"Tentu saja Mommy tak mau, Mommy akan ikut kemana pun kau pergi," balas Julie. "Mana Edward?" tanya Tuan Thomson. "Biasa, di dalam sedang bermalas malasan," balas Julie acuh. Tuan Thomson menggelengkan kepala melihat sikap acuh putrinya, Tuan Thomson masuk ke dalam mengabaikan Julie. Austin menemani Tuan Thomson dengan memegangi lengan tuanya, ia berniat untuk membantu Tuan Thomson. Tapi niat itu disalah artikan oleh Julie. "Gembel pencari muka, pantas mudah sekali dia mempengaruhi pikiran Daddy," sindir Julie yang masih bisa didengar Austin dan juga Tuan Thomson. "Abaikan saja ucapannya, aku pun sebagai orangtuanya malas menanggapinya. Semoga kau tak tersinggung dengan perkataannya," ucap Tuan Thomson. "Tidak, Kek. Aku tak mengambil hati, hinaan seperti ini sudah biasa ku dengar dulu," balas Austin. Tuan Thomson menghentikan langkah, menatap wajah Austin dengan lekat. Ia terkejut Austin berkata seperti itu. Tuan Thomson sangat penasaran dengan latar belakang cucu menantu kesay
"Nanti akan aku pikirkan, Kek," balas Austin tersenyum. "Oh, iya. Aku ingin menyuruhmu untuk tinggal di gedung kedua, aku harap kau tak menolaknya," ucap Tuan Thomson pada menantunya. "Baiklah Dad, aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi, apakah tak akan memancing kecemburuan bagi ipar lainnya, Dad?" tanya Edward. Edward tak masalah jika harus tinggal di gedung kedua, hanya saja ia malas berurusan dengan para iparnya. Ia tak beda jauh dengan Austin, selalu menerima hinaan jika ada pertemuan keluarga. Para ipar selalu mencari kesempatan untuk menghinanya. Beruntung Tuan Thomson berada di pihaknya, dan selalu membela. "Abaikan saja perkataan mereka, aku yang membuat keputusan siapa yang tinggal atau tidak. Aku menaruh penuh harap padamu untuk mengubah sifat Julie," balas Tuan Thomson. "Baiklah Dad, apapun yang kau inginkan." Austin, Kenny, Julie dan juga Edward bersiap untuk pindah ke kediaman Thomson. Tak banyak yang mereka bawa, hanya pakaian dan barang-barang penting lainnya. Berbe
"Baik, Nyonya." Julie membolakan mata saat mendengar Austin memanggilnya dengan sebutan Nyonya. Pandangannya teralihkan ke wajah sang Ibu, terlihat Nyonya Thomson merasa heran dengan panggilan Austin pada Ibu mertuanya. Julie menarik lengan menantunya. "Pria bodoh! Jangan memanggilku seperti itu di sini," ucap Julie berbisik. "Kau memanggilnya apa tadi, Nak?" tanya Tuan Thomson. "Mommy, Kek," balas Austin berbohong. Julie menundukkan kepala, jantungnya sudah berdetak tak menentu, takut dengan kemarahan sang Ayah. Sedangkan di sisi lain, Edward dan Kenny melihat Austin dan Julie dengan tatapan tanpa ekspresi. 'Punya suami bodoh dan Mommy terlalu tamak,' ucap Kenny dalam hati sambil bersedekap dada. "Aku belum tuli Austin! Kau panggil dia apa tadi?!" tanya Tuan Thomson membentak. Austin menagngkat wajah, menatap Tuan Thomson dengan takut. "N-nyonya, Kek," balas Austin takut. Terlihat kemarahan dalam diri Tuan Thomson, ia meremas tongkat lalu melayangkan tongkat itu padA tubuh pu
"Ke mana sofa yang biasanya di sana?" gumam Kenny. Ia sangat yakin sekali pada saat terakhir ia bermalam masih ada sofa panjang di kamarnya. Kenny menatap Austin lalu memindai kamarnya. Ia merasa bingung dengan pertanyaan Austin, ia pun tak mungkin mengizinkan Austin untuk tidur di kasurnya. "Kau tidur saja di lantai," balas Kenny. Ia berjalan melalui Austin, mengambil selimut dan bantal di ruang penyimpanan. "Kau gunakanlah ini," ucap Kenny memberikan selimut dan bantal. Austin menerima meski terpaksa, ia tak masalah mau tidur di mana pun. Suhu dingin malam tak berpengaruh pada tubuhnya, hanya saja, ia tak terbiasa tidur di lantai. Austin menatap lantai yang ditunjung Kenny, ia berjalan lalu membentangkan selimut untuk menjadi alas tidurnya. Dengan acuh Kenny kembali membaringkan tubuh di kasur dengan memunggungi suaminya. Tak ada rasa kasihan di hati saat melihat Austin merebahkan tubuh di lantai. kenny menjemput alam mimpi, tapi Austin masih terjaga. "Kenapa tak bisa tidur s
