Share

9. Bertemu Angga

Usia kandungan Anggi sudah menginjak 34 minggu, mulai minggu depan dia sudah mulai cuti melahirkan. Selalu menjadi pusat perhatian mahasiswa  lain karena selalu dikawal bodyguard dengan mobil mewahnya.

Anggi turun dari mobilnya, seorang mahasiswa dengan motor balapnya berwarna merah melaju di depannya. Karena menghindari Anggi, tak sengaja motor itu masuk dalam lubang yang berisi genangan air hujan. Sontak air itu muncrat dengan hebatnya kearah Anggi maupun mobilnya.

"Auh!" jerit Anggi spontan.

Motor itupun berhenti, dua bodyguard menghampiri Angga dan menarik krah bajunya bahkan hendak mengganjar dengan bogemnya. Anggi berteriak menghentikannya.

"Berhenti! Jangan Pak Karta, ini lingkungan kampus!" pinta Anggi.

Angga melepas helmnya, mereka saling berpandangan. Pertemuan yang tak terduga kembali terjadi. Angga terkejut melihat Anggi yang sudah hamil besar. Perlahan dia berjalan mendekati Anggi dengan penuh pertanyaan. Apa yang terjadi saat itu, kenapa ada beberapa orang membawa paksa Anggi pergi.

"Benarkah kamu Anggi?" tanya seolah tak percaya.

Matanya menatap dari ujung rambut sampai kaki. Penampilannya berbeda sekali hampir Angga tak mengenalinya lagi. Dia juga mengamati perutnya yang membuncit dan aura keibuannya tampak.

"Kamu Angga kan?" tanya Anggi balik.

"Kamu masih ingat?" tanya Angga dengan senyum menggoda. "Maafkan aku tidak sengaja membuat bajumu kotor dan basah, Anggi," lanjutnya.

"Tidak apa-apa kok, bisa kubersihkan di toilet," jawab Anggi pelan.

"Jangan, ayo kubelikan gaun baru!" ujar Angga bergegas meraih tangan Anggi dan mengajaknya pergi.

Dia lupa kalau ada bodyguard yang sedang menjaganya. Angga asal menarik saja tangan Anggi dan mengajak berlari. Dia juga lupa kalau Anggi sedang hamil, dia merasa Anggi masih seperti terakhir bertemu.

"Mau kamu bawa kemana majikanku?" teriak Karsa.

"Tenang Pak Karsa, dia temanku," kata Anggi melerai.

"Tapi Non, Non Anggi harus hati-hati!" sahut Pak Karta bodyguard satunya.

"Jangan khawatir!" hibur Anggi, "Sudah kalian semua pulang, aku nanti kuliah sampai pukul 16.00," perintah Anggi.

"Berarti nanti dijemput pukul 16.00, ya Non?" tanya Yusuf sopir Anggi.

"Iya Pak Yusuf," jawab Anggi sopan.

Akhirnya mereka pergi meninggalkan Anggi.

"Kamu ada mata kuliah?" tanya Angga.

"Sebenarnya tidak ada, aku cuma mau mengurus ijin cuti," kata Anggi sambil  mengamati sepatunya yang berair dan kotor juga.

"Emang sudah jalan berapa bulan kok udah mengajukan cuti?" tanya Angga.

"Sudah hampir sembilan bulan sih," jawab Anggi.

"Gimana kalau kita cari baju kemudian cari makan, aku pingin ngobrol sama kamu!" pinta Angga.

"Baiklah," jawab Anggi.

"Kamu berani naik motor ini kan, atau kita panggil taksi, kita naik taksi saja?" Angga menawarkan.

"Berani, tidak ada masalah!" jawab Anggi menantang.

"Ayo!" ajak Angga.

Angga menghampiri motornya dan menyalakan mesinnya. Sambil tersenyum dia memandang Anggi yang mulai berjalan menghampirinya.

"Aku berjanji akan menyetir motorku dengan pelan dan hati-hati!" janji Angga.

"Oke percaya," kata Anggi sambil melangkah duduk di jok motor dengan hati-hati.

Motor pun melaju dengan pelan dan hati-hati. Angga menghentikan motornya di parkiran sebuah butik terkenal.

"Ayo masuk, Anggi! Kupilihkan gaun yang cocok buat kamu ya?" Angga menawarkan.

"Boleh!" jawab Anggi sambil tersenyum.

Angga mulai menelusuri gaun maupun baju yang bergelantungan di display.

