Share

Bab 3

Penulis: Naimatun Niqmah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-14 16:22:41

Akhirnya sampai dirumah juga, tanpa membawa baju kotor mertua. Karena mas Riko tidak mendengar teriakan ibunya ketika terburu melangkah ke kami dengan membawa kresek besar warna hitam. Akupun juga diam saja seolah tak melihatnya. Kalau ibu mau marah, yang kena marahkan anaknya sendiri yang memboceng. Aku mengulum senyuman dibibir dengan puas.

Aku membuka pintu rumah dan masuk dengan langkah yang lelah dan perut yang terasa lapar. Langsung melangkah ke dapur. Teringat masih punya mie instan dan telor. Makanan favorit, apa lagi suasana hati lagi kacau. Dengan cepat aku mengolahnya.

Satu bungkus mie instan kuah di campur dengan empat telor dan irisan sawi telah matang. Ku tiup pelan-pelan lalu menyantapnya. Memang seperti ini lah aku. kalau hati lagi kacau pelampiasanku ke makanan. Kalau kebanyakan orang, sakit hati gak selera makan, aku malah sebaliknya. Semakin sakit hati semakin aku kuat makan. Biarin saja badan makin melebar seperti drum kata mertua. Dari pada sudah sakit hati badan kurus, lebih menyakitkan.

"Ko mana Rasti?"

Terdengar suara melengking dari teras rumah. Suara yang tak asing lagi, suara mertua.

"Lagi makan bu didapur."

Jawab mas Riko sedikit berteriak sambil melepas baju Yuda untuk di suruh mandi.

"Ibu tadi teriak-teriak kamu malah ngegas bawa motornya."

Ucap mertua seraya masuk kerumah tanpa salam. Seperti itulah mertua. Sudah tak heran. Aku pun tetap meneruskan makan mie instan dan empat telur yang masih panas. Mantap.

"Lha emang kenapa ibu teriak-teriak?"

Tanya mas Riko sambil menggandeng anaknya ke kamar mandi. Yuda pasti nurut kalau ayahnya yang nyuruh mandi. Kalau aku yang nyuruh sampai mulut sariawan, Yuda malas beranjak, mementingkan acara TV favoritnya.

"Ini looo ibu nitip baju kotor sekalian, mesin cuci ibu rusak, malah neloyor aja kamu,"

Jawab ibu sambil menaruh baju kotornya didekat mesin cuci. Mas Riko sibuk dengan anaknya dikamar mandi. Aku masih menikmati mