Share

Menaklukkan Dosen Killer
Menaklukkan Dosen Killer
Penulis: Roesaline

1. Tragedi Yang Membekas

Dari jauh Anggi melihat halaman rumahnya dikerumuni warga. Dengan hati penasaran, Anggi mengayuh sepedanya semakin cepat. Sontak Anggi membanting sepeda dan melempar tas sekolahnya dan berlari menghampiri kerumunan.

"Bundaaaa!" teriaknya histeris.

Melihat Rahma yang bersimpuh di tanah dengan rambut yang acak-acakan. Telur busuk membaluri wajah dan tubuh Rahma. Juga beberapa luka karena timpukan batu dari orang-orang yang mengelilinginya. Air mata Rahma mengucur deras di pipinya yang lebam penuh luka. 

"Pergilah, Anggi, cepat!" perintah Rahma berteriak.

"Tidak Bunda, aku harus menolong, Bunda!" teriak Anggi menjawab.

"Ini calon pewarisnya!" teriak salah seorang warga sambil memukul Anggi hingga tersungkur.

"Auh!" teriak Anggi yang tersungkur.

"Anggiiii, cepat pergi!" teriak Rahma lagi  di sela-sela tangisnya.

Anggi dan bundanya saling berpandangan, sakit di tubuh Anggi karena luka tidak seberapa dibanding sakitnya melihat orang yang disayangi menderita penyiksaan seperti ini.

"Pergi, Anggi!" teriak Rahma makin histeris.

"Tidak Bunda!" bantahnya lagi. "Tolong hentikaaaan!" teriak Anggi kepada warga sambil menangis histeris. 

Tiba-tiba salah seorang datang membawa dirigen berisi bensin dan menyiramkannya ke tubuh Rahma.

"Tidaaaaak! Hentikaaaaan!" teriak histeris Anggi.

"Kita musnahkan juga keturunannya, calon pewaris ilmu hitam!" teriak salah seorang sambil menendangi tubuh mungil Anggi.

"Auh!" lagi-lagi Anggi berteriak.

"Anggiiiii cepat pergi!" teriak Rahma dengan marah dan geram karena Anggi tdak menghiraukannya.

Kembali Anggi dan Rahma saling berpandangan, bensin membasahi seluruh tubuh Rahma. Dari rambut yang basah menetes ke mata membuat mata Rahma perlahan terpejam menahan perih. Seorang lelaki berdiri sambil memegangi korek api. Sontak Rahma ketakutan dan tubuhnya gemetar lunglai.

"Ampuuun! Tolong ampuni aku ... aku tidak bersalah! Ampuuun!" rintih Rahma memohon.

Lelaki yang ternyata bukan warga kampung ini, tanpa hati tetap menyalakan koreknya dan melempar ke tubuh mungil dan lemah itu sambil berteriak,

"Rasain mampus lo!"

"Aaaaaagh!" jerit histeris Rahma.

"Bundaaaaa!" sahut Anggi juga histeri.

Sontak Rahma berlarian dengan api yang berkobar di tubuhnya. Api sudah membakar seluruh tubuhnya, tapi Rahma masih berjuang berlarian kesana-kemari mencari pertolongan.  Tetangga dekat Rahma yang tahu benar dia tidak bersalah, hanya tertegun tak berdaya bahkan ada beberapa yang histeris menangisinya.

Bagai bola api yang terbang melayang-layang dan akhirnya terhenti dan roboh. Tubuh Rahma menggelinjang dan akhirnya tak bergerak lagi dengan api yang menyala-nyala semakin membesar.

Anggi memejamkan matanya dengan erat, air matanya mengucur deras. Tak tega menyaksikan penderitaan bundanya tepat di depan matanya ajal dengan tragis menjemputnya. 

"Bundaaaaa ... Bundaaaaa!" jerit tangis Anggi semakin histeris.

"Ini balasan bagi orang yang punya ilmu hitam. Dia hanya bisa dimusnahkan dengan api. Sekarang satu-satunya anaknya kelak juga akan mewarisi ilmu ibunya," ujar salah seorang lagi.

"Bakar saja!" sahut yang lain.

"Bakar ... bakar ... bakar!" teriak sebagian orang serempak.

Anggi sama seperti Rahma bersimpuh di tanah. Diapun dilempari batu tubuhnya. Di sana-sini mengucur darah segar. Beberapa orang mulai menendangi tubuhnya. Anggi mulai putus asa dan pasrah, dia yakin hanya menunggu waktu, dia akan mengalami nasib sama seperti bundanya. 

"Mana bensinnya?" teriak salah seorang.

Semua seperti mimpi, mengalami semua ini tanpa tahu salah dan dosanya. Semua begitu cepat dan tiba-tiba, disaat Anggi pulang sekolah.

Anggi mulai memejamkan matanya dengan erat. Seorang pemuda kota yang dari tadi berdiri dan mengikuti apa yang terjadi, ikut miris menyaksikan kebrutalan warga. Dia berdiri di belakang kerumunan itu. Dengan sekuat tenaga dia mendorong orang-orang yang berdiri di depannya. Sontak kerumuman itu terdorong dan bergelimpangan terjatuh saling menindih. Saat itulah pemuda kota yang bernama Aslan itu menarik tangan Anggi keluar dari himpitan dan tindihan mereka dan membawanya kabur.

Semula warga tidak menyadarinya, mereka mengira Anggi masih tertindih oleh mereka. Dan Aslan segera membungkus tubuh Anggi dengan mantelnya agar tidak dikenali warga. Dengan terus berlari Aslan menggelandang tangan Anggi.

"Aku tidak kuat, tolong!" bisik Anggi lirih terhuyung hendak jatuh pingsan. 

