"Dimas itu teman aku, Mas... waktu zaman kuliah. Dan aku sempat satu kantor dengannya saat jadi office girl di perusahaan Prayoga Group, itu sebelum aku menikah denganmu." Terang Nayara dengan suara bergetar, matanya menatap Dhirga yang masih berdiri di ambang pintu."Terus kenapa kamu bisa berduaan, Nay!? Di rumah ini lagi!" Nada suara Dhirga meninggi. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Nayara. Ia bukan marah karena cemburu, bukan karena cinta—tetapi karena harga dirinya sebagai suami dipertaruhkan di depan laki-laki lain.Dhirga tahu, sejak awal pernikahan mereka bukan karena cinta. Hanya janji kepada almarhum ayah Nayara yang mengikatnya. Namun, martabatnya sebagai pria dan kepala keluarga Mahendra tak bisa diinjak begitu saja."Aku juga nggak tahu, Mas. Tiba-tiba dia datang ke rumah ini," jawab Nayara pelan, namun dengan nada penuh tekanan. Ia tahu posisinya lemah, tapi ia juga tahu dirinya tak salah.Dhirga mendekat satu langkah, wajahnya keras namun tenang."Ingat, ya, Na
“Pagi, sayang,” suara lembut Clarissa memecah keheningan kamar dengan senyum manis yang menyebalkan.Dhirga membuka matanya perlahan, ekspresinya masih setengah sadar. Ia menguap kecil dan meregangkan tubuh sebelum menjawab pelan, “Iya, pagi juga…”“Kemeja dan jasnya sudah aku siapkan, sekarang kamu mandi dulu, ya,” ucap Clarissa sambil membelai lembut lengan Dhirga.Sementara itu, di dapur, Nayara tengah sibuk menyiapkan sarapan. Walau kondisinya tak begitu kuat, ia tak pernah melewatkan rutinitas ini. Untuk suaminya, ia ingin selalu menjadi yang pertama menyentuh pagi harinya, walaupun suaminya sealu bersikap arogan kepadanya.Dengan tangan gemetar, ia menata hidangan satu per satu di atas meja makan. Nasi gurih pandan dengan taburan kacang mete dan bawang goreng, omelet isi smoked beef dan paprika merah, roti sourdough hangat dengan mentega Eropa, salad buah segar dengan dressing madu lemon, serta jus jeruk asli yang baru diperas. Meja makan itu terlihat seperti hidangan hotel bint
“Cukup! Cukup!” teriak Adinda, membanting sendok ke meja hingga membuat semua orang terdiam.“Dhirga, cepat pergi! Jangan dengarkan ocehan Nayara!” lanjutnya tajam.“Iya, sayang. Ayo, aku antar kamu ke depan,” timpal Clarissa manja sambil meraih tangan Dhirga dan menggenggamnya erat—seolah ingin menandai siapa yang layak di samping Dhirga.“Pelayan!” panggil Adinda dengan nada tinggi.“Iya, Nyonya,” jawab seorang pelayan yang langsung berlari mendekat.“Bereskan semua makanan ini. Buang ke tong sampah. Jangan sisakan satu pun!”“Baik, Nyonya.”Nayara yang masih berdiri dengan wajah tertunduk, hanya bisa menarik napas dalam diam. Ia kembali ke kamarnya sambil memeluk dirinya sendiri, seolah ingin meredam amarah dan kesedihannya yang bercampur jadi satu.Sementara itu, Clarissa menggandeng Dhirga ke depan rumah. Matanya berbinar, senyumnya lebar seperti pemenang perang.“Sayang, bulan madu kita kapan?” tanya Clarissa manja, menyandarkan kepalanya di bahu Dhirga saat mereka berjalan menu
