"Apa syaratnya?" Suami istri itu kompak bertanya.
Paman terdiam sejenak. "Masalah ini akan diselesaikan secara damai, jika kalian bersedia menjodohkan putra kalian dengan keponakan saya."
Sontak aku dan si pemuda di hadapan langsung berpaling memandang Paman.
"Tidak!" Bahkan bibir kami kompak menolak.
Sesaat refleks kami saling menoleh. Bersitatap sekian detik. Lalu sama-sama membuang pandangan.
"Kenapa syaratnya harus seperti itu?" Pemuda itu tampak sekali keberatan.
"Iya." Ibunya pun turut menimpali. "Kalian bisa minta apa saja dari kami, asal jangan menjodohkan mereka," pinta wanita itu menunjukku dan putranya, "kasihan. Mereka tidak saling mengenal. Sementara berumah tangga itu bukan hal yang main-main. Ibadah panjang. Seharusnya sekali dalam seumur hidup," papar sang ibu panjang. Kentara sekali dia tidak menyetujui. Sementara anaknya mengamini omongan ibunya dengan anggukan.
Paman kembali menghela napas. "Kami memang berasal dari keluarga biasa. Sangat tidak pantas jika keponakan saya bersanding dengan putra Ibu yang gagah dan terpelajar ini--"
"Bukan begitu maksud kami, Pak." Ibu itu menyela. Dia memanggil Paman dengan sebutan Bapak, padahal usia wanita terlihat jauh lebih tua dari Paman. "Pernikahan itu sesuatu yang sakral. Tidak main-main. Sementara mereka itu tidak saling mengenal," kilahnya mencoba meyakinkan.
Paman menatap lurus ibu tersebut dengan sendu. "Maaf jika syarat ini terlalu berlebihan," ucapnya pelan. "Tapi, tidak kah kalian kasihan melihat nasib keponakan saya?" Paman kembali menunjuk wajahku.
"Nafia, keponakan saya ini harus kehilangan seluruh keluarganya hanya dalam waktu sekejap." Paman bertutur dengan suara yang bergetar. Mendengar itu luka yang makasih menganga lebar ini kembali terasa terkoyak.
"Dan perlu kalian tahu!" Paman berujar sambil memandangi satu-persatu tamu di hadapannya. "Nafia sebentar lagi akan menikah dengan tunangannya. Dan semua itu harus kandas saat putri kalian merenggut nyawa tunangannya," kecam Paman mulai menggebu. Lelaki itu menyeka air matanya dengan kasar.
"Maaf ... tolong maafkan perbuatan anak saya." Sang suami kini yang berbicara.
"Perlu Bapak tahu alasan apa yang mendorong saya mengajukan syarat ini," ujar Paman sambil menatap serius pria paruh baya berwajah serius itu. "Nafia keponakan saya mengalami cedera pada kaki kirinya. Kalian tahu itu bukan? Dokter bilang walau pun sembuh Nafia tidak bisa berjalan seperti biasa. Dengan kata lain keponakan saya akan menjadi gadis yang pincang. Cacat." Di akhir kata air mata Paman luruh tidak tertahan.
Begitu juga denganku. Aku menunduk. Berusaha menahan isakan. Namun, semakin ditahan, justru isakan itu terdengar jelas. Bibi langsung menenangkan dengan pelukan.
"Sekali lagi ... tolong maafkan anak kami." Bapak bijak itu mengatupkan kedua tangannya. Sementara istri dan putranya hanya diam menunduk.
Paman meraih tisu yang tersedia di meja. Lelaki itu membesit hidungnya yang merah. "Kami sekeluarga sudah memaafkan tindakan putri Bapak. Tapi, tolong lihatlah keadaan keponakan saya ini. Kasihan dia." Paman menepuk pundakku pelan. "Coba kalian berada di posisi kami. Anak gadis satu-satunya tiba-tiba menjadi cacat--"
"Saya terima syarat dari Anda, Mas." Bapak itu memotong perkataan Paman. Lelaki itu terlihat menghormati Paman yang lebih muda dengan memanggil Mas. "Mereka akan kita nikahkan."
"Papa!" Ibu dan anaknya menginterupsi.
"Saya akan menganggap Nak Nafia ini seperti anak kandung sendiri," janji sang bapak tanpa memedulikan tatapan tidak setuju dari anak dan istrinya.
"Terima kasih," ucap Paman terlihat memaksakan diri untuk tersenyum.
"Papa, aku--"
"Kita bicarakan nanti di rumah, Zen!" Bapak itu menyela omongan sang putra. Tampak anak lelakinya membuang wajah kesalnya. "Baiklah ... karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kami pamit pulang," izin lelaki bijak itu sopan.