Aslan menggendong Anggi di punggung dan terus berlari. Aslan adalah anak kota baru kelas dua SMA. Dia bersama teman-temannya kamping dan mendirikan tenda di kaki gunung.

Aslan dan Anggi lumayan jauh meninggalkan rumahnya. Mereka berjalan menelusuri jalan setapak yang sepi. Ketakutan dan kekhawatiran Aslan sudah jauh berkurang. Mereka mulai lewat persawahan yang ditanami tebu, sehingga perjalanan semakin aman.

Dret ... Dret ... Dret! Ponsel Aslan bergetar. Aslan menatap layar ponselnya, ternyata Rio yang menelponnya.

"Kamu dimana sih, Aslan?" tanya Rio yang ternyata sedang menunggu di lokasi tadi.

"Rio, temui aku di persawahan tebu paling ujung dekat jalan raya!" pinta Aslan terbata-bata karena ngos-ngosan.

"Bagaimana bisa kamu di situ, Aslan?"

"Cepat jangan banyak tanya!" hardik Aslan menahan gugup.

"Iya iya ...!" jawabnya membentak dan menutup telponnya.

Akhirnya Rio mencari tempat yang ditunjukkan Aslan dan dengan mudah Rio bisa menemukannya.

"Kok tiba-tiba kamu bisa ada di sini sih? Siapa cewek ini?" Rio memberondong dengan pertanyaannya.

"Hust diam! Jangan cerewet .. jangan kepo! Mana kontak motorku?" paksa Aslan.

"Dia kenapa, Aslan? Apakah dia gadis yang dipukuli massa tadi ya?" tanya Rio penasaran sambil mengamati gadis itu. "Tapi dia pingsan, bagaimana kamu membawa motornya?" tanya Rio masih penasaran.

"Rio, bawa kita pergi secepatnya keburu dikejar mereka! Cepat!" perintah Aslan dengan gugup.

"Ayo!" ajak Rio dan segera menstater motornya.

Aslan membantu menaikan tubuh Anggi yang lemah diatas motor. Dan kini tubuh Anggi yang belum sadarkan diri duduk diantara Rio dan Aslan. Kemudian motor melaju dengan kencang  melewati perkebunan teh.

"Memangnya gadis ini mau kamu bawa kemana, Aslan?" tanya Rio berteriak.

"Aku sendiri tidak tahu, yang penting dia harus lari dari massa yang menghakiminya," jawab Aslan asal nyeplos.

"Masak mau kamu bawa ke tenda?" tanyanya lagi.

"Ya enggaklah, gila apa?" sahut Aslan tegas.

"Berhenti!" teriak Aslan.

Aslan melihat ada gubug kosong di tengah-tengah kebun teh. 

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Aslan?" tanya Rio yang penasaran dengan jalan pikiran Aslan.

"Kita sembunyikan dia di sini. Kalau dia sadar nanti, biar dia mengurus dirinya sendiri. Yang penting tugasku menyelamatkan dia dari mereka," ujar Aslan.

"Tapi masak iya dia seorang gadis malam-malam sendirian di sini? Bagaimana kalau ada apa-apa? Sebentar lagi malam, aku saja laki-laki tidak berani, apalagi dia perempuan, keadaan lagi sakit pisan," kata Rio seolah tidak setuju.

Dengan tanpa menjawab pendapat Rio, Aslan membopong tubuh mungil Anggi ke dalam gubug. Hawa dingin menyeruak hingga ke tulang-tulang.

Aslan merebahkan tubuh Anggi dengan pelan. Dia melepas mantel dari tubuh Anggi kemudian menyelimutkannya.

"Ayo, Rio!" ajak Aslan pergi.

"Kamu yakin meninggalkan dia di sini?" tanya Rio ragu.

"Terpaksa Rio," gumamnya lirih.

Dan ketika hendak melangkah tangan Aslan ditahan oleh tangan mungil Anggi. Matanya nanar menatap pilu, dengan air bening yang hampir meleleh.

"Gadis yang malang, didepan matamu mereka membakar hidup-hidup ibumu bahkan dirimu nyaris juga jadi korban. Kini kamu sebatang kara," batin Aslan 

"Jangan tinggalkan aku, aku takut!" desah lirih Anggi.

Aslan dan Rio saling berpandangan, tiba-tiba muncul rasa iba dan belas kasihan yang membuatnya mengurungkan niatnya pergi.

"Rio, kembalilah ke tenda ceritakan apa adanya keadaanku kepada teman-teman!" ujar Aslan kepada Rio.

Dan Rio pun setuju, dengan langkah ragu dia meninggalkan mereka berdua.

Hari merambat begitu cepat, suara binatang malam menambah keheningan yang mencekam sekali. Aslan membuat api unggun kecil di tengah-tengah gubug sebagai penerangan dan penghangat. Anggi tertidur dengan suara rinthan dan mengigau. Dia demam, akhirnya Aslan mengompres kening Anggi dengan sapu tangannya. Anggi menggigil kedinginan dengan rintihan mengigau.

Tanpa disadari tangannya meraih leher Aslan dan ditariknya, sehingga wajahnya tertarik dan bibirnya mematuk bibir Anggi. Sontak Aslan terbelalak kaget, hangatnya nafas dan bibir Aslan membuat Anggi lebih nyaman, sebaliknya juga dengan Aslan dia juga mendapatkan kehangatan itu.

Jantung Aslan berdebar kencang, adrenalin bercintanya berpacu. Dia memberanikan diri untuk melumat bibir ranum merona itu dengan nafsu. Seolah ada sengatan listrik yang merayap hingga ke ubun-ubun.

Apakah yang terjadi dengan Anggi kemudian?

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status