Share

BAB 04

Menantu Egois

BAB 04

Setelah melihat isi yang tertulis dikertas itu, aku langsung pulang dari rumah Ibu dengan hati yang sangat marah.

Setelah sampai rumah, aku langsung masuk kekamar dan menghubungi Mas Tejo.

"Hallo Mas!"sapaku ketika panggilan diangkat.

"Ya Dek ada apa?"tanyanya.

"Mas! kamu gila ya! Kenapa kamu tulis j kita punya hutang sama Ibumu sebesar seratus juta?"tanyaku kesal.

"Iya gak apa-apa biar aku ingat saja berapa uang yang sudah kita pinjam dari Ibu selama dua tahun ini."jawabnya enteng.

"Ibumu pasti yang nyuruh kamu untuk menotal semua uang yang kita pinjam!"bentakku.

"Gak! Ibu tidak ngomong apa-apa. Aku memang mencatat semua uang yang kita pinjam setelah kita menikah."jawabnya santai.

"Ibumu itu keterlaluan sekali! Masak ngasih anak dihitung hutang!"bentakku.

"Bukan, Ibu yang keterlaluan tapi kita. kita ini sudah tidak pernah ngasih Ibu. Tapi malah minta terus ke Ibu. Giliran sekarang aku mampu, kamu larang aku kasih uang ke Ibu. Ya jadi aku total semua uang yang Ibu kasih untuk kita selama lima tahun ini!"ujarnya dengan nada terdengar sedikit kesal.

"Pokoknya aku tidak mau tahu, uangmu adalah milikku jadi harus kamu kasih ke aku semua. Jika tidak, maka aku akan pergi dari rumah!"uajrku dengan nada tinggi sambil mengancam Mas Tejo.

Biasanya Mas Tejo akan luluh jika mendengar ancamanku dan pasti menuruti ucapanku. Aku yakin mas Tejo akan mengambil uang itu kembali dari tangan ibu.

Aku memang tidak pernah ikhlas jika ibu menikmati uang hasil keringat suamiku. Oleh karena itu, setiap Mas Tejo mau memberi uang Ibu, aku akan berusaha sebisa mungkin uang itu masuk kekantongku dengan berbabagai cara dan aku selalu berhasil melakukan hal itu.

"Kali ini aku tidak bisa mengikuti perintahmu terus. Aku bisa bekerja jadi seorang manager juga karena Ibu yang menyekolahkanku hingga perguruan tinggi. Jadi, sekarang saatnya aku berbakti kepada Ibuku. Jika kamu tidak mau peduli dengan Ibuku ya sudah sana pergi!"bentaknya.

Aku tercengang mendengar penuturan Mas Tejo. Karena tidak pernah mas Tejo seperti ini. Apakah mas Tejo benar marah kepadaku?

Apa Mas Tejo sudah tidak takut lagi dengan ancamanku?

Ini tidak bisa dibiarkan. Mas Tejo harus seperti dulu lagi. Aku tidak mau mas Tejo berubah.

Awas saja jika Ibu adalah orang dibalik perubahan sikap Mas Tejo.

Panggilan telepon dimatikan sepihak oleh Mas Tejo. Aku sebenarnya sangat marah. Tapi di sisi lain ada rasa takut dihatiku. Aku takut jika Mas Tejo benar-benar serius dengan omongannya tadi.

Aku tidak mau kembali hidup miskin.

Ibuku selalu mengatakan jika uang suami adalah hak istri. Jadi tidak salahkan jika aku mengikuti apa yang Ibuku selalu katakan kepadaku.

Perkataan Mas Tejo tadi membuatku teringat akan masa laluku yang susah dan menderita.

Aku terlahir dari keluarga yang cukup mampu ketika ayahku masih hidup.

Namun setelah Ayahku meninggal, kehidupan kami berubah dratis. Harta kami satu persatu kami jual untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena Ibuku adalah orang yang tidak pernah bekerja sama sekali.

Setelah semua harta habis. Kami tinggal disebuah rumah kontrakan. Ibu selalu menyuruhku untuk bekerja. Sedangkan Dia hanya ongkang-ongkang kaki dikontrakkan.

Jika aku pulang tidak membawa uang Ibu akan marah dan memakiku.

Pekerjaan apapun selalu aku terima asalkan aku bisa mendapatkan uang.

Waktu itu, tanpa sengaja aku bertemu dengan Mas Tejo diwarung tempatku bekerja. Aku bekerja sebagai buruh cuci piring di sana.

Mas Tejo adalah seorang mahasiswa disebuah perguruan tinggi.

Mas Tejo orang yang sangat ramah. Mas Tejo sering membelikanku sebungkus nasi. Karena kebaikannya itulah yang membuat ku jatuh cinta kepadanya.

Awalnya aku takut jika Mas Tejo akan menolak cintaku. Tapi ternyata tidak. Mas Tejo menyambut perasaanku ternyata dia juga mencintai aku. Setelah cukup pendekatan

Akhirnya kami resmi berpacaran. Selama berpacaran, Mas Tejo tidak pernah malu jika mengajakku jalan bersama teman-temannya.