"Iya, Kak. Kayaknya pasti ada yang penting... atau bahkan mungkin masalah," ujar Clarissa pelan, seolah sedang menerka-nerka sesuatu."Masalah apa maksud kamu?" tanya Jeni, alisnya naik penasaran."Mungkin... Nayara""Ah, kalau dia sih adik ipar miskin yang selalu bawa masalah!" potong Jeni sambil tertawa keras. Matanya menyipit, bibirnya sedikit terangkat sinis.Setibanya di rumah keluarga Mahendra, wajah Jeni dan Sintia masih berseri-seri. Tawa mereka memenuhi udara, mencairkan suasana sore itu."Kalian habis dari mana?" tanya Adinda tiba-tiba saat melihat mereka masuk ke ruang tamu."Habis belanja dong, Ma! Ke butik Hermès. Hari ini kita ditraktir Clarissa," sahut Jeni bangga, sambil memamerkan tas barunya dengan semangat seperti anak kecil yang baru mendapat mainan mahal."Wah, belanja kok nggak ajak Mama?" Adinda bersungut manja."Tenang, Ma. Untuk Mama justru yang paling spesial," potong Clarissa dengan senyum liciknya yang tersamarkan oleh nada lembut. Saat Jeni dan Sintia sibu
"Besok pagi ikut denganku ke Puncak, ada acara di villa," kata Dhirga dingin tanpa menatap Nayara."Iya, Mas," jawab Nayara pelan, menunduk. Ia pura-pura tidak terkejut, padahal tadi, dari balik tembok koridor, ia sudah mendengar semua percakapan keluarga Mahendra. Termasuk rencana Leonardo dan kekhawatiran Dhirga akan pertemuan antara dirinya dan Dimas."Dan ingat, Nay! Besok akan ada Dimas. Jangan berani macam-macam, karena aku akan mengawasimu setiap saat," lanjut Dhirga dengan tatapan tajam, nyaris seperti ancaman.Nayara mengangguk patuh. Dengan hati yang berat, ia mulai mengemas beberapa potong pakaian sederhana ke dalam tas jinjing miliknya. Sebenarnya ia enggan ikut, tapi ia tahu perintah Dhirga tak bisa ditawar, apalagi setelah tahu akan ada Dimas di sana.Keesokan paginya, halaman rumah Mahendra sudah ramai oleh anggota keluarga yang bersiap berangkat. Dua mobil besar menunggu di depan. Namun satu sosok belum terlihat."Dhirga, istri pertamamu mana?" tanya Sintia, menoleh ke
Tok tok tok..."Nay," suara Dimas terdengar lembut dari balik pintu, diiringi ketukan pelan.Nayara perlahan bangkit dari duduknya di pinggir ranjang, lalu membuka pintu. "Ada apa, Dim?"Dimas tersenyum kecil. "Kamu lagi sibuk nggak?""Enggak kok. Kenapa?""Biar nggak bosen di kamar, kita lihat-lihat sekitar yuk. Sekalian nikmatin udara dingin Puncak."Ajakan itu membuat Nayara terdiam sejenak. Kata-kata Dhirga seakan kembali terngiang di kepalanya. "Jangan dekat-dekat sama Dimas!" Ia ingin ikut, jujur saja, tetapi hatinya dicekam rasa bersalah. Akhirnya, ia menggeleng pelan."Enggak, Dim. Makasih. Rasanya aku pengin istirahat aja."Raut wajah Dimas langsung berubah. Senyumnya memudar, sorot matanya redup, bibirnya sedikit menegang seperti menahan kecewa. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk singkat, lalu menutup pintu dengan lembut.Nayara kembali duduk di kasur, memandangi langit-langit kamar yang artistik, tirai jendela yang melambai tertiup angin, dan wangi kayu manis
“Paman apa-apaan sih...” Dimas tersipu malu, pipinya bersemu merah, seakan kata-kata pamannya tadi membongkar sesuatu yang selama ini ingin ia simpan rapat-rapat. “Baiklah, Nay, Dim, Paman mau cek dulu persiapan makan malam untuk nanti” ujar Pak Salman dengan senyum hangat lalu meninggalkan mereka berdua di taman. “Baik, Paman,” jawab Dimas sopan. Nayara menoleh ke Dimas, masih menyimpan rasa penasaran. “Maksud Pak Salman tadi apa, Dim? Tentang... menunggu itu?” Dimas terdiam sejenak, matanya berusaha menghindar. “Ah, itu cuma gurauan Paman. Nggak usah dipikirin, Nay,” jawabnya sambil tertawa kecil, meski dalam hatinya bergemuruh hebat. Nayara hanya mengangguk pelan, percaya. Tapi di dadanya muncul rasa yang tak bisa dijelaskan. Malam pun perlahan menyelimuti villa. Di tepi kolam renang, suasana berubah semarak. Para pelayan mondar-mandir menata meja panjang yang dihiasi lilin aroma terapi dan kelopak bunga mawar. Taplak putih gading dibentangkan rapi, dan piring-piring por
