Share

Ditekan Keluarga

Setelah hari itu Mega lebih banyak diam, dia bahkan tak ikut berkumpul  saat saudara yang lain saling mengobrol di gubuk kecil belakang rumah mereka. Bukan tak mau, ia lebih memilih di rumah menulis apa yang menjadi hobinya.

Namun hari ini ia di minta mbak Dewi ikut keluar rumah, "Emakku potong tiga ekor ayam kampung ga, kita buat rica ayam yang pedas sama-sama. Kamu yang bumbuin!" Begitu kalimat yang Dewi katakan, meski Mega sudah memberi alasan untuk menolak, tapi Dewi lebih pandai memaksa.

"Aku nggak minta tolong ya, aku maksa kamu dateng, kalau kamu nggak keluar, aku paksa!"

Kalimat itu sukses membuat Mega kini duduk mengulek bumbu di cobek batu miliknya. Alika dan Alina duduk di atas tikar anyam milik Halimah, mereka sibuk memakan kerupuk dari dalam toples di hadapannya.

"nggak pernah kelihatan ga, sibuk apa di rumah?"

Santi adik Harun bertanya, ia memang terbilang paling ingin tau di antara yang lain.

"Di rumah saja bulek, sibuk momong anak." Mega menjawab santai, ia masih mengulek bumbu dalam cobek.

"Aku kira karena masalah tempo hari kamu jadi nggak mau keluar." Kini mertuanya yang bicara, ia duduk di dekat perapian, menunggu air rebusan di hadapannya mendidih.

"Lain kali kalau ada apa-apa nggak usah ngadu ke suami begitu, mau Emak dan Ridho bertengkar karenamu?" Siska kakak iparnya ikut menyahut, mungkin Siti sudah bercerita pada anak perempuannya itu, hingga Siska tanpa mencari tau kebenaran sudah menyalahkan adik iparnya.

"Aku nggak ngadu mbak, memangnya mas Ridho bilang apa ke mbak?"

"Nggak bilang, cuma aku tau semua saja, lagian kamu ini harusnya bersyukur punya mertua baik macam Emakku, dari kamu brojol anak pertama juga Emak yang bantu momong anak-anakmu!"

Mega terdiam, percuma juga menjawab, Kakaknya ini baru pulang merantau bersama suaminya dua tahun belakangan, mereka lama menetap di Kalimantan, wajar saja jika yang terlihat hanya nilai baik dari sikap ibu kandungnya itu.

"Jangan mulai lah Sis, lagi kumpul baik-baik kok cerita ke mana-mana!" Dewi mencoba menghentikan pepesan kosong yang tak berkesudahan itu.

"Ah sudah mak, aku pulang saja!" Siska berdiri dari tempatnya duduk, seolah tak suka karena dirinya di tegur Dewi.

"kok pulang, ayamnya kan belum matang nduk, tunggu ini matang dulu, bawakan suamimu juga." Halimah mencegah keponakannya.

"nggak usah bude, di rumahku nggak ke makan nanti. Banyak lauk di sana sampai kadang di buang-buang, sakit banyaknya makanan!" Siska merapikan rambutnya yang tergerai, gelangnya bergemerincing setiap kali tangannya bergerak.

"Pulang nanti saja lah Sis, baru juga ketemu mau langsung pulang!" Santi juga meminta ponakan nya untuk tetap tinggal.

"Aduh repot bulek, toko baju ku pelayannya cuma dua, nanti yang jaga kasir kewalahan! Mak, ayo pulang dulu, aku mau ambil barang-barangku di rumah Emak."

Siti berdiri mengikuti anaknya pulang ke rumah, sementara yang lain masih sibuk memasak bersama. Berulang kali Dewi mengusap punggung Mega agar wanita itu lebih tegar dan kuat.

"Sombongnya ponakanmu itu mak, ngomong aja gayanya selangit! " Dewi berdecak kesal dengan sikap angkuh Siska.

"Wajar lah sombong, ada yang bisa di sombongkan juga!" Santi membela keponakan kayanya itu.

"Halah, harta juga nggak di bawa mati mbak!" Rut menimpali ucapan kakaknya.

Tak berselang lama Siti kembali, tanpa permisi ia mengambil Alina ke dalam gendongan dan mengandeng Alika yang duduk di atas tikar. "Ayo ikut bude Siska yo!"

