Kini Aslan dan Anggi sudah sah menjadi suami istri. Bagi Aslan maupun Anggi pernikahan yang dilakukannya tadi hanyalah sebatas syarat agar lolos dari tuntutan massa.
Bagi mereka pernikahan tadi belum mempunyai arti yang dalam di dalam kehidupnya. Berbagai tekanan berat belum bisa terhapus dalam ingatannya barang sekejap pun.
Akhirnya kedua temannya pulang dengan naik ojek ke perkemahan. Sedang Aslan mengendarai motor berboncengan dengan Anggi. Sepanjang perjalanannya mereka berdua saling diam tanpa bicara. Mereka berkeliling tanpa tujuan.
Akhirnya Aslan memarkirkan motornya di pinggir telaga.
"Kita harus bicara sebentar, Anggi," ujar Aslan sambil duduk di bangku di pinggir telaga.
"Aku tidak tahu makna pernikahan tadi buat kita. Aku dan kamu masih muda dan masih pelajar. Untuk membina rumah tangga aku masih belum siap. Menurut kamu, aku harus bagaimana, Anggi?" ungkap Aslan sedih.
"Aku harus pulang kemana, Aslan? Aku tidak punya siapa-siapa, aku takut bertemu mereka!" gumamnya sedih matanya berair.
"Aduh, ditanya apa jawabnya apa ... ? Apakah dia stres kali ya?" batin Aslan sambil menatap pilu.
"Aku juga tidak bisa membawa kamu pulang ke kota, Anggi. Bagaimana dengan orang tuaku nanti, dia pasti shock. Tapi aku tidak tega meninggalkan kamu sendiri," gumamnya penuh keraguan.
"Bundaaaaa ...!" teriaknya histeris dan menangis.
Tiba-tiba Aslan memeluk tubuh mungil yang lusuh dengan penuh rasa iba.
"Maafkan aku, Anggi. Seharusnya aku tidak melakukan itu padamu. Tapi ...," katanya terputus.
"Aku ikut, Bunda ...!" teriaknya menangis.
"Tenanglah, Anggi!" hiburnya sambil membelai rambut panjangnya. "Oh ya, kamu disini dulu ya? Aku akan carikan minuman dan makanan buat kamu!" pamit Aslan. "Ingat kamu jangan macam-macam ya!" pesannya.
Entah setan mana yang tiba-tiba merasuki otak Aslan bahkan dia meninggalkannya di pinggir telaga sendirian dalam keadaan menderita. Aslan pergi ke tenda dan berkemas pulang kembali ke kota.
Di sisi lain Anggi menunggu dengan berharap makanan dan minuman yang katanya akan dibelikan untuknya karena sejak kemarin dia belum makan. Tapi yang ditunggu tidak kunjung datang hingga sore hari.
Di bamgku dia menemukan dompet Aslan yang sengaja ditinggal buat Anggi. Bahkan dia meninggalkan juga identitasnya lengkap. Uang sejumlah lima juta sengaja ditinggalkan di dalam dompetnya hingga tidak bisa ditutup bahkan dilipat.
Anggi semakin putus asa, badannya sangat lemah. Dia juga tidak tahu harus pulang kemana? Dalam keputus asaannya Anggi tanpa berpikir panjang lagi terjun ke telaga.
Byur?
"Ada orang tercebur di telaga!" teriak seseorang yang melihat.
"Ada orang bunuh diri!" teriak yang lain lagi.
"Ayo tolongin dia keburu tenggelam!" ajak seorang lelaki kemudian mengayuh perahu menghampirinya.
Ada dua orang di atas perahu dan yang seorang lelaki mencebur masuk telaga menolong Anggi. Baru saja tubuh mungil tak berdaya itu tenggelam tapi pemuda Angga sang pengunjung telaga berhasil meraihnya dan menarik membawanya ke perahu.
