Share

Chapter 2 - Ibu Mertua Culas

Pagi itu sinar sang surya muncul dengan malu-malu dari upuk timur. Sinar keemasannya menerpa bangunan kokoh Devardo House, membuat bayangan panjang nan besar yang memayungi taman bunga yang ada di samping kiri bangunan. Tampak beberapa aktivitas para pelayan yang sedang mengerjakan rutinitas mereka pagi ini.

Devardo House memiliki kurang lebih 30 orang pelayan yang terdiri dari 20 orang wanita muda umuran sekitar 25 tahunan, dan sisanya pria yang bekerja dan bertugas sebagai tukang kebun dan penjaga.

Mereka mendapatkan upah yang besar dan di terimanya setiap dua kali dalam satu bulan, sesuai kebijakan pemerintah Meksiko pasal gaji para pekerja yang harus di bayar setiap dua kali dalam satu bulan penuh.

"Pagi, Nyonya Muda." seorang pelayan menyapa Isabell yang baru saja keluar dari kamar mandinya.

Gadis itu hanya mengenakan bathrobe warna putih. Wajahnya datar-datar saja, tak ada respon untuk si pelayan. Dan si pelayan hanya tersenyum lalu mulai menghampiri ranjang king size di sana yang tampak berantakan.

Isabell berjalan menuju ruang ganti sambil memindai netranya pada seisi kamar. Dia sedang mencari Fernando yang tak nampak di mana pun.

"Hei, dimana Fernando? Apakah dia sudah berangkat ke kantor? Ah, sial!" Isabell berkata sendiri sambil berjalan-jalan kecil mencari suaminya.

"Tuan Muda Devardo ada di lantai dua, Nyonya. Maaf bila saya telah lancang," ucap si pelayan dengan tangannya yang sedang membenahi ranjang Isabell, sedangkan wajahnya menoleh pada istri Tuannya itu. Isabell menoleh padanya.

"Oh, ya? Baguslah. Aku pikir dia sudah berangkat," tukas Isabell dengan wajah sinisnya kemudian dia segera berjalan menuju ruang ganti.

Si pelayan hanya tersenyum tipis menanggapi. Hal yang biasa terjadi. Penghuni Devardo House selalu menunjukan sikap yang tak bersahabat. Mungkin itu cara mereka untuk menunjukkan jarak antara seorang pelayan dan Tuannya.

Langkah Isabell menepi di depan sebuah lemari kaca nan besar dan tinggi. Di gesernya dua daun pintu lemari itu pada masing-masing sisi. Matanya mengamati beberapa gaun yang tergantung rapi dan berbau wangi di dalam sana.

Bibirnya mengulas senyum pada sehelai gaun dengan warna hitam. Tangannya yang putih dan licin segera menyambarnya.

Pilihan yang tepat, gaun musim panas warna hitam itu sangat cocok di tubuhnya. Gaun dengan bahan lembut dan nyaman di pakai, panjang selutut dengan bagian bahunya yang terbuka. Membuat kesan seksi nan glamour yang disukai Isabell.

"Waw, kau sangat cantik, Isabell Fernandez," tukasnya memuji dirinya sendiri dengan takjub di depan cermin setinggi dirinya.

Usai mematut penampilannya Isabell segera berjalan menuju lantai dua untuk mencari suaminya. Ah, entah dimana pria tampan itu berada. Isabell terus memindai matanya sambil menuruni anak tangga menuju lantai dua.

Langkahnya mulai terayun menuju balkon, mungkin Fernando ada di sana, pikir Isabell. Namun langkahnya terhenti saat Nyonya Devardo dan Pedra menghamprinya.

"Pagi, Isabell. Bagaimana tidurmu? Kurasa kau merasa nyaman di sini," ucap Nyonya Devardo dengan wajah cerahnya memandangi Isabell.

"Pagi, Bu," jawab Isabell singkat karena dia sedang fokus mencari Fernando yang belum juga tertangkap oleh matanya.

Pedra tersenyum sinis memandangi penampilan Isabell yang menurutnya berlebihan.

"Aku yakin, Bu. Semalam pasti Isabell tak bisa tidur," ucapnya.

Nyonya Devardo dan Isabell terpengarah.

Pedra melanjutkan, "Kau pasti menghabiskan malam yang panas dengan Fernando, kan? Lihat saja, rambutmu saja masih tampak basah begitu," ucapnya, lantas sinis.

Nyonya Devardo mengulum senyumnya lalu tertawa kecil, sedangkan Isabell tampak terdiam kesal dengan pipinya yang merona merah.

Dasar sinting! Untuk apa dia mengatakan hal itu? Bathin Isabell. Ucapan Pedra memang benar, dirinya hanya bisa tidur pukul tiga pagi setelah membuat Fernando puas di atas ranjang semalam.

Namun tak seharusnya Pedra mengatakan hal memalukan seperti itu. Apakah sebagai seorang istri, Berto tak pernah menyentuhnya? Isabell merutuki dalam hati.

"Ah, sudahlah Pedra. Jangan menggoda Isabell. Mereka baru saja menikah, jadi wajar-wajar saja." Nyonya Devardo menghentikan tawanya lalu matanya memandangi Isabell. Matanya membulat mendapati kalung berlian Isabell sudah tak nampak lagi pada leher jenjang gadis itu.

"Isabell, dimana perhiasanmu? Kenapa kau tidak mengenakannya?" tanyanya tampak antusias.

"Aku menyimpannya dengan perhiasanku yang lain," jawab Isabell acuh.

Nyonya Devardo dan Pedra saling pandang lalu tersenyum penuh misteri.

