"Kalian harus bertanggung jawab!" Terdengar Paman menggertak. Bisa kurasakan amarah Paman, walau mata ini terpejam menahan sakit.
"Kalian yang telah membuat keponakan saya seketika menjadi yatim piatu dan kehilangan calon suami," ujar Paman dengan nada yang bergetar.
"Tentu!" Sang Ayah dari pihak penubruk terdengar menyanggupi. Aku masih menyembunyikan wajah pada dada Bibi. "Pasti kami bertanggung jawab."
Emosi Paman yang mulai meledak saat membicarakan keluargaku. Serta tangisanku yang tidak kunjung surut membuat keluarga tersebut berpamitan. Ketika sang gadis meraih tanganku untuk disalim, aku menyentaknya keras.
Aku bukan tipe gadis yang kasar. Tidak juga lemah lembut. Biasa saja. Hanya saja sakit hati ini membuatku belum bisa memaafkan begitu saja perilaku gadis tersebut.
Selepas kepergian keluarga tersebut, air mataku tidak berhenti mengalir. Napas terasa sesak. Merasa menjadi gadis yang paling malang sedunia.
Bagaimana tidak? Hanya dalam waktu sekejap saja aku langsung kehilangan keempat orang yang paling berharga dalam hidup. Tangis ini terus pecah jika mengingat aku belum memenuhi permintaan Ayah.
Lelaki itu kerap kali mengutarakan keinginan. Yaitu ingin lekas menjadi wali nikahku. Maklum hubunganku dengan Mas Ibnu sudah berjalan hampir enam tahun. Wajar jika Ayah sering meminta agar kami lekas menghalalkan hubungan.
Namun, aku menolak. Alasannya adalah Rafi. Aku berjanji mau menikah setelah melihat saudara terkasih itu lulus kuliah.
Hatiku kian dirundung duka saat melihat cincin tunangan di jari manis ini. Kesabaran Mas Ibnu selama bertahun-tahun ternyata tidak berujung pada kebahagiaan.
Seminggu lebih dirawat, aku memaksakan diri untuk pulang. Tentu saja tidak diizinkan. Karena kondisiku memang belum sepenuhnya pulih. Terutama bagian kaki sebelah kiri ini.
"Aku hanya ingin melihat makam kedua orang tua serta adikku, Paman," tuturku masih dengan mata dan pipi yang basah. "Aku ... aku juga ingin menziarahi kuburan Mas Ibnu. Apa itu tidak boleh?" Aku menuntut sedih.
Karena terus-terusan merengek, akhirnya dokter mengizinkan pulang di hari ke empat belas aku di rumah sakit. Paman bilang seluruh biaya perawatan ditanggung oleh keluarga penabrak.
Aku rasa mereka bukan berasal dari keluarga biasa. Karena kemarin aku ditempatkan di kamar kelas satu. Penampilan mereka saat berkunjung juga menyiratkan bahwa mereka adalah keluarga yang berkelas. Bahkan saat pulang, mereka telah menyiapkan sebuah taksi untuk kami.
Di tengah jalan aku meminta untuk mampir ke pemakaman. Tadinya Paman menolak dengan alasan lain waktu saja. Namun, lelaki itu lantas mengalah begitu melihat tangisanku. Penuh ketelatenan Paman membopong tubuhku untuk didudukkan di kursi roda.
Tangisku seketika pecah melihat tiga gundukan tanah yang masih merah. Bahkan bibir ini tidak sanggup untuk sekedar melantunkan doa. Tidak mau hal buruk menimpa, Paman membujuk pulang.
"Tapi, aku juga ingin melihat makamnya Mas Ibnu, Paman." Aku menolak. Walau hati ini sebenarnya sedang tersayat-sayat. Bayangan senyuman Mas Ibnu saat menyarungkan cincin pertunangan membuat dada ini terasa sesak.
"Lain kali saja kalo kamu sudah siap, Naf." Paman terus merayu. "Datangi makam Ibnu saat kamu sudah ikhlas. Biar dia tenang," bujuk Paman lagi.
Karena terus-terusan dibujuk, aku pun menyerah. Paman lantas mendorong kursi rodaku menuju taksi yang setia menunggu. Dalam perjalanan pulang tidak henti-hentinya kenangan demi kenangan melintas di mata.