Byur!Suara air kolam memecah keheningan malam. Sosok lelaki melompat tanpa pikir panjang, menyusul tubuh Nayara yang sudah hampir tenggelam. Dimas berenang secepat mungkin, tangannya meraih tubuh Nayara yang sudah lemas. Dengan tenaga penuh, ia menyeret Nayara ke tepi kolam."Cepat! Tolong angkat!" seru Dimas.Paman Dimas, yang sudah bersiaga, segera membantu mengangkat tubuh Nayara ke lantai tepi kolam. Nayara tampak tak sadarkan diri, wajahnya pucat, napasnya tak terdengar."Nayara! Nay! Dengar aku!" Dimas langsung melakukan pertolongan pertama. Ia menepuk-nepuk pipinya pelan, namun Nayara tetap tak merespons. Dengan tangan gemetar, ia memiringkan tubuh Nayara, memompa dadanya perlahan—satu, dua, tiga kali. Tak ada respons.Dimas menunduk, melakukan napas buatan. Satu tiupan. Dua tiupan. Tangannya kembali menekan dada Nayara, ritmis namun panik.Saat itu, Dhirga melihat apa yang dilakukan Dimas. Matanya membelalak, dadanya naik turun penuh amarah. Tanpa aba-aba, ia menghampiri dan.
Sesaat setelah Dimas tiba di lobi Rumah Sakit Internasional Prayoga, langkah kakinya tak bisa ditahan lagi. Ia berlari melewati lorong panjang yang sunyi, hanya terdengar derap sepatunya yang tergesa-gesa. Aroma khas antiseptik rumah sakit menusuk hidung, namun Dimas tidak peduli. Tujuannya hanya satu—ruangan tempat Nayara dirawat.Di depan pintu ruang rawat, Dimas berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar. Napasnya memburu."Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Dimas dengan nada cemas.Dokter itu mengangguk pelan sambil membetulkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Tatapannya tenang namun penuh kehati-hatian."Barusan saya periksa, Ibu Nayara sedang beristirahat. Kondisinya cukup stabil untuk saat ini," jawabnya."Apa dia sempat bertanya tentang siapa yang menyelamatkannya?" Dimas menggali lebih jauh, raut wajahnya tegang.Dokter menghela napas ringan, lalu menatap Dimas dalam-dalam."Tadi beliau sempat bicara dengan suster, dan sesuai permintaan Pak Dimas, suster telah menja
“Permisi, Dok.”Suara lembut seorang suster memecah keheningan saat ia mendorong pintu ruangan dokter.“Masuk, Sus,” jawab dokter sambil tetap memandangi layar monitor.Suster itu melangkah masuk, lalu menyerahkan map berwarna biru. “Ini hasil rekam medis pasien setelah operasi, Dok.”“Terima kasih, Sus.” Dokter mengangguk singkat dan menerima map tersebut, kemudian suster itu pamit keluar dengan pelan, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi.Dokter membuka lembar demi lembar hasil pemeriksaan, lalu menoleh ke Dimas yang duduk di depannya dengan wajah cemas dan mata tak berkedip.“Pak Dimas,” ujar dokter sambil menata hasil rekam medis di mejanya, “Saya akan jelaskan kondisi Ibu Nayara saat ini.”Dimas langsung menegakkan tubuhnya. “Iya, Dok. Bagaimana hasilnya?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar.Dokter tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Syukur alhamdulillah, kondisi Ibu Nayara saat ini cukup stabil. Respon tubuhnya terhadap operasi juga sangat baik. Jika tidak ada komplikasi la