Banyak orang di sekitar telaga terperangah. Akhirnya berteriak lega setelah melihat lelaki itu berhasi menolong Anggi.
Anggi sudah banyak menelan air, tergurat di wajahnya kesedihan yang dalam.
Angga mengenalnya, Anggi adalah adik kelasnya di SMA. Teman-teman Angga sering menjodohkanya dengan Anggi karena namanya serasi, juga wajah mereka katanya hampir mirip.
Anggi mulai dibaringkan diatas perahu. Angga menatap Anggi yang sudah tidak bernafas. Dia mulai panik, "Cepat kita ke darat kita bawa dia ke rumah sakit!" pinta Angga kepada pemilik perahu.
"Iya, coba beri dia bantuan pernafasan dulu, Mas!"
Tanpa menjawab Angga memulainya, dua tangannya ditumpangkan di antara buah dadanya dan mulai memompanya. Kemudian dia mulai memberikan nafas dengan menarik dagunya dan menutup hidungnya. Kembali Angga memompa dadanya dan saat dia akan kembali memberi nafas, Anggi menyemburkan air ke wajahnya kemudian terbatuk-batuk.
"Sempurna!" kelakarnya memecah kebisuannya.
"Kenapa kamu menolongku, kenapa?" teriak Anggi menangis.
"Aku kasihan aja pada ikannya, karena harus makan orang kerempeng nggak ada dagingnya. Kamu makan saja sampai kenyang, nanti kalau udah sepi tidak ada orang baru nyebor lagi, ya!" kelakarnya. "Berapa kali pun kamu bunuh diri di situ, selagi banyak orang disekitar telaga pasti tetap akan ditolong," lanjutnya.
"Aku benci ... aku serius!" Anggi masih berteriak.
"Kamu patah hati ya? Pria mana yang bisa membuatmu menangis, kurang ajar dia!" gumamnya masih berkelakar sambil melepas jaketnya dan diselimutkan ke tubuh Anggi yang basah dan kedinginan.
Mereka turun dari perahu menuju mobil Angga yang terparkir tidak jauh.
"Masuklah!" tawar Angga sambil membukakan pintu buat Anggi.
"Aku mau dibawa kemana?" tanya Anggi ragu.
"Yang jelas bukan terbang ke langit tujuh, Anggi. Masuklah kita cari makan dan pakaian buat ganti."
"Aku tidak mau merepotkanmu!" gumam Anggi ketus.
"Tidak Anggi, siapa yang merepotkan aku. Nih pakai uang kamu sendiri," ujar Angga sambil melempar dompet Aslan ke pangkuan Anggi.
"Bagaimana kamu tahu namaku?" tanya Anggi setelah duduk di samping Angga.
"Jangan pura-pura amnesia dong, Anggi," sahut Angga kecewa.
"Tinggal jawab saja kenapa berbelit-belit sih," sahut Anggi.
"Ya, ya ...kayaknya kamu melupakan aku. Mungkin karena wajahku makin tampan kali. Aku kakak kelas kamu Anggi. Saat kamu kelas satu, aku kelas tiga," jelasnya mengingatkan.
"Apakah kamu, Kak Angga yang sering dijodoh-jodohkan sama aku dulu ya?" tanya Anggi seolah tak percaya.
"Tuh udah ingat," sahut Angga.
"Kamu udah pengumuman lulus kan? Rencana melanjutkan kemana?" tanya Angga kepo.
"Kita beli baju di butik itu aja, Kak Angga!" sahut Anggi mengalihkan pembicaraan. Bagaimana melanjutkan kuliah untuk hidup kesehariannya saja belum tahu.
"Kamu yakin? Itu toko biasa lo, bukan baju bermerk maksudnya ...," kata Angga.
"Emang aku gila merk?" sahut Anggi ketus.
Mobil pun berhenti dan Anggi mulai melangkah masuk ke butik dan milih beberapa baju. Anggi sekalian ganti baju karena bajunya yang masih seragam SMA dibungkus jaketnya Aslan.