Bibi menyambut kedatangan kami. Melihat foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tamu, kesedihan ini kembali menggerogoti hati.
"Sabar, Naf. Ikhlaskan!" nasihat Bibi sambil mengusap-usap lembut pundakku. "Allah tahu batas kesabaran hamba-Nya. Ujian ini Allah berikan karena yakin kamu pasti melewatinya," imbuhnya dengan mata yang berkaca-kaca pula.
"Aku gak yakin mampu melewatinya, Bu," balasku pesimis. Kutumpahkan air mata ini pada dada kurus itu.
*
Hari-hariku hanya diisi dengan air mata. Tidak ada semangat untuk melanjutkan hidup. Rasanya ingin mati saja.
Pernah menolak saat Paman mengajak untuk kontrol ke rumah sakit. Namun, lelaki baik itu begitu sabar menghadapiku. Semangat hidupku kian hancur mendapati kabar jika kaki sebelah kiri tidak akan bisa berjalan normal seperti biasanya. Aku akan menjadi gadis pincang.
Beberapa hari kemudian, keluarga penabrak itu kembali datang. Hanya bertiga, ayah, kakak dan ibunya. Gadis belia itu sudah ditahan karena kelalaiannya.
"Kedatangan kami ke mari adalah untuk meminta bantuan kalian," ucap sang bapak terdengar tenang. "Saya tahu kesalahan anak saya memang teramat fatal. Tapi tolong kasihani dia." Tangan bapak itu mulai mengatup. Sang istri dan putranya pun mengikuti. "Dia masih terlalu muda untuk mendekam di penjara," imbuhnya bergetar. Mata bapak gagah itu ternyata berembun.
"Penderitaan putri Bapak belum sebanding dengan penderitaan keponakan saya." Paman menukas berani. Aku sendiri memilih diam dan menunduk. Didampingi Bibi di kursi tua ini.
"Lalu ... apa yang mesti kami perbuat untuk mendapatkan maaf dari Ananda ini?" tanya sang istri dengan pandangan mengarah padaku.
"Kami sekeluarga memaafkan tindakan putri kalian. Namun, proses hukum harus tetap berlanjut," putus Paman tegas.
"Tolong jangan bicara seperti itu!" Sang istri berseru sedih. Wanita itu beringsut untuk mendekat. Tidak kusangka dia merosot, lantas bersimpuh di hadapanku. "Nak, tolong cabut tuntutan kalian! Saya mohon," pintanya dengan menghiba. Saat dia mendongak, tampak matanya sudah basah.
Sungguh melihat ibu itu memperjuangkan nasib sang putri hatiku trenyuh. Aku membuang muka. Tidak sanggup melihat wajah memelas sang ibu. Sementara di sini aku jauh lebih menderita darinya.
"Baiklah ... kami akan mencabut tuntutan jika kalian memenuhi syarat yang kami ajukan." Tiba-tiba Paman mencetus. Membuat aku dan Bibi refleks menoleh padanya.
"Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.
Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."
Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman.
"Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak.