Suara monitor berdetak pelan "Tit... tit... tit..." seperti ketukan waktu yang menegangkan.Sudah lebih dari enam jam Dimas duduk terpaku di depan ruang operasi. Wajahnya tegang, mata sembab, dan tangan terus menggenggam erat tas kecil berisi dokumen Nayara. Setiap detik terasa lambat, setiap suara dari dalam ruangan membuat jantungnya melompat. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa dalam hati, berharap Tuhan masih mengizinkan Nayara bertahan dan kembali pulih.Sementara itu, di rumah sakit berbeda, suasana mendadak tegang. Seorang dokter dan beberapa suster berlari tergesa menuju ruang NICU. Alarm kecil berbunyi cepat dan tajam.Dhirga, Jeni, Sintia, Leonardo, dan Adinda sontak berdiri. Tanpa pikir panjang, mereka mengikuti dokter dan perawat, rasa takut menguasai mereka. Jantung Dhirga berdetak cepat. Ia tidak siap menerima kabar buruk.Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan dengan wajah muram. Ia menghampiri Dhirga perlahan."Dok... bagaimana kondisi anak
Tok. Tok.Suara ketukan pintu itu memecah keheningan ruangan kerja Bram yang luas dan minimalis."Permisi, Pak," ujar resepsionis dengan sopan saat membuka pintu."Masuk," jawab Bram tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.Namun, ketika ia melihat dua tamu yang berdiri di ambang pintu, ia segera berdiri dari kursinya."Wisnu!" sapa Bram hangat, menjabat tangan pria berseragam yang kini berdiri di hadapannya.Wisnu tersenyum hormat. "Selamat siang, Pak Bram. Perkenalkan, ini AKP Januar, Kanit yang menangani kasus yang Bapak laporkan.""Saya Januar, Pak," ujar pria berpakaian dinas itu sambil menunduk hormat."Silakan duduk. Kamu boleh kembali," kata Bram kepada resepsionis."Baik, Pak," jawabnya lalu menutup pintu dengan sopan.Bram mempersilakan kedua tamunya duduk di sofa kulit hitam yang terletak di pojok ruangan. Kopi hangat dan air mineral telah tersedia di atas meja kecil di depannya."Bagaimana perkembangan kasus saya, Pak Januar?" tanya Bram dengan nada serius, kedua
"Pak Dimas..." suster berlari tergesa ke arah pria yang tengah berdiri gelisah di lorong rumah sakit. "Ada apa, Sus?" tanya Dimas, wajahnya tampak tegang. "Nayara, Pak..." jawab sang suster, nafasnya terengah. Ia seolah menahan sesuatu yang mendesak untuk dikatakan. "Ada apa dengan Nayara?!" suara Dimas meninggi, matanya menatap tajam penuh kekhawatiran. "Nayara kritis, Pak..." akhirnya suster itu menjawab, suaranya pelan namun cukup menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. Tanpa pikir panjang, Dimas berlari menuju ruang ICU, langkahnya cepat dan mantap. Di belakangnya, Dhirga, Jeni, dan Sintia ikut menyusul. Tepat di depan pintu ICU, mereka berpapasan dengan dokter yang menangani Nayara. "Dok, bagaimana keadaan Nayara?" tanya Dimas, suaranya terdengar putus asa. "Iya, Dok... gimana keadaan istri saya?" sela Dhirga dengan nada dibuat-buat seolah benar-benar peduli. Dokter menarik nafas sejenak, lalu menjawab, "Keadaan Nayara kritis. Kami sedang berusaha semaksimal m
“Jangan ikut campur kamu, Ardi!” bentak Dimas, suaranya menggelegar memantul di sepanjang koridor rumah sakit.Ardi Kusuma Prayoga, seorang direktur utama di Rumah Sakit Internasional Prayoga, melangkah mendekat. Wajahnya datar, tapi matanya menyorotkan ketidaksenangan. Ia adalah adik sepupu Dimas, satu darah, satu garis keturunan, namun hubungan mereka jauh dari kata harmonis. Sejak Dimas dipercaya menggantikan ayahnya sebagai pimpinan Prayoga Group—konglomerasi besar yang menaungi berbagai lini bisnis termasuk rumah sakit ini—api cemburu terus membara di dada Ardi.“Bagaimana aku bisa diam kalau suara kalian terdengar sampai ke dalam?” sahut Ardi tajam. “Kalian pikir tempat ini pasar?”Ia tertawa sinis, nada tawanya seperti ejekan yang ditusuk dengan pisau tajam.“Oh... jadi perempuan yang dirawat di dalam itu istri kamu?” tanyanya sinis pada Dhirga, matanya melirik ke arah ruang VVIP. “Dan kamu, Dimas... kamu benar-benar tak punya malu. Sudah tak ada perempuan lain di dunia ini sam