"Cukup Julie! Perkataanmu selalu saja tak mengenakkan," balas Nyonya Thomson. Julie datang ke rumah utama, ia tak betah berlama-lama di gedung kedua. Begitu masuk mulutnya melontarkan penghinaan pada Austin. "Aku tak salah Mom, memangnya gembel seperti dia mampu membaca buku-buku Daddy? Pasti otaknya tak akan sanggup membaca buku-buku bisnis itu," ucap Julie lagi. Austin tersenyum mendengar penghinaan Julie. Ia merasa lebih dari mampu untuk mencerna isi buku-buku yang dimaksud. Julie tak mengetahui kepintaran yang dimiliki Austin, hingga ia terus menghinanya. Nyonya Thomson menggelengkan kepala melihat sikap anaknya, ia mengelus dada menatap jengkel pada Julie. "Sudahlah, mau dia bisa atau tidak bukan urusanmu. Mesti tak bisa pun tak masalah." "Terserah saja." Julie masuk ke ruang makan, ia berniat sarapan bersama kedua orangtuanya. "Panggil istrimu, kita makan bersama," pinta Nyonya Thomson pada Austin. Austin naik ke atas memanggil Kenny, begitu sampai di dalam kamar, ia bing
"Tak masalah, Mom. Ayo sayang kita keluar, aku sudah tak sabar ingin bekunjung ke prusahaanmu," ucap Julie bersemangat. "Tidak, kau tak perlu ke perusahaan. Kau tetaplah di rumah, tak perlu repot mengurusi perusahaan," balas Edward cepat. Julie menatap aneh pada suaminya, ia tak menyangka akan mendapatkan penolakan seperti itu. Bukan hanya Julie yang merasa aneh dengan penolakkan itu, Austin pun menatap Ayah mertuanya dengan pandangan heran. 'Mengapa Daddy tak membolehkan Mommy ke perusahaan? Bukankah hanya kunjungan biasa? Atau ada yang sengaja ia tutupi dari Mommy?' batin Austin menilai ekspresi Edward. "Kenapa kau melarangku? Apakah aku tak boleh berkunjung ke perusahaan suamiku sendiri?" tanya Julie. "Bukan seperti itu, aku sedang ada banyak pekerjaan, bahkan aku ada meeting dengan klien di luar. Kau pasti jenuh jika di sana sendiri," balas Edward. "Baiklah, jika begitu berikan aku uang belanja. Sudah lama aku tak melihat koleksi tas terbaru," ucap Julie sambil menengadahkan t
"Yasudah jika kau tak mau menjawabnya. Kau bisa menggunakan mobil di garasi, pilih saja mana yang kau inginkan." Nyonya Thomson sadar jika putrinya yang merampas mobil Austin, Austin pria baik yang tak mau membuatnya membenci sang putri. "Terima kasih, Nek." Austin pergi menuju garasi, ia melihat begitu banyak mobil terparkir di sana. Mulai dari mobil klasik jaman dulu, hingga mobil-mobil edisi terbatas. Ada satu mobil yang mendapatkan perhatiannya, mobil itu adalah mobil sport seperti miliknya dulu. Mobil dengan lambang kuda berwarna merah, membuatnya mengingat momen saat sang Ibu memberikannya sebagai hadiah. "Mobil ini sama persis dengan mobil pemberian Mommy dulu," gumam Austin sambil menyentuh mobil yang ia maksud. Austin meminta kunci pada penjaga garasi, ia mengemudikan mobil dengan senyum yanng mengembang. Momen indah itu masih terukir di dalam kepalanya. 'Semoga Mommy selalu menemani langkahku,' ucapnya dalam hati. Ia mencoba mengingat jalan menuju kantor Lea, meski ba
"Kau salah paham, mungkin Aurel rindu dengan daddynya dan menganggap Austin sebagai daddynya," balas Lea cepat. Kenny ternyata datang ke perusahaan Lea bersama asistennya. Ia berniat untuk mengajukan kerjasama demi membantu perusahaan temannya yang hampir menyentuh ambang batas kehancuran. Tapi Kenny dikejutkan dengan pemandangan yang ada di hadapannya, ia memiliki pemikiran jika Lea dan Austin memiliki hubungan sebelum Austin menikahinya. "Aku tak perduli hubungan kalian apa, tapi jika aku menemukan suatu kebohongan di antara kalian, aku tak akan segan untuk mengajukan perceraian dan mengahancurkan perusahaanmu," balas Kenny. Kenny sangat membenci sebuah pengkhianatan, ia memang tak mencintai Austin. Tapi pernikahan ini ia lakukan dengan kesadaran penuh karena baginya pernikahan untuk sekali seumur hidup. Terlebih pernikahan sangat sakral di mata Tuham. "Aku menjamin itu, tak ada suatu kebohongan pada hubungan kami. Maafkan Aurel yang tak sengaja memanggil Austin dengan sebutan it