Angga ikut masuk ke butik dan membayar seluruh belanjaan Anggi.
"Kenapa kamu yang membayar, Kak Angga?" tanya Anggi sedih.
"Tidak apa-apa, Anggi, kayaknya uang di dompetmu itu jimat deh dan kamu harus menyimpannya, iya kan?" kelakar Angga.
Anggi cantik sekali dengan menggunakan gaun warna hijau botol. Angga menatap penuh kekaguman. Dia penasaran dengan apa yang dialami Anggi, kenapa dia ingin mengakhiri hidupnya? "Apakah beban hidup kamu terlalu berat, Angga?" pikir Angga dalam hati.
Akhirnya mereka makan malam bersama di restoran yang tak jauh dari butik.
"Rencananya kamu mau kemana, Anggi? Aku akan antar kamu kemanapun kamu pergi," kata Angga di tengah-tengah makannya.
"Tolong antar aku ke rumahku, hanya mau ambil barang. Setelah itu aku mau cari kos di kota," kata Anggi sedih.
"Sebenarnya kamu ada masalah apa, Anggi? Boleh aku tahu, boleh aku bantu?" tanya Angga dengan lembut.
"Aku belum siap bercerita, Kak Angga," jawab Anggi pelan air matanya bergulir di pipinya yang putih merona.
"Ya sudah aku bersabar menunggumu sampai kamu siap. Sekarang kita pergi?" tanya Angga bernafa mengajak.
"Iya, ayo!" sahut Anggi.
Akhirnya mereka berdua pergi menuju ke rumah Anggi. Butuh lima belas km perjalanan untuk sampai ke sana. Semakin dekat rumah, semakin berdebar hati Anggi. Bayangannya semakin jelas di pelupuk matanya.
"Kamu yakin tidak apa-apa, Anggi?" tanya Angga yang melihat Anggi tampak gelisah.
Tergambar jelas di matanya bagaimana bundanya berlarian ke sana-kemari dengan kobaran api ditubuhnya. Akhirnya menggelepar dan tewas di tempat itu. Rerumputan yang mati mengering bekas terbakar sebagai saksi kesadisan mereka.
"Disitu bundaku meninggal mengenaskan," batinnya.
Tak sadar tangan Anggi mencengkeram lengan Angga menahan takut dan tercekam. Keadaan rumah yang sepi dan gelap semakin membuat tercekam.
"Ini kan rumah kamu? Kenapa sepi dan gelap, Anggi?" tanya Angga penasaran.
Tanpa menjawab, Anggi menarik tangan Angga dan mengajak turun. Anggi menggandeng tangan Angga agar menemaniasuk rumah. Hati Anggi berdebar kencang suasanya begitu mencekam. Anggi menyalakan lampu-lampu di rumahnya.
Spontan seluruh kenangan bersama bundanya muncul di benaknya, lekat di matanya.
"Anggi kamu tinggal di rumah sendirian?" tanya Angga kepo.
"Iya," jawab Anggi asal.
Anggi mengambil koper dan mengemas barang-barang berharganya, termasuk surat-surat penting. Anggi mulai berjalan sambil menderek kopernya. Sesampai di teras ada dua mobil berhenti di halamannya. Delapan orang berpakaian seragam jas hitam datang menghampiri.
Seperti petir menyambar di siang bolong, sontak tubuh mungil Anggi lemas lunglai. Trauma kejadian kemarin terulang lagi.
"Siapa dia?" batin Anggi.
"Ayo ikut kami!" ajak salah satu diantaranya.
"Tidak, siapa kalian?" tanya Anggi berteriak.
"Siapa sih kalian, jangan-jangan kalian salah orang!" teriak Angga.
"Kita tidak salah orang, anda Anggi kan?" salah seorang berkata.
"Tapi siapa kalian?" desak Angga.
"Hei kamu jangan ikut campur!" gertak salah seorang.