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Dimas dengan suara dingin namun tegas, saat membuka pintu dari dalam ruangan VVIP tempat Nayara dirawat. Bajunya rapi, wajahnya tegang, dan matanya memerah menahan amarah. Di belakangnya, terlihat tubuh Nayara terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, diselimuti selimut putih dengan infus menggantung di sampingnya."Harusnya aku yang bertanya! Kenapa kamu bawa kabur Nayara tanpa seizinku?!" bentak Dhirga dengan mata melotot, rahangnya mengeras. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Ia benar-benar terbakar emosi.Dimas menutup pintu pelan, lalu berjalan mendekat ke arah Dhirga dengan tatapan yang tak gentar."Bawa kabur? Seharusnya aku yang ambil Nayara dari kamu, Dhirga! Dia lebih pantas menjauh dari kamu!" suaranya meninggi, dan aura protektif terpancar dari sikapnya."Apa maksudmu, hah?!" Dhirga mencengkram kerah jas Dimas, namun Dimas tak mundur. Dengan tenang, ia menarik selembar kertas dari map di tangannya dan menyodorkannya ke waj
“Siap, Pak,” jawab dokter singkat, lalu segera berbalik arah memasuki ruang ICU.Adinda datang tergesa bersama Leonardo. Wajahnya cemas, sorot matanya mencari-cari sosok Dhirga. Begitu melihatnya berdiri di sudut lorong rumah sakit, ia langsung mendekat.“Dhirga,” sapa Adinda pelan, “bagaimana keadaan Clarissa?”Dhirga menoleh, matanya sembab, wajahnya kelelahan. “Clarissa belum stabil, Mah…” suaranya nyaris tak terdengar.“Anakmu sudah lahir belum?” tanya Leonardo.“Sudah, Pah… Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang NICU karena lahir prematur,” jawab Dhirga dengan lirih, berusaha tetap tenang meski jantungnya berkecamuk hebat.Belum sempat mereka berbincang lebih jauh, pintu ruang ICU terbuka lebar. Seorang suster mendorong tandu besar beroda yang membawa inkubator transparan. Di dalamnya, seorang bayi mungil terlelap, tubuhnya dibungkus selimut tipis, dan wajahnya begitu damai—meski tubuhnya sangat kecil dan rapuh.“Itu... cucu kita, Pah,” bisik Adinda, matanya berkaca-kaca.Semua
Dimas Prayoga berdiri di depan ruang donor dengan napas tak beraturan. Matanya langsung menatap tubuh Nayara yang terkulai lemah di atas kursi donor. Ia melangkah cepat masuk ke ruangan. "Suster, ini kenapa Nayara seperti ini?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar. "Beliau baru saja mendonorkan darah untuk pasien yang ada di ruang ICU, Pak. Golongan darahnya sangat langka," jawab suster itu tanpa menoleh, sibuk mencatat. Tanpa banyak bicara, Dimas segera membopong tubuh Nayara keluar dari ruangan. Langkahnya cepat dan mantap. Suster di belakangnya langsung berseru panik. "Pak, mau dibawa ke mana? Pasien belum stabil!" Namun Dimas tak menggubris. Ia membuka pintu mobilnya, meletakkan Nayara dengan hati-hati, lalu tancap gas menuju rumah sakit internasional milik keluarganya. Hujan masih turun, dan jalanan lengang di tengah malam mempercepat lajunya. Sesampainya di rumah sakit, petugas sudah sigap menyambut. Seorang suster datang membawa tandu dorong. "Cepat! Dia kehi