Paman dan Bibi mengizinkan dengan anggukan. Sementara aku masih setia membisu.
"Kami permisi, ya." Sang istri ikut berbasa-basi. Sedangkan putranya hanya tersenyum tipis pada Paman dan Bibi. Lalu menatapku sekilas.
Paman ikut mengantarkan ketiga orang itu sampai halaman. Dari pintu yang terbuka ini kulihat Paman dan Bapak tadi masih saling berbasa-basi. Entah apa yang mereka bicarakan. Tampak Paman mengangguk-angguk menanggapi omongan sang Bapak.
Paman mengangguk lagi saat mobil mulai bergerak. Lalu gegas masuk rumah begitu mobil itu hilang ditelan jalan.
"Kenapa Paman mengajukan syarat seperti itu?" protesku begitu adik Ayah itu mendekat. "Aku gak suka!" tegasku langsung.
"Naf ...." Tangannya mengelus rambutku sekilas. "Apa yang Paman lakukan itu semua demi kebaikanmu," ujarnya lembut. Lelaki yang hanya berbeda lima belas tahun itu memandangku dengan penuh kasih sayang.
"Kebaikan apa?" Aku mengernyit bingung, "kami gak saling kenal. Bagaimana bisa kami menikah? Hidup bersama sepanjang waktu." Aku menggeleng skeptis.
"Ayah dan ibumu juga menikah karena dijodohkan, Naf," balas Paman memberi tahu, "tapi, mereka hidup akur hingga akhir hayat. Karena cinta pada dasarnya akan tumbuh dengan sendirinya."
"Itu beda cerita, Paman." Aku menukas pelan, "ayah dan ibu berasal dari kasta yang sama. Sementara kami ... kami terlahir dengan banyak perbedaan," tuturku kian pesimis.
"Nafia, lihat kondisimu sekarang." Kini Bibi angkat bicara, "kami bukannya tidak mau mengurus kamu, tapi mereka harus bertanggung jawab atas penderitaan yang kamu alami."
"Paman, Bibi." Kutatap suami istri itu dengan seksama, "aku pasti sembuh nanti. Aku juga bisa menjaga diri--"
"Tapi, kamu akan menjadi gadis yang pincang, Naf." Bibi memotong, "dan itu akan membuatmu susah untuk mencari pasangan."
Aku ternganga. Tega sekali Bibi bicara seperti itu. Embun di pelupuk mata ini kembali meleleh.
"Kami hanya berniat baik untukmu, Nafia." Setelah bicara seperti itu, Bibi pun berlalu. Rumahnya tepat di samping kanan rumahku.
"Berpikirlah untuk masa depanmu, Naf." Paman kembali mengusap pucuk rambutku. Setelah itu, dia pun beranjak mengikuti langkah istrinya.
Aku termangu.
"Tapi, kamu akan menjadi gadis yang pincang, Naf. Dan itu akan membuatmu susah untuk mencari pasangan."
Aku terisak pilu saat omongan Bibi berdengung kembali.
Next
Subscribe ya untuk update part terbaru 🙏
Ditemani Arzen dan Diaz keesokan harinya, aku pulang ke rumah Bapak Ibu. Kami pamit pada mereka. Tangan Arzen yang masih sakit tidak memungkinkan dia untuk menyetir sendiri."Jaga Fia baik-baik ya," pesan Bapak sambil menepuk pundak Arzen, "dia sudah kuanggap seperti putri kandungku sendiri.""Insya Allah, Pak." Arzen membalas kalem, "dan saya sangat berterima kasih karena selama Nafia pergi dari rumah, Bapak dan Ibu telah merawatnya dengan baik.""Maaf, Ya Nak Arzen, kami sempat pernah berbohong dengan mengatakan tidak tahu keberadaan Fia," timpal Ibu."Gak papa, Bu. Itu kan memang kemauannya Nafia sendiri," jawab Arzen bijak.Setelah pamit dari rumah Bapak Aminuddin, aku mengajak Arzen berkunjung ke rumah Paman Santosa. Pada dirinya juga kami meminta doa restu."Pesan saya masih sama, Dek Arzen. Tolong jaga dan cintai Nafia dengan baik," ucap Paman kalem."Insya Allah, Paman." Arzen mengangguk ramah, "dan tolong jangan sungkan menegur jika saya lalai seperti kemarin," lanjutnya tulu
