Share

CHAPTER 4: PUPUS

“Apa kamu bisa mempertemukan saya dengan putranya?”

“Eh? Anda masih mau mencoba membujuknya?” Kini Klara menatapnya dengan tatapan tak percaya.

Produser itu mengangguk dengan antusias. Terlihat dari binar matanya yang memancarkan semangat pantang menyerah.

Berbanding terbalik dengan Klara yang kini terlihat ragu, entah apa yang membuatnya bisa seperti itu.

Wanita bersurai biru navy itu berdeham pelan lalu menggeleng. “Maaf, Mr Wales ... saya tidak bisa melakukannya,” tolaknya kemudian.

“Kenapa?”

“Karena … saya sudah lama tidak menghubunginya,” lanjut wanita itu dengan nada senetral mungkin.

“Hmm … baiklah. Maaf mengganggu waktumu kalau begitu. Selamat malam.”

Usai berkata demikian, produser muda itu langsung beranjak dari kursi dan keluar dari ruangan tersebut.

Tak lama setelah kepergiannya, wanita bersurai biru navy tersebut langsung menghela napas berat sembari menundukan kepalanya sejenak.

Sembari memejamkan matanya, wanita itu bergumam, “Maaf Pak, saya terpaksa berbohong.”

Hubungan apa yang terjalin di antara Klara dan Nathan—putra sulung Mr. Jonathan Hamilton?

.

.

.

Jam berdentang menunjukan pukul sembilan malam, bersamaan dengan Jonathan yang baru saja tiba di kediamannya usai menjenguk Emily di rumah sakit.

“Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Natalie saat melihat ayahnya berjalan masuk ke ruang tengah.

Terdiam sejenak, pria paruh baya itu kemudian memasang senyuman di wajahnya. Sebuah senyum yang bahkan tak terpancar di sorot matanya. Hanya senyum yang dipaksakan.

Sebenarnya Natalie tahu kalau saat ini ayahnya merasa takut dan gelisah. Gadis itu sangat paham akan kebiasaan ayahnya, namun memilih untuk tidak berkomentar apapun.

Ayahnya tidak pernah menunjukan emosinya pada siapapun, termasuk padanya, yang merupakan darah dagingnya sendiri. Bukan karena tidak sayang, melainkan karena beliau memang sudah terbiasa memendam semua masalahnya seorang diri.

Dari mana Natalie tahu hal itu? Dia mengetahuinya dari Emily—sang Ibu. Beliaulah yang memberitahukan semua sisi yang belum pernah Natalie lihat dari ayahnya. Sejak saat itulah, gadis itu mulai berpikir kalau hanya ibunyalah yang mampu menjadi tempat ayahnya bersandar, berkeluh kesah—menunjukan semua emosinya.

Ya, karena hal itu, Natalie jadi tahu seberapa berharga dan spesialnya sosok ibunya bagi sang Ayah. Dan … seberapa besar cinta beliau pada Emily, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

“Ibu baik-baik saja, jangan khawatir,” jawab Jonathan usai terdiam selama beberapa saat.

Menghembuskan napas lega, Natalie membalas, “Syukurlah kalau begitu.”

Namun, dia tidak tahu kalau ayahnya berbohong soal keadaan ibunya yang saat ini cukup memprihatinkan.

.

.

*FLASHBACK: ON*

Beberapa jam sebelumnya.

Seperti biasa, Jonathan selalu menjenguk Emily di rumah sakit untuk mengetahui keadaannya. Namun, saat tiba di depan pintu ruang rawatnya, terdapat beberapa perawat dan seorang dokter sedang memeriksa keadaan istrinya.

Terdengar beberapa percakapan di antara dokter dan para perawat di ruangan tersebut. Mereka mengatakan bila kondisi istrinya sudah cukup mengkhawatirkan dan harus segera diberi tindakan lebih lanjut.

“Apa yang terjadi!? Ada apa dengan istri saya??” seru Jonathan dengan nada panik.

“Maaf, Pak. Tampaknya istri Anda harus segera melakukan transplantasi ginjal,” tegas salah satu dokter, kemudian memberikan instruksi kepada para perawat untuk melakukan penanganan sementara.

“Apa kondisi istri saya sudah begitu parah, Dok?” tanya Jonathan dengan suara bergetar.

Mencoba menenangkannya, sang dokter menjawab, “Begini Pak, istri Anda sudah mengalami beberapa gejala komplikasi. Oleh karenanya, akan lebih baik bila segera melakukan transplantasi ginjal.”

Pernyataan sang dokter terkait keadaan sang istri membuat perasaan takut, cemas dan khawatir kembali meliputi Jonathan.

“Apa … apa transplantasi bisa dilakukan secepatnya, Dok?” tanya Jonathan kemudian, sembari mencoba menekan rasa cemasnya sekeras mungkin.

“Terkait hal itu, kami ada pendonor yang bersedia mendonorkan ginjalnya. Namun, kami harus mengambil sample darah istri Anda terlebih dahulu untuk kami uji antibodinya, apakah sesuai atau tidak dengan ginjal sang pendonor.”

Mendengar hal tersebut, Jonathan langsung memohon dengan sangat pada sang dokter untuk melakukan apapun yang memang harus dilakukan demi kesembuhan sang istri.

“Tapi, ada beberapa hal yang harus Anda dan istri Anda ketahui perihal efek samping dari transplantasi ginjal,” lanjut sang dokter sedikit berhati-hati.