"Mau ke mana Mak?" Mega bertanya, melihat dua anaknya di bawa pergi.

"Ke rumah situ lho, nggak di culik kok ga, nggak usah khawatir!" 

"Mega cuma tanya Mak, siapa tau mau di ajak pergi atau di ajak ke rumah mbak Siska, kan tadi mbak Siska pamit pulang, kalau mau pergi kan bajunya bisa ganti dulu Mak."

"Halah, kayak boleh saja di ajak pergi jauh. Nanti kamu ngadu lagi ke Ridho yang tidak-tidak!"

Siti bicara ketus dan berbalik kembali ke dalam rumahnya. Mega hanya terdiam, tak ingin menambah keruhnya suasana yang sedang memanas. Padahal ia tak pernah merasa keberatan anak-anaknya di bawa pergi, bagaimanapun Siska juga bude ke dua putrinya.

"Makan apa sih bulek Siti itu, manusia kok kakunya kayak kanebo kering!" Ratih adik Dewi ikut bicara, sedari tadi dia sudah diam, namun merasa aneh sendiri dengan watak Siti dan Siska.

Sementara membiarkan anaknya di bawa ibu mertua, Mega melanjutkan kembali tugasnya memasak. Biarlah mereka bersama bude nya di rumah mertua, siapa tau hati kakak ipar perempuannya itu melunak juga.

"Kasihan ya si Siska, sudah lama nikah nggak juga punya anak!" Santi memulai kembali pembahasan yang coba di endap.

"Sudah bulek, nggak usah di bahas terus." Dewi menimpali

"Lho kan ya kasihan betul kan wi, dia kaya raya, toko baju di mana-mana, umur sudah hampir tiga puluh lima, tapi belum juga bisa punya anak!"

"Betul juga kata mbak Santi, harusnya sih si Siska itu angkat anak gitu, biar tua nanti nggak sendirian sama suaminya!" Rut adik bungsu Halimah ikut bicara.

"Orang nya nggak mau Rut, takut kalau ambil anak orang, nanti sudah besar semua hartanya jatuh ke orang lain dong! Lagian kamu bodoh sekali sih ga, anak di minta orang kaya kok ya nggak boleh!" Santi ikut bicara, setali tiga uang kali ini ucapannya mirip seperti kakaknya Siti.

"Mega nggak bisa bulek, memberi anak itu berat sekali." Mega berusaha tenang saat menjawab.

Santi berdecak kesal. "Oalah ga aku kasih tau ya, Siska itu kan orang berada, cukup, berlimpah, kamu kan nggak berada, jadi...

"Aku berada kok bulek, aku mampu!" Mega membanting kasar sotil masak di hadapannya. Sejak tadi dia sudah diam, menerima apapun yang mereka katakan, namun ternyata dia terus di injak dan di hina.

"Kalau kaya itu harus punya mobil seperti mbak Siska, nanti akan ada mobil di depan rumahku bulek. Aku masih mampu menghidupi anak-anakku sendiri, kalau bulek mau, kenapa nggak kasihkan saja cucu bulek sendiri, anaknya Astuti!"

Mega menantang Santi, sebulan lalu anak sulungnya baru saja melahirkan anak perempuan ke tiga, anaknya juga tak sekaya Siska, harusnya bisa juga menyerahkan anak bayinya itu.

"Astuti saja nunggu anak itu bertahun-tahun, mana boleh di kasih orang. Aku cuma kasihan sama mbak mu itu, kalau bayi itu anakku, sudah pasti aku kasihkan!"

"Lah kenapa nggak bulek saja yang hamil lagi!" Mega berdiri dari tempatnya duduk, menahan air mata yang hampir jatuh di pelupuk. " Jangan minta lagi aku menyerahkan anak bulek, tidak perlu bulek ajari aku untuk merasa iba, aku bahkan tak berhenti berdo'a untuk kehamilan mbak Siska!"

Mega menahan dadanya yang bergemuruh, ia bersedia melakukan apapun untuk kakak iparnya, mengantarkan kemanapun untuk mencari cara agar bisa hamil. Tapi jangan memintanya memberikan anak, ia tak sanggup melakukannya. Bukan, bukan dia egois, Mega juga hanya wanita biasa, ia hanya tak mampu memberikan anak kandungnya, apakah itu sebuah kesalahan besar?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status