. Deana mengansumsikan Agra kesakitan dan gugup seperti dirinya. Namun, bagaimanapun juga ia harus bertanggung jawab atas kesalahannya. Deana tidak menggubris. Berjongkok di samping kaki tempat pria itu duduk dan merawat punggung tangan yang langsung memerah dengan telaten. Selama Deana mengerjakan tugasnya, tatapan Agra tidak lepas dari wajah serius itu. "Bagaimana bisa wanita sebaik ini diragukan dan disia-siakan oleh suaminya sendiri," batinnya. "Sudah selesai. Kalau lukanya semakin parah, aku akan membantumu ke dokter." Deana mendongak, seketika matanya bertemu dengan mata teduh penuh kehangatan itu. Namun, berubah gelap seketika saat dia memutus pandangan. Deana menelan ludah kasar, kemudian menunduk. "Ini hanya luka ringan. Tidak perlu memperlakukanku seperti bayi." Agra menarik tangannya yang masih ada di dalam genggaman Deana. Kata-katanya semakin membuat wanita itu merasa bersalah dan malu. Ia segera berdiri. "Kubuatkan kopi yang baru." Sebelum Agra menjawab, ia sudah berjalan cepat menuju dapur, lalu dengan cepat kembali ke ruang tengah dengan secangkir kopi. Kali ini ia meletakkan dengan lebih hati-hati. Kemudian duduk di sofa tempat kopinya yang sudah dingin berada. Sesekali, sambil menyeruput kopi Deana curi-curi pandang ke arah Agra. Pria itu berkali-kali lipat lebih tampan dari Ivan. Tubuhnya tinggi, dadanya bidang, dan di balik piyama lengan panjang itu ia bisa melihat otot lengan yang menonjol. Deana bertanya-tanya, bagaimana bisa pria setampan ini belum memiliki istri. Mustahil tidak ada wanita yang tidak menyukainya. Seandainya ia belum memiliki suami, ia pasti juga akan jatuh cinta padanya. "Daripada melihatku seperti itu, kenapa tidak membantuku mengetik? Bagaimanapun, kamu yang membuat tanganku terluka." Deana mengayunkan kelopak matanya beberapa kali, sedikit menundukkan kepala lantaran rasa panas menjalar di pipi. Malu karena tertangkap basah. "Baik, Kak," ucapnya pelan. Ia berpindah posisi duduk ke samping Agra, duduk di lantai, menghadap ke laptop. Entah sampai jam berapa ia membantu Agra mengerjakan pekerjaannya, karena setelah kembali ke kamar, Ivan sudah tidur lelap dengan memeluk guling. Deana tersenyum kecut. "Bagaimana bisa dia tidur tanpa memelukku," gumamnya. Pagi harinya, semua berjalan seperti biasa. Akan tetapi, kali ini keluarga Mahawira lengkap dengan kehadiran Pramana Adi Mahawira, ayah mertua Deana yang baru pulang dari perjalanan bisnis. "Apakah urusanmu di sana lancar, Ayah?" tanya Ivan, basa-basi, setelah menyelesaikan sarapan. "Ya, Agra bisa membantu dengan baik." Jawaban dengan nada sinis itu berhasil menyentil harga diri Ivan. Akan tetapi, walaupun kesal ia masih bisa menjaga ekspresinya dengan baik. "Kakak memang yang terbaik, selalu bisa diandalkan. Aku akan banyak belajar darinya." Ia melirik Agra yang juga sudah selesai sarapan dan sedang membereskan piringnya. Namun, seketika terkejut melihat punggung tangannya yang merah mengerikan. "Kakak, apa yang terjadi dengan tanganmu?" tanyanya panik. Kontan, semua mata tertuju pada tangan Agra. "Maaf, semalam aku tidak sengaja menumpahkan kopi panas ke tangan kakak ipar. Aku benar-benar tidak sengaja." "Apa yang kamu lakukan!" Pernyataan Deana itu membuat Ivan murka. "Kakak tidak akan bisa melakukan apa pun dengan sempurna kalau tangannya seperti itu. Pasti sangat menyakitkan. Kenapa kamu selalu ceroboh dalam segala hal!" Agra tidak