"Isabell, bagaimana bila Ibu saja yang menyimpan semua perhiasanmu, Nak? Di sini banyak pelayan yang bisa saja mencuri perhiasan itu di kamarmu," tawaran Nyonya Devardo langsung membuat Isabell menatapnya dengan kedua alisnya yang nyaris saja menyatu.

"Apa maksudmu? Aku bisa menyimpan perhiasanku sendiri," balas Isabell mulai jengah pada wanita 50 tahun di depannya itu.

Nyonya Devardo dan Pedra saling pandang sambil tersenyum tipis.

"Isabell, bila kau tinggal di Devardo House, maka kau harus menuruti semua perintahku. Cepat berikan perhiasanmu itu padaku." Nyonya Devardo menegaskan lagi.

Isabell menatapnya dengan mulutnya yang menganga.

"Kenapa kau memaksa? Aku tak akan memberikan perhiasanku kepada siapa pun!" pungkas Isabell dan segera memutar tubuhnya untuk pergi.

"Wah, lihatlah Ibu. Gadis seperti apa yang telah Fernando nikahi ini. Dia seperti Jalang yang biasa duduk di bar untuk menanti pelanggannya," cibir Pedra menghentikan langkah Isabell.

Gadis itu menoleh dengan wajahnya yang tampak marah. Tentu saja Isabell merasa tersinggung.

"Kau benar, Sayang. Dia memang Jalang yang tak tahu sopan santun," timpal Nyonya Devardo.

Mereka memberikan tatapan jijik pada Isabell. Akibatnya Isabell menjadi murka. Gadis itu segera menghampiri keduanya, tangannya terulur dan langsung menjambak rambut kecokelatan Pedra.

"Apa katamu? Beraninya kau mengatakan itu tentangku!" pekik Isabell dengan emosinya.

"Lepaskan, Jalang sialan!" Pedra mengerang.

Nyonya Devardo berusaha melerai pertingkaian keduanya.

"Isabell, Ibu, ada apa ini?" suara Fernando menghentikan mereka.

Isabell melepaskan Pedra dengan kasar, hal itu membuat Fernando sangat terkejut melihatnya. Suasana hening sejenak. Nyonya Devardo terhuyung-huyung menghampiri Fernando yang sedang berdiri agak jauh dari mereka.

"Fernando, Sayang. Isabell telah marah pada Ibu karena Ibu menawarkan diri untuk menyimpan semua perhiasannya. Pedra mencoba menasehati Isabell, namun dengan teganya istrimu itu menyakiti kami berdua," ucap Nyonya Devardo penuh penghayatan agar sandiwaranya terlihat sempurna.

Fernando menatap Isabell penuh tanya sedangkan Isabell hanya menggelengkan kepalanya, dia tak menyangka Ibu mertuanya itu begitu pandai berakting.

Pedra tak tinggal diam, dia segera menghampiri Nyonya Devardo dan Fernando dengan wajah sedihnya yang dibuat-buat. Keduanya bersandiwara dengan sangat bagus.

"Sudahlah, Bu. Fernando tak akan percaya pada kita, lagi pula mansion ini adalah miliknya. Lebih baik kita pergi saja sekarang," ucap Pedra sambil merangkul bahu Nyonya Devardo yang sedang bersandar pada dada bidang Fernando.

Isabell menatap Fernando dengan wajah melasnya, dia tak bersalah. Namun Fernando memberinya tatapan penuh kemarahan.

"Isabell, apa benar yang dikatakan Ibuku dan Kak Pedra?" tanya Fernando sedikit menekan.

Isabell menggelengkan kepalanya dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Sudahlah, Fernando. Ibu tak ingin kau dan istrimu bertengkar karena Ibu. Apalah artinya wanita tua ini di hadapan kalian, kami hanya menumpang padamu, Nak." Nyonya Devardo menitikan air mata buayanya.

"Tidak, Bu. Jangan berkata seperti itu, kalian adalah keluargaku satu-satunya," ucapan Fernando sambil merangkul punggung ibunya.

Isabell sangat jengah melihatnya. Apa lagi wajah-wajah dua wanita itu yang menyebalkan.

"Isabell, cepat lakukan perintah Ibu. Berikan perhiasanmu padanya. Biarkan Ibu yang menyimpannya," perintah Fernando sambil menatap Isabell yang berdiri agak jauh darinya.

Wanita menggelengkan kepalanya, dia sangat kesal. Kenapa Fernando termakan oleh drama Ibu tirinya itu.

"Aku tak mau! Dan aku tak akan pernah menyerahkan perhiasanku kepada siapa pun!" pungkas Isabell segera pergi dengan wajah kesalnya dan kecewanya pada Fernando.

Leher Fernando memutar mengikuti langkah Isabell yang mulai menaiki anak tangga.

"Fernando, bujuklah Isabell. Jangan hiraukan Ibu, Nak," ucap Nyonya Devardo sambil menanggah pada Fernando.

Pria itu pun mengangguk. Dia segera melepaskan ibunya dan bergegas menyusul Isabell ke kamarnya. Nyonya Devardo segera menyeka kedua pipinya lalu tersenyum puas pada Pedra.

"Lihat saja, sebentar lagi pasti Isabell akan menyerahkan semua perhiasannya kepada kita," ucapnya.

"Kau sangat cerdik, Ibu. Aktingmu sangat bagus, kau pantas menerima piala Oscar tahun ini." Pedra menimpali sambil merangkul bahu Nyonya Devardo, kemudian keduanya tertawa penuh kemenangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status