"Aku masih mencintai kamu, Zen. Masih." Tangan ini terus melingkari erat perutnya. Agar Arzen percaya jika aku memang benar-benar tidak menginginkan dia pergi.Arzen mengurai pelukan. Kami saling bertatapan. Maniknya menelisik mataku lekat. Seakan tengah mencari kejujurannya di dalamnya."Naf, aku tahu kamu tersiksa dengan pernikahan ini, makanya aku sadar diri dengan menjauh dari kamu," tutur Arzen lembut. Belum pernah kudengar dia selembut ini berbicara. "Jika perpisahan mampu memberimu kebahagiaan, aku rela pergi." Aku kembali menggeleng. "Tolong jangan katakan itu," mohonku seraya menempelkan telunjuk di bibir Arzen. "Karena kebahagiaanku adalah ketika kamu mencintai aku," tuturku serius.Arzen meraih jemariku. Dia mengecupnya lembut. "Aku mencintai kamu, Naf. Dan aku berjanji mulai detik ini akan selalu membuatmu bahagia."Aku tersenyum haru. Tanpa malu kupeluk pria ini lagi. "Kita rajut kembali mahligai rumah tangga yang sempat terkoyak kemarin.""Iya." Arzen balas mendekapku
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
"Aaa!" Aku menjerit histeris. Takut tertimpa benda puluhan kilogram itu."Nafiaaa ... Awaaas!" Terdengar teriakan banyak orang dengan lantang.Semua terjadi dengan begitu cepat. Seseorang menarik tubuhku menjauh.PRAAANK!Aku membuka mata. Dadaku masih berdetak kencang. Ketika tengadah ternyata aku berada dalam pelukan Arzen. Lelaki itu pun tengah terpejam dengan napas tersengal-sengal. Di seberang sana Deva melakukan hal yang sama pada Aliya.Mata ini terbelalak melihat lampu gantung kepunyaan Deva hancur berantakan. Lampu gantung dengan materi kristal dan besi emas yang berbentuk kubah yang begitu indah itu sudah tidak berbentuk lagi. Kini hanya meninggalkan serpihan beling yang berserakan di lantai.Tiba-tiba aku merasa merinding. Ngeri membayangkan lampu dengan berat lima puluh kilogram itu menghantam tubuhku.Aku menatap Arzen kembali. Tubuh kami yang saling menempel membuat detak jantungnya juga terdengar jelas."Kamu gak papa?" Arzen bertanya lirih. Dia balas memindaiku. Namun,
Aku melepas pegangan Arzen. "Aku mau telpon Diaz buat jemput kamu."Ketika hendak berdiri, Arzen mencegah. "Jangan bohongi diri kamu, Naf.""Aku gak bohongi hati sendiri, Zen." Aku menjawab datar, "tapi, saat ini aku sudah mati rasa sama kamu. Entah besok atau lusa. Yang pasti saat ini, aku sedang tidak mau bersama kamu."Kutingalkan Arzen segera. Aku tidak mau terlarut akan bujuk rayuannya. Seperti niat sebelumnya Diaz pun kuhubungi. Dan sekitar setengah jam pemuda itu sudah menampakan diri."Kamu boleh saja marah sama Arzen, tapi jangan berlarut-larut. Karena itu sama saja kamu memelihara dendam. Percuma kamu beribadah jika masih saja mengikuti napsu setan itu," nasihat Diaz dengan tenang dan serius. "Arzen tidak pernah kasar sana kamu. Dia tidak pernah KDRT. Dia hanya masih terjebak kisah masa lalu, tapi kini dia sudah menyadari kekeliruannya. Jadi tolong jangan buat setan tertawa menang karena berhasil memisahkan kalian."Aku termangu. Wejangan Diaz terdengar begitu panjang. Aku
Arzen akan menginap di sini," kata Bapak Aminuddin tenang."Tapi, Pak." Aku menyela tidak rela."Kasihan jika suamimu harus tidur di luar."Tanpa menunggu jawabanku, Bapak Aminuddin berlalu."Zennnn, kamu ...."Hachiii!Aku mendesah. Ingin rasanya berteriak, tapi kutahan. Walaupun Bapak Ibu sudah menganggap layaknya anak kandung, tetap saja aku harus bersikap sopan.Dengan menahan gondok, kubuka pintu lebar-lebar."Makasih." Arzen mengulum senyum.Lelaki itu memasuki kamar. Matanya menatap sekeliling. Aku sendiri berjalan tenang menuju lemari. Kuraih sebuah selimut."Ini udah ada selimut lho, Naf. Ha-hachiii." Arzen memberi tahu disertai bersin.Aku tidak membalas. Kini bantal pada ranjang pun aku ambil. Arzen mengernyit bingung karenanya."Lho ... kamu mau tidur di mana?" tegur Arzen begitu melihatku keluar kamar. Beberapa kali dia menggosok hidungnya yang merah. Bersinnya pun masih kerap menyerang."Aku tidur di sofa ruang keluarga saja," balasku kalem. "Biar kamu yang tidur di kama