“Efek samping?”

Sang dokter langsung menganggukan kepalanya, kemudian mengajak pria paruh baya itu untuk berbicara lebih detail di dalam ruangannya terkait hal tersebut.

*FLASHBACK: OFF*

.

.

Keesokannya, pada saat jam makan siang. Seperti biasa, Jonathan mengajak putra sulungnya untuk makan siang bersama, namun kali ini di kafe dekat kantornya.

Sembari menyantap makanannya, Jonathan membuka pembicaraan terkait masalah transplantasi ginjal untuk Emily.

“Transplantasi ginjal?” ujar Nathan dengan mata terbelakak.

Jonathan mengangguk lalu melanjutkan, “Iya, tapi dokter yang menangani Ibu bilang; transplantasi tetap tidak menjamin Ibu akan sembuh total.”

“Kenapa begitu?” tanya Nathan dengan alis bertautan.

Jonathan meletakan sendoknya di atas piring, lalu berkata, “Dokter bilang akan ada kemungkinan terjadinya penolakan. Meski ginjalnya cocok dengan Ibu, tapi tidak menjamin akan berfungsi dengan baik dalam tubuh Ibu.”

Usai berkata demikian, dia menghela napas berat.

Kerutan di dahi Nathan semakin dalam usai mendengar pernyataan ayahnya.

“Tapi, kondisi Ibu tidak akan separah ini bila melakukan transplantasi, bukan?” ujarnya kemudian.

Usai menghela napas untuk yang kesekian kalinya, Jonathan membalas, “Iya, itu memang benar. Tapi, Ibu harus tetap menjalani pengobatan rutin untuk mencegah terjadinya penolakan tersebut.”

Seketika timbul secercah harapan dalam diri Nathan perihal kesembuhan Ibu tercintanya.

“Itu artinya masih ada harapan bagi Ibu untuk pulih ‘kan?” tegas Nathan dengan mata berbinar penuh harap.

Membuang pandangannya ke sembarang arah, Jonathan kembali memikirkan perkataan sang dokter. Kedua tangannya terkepal kuat guna menahan gelisah serta rasa khawatirnya yang sudah menjadi-jadi.

“Dokter juga bilang pada Ayah kalau Ibu bisa saja mengalami komplikasi lebih parah di masa mendatang, bila tidak rutin memeriksa keadaannya dan mengikuti anjuran dokter,” ujarnya kemudian dengan suara lirih menyiratkan sebuah kesedihan.

“Itu sama saja dengan mengatakan kalau Ibu harus bergantung pada obat-obatan seumur hidupnya demi bisa bertahan hidup,” lirih pria paruh baya itu lagi.

Pernyataan Jonathan membuat putra sulungnya tertegun sesaat. Kedua maniknya bergetar memancarkan perasaan kaget, khawatir, cemas dan takut secara bersamaan.

Ibunya harus mengkonsumsi obat-obatan seumur hidupnya?

Lalu apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk membuat Emily—istri dan ibu mereka pulih dari penyakitnya?

Tidak ada cara lain selain melakukan transplantasi, bukan?

“Umm … ta—tapi setidaknya masih ada kemungkinan Ibu akan bertahan hidup ‘kan? Asalkan Ibu rutin menjalani anjuran dari dokter, kondisinya akan baik-baik saja ‘kan?”

Benar. Hanya itu yang membuat ibunya dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama.

Kini, Jonathan tidak berkomentar apa-apa. Namun, tak dimungkiri bila memang masih ada kemungkinan bagi Emily untuk sembuh, meski hanya satu persen.

“Kamu benar, Nathan.”

Ya, ia sadar kalau dirinya belum boleh menyerah sekarang, karena apa yang dikatakan oleh putra sulungnya memang benar.

Masih ada harapan.

.

.

.

Keesokan hari saat jam istirahat, Jonathan datang menemui sang dokter yang bertugas merawat Emily untuk membicarakan hal terkait rencana transplantasi ginjal.

Setelah berbincang sejenak, akhirnya mereka berdua sepakat untuk memberitahu Emily akan rencana tersebut.

Setibanya di ruang rawat sang istri, Jonathan beserta sang dokter melihat wanita paruh baya itu sedang beristirahat usai menjalani dialisis.

Pria bersurai pirang itu menatap sejenak wajah sang istri yang tampak pucat, tidak lagi berseri seperti sedia kala.

Hatinya seperti tersayat tiap kali melihat sosok istrinya yang tampak begitu rapuh. Andai waktu bisa dia putar kembali, mungkin dia akan langsung membawa istrinya ke rumah sakit saat pertama kali merasakan gejala.

Dia merasa tak berguna karena telah gagal memperhatikan kesehatan istrinya. Dia telah gagal menjalankan perannya sebagai suami yang baik bagi istrinya.

“Emily?”

Iris mata Jonathan langsung membulat dengan sempurna, memancarkan perasaan takut, gelisah, panik secara bersamaan ketika melihat perubahan pola detak jantung istrinya yang terlihat pada patient monitor di sebelah kirinya.

Sang dokter beserta beberapa perawat langsung memeriksa keadaan Emily yang tiba-tiba saja menunjukan gejala komplikasi.

Terlihat dari patient monitor yang menunjukan perubahan tempo detak jantungnya yang perlahan kian melambat.

Deg deg!

.

.

.

“Emily!!”

To be Continued…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status