bisa berhubungan dengan Deana untuk sementara waktu jika tangannya masih seperti itu. Tentu, ini menjadi kabar buruk bagi Ivan. Wajahnya langsung suram. Sialan! Ia benar-benar kesal. "Ma-maaf, Ivan. Aku sudah mengobatinya, aku berjanji semua ini tidak akan terjadi lagi," balas Deana lirih, malu sekaligus merasa dipermalukan. "Jangan minta maaf padaku, minta maaflah kepada Kakak!" "Jangan berlebihan, Ivan. Semalam istrimu sudah merawatku dengan baik." Agra melirik Deana sekilas, lalu mendengus pelan menyadari wanita itu hanya diam saja seperti bihun kering. "Jangan membuat malu istrimu di depan Ayah." Ivan menciut, melirik ayahnya yang dingin mengeluarkan aura gelap. Namun, bibirnya masih saja berbicara. "Lain kali jangan bawa kebiasaan cerobohmu ke mana pun!"“Kakak ipar …. Jangan lakukan ini, jangan ….” Deana meronta dengan tidak terkendali saat tangan Agra perlahan menyusup ke dalam pakaiannya. Ia membeku begitu tangan hangat itu menyentuh permukaan kulit punggungnya tanpa penghalang.Sebuah lenguhan lolos tanpa sadar. Tangannya justru melingkar di leher Agra, membiarkan bibir pria itu menginvasi dada bagian atasnya. “Apa Ivan bisa memberimu ini, hem? Responmu seperti wanita yang sudah lama tidak disentuh.” Suara Agra rendah dan serak, menggerogoti kewarasannya.Tidak, Ivan tidak bisa memberikan kesenangan yang sama. Sudah lama sekali sejak Ivan mempermainkannya seperti ini. Sejak dituntut untuk memiliki keturunan, Ivan hanya fokus menumpahkan benih tanpa melakukan hal lain, seolah dia hanya menginginkan anak dan tidak peduli akan kepuasan Deana atau dirinya sendiri.“Kenapa tidak menjawab?” Agra mendongak, mengarahkan mata gelap berkabutnya ke wajah Deana yang duduk mengangkang di pangkuan. Tangannya perlahan merambat ke depan tubuh
“Apa yang mengganggu pikiranmu?”Di tengah kegiatan menyantap sashimi, Agra dibuat sangat terganggu dengan gerakan gelisah Deana. Wanita itu tidak berhenti menggoyangkan kaki, dan menjatuhkan sumpit ke mangkok hingga menimbulkan dentingan nyaring.Dengan tatapan polos ia mendongak, bola matanya bergerak cepat seolah sedang mencari alasan. “Tidak ada. Hanya saja ….” Ia melihat ke arah pintu. “Kenapa Ivan lama sekali. Apa aku harus keluar untuk mencarinya?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. Di sisi lain, ia tidak mau disangka melarikan diri dari kecanggungan, walaupun memang itu yang sebenarnya ingin ia lakukan.“Kenapa harus repot-repot, kamu bisa menggunakan ponselmu.” Agra menunjuk ponsel yang tergeletak di atas meja.Mengikuti arah pandang Agra, ragu-ragu Deana mengambil ponsel itu dan mengetikkan sesuatu. Di dalam hati ia menggerutu kesal karena seolah pria itu tidak membiarkannya keluar.Pesan terkirim, Deana meletakkan ponselnya kembali, bersamaan dengan pintu yang dibuka dari l
“Kamu benar-benar menghancurkan segalanya!” Ivan menatap tajam sang istri yang duduk di tepi ranjang, sedang menunduk meremas tangannya yang dingin dan gemetar. “Kamu harus bertanggung jawab!”Dengan takut-takut Deana mengangkat kepalanya, sorot mata tajamnya berembun, bibirnya yang bergetar sedikit terbuka.“Aku sudah bertanggung jawab, mengobatinya dan membantunya bekerja semalaman kalau kamu tahu! Tentu saja kamu tidak tahu, kamu tidak pernah mau tahu apa yang kulakukan!” teriaknya, tertelan bersama saliva yang meluncur kasar di tenggorokan. Ia tidak bisa mengatakannya, ia tidak bisa berteriak seperti itu kepada Ivan.Tiga tahun ini ia selalu bersikap lembut dan baik, sekalipun pria itu telah menyakitinya. Karena ia mencintainya lebih dari apa pun di dunia ini. “Ap-apa yang harus kulakukan?” tanyanya kemudian, dengan terbata. Tenggorokannya mendadak sakit, suaranya keluar dengan kasar seperti memuntahkan kerikil. “Ivan, aku belum siap untuk melakukannya sekarang. Ak-aku butuh w