Next
Subscribe ya untuk update part terbaru 🙏
"Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman."Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak. Sesaat refleks kami saling menoleh. Bersitatap sekian detik. Lalu sama-sama membuang pandangan."Kenapa syaratnya harus seperti itu?" Pemuda itu tampak sekali keberatan."Iya." Ibunya pun turut menimpali. "Kalian bisa minta apa saja dari kami, asal jangan menjodohkan mereka," pinta wanita itu menunjukku dan putranya, "kasihan. Mereka tidak saling mengenal. Sementara berumah tangga itu bukan hal yang main-main. Ibadah panjang. Seharusnya sekali dalam seumur hidup," papar sang ibu panjang. Kentara sekali dia tidak menyetujui. Sementara anaknya mengamini omongan ibunya dengan anggukan.Paman kembali menghela napas. "Kami memang berasal dari keluarga biasa. Sangat tidak pantas jika keponaka
(POV Arzen)"Zen!"Aku yang tengah sibuk meracik minuman pesanan menoleh begitu mendengar Diaz memanggil. Pemuda itu tergopoh-gopoh mendekat."Arsy." Diaz menyebut nama adikku dengan napas tersengal."Kenapa dengan dia?" tanyaku cuek. Mata ini masih fokus pada cup di mesin peracik kopi."Arsy kecelakaan, Zen," balas Diaz dengan wajah yang pucat."Apaaah?!" Aku tersentak kaget. Tangan ini refleks mencopot celemek hitam yang menutup kemeja kotak-kotak di badan. Kugantung kain tersebut. Salah seorang karyawanku mendekat untuk meneruskan pekerjaan."Bagaimana bisa?" tanyaku panik saat ke luar dari bar."Papamu barusan telpon." Diaz menjawab, "beliau sempat marah karena hape kamu sulit dihubungi," imbuhnya serius."Hapeku lagi dicharger." Aku memberi tahu. Gegas kutuju ruang kerja. Mengambil ponsel cepat kemudian keluar lagi.Aku dan Diaz melangkah tergesa ke luar kafe. Kamu menuju mobil di parkiran. Diaz langsung tancap gas begitu aku selesai memasang sabuk pengaman.Ponsel yang mati kuny
(POV Arzen)Namanya Aliya. Dia adalah sepupu dari Diaz. Aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun.Dari kecil aku sering main ke rumah Diaz. Ketemulah dengan Aliya. Gadis pemalu yang punya mata indah.Ceruk di pipi membuatnya manis kala tersenyum.Aku, Diaz, dan Aliya akrab sedari kecil. Aku yang kaku sangat cocok berteman dengan Aliya yang lemah lembut. Jika sedang bad mood, Aliya adalah orang pertama yang kudatangi. Karena Aliya mampu menenangkan dengan ucapan. Di umur lima belas kami berikrar sebagai sepasang kekasih.Sebenarnya Mama melarang aku berdekatan dengan Diaz. Wanita itu memang masih berpikiran sempit. Katanya, jangan terlalu dekat dengan bawahan. Nanti mereka melunjak.Untung pikiran Papa seberangan dengan Mama. Prinsipnya bahwa semua orang itu sama derajatnya di hadapan Allah. Hanya ketakwaan yang membedakan.Tidak heran semua karyawan baik di kantor maupun rumah, sangat menghormati Papa.*Usai berpamitan pada keluarga korban yang bernama Nafia, aku, Mama, dan Papa p
(POV Arzen)Waktu besuk sudah berakhir. Arsy dipapah oleh dua orang sipir wanita. Gadis itu masuk lagi ke tempat tahanan anak-anak nakal. Wajah gadis enam belas tahun itu amat muram dan terlihat sekali tertekan.Arsy bukan remaja yang nakal. Dia hanya ingin segera bisa naik mobil. Agar nanti di usia tujuh belas tahun, dirinya bisa mendapatkan hadiah mobil sesuai janji Papa.Andai Arsy dapat menahan diri. Untuk tidak memaksa Pak Eko mengajarinya menyetir, mungkin kejadian buruk ini tidak akan menimpa. Dia masih bebas ceria bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya. Aku tidak dibuat pusing karena harus menikahi Nafia. Dan gadis itu ... pastinya dia akan berbahagia karena sebentar lagi mau menikah."Huftt!" Aku menarik napas panjang."Ada apa?" tegur Diaz mendengar helaan napasku. Mata pemuda itu tetap fokus ke arah depan jalanan."Aku gak tega ngeliat keadaan Arsy, Yas," jujurku lemah. Pandangan ini kubuang ke arah jendela mobil. Gerimis sedang membungkus kota. Beberapa orang tampak t
