Share

7. Syarat Dari Paman

"Kalian harus bertanggung jawab!" Terdengar Paman menggertak. Bisa kurasakan amarah Paman, walau mata ini terpejam menahan sakit.

"Kalian yang telah membuat keponakan saya seketika menjadi yatim piatu dan kehilangan calon suami," ujar Paman dengan nada yang bergetar. 

"Tentu!" Sang Ayah dari pihak penubruk terdengar menyanggupi. Aku masih menyembunyikan wajah pada dada Bibi. "Pasti kami bertanggung jawab."

Emosi Paman yang mulai meledak saat membicarakan keluargaku. Serta tangisanku yang tidak kunjung surut membuat keluarga tersebut berpamitan. Ketika sang gadis meraih tanganku untuk disalim, aku menyentaknya keras.

Aku bukan tipe gadis yang kasar. Tidak juga lemah lembut. Biasa saja. Hanya saja sakit hati ini membuatku belum bisa memaafkan begitu saja perilaku gadis tersebut.

Selepas kepergian keluarga tersebut, air mataku tidak berhenti mengalir. Napas terasa sesak. Merasa menjadi gadis yang paling malang sedunia. 

Bagaimana tidak? Hanya dalam waktu sekejap saja aku langsung kehilangan keempat orang yang paling berharga dalam hidup. Tangis ini terus pecah jika mengingat aku belum memenuhi permintaan Ayah.

Lelaki itu kerap kali mengutarakan keinginan. Yaitu ingin lekas menjadi wali nikahku. Maklum hubunganku dengan Mas Ibnu sudah berjalan hampir enam tahun. Wajar jika Ayah sering meminta agar kami lekas menghalalkan hubungan.

Namun, aku menolak. Alasannya adalah Rafi. Aku berjanji mau menikah setelah melihat saudara terkasih itu lulus kuliah. 

Hatiku kian dirundung duka saat melihat cincin tunangan di jari manis ini. Kesabaran Mas Ibnu selama bertahun-tahun ternyata tidak berujung pada kebahagiaan. 

Seminggu lebih dirawat, aku memaksakan diri untuk pulang. Tentu saja tidak diizinkan. Karena kondisiku  memang belum sepenuhnya pulih. Terutama bagian kaki sebelah kiri ini. 

"Aku hanya ingin melihat makam kedua orang tua serta adikku, Paman," tuturku masih dengan mata dan pipi yang basah. "Aku ... aku juga ingin menziarahi kuburan Mas Ibnu. Apa itu tidak boleh?" Aku menuntut sedih.

Karena terus-terusan merengek, akhirnya dokter mengizinkan pulang di hari ke empat belas aku di rumah sakit. Paman bilang seluruh biaya perawatan ditanggung oleh keluarga penabrak. 

Aku rasa mereka bukan berasal dari keluarga biasa. Karena kemarin aku ditempatkan di kamar kelas satu. Penampilan mereka saat berkunjung juga menyiratkan bahwa mereka adalah keluarga yang berkelas. Bahkan saat pulang, mereka telah menyiapkan sebuah taksi untuk kami.

Di tengah jalan aku meminta untuk mampir ke pemakaman. Tadinya Paman menolak dengan alasan lain waktu saja. Namun, lelaki itu lantas mengalah begitu melihat tangisanku. Penuh ketelatenan Paman membopong tubuhku untuk didudukkan di kursi roda. 

Tangisku seketika pecah melihat tiga gundukan tanah yang masih merah. Bahkan bibir ini tidak sanggup untuk sekedar melantunkan doa. Tidak mau hal buruk menimpa, Paman membujuk pulang.

"Tapi, aku juga ingin melihat makamnya Mas Ibnu, Paman." Aku menolak. Walau hati ini sebenarnya sedang tersayat-sayat. Bayangan senyuman Mas Ibnu saat menyarungkan cincin pertunangan membuat dada ini terasa sesak.

"Lain kali saja kalo kamu sudah siap, Naf." Paman terus merayu. "Datangi makam Ibnu saat kamu sudah ikhlas. Biar dia tenang," bujuk Paman lagi.

Karena terus-terusan dibujuk, aku pun menyerah. Paman lantas mendorong kursi rodaku menuju taksi yang setia menunggu. Dalam perjalanan pulang tidak henti-hentinya kenangan demi kenangan melintas di mata.

Bibi menyambut kedatangan kami. Melihat foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tamu, kesedihan ini kembali menggerogoti hati.

"Sabar, Naf. Ikhlaskan!" nasihat Bibi sambil mengusap-usap lembut pundakku. "Allah tahu batas kesabaran hamba-Nya. Ujian ini Allah berikan karena yakin kamu pasti melewatinya," imbuhnya dengan mata yang berkaca-kaca pula.

"Aku gak yakin mampu melewatinya, Bu," balasku pesimis. Kutumpahkan air mata ini pada dada kurus itu.

*

Hari-hariku hanya diisi dengan air mata. Tidak ada semangat untuk melanjutkan hidup. Rasanya ingin mati saja. 

Pernah menolak saat Paman mengajak untuk kontrol ke rumah sakit. Namun, lelaki baik itu begitu sabar menghadapiku. Semangat hidupku kian hancur mendapati kabar jika kaki sebelah kiri tidak akan bisa berjalan normal seperti biasanya. Aku akan menjadi gadis pincang.

Beberapa hari kemudian, keluarga penabrak itu kembali datang. Hanya bertiga, ayah, kakak dan ibunya. Gadis belia itu sudah ditahan karena kelalaiannya.

"Kedatangan kami ke mari adalah untuk meminta bantuan kalian," ucap sang bapak terdengar tenang. "Saya tahu kesalahan anak saya memang teramat fatal. Tapi tolong kasihani dia." Tangan bapak itu mulai mengatup. Sang istri dan putranya pun mengikuti. "Dia masih terlalu muda untuk mendekam di penjara," imbuhnya bergetar. Mata bapak gagah itu ternyata berembun.

"Penderitaan putri Bapak belum sebanding dengan penderitaan keponakan saya." Paman menukas berani. Aku sendiri memilih diam dan menunduk. Didampingi Bibi di kursi tua ini.

"Lalu ... apa yang mesti kami perbuat untuk mendapatkan maaf dari Ananda ini?" tanya sang istri dengan pandangan mengarah padaku.

"Kami sekeluarga memaafkan tindakan putri kalian. Namun, proses hukum harus tetap berlanjut," putus Paman tegas.

"Tolong jangan bicara seperti itu!" Sang istri berseru sedih. Wanita itu beringsut untuk mendekat. Tidak kusangka dia merosot, lantas bersimpuh di hadapanku. "Nak, tolong cabut tuntutan kalian! Saya mohon," pintanya dengan menghiba. Saat dia mendongak, tampak matanya sudah basah.

Sungguh melihat ibu itu memperjuangkan nasib sang putri hatiku trenyuh. Aku membuang muka. Tidak sanggup melihat wajah memelas sang ibu. Sementara di sini aku jauh lebih menderita darinya.

"Baiklah ... kami akan mencabut tuntutan jika kalian memenuhi syarat yang kami ajukan." Tiba-tiba Paman mencetus. Membuat aku dan Bibi refleks menoleh padanya.

"Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.

Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."

Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman.

"Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak.

Next

Subscribe ya untuk update part terbaru 🙏

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status