"Apa yang kamu lakukan di sana?" Ivan yang sedang menyelesaikan beberapa pekerjaan tiba-tiba bertanya ketika melihat Deana masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuh di atas ranjang."Aku ingin beristirahat. Memangnya kenapa? Ada yang harus kubantu?" Ia baru saja mencuci piring dan membereskan meja setelah makan malam. Tubuhnya sangat lelah disamping merasa tertekan karena Carla tidak berhenti menyinggungnya soal kehamilan."Kakak ada di mana?" tanya Ivan."Aku melihatnya sedang menerima telpon di ruang tengah, sepertinya dia sedang sibuk," jawab Deana acuh tak acuh. Sejujurnya ia sedang menghindari rencana Ivan dengan mengatakan Agra sedang sibuk, lantaran ia belum siap melakukan sesuatu. Entah kenapa, tatapan kakak iparnya itu membuat jantungnya berdebar-debar."Tck! Mungkin dia sedang bekerja." Ivan menarik napas panjang. "Begini saja. Kamu buatkan dia kopi dan sedikit basa-basi agar nantinya tidak terlalu kaku.”"Tapi, Ivan, aku benar-benar lelah. Besok saja ya, sekarang biark
Rumah besar keluarga Mahawira selalu tampak megah, tetapi bagi Deana, rumah itu terasa seperti penjara yang pintunya sudah dikunci rapat. Ia menelan ludah susah payah ketika kini sudah menghadap pintu besar itu."Apa lagi yang kamu pikirkan? Tidak perlu takut. Kita cukup mengatakan kalau rumah kita dalam renovasi dan terpaksa menginap untuk beberapa hari. Bukankah itu bukan sesuatu yang sulit?" Ivan berbisik tajam di telinganya.Mau tidak mau Deana mengangguk, walau kepalanya terasa berat.Saat tangan Ivan terulur akan mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu. Ivan langsung memasang wajah sumringah, kontras dengan aura gelap yang tadi ia pancarkan."Kakak?" sapanya, tersenyum lebar, terlihat polos seperti anak kecil. Kebetulan sekali kakaknya itu ada di rumah. Jadi, tidak perlu repot-repot mencari alasan agar dia datang.Kening Agra mengerut, terkejut lantaran tidak biasanya Ivan datang. Namun, bukan hal itu yang membuatnya heran. Pandangannya mengarah pada Deana yang m
“Suami anda tidak bisa menghasilkan keturunan.” Kata-kata itu bergema di telinga Deana Kamanta.Ia duduk kaku di kursi rumah sakit, jemarinya gemetar menggenggam kertas hasil pemeriksaan yang masih hangat. Sedangkan matanya berulang kali membaca baris yang sama, berharap ada kesalahan cetak, berharap dokter keliru. Akan tetapi, tidak. Kata-kata itu tertulis sangat jelas.Infertilitas pria.Suaminya mandul, seperti yang dokter sampaikan.“Memalukan!” Ivan Mahawira, suaminya, bergumam seraya berjalan mondar-mandir di depannya. Sama seperti dirinya, ia juga sangat kecewa.Mendengar itu, lantas Deana mendongak, kemudian berdiri. Ia meraih lengan suaminya, berusaha menenangkannya. Ivan berhenti bergerak ketika Deana berbicara, “Aku tahu ini berat buat kita, tapi kamu harus tahu kalau ini bukan salah siapa-siapa. Ini medis, bukan Aib. Kita bisa coba program bayi tabung, donor sperma atau—” “Diam!” Ivan menoleh, matanya merah menyala dan suaranya menggema di sepanjang koridor. “Jangan seo