"Jadi kamu mengizinkan aku menikahi gadis malang itu?" tanyaku dengan hati yang dipenuhi keraguan."Ya." Aliya menjawab dengan air mata yang kembali membanjir."Al?" Kutatap wajah sendu itu. Tidak kusangka Aliya sama sekali tidak melarang. "Kenapa kamu sebaik itu?" tanyaku sambil mengelap kedua pipinya yang basah dengan jemari.Aliya mencoba tersenyum. "Karena aku tidak mau menjadikanmu anak durhaka dengan tidak mematuhi perintah kedua orang tua." Suara Aliya terdengar serak saat berbicara, "walau ini amat menyakitkan, tapi aku terima. Aku terima keputusanmu menjadi anak yang berbakti." Lagi Aliya mencoba untuk tersenyum.Sikap pengertian dan bijak seperti inilah yang membuatku tidak pernah mampu melepaskannya. Aliya yang manis tidak pernah menuntut. Di setiap pertengkaran kami, selalu dia yang meminta maaf duluan. Padahal lebih sering aku yang berbuat salah."Ini gak adil!" Aku sedikit mengumpat. "Kenapa orang sebaik kamu harus mendapatkan kenyataan pahit seperti ini?" sesalku tidak
(Nafia)"Mas Ibnu?!"Mata ini terbeliak. Sungguhkah itu kekasih hatiku? Kekasih yang sudah hampir dua bulan ini pergi selamanya dari sisiku.Setelah sekian lama berpisah, aku kembali melihat sosok bijak itu. Mas Ibnu tampak duduk di sebuah bangku taman yang indah."Mas Ibnu!" Aku berseru.Pria itu menoleh. Senyum simpul ia sunggingkan untukku. Mas Ibnu terlihat amat menawan dengan koko putih yang ia kenakan. Sekarang tangan itu melambai.Aku berlari. Lantas menghambur memeluknya."Aku rindu, Mas. Aku merengek. "Kenapa pergi tiba-tiba tanpa pamit?" Kali ini aku merajuk. "Ke mana saja kamu selama ini, Mas?" cecarku haru. Ada rasa kesal, tetapi bahagia juga.Mas Ibnu memisahkan diri. "Maaf, jika aku pergi dengan sangat mendadak." Dia berucap pelan, "sekarang aku tinggal di sini. Di taman surga yang indah ini.""Kenapa tinggal di sini? Aku sangat kehilangan kamu, Mas.""Karena di sini menyenangkan. Begitu tenang dan damai." Mata Mas Ibnu terpejam saat mengucap kata damai. "Dan aku bersam
(Arzen)Hari yang paling kutakutkan tiba. Sejak tadi pagi perasaan ini dilanda sepi. Di saat rumah sudah mulai tampak oleh para tamu yang hadir serta ramainya ornamen khas pengantin, aku justru dilanda sepi.Papa dan Arsy terlihat begitu bahagia hari ini. Wajah keduanya semringah dan berbinar. Begitu juga Diaz dan kedua orang tuanya. Hanya Mama yang terlihat murung.Wanita itu memang tidak menyetujui perjodohan ini. Baginya Nafia tidak pantas bersanding denganku. Namun, demi melihat kebebasan Arsy, Mama tidak punya pilihan lain. Alasan yang sama denganku.Berkali-kali Papa memberi wejangan. Memberi semangat agar aku kuat menjalani. Serta menguatkan hati yang merapuh ini.Lalu gadis itu pun tiba. Aku sedikit dibuat pangling melihat penampilan Nafia. Gadis yang biasa natural tanpa riasan, kini menjelma menjadi wanita yang manis. Dia berdiri diapit oleh bibinya dan Ira.Dengan berbagai alasan Mama tidak bersedia membimbing gadis itu menuju pelaminan ini. Melihat cara jalannya hati ini di
Diaz mengatupkan rahang. Dia paham jika aku sudah menggunakan kata lo-gue, berarti aku sedang marah dan tidak ingin dibantah.Aku terdiam. Hingga sampai di rumah Aliya, Diaz masih mengunci mulut. Dia juga langsung masuk ke rumahnya yang berada tepat di samping rumah Aliya tanpa bicara padaku. Dan aku tidak peduli.Kaki ini melangkah menuju kediaman Aliya. Ibu Alya atau terperanjat melihat kehadiranku. Namun, wanita seusia Mama itu langsung melempar senyum manis untuk menyambut. Dia juga langsung memanggil Aliya ketika kutanyakan keberadaan gadis itu.Aliya keluar dari kamar dengan mata yang sembap. Aku yakin gadis itu habis menangis lama. "Kenapa datang ke sini? Bukankah ini malam pertamamu?" tegur Aliya dengan suara serak khas seorang yang habis menangis."Kamu menangisi pernikahanku dengan Nafia, Al?" Aku mengalihkan pertanyaan.Gadis itu terkekeh sumbang. "Jujur ... tadinya aku pikir, aku akan kuat memberikan ucapan selamat untukmu. Ternyata aku keliru." Aliya tersenyum getir. "Te