Setelah setahun berpacaran dan Mas Tejo sudah lulus kuliah. Akhirnya Mas Tejo mengajakku untuk menikah.

Awalnya Ibu Mas Tejo tidak merestui pernikahan kami karena aku adalah orang yang tidak memiliki harta. Tapi lambat laun Ibu Mas Tejo akhirnya merestui kami. Karena Mas Tejo mengancam akan pergi dari rumah jika tidak diijinkan menikahiku.

Setelah Mas Tejo mendapat restu dari Ibunya lalu Mas Tejo melamarku.

Namun masalah baru muncul. Kali ini masalah muncul dari Ibuku. Ibu memberikan sebuah syarat kepada Mas Tejo jika ingin menikahiku.

Ibu akan mengijinkan aku menikah asal Ibu dibelikan sebuah rumah dan setiap bulan Kami harus memberi jatah uang belanja kepada Ibu.

Kami yang saat itu dibutakan oleh cinta jadi mengiyakan semua permintaan Ibu ku tanpa berpikir terlebih dahulu.

Dan benar saja, setelah kami menikah Ibuku menuntut itu dari kami.

Kami awalnya sangat kebingungan mencari uang  untuk membelikan Ibu sebuah rumah, karena waktu itu Mas Tejo belum bekerja dan kami pun masih menumpang hidup sama Ibu mertuaku.

Karena terus didesak oleh Ibu ku akhirnya Mas Tejo meminta ijin kepada Ibunya untuk menjual tanah dibelakang rumahnya dengan alasan untuk modal usaha.

Awalnya ibu mertua menolaknya. Karena mas Tejo mengatakan untuk usaha akhirnya Ibu mertuaku mengijinkan tanah itu dijual.

Tanah itu laku terjual sebesar delapan puluh juta.

Mas Tejo memberikan uang kepada ibunya sebesar  sepuluh juta. Sedangkan yang lima puluh dikasih ke Ibuku untuk membeli sebuah rumah yang sederhana dan yang bisa dicicil.

Sedangkan sisa uang yang dua puluh juta, kami pake untuk mencoba membuka usaha toko kelontong kecil-kecilan agar Ibu mertua tidak curiga.

Setelah empat bulan membuka toko ternyata kami bangkrut. Karena modalnya tidak bisa diputar kembali. Karena kami harus membayar cicilan rumah Ibuku sebesar dua juta setiap bulan.

Ibu mertua mulai curiga dan akhirnya kami mengakui semuanya.

Ibu mertua sangat marah dan mengusir kami dari rumahnya. Setelah kami pergi dari rumah Ibu mertua, kami menyewa sebuah rumah kecil yang bulanannya murah.

Aku dan Mas Tejo mulai mencari kerja dibidang masing-masing.

Aku kembali bekerja serabutan. Sedangkan Mas Tejo mencoba mengirimkan lamaran kesemua perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan.

Namun nihil tidak ada satupun panggilan dari perusahaan itu. Waktu berjalan begitu cepat, sudah dua tahun kami menikah. Tapi Mas Tejo belum juga mendapatkan pekerjaan.

Untuk mengisi kekosongannya. Mas Tejo bekerja sebagi ojek dipasar. Sedangkan aku tetap menjadi buruh cuci piring.

Ibu mertuaku sering memberi uang kepada Mas Tejo, karena kasihan terhadap kesulitan kami.

Aku sebenarnya heran dengannya. Ibu kasihan melihat penderitaan kami. Tapi, Ibu tidak mau menerima kami tinggal dirumahnya lagi. Dia ingin kami hidup mandiri dan tidak bergantung dengannya lagi.

Setelah hubungan Mas Tejo mulai membaik dengan Ibu mertua. Mas Tejo mendapat panggilan kerja dengan jabatan yang sekarang ini.

Setelah Mas Tejo bekerja, kehidupan kami berubah dratis.

Kami bisa membeli rumah ini. Ya walaupun nyicil tapi setidaknya kami tidak lagi ngontrak rumah kecil dan kumuh.

Aku mulai berubah. Aku sangat takut jika nanti jatuh miskin lagi. Jadi aku akan menyimpan uang hasil kerja Mas Tejo sebaik mungkin.

Aku hanya mengeluarkan uang untuk kebutuhan Ibuku setiap bulan sebesar dua juta, sedangkan untuk Ibu mertua, aku tidak memberikan uang bulanan sepeserpun.

Aku berpikir, jika Ibu mertuaku masih sanggup bekerja dan Ibu mertuaku sudah biasa bekerja keras dan hidup mandiri.

Sangat berbeda dengan Ibuku yang tidak pernah bekerja, jadi kalau bukan aku yang mencukupi kebutuhan Ibuku lalu siapa lagi?

Aku jadi takut mendengar ucapan Mas Tejo tadi. Aku akan berusaha merayu Mas Tejo lagi.

Aku akan berpura-pura berubah dan membiarkan uang dua puluh juta itu diambil Ibu.

Agar Mas Tejo luluh lagi denganku dan setelah aku mendapat hatinya kembali, aku akan buat perhitungan kepada Ibu mertua.

Tunggu saja Bu pembalasan dariku"sungutku"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status