"Ayo kita tidak punya waktu?' paksa mereka sambil membopong tubuh mungil Anggi. Salah seorang membawakan tas kopernya.
"Lepaskan! Tolong!' teriak Anggi.
"Lepaskan!" teriak Angga sambil berlari mengejar mereka. Tapi Anggi sudah dibawa masuk ke mobil kemudian mobil pun melaju kencang. Empat orang masih menahan Angga, mereka menghadiahkan beberapa bogem kepada Angga. Membuatnya tersungkur kesakitan. Kemudian empat orang itu masuk mobil dan pergi.
Siapakah komplotan berseragam yang menculik Anggi?
Bersambung ...
.
Dari hasil autopsi ditemukan racun di tubuh jenazah. Racun di masukkan lewat infusnya. Dan dari CCTV rumah sakit memang tampak dua orang mencurigakan. Tapi sayang dia memakai masker dan kaca mata, sehingga sulit dikenali. Akhirnya jenazah Oma Gina di semayamkan di pemakaman keluarga. Mika dan Miko menangis seolah merasakan kesedihan yang mendalam sekalipun mereka belum mengerti benar apa yang terjadi dengan eyang buyutnya. Sakit rasanya kehilangan orang yang Anggi cintai dalam hidupnya untuk kedua kalinya setelah bundanya. "Apakah papa akan pergi meninggalkan aku juga? Aku sekarang tidak punya siapa-siapa, Pa. Apa papa akan pergi kepada istri papa yang sudah menusuk papa dari belakang," Anggi memberondong pertanyaan dengan memekik menangis. "Hiduplah bersama papa di rumah papa, Anggi! Aku akan selalu melindungi kamu dan anak-anakmu!" usul Herlambang. "Papa yakin akan membawa aku dan anak-anak ku ke sarang penyamun sana?" tanyaku ra
"Tunggu sampai aku dan Nadya bisa merebut semua hartanya! Kalau tidak keburu dia bisa menemukan anak kandungnya!" ujar Pratiwi. Dalam video itu Pratiwi sedang berada di sebuah Cafe yang terkenal. Dia terus berbicara, tak lama kemudian datang seorang lelaki dengan ponsel di telinganya. Ternyata dialah lelaki yang sedang berbicara dengan Pratiwi di telepon. Tampak akhirnya Pratiwi terperanjat dan mereka berpelukan mesra. Herlambang terkejut atas keberanian Pratiwi dan Tarmuji melakukan ini di belakangnya. "Kita bertiga bersahabat baik sejak dulu. Ternyata mereka menusukku dari belakang," ujar Herlambang sedih. "Pa, Nadya anak tiri papa kan, anaknya Tante itu?" tanya Anggi menyelidiki. "Iya, Sayang," jawab Herlambang. "Terus lelaki itu sahabatnya papa?" tanya Anggi kepo. "Iya. Tepatnya istri dia temanku sejak kecil," jawab Herlambang. "Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba Nadya memusuhiku di kampus. Aku tidak mengaj
Anggi dan Herlambang sudah sampai di rumah sakit. Dokter masih menangani di ruang tindakan. Anggi dan Herlambang menunggu dengan cemas dan gelisah. "Pa, carikan dokter terbaik buat omaku!" pinta Anggi merajuk manja. "Tentu sayang, kita lakukan yang terbaik buat oma kamu," jawab Herlambang. "Kita menunggu dulu apa kata dokter?" ujar Herlambang menenangkan. Akhirnya dua dokter keluar dengan wajah lelah dan putus asa. "Bagaimana keadaan oma saya, Dokter?" tanya Anggi bergegas menghampiri dokter. "Operasi sudah berhasil tapi keadaan oma terluka parah. Berdoa saja agar beliau bisa melewati masa kritisnya," pesan dokter. "Dokter, tolong selamatkan oma saya, berapapun biayanya kita bayar!" kata Anggi memohon. "Kita sudah berusaha maksimal, Mbak," jawab dokter. "Bagaimana kalau kita membawa mama saya ke luar negeri saja. Dok?" sahut Herlambang. "Tunggu keadaan membaik dulu, Tuan! Kalau sekarang keadaanya belum memungkin