"Anggi, ini warnanya dan modelnya cocok buat kamu, cobalah! Aku tahu kamu punya uang bahkan bisa membeli apapun, tapi terimalah aku hanya ingin membelikan ini untukmu. Aku akui kamu pasti cantik pakai ini," pintanya memohon, sambil menyerahkan baju itu kepada Anggi.

Anggi mengambil baju itu dan masuk ruang ganti. Tak lama kemudian dia ke luar dan menunjukkannya kepada Angga.

"Kubilang apa, kamu cocok sekali dengan warna emerald, Anggi. Dan gaun ini modelnya juga cantik, sekalian ini sepatu buat kamu! Langsung pakai saja jangan dilepas lagi, Anggi!" kata Angga dengan bangga.

Dia segera menuju kasir dan membayarnya.

"Non, ini ...!" kata kasir kepada Anggi yang ternyata butik itu adalah milik Oma Gina.

Anggi mengangguk sambil mengedipkan matanya seolah ingin memberi kode ingin merahasiakan dari Angga. Kasir pun tersenyum sambil mengangguk.

"Kenapa? Ini butik langganan mu ya?" tanya Angga yang menyadari Anggi memberi kode kepada kasir.

"Iya," jawab Anggi. "Udah kita cari makan yuk!" ajaknya kemudian.

Ajak Anggi setelah Angga selesai membayar baju dan sepatu di kasir. Dibelakang Angga, Anggi mengacungkan jempol sambil tersenyum tanda terima kasih telah berusaha menyembunyikan kalau butik itu sebenarnya milik keluarganya.

"Sekarang ganti aku yang traktir kamu makan ya?" tawar Anggi.

"Boleh," jawab Angga dengan ramah, seolah mereka sudah saling kenal sejak lama.

Anggi merasa Angga lah dewa penyelamatnya, bukan Aslan. Kalau saja saat itu Angga tidak tepat waktu menolongnya, dia sudah mati tenggelam di telaga itu. Ketulusan hati Angga sudah terpancar dari auranya yang ramah dan murah senyum.

Angga menghentikan motornya di depan Restoran Arum Kemangi. Restoran didesain sangat asri dengan rumah joglo di tengahnya dan sekitarnya banyak Gasebo di atas kolam ikan. Suasana makan yang menyenangkan sekali. Angga memesan gurame asam manis dan Anggi gurame bakar madu.

Setelah selesai makan mereka berbincang-bincang santai.

"Aku harus berani bertanya tentang kehamilannya," pikir Angga dalam hati. "Tapi bagaimana mengawalinya?" lanjutnya. 

"Anggi, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Angga ragu.

"Katakan!" sahut Anggi pelan.

"Apa kamu sudah menikah, Anggi?"

"Sudah," jawabnya tenang.

"Apa yang terjadi dengan kamu saat itu, Anggi?" tanya Angga berhati-hati.

"Mereka yang membawa aku pergi dari rumahku saat itu para bodyguard Omaku. Aku baru tahu ternyata aku masih punya Oma," ujar Anggi mulai berkaca-kaca.

Anggi menceritakan dari awal pembantaian bundanya hingga akhirnya dia ditolong dan justru dinodai oleh Aslan. Terpaksa dia menikah siri dengan Aslan dan yang lebih menyakitkan kini Aslan justru melarikan diri ke luar negeri demi menghindari proses hukum.

Sebenarnya apa yang Aslan takutkan tidak akan terjadi. Karena Anggi sudah menerimanya sebagai istri Aslan.

"Jadi kalian menikah siri dan bayi ini adalah anaknya?" tanya Angga kecewa.

Seperti tidak ada jalan untuk dia masuk. Padahal hatinya mulai tertarik dan bahkan ingin pendekatan. 

"Kalau mungkin aku bisa menerima anaknya, apakah mungkin Anggi bisa menerima aku? Apakah pernikahan siri mereka bisa putus?" pikir Angga dalam hati.

"Hei kok melamun sih, terbawa ceritaku ya? Kalau ditulis novel laris kali ya?" tanya Anggi berkelakar.

"Aku terharu, ada cewek sehebat kamu ... sekuat dirimu! Kalau aku jadi kamu mungkin aku tidak setegar dirimu," gumamnya, mata beningnya mulai berair.

"Aku dari kecil sudah hidup mandiri dan menderita berdua bersama bunda. Papaku membuang bunda saat bundaku hamil besar. Hamil diriku, Angga!"

"Kenapa ya dadaku ikut sesak mendengar cerita derita hidup kamu, Anggi," desah Angga pelan.

Apakah Angga jatuh cinta pada Anggi meskipun mendengar kisah hidupnya setragis itu?

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status