Aslan berusaha mencari biodata dosen-dosen di kampusnya. Dia menemukannya di perpustakaan. Dia mendapati status keduanya, yaitu dosen Anggi dan Angga sama-sama belum menikah. Tempat tinggal juga berbeda. Aslan memfoto dua biodata mereka karena penasaran dengan alamatnya juga. Saat mobil Angga keluar dari kampus sengaja Aslan membuntutinya. Sampai akhirnya Anggi berhenti di rumah mewah berpagar besi yang tinggi. "Angga, nggak usah mampir dulu ya aku lagi nggak mood nih," ujar Anggi sebelum turun dari mobil Angga. "Iya sudah, istirahatlah! Kapan-kapan saja kalau kamu sudah baikan moodnya aku datang ke rumah," jawab Angga. "Maaf ya Angga!" ucap Anggi sedih. "Sudah santai saja, masuklah!" sahut Angga. Akhirnya Angga pamit dan Anggi berjalan dengan lelah masuk ke halaman rumahnya yang sangat luas. "Dia menjadi dosen padahal anak konglomerat. Anehnya dia hanya mengendarai motor saat pergi ke kampus. Siapa orang yang bersamanya?
Anggi seperti biasa melajukan Scoopy kesayangannya dengan kencang karena dia tidak mau terlambat. Dosen killer yang terkenal disiplin dan tepat waktu itu tidak mau menjadi bulan-bulanan mahasiswa gara-gara terlambat. Ada sebuah mobil yang mengikuti dan berusaha memepetnya. Anggi yang mulai terjebak di trotoar dia menghentikan motornya. "Apa-apaan sih, apa mau kalian?" tanya Anggi emosi dengan dua orang lelaki yang keluar dari mobil itu dan menghampirinya. "Jangan berani bicara keras kepada kita, siapa kamu emangnya?" bentak salah satu diantaranya sambil menendang motor Anggi hingga terguling. "Apa urusanmu dengan aku, hah? Bahkan aku tidak mengenalmu, apa salahku? Kamu salah orang kali," hardik Anggi makin emosi. "Jangan bacot, ayo ikut!" ajak lelaki satunya menyeret lengan Anggi. "Lepaskan! Tolooooong!" teriak Anggi. Akhirnya dua lelaki itu menyeret Anggi masuk mobil. Saat salah satu lelaki itu membuka mobilnya, di dalam sedan
Dengan dongkol Anggi melajukan motornya dengan kencang. Sesampai di rumah lagi-lagi dia melihat mobil ayahnya terparkir di halaman. Herlambang bermain dengan Mika dan Miko di halaman rumah. "Mama ... mama ...!" sapa Mika dan Miko berteriak begitu melihat Anggi datang. "Kamu sudah pulang, Putriku," sapa Herlambang. "Iya," jawabnya dingin. "Sayang, apakah kamu tidak ingin membantu nenek di kantor? Di usianya yang sudah tidak kuat lagi, harusnya untuk bersantai malah harus berjuang sendiri. Tidakkah kamu kasihan, Anggi!" tanya Herlambang. "Maaf anda tidak perlu sibuk-sibuk ikut memikirkan hidupku," sahut Anggi ketus. "Sayang, kamu masih membenci ayah? Bagaimana cara ayah minta maaf padamu, apa yang harus ayah lakukan, Nak? Hidup ayah cukup tersiksa dengan keadaan ini. Anak yang kuimpikan ada di depan mataku, tapi aku tidak bisa memeluknya," ungkap Herlambang sedih. "Apa benar aku sekarang bekerja di Universitas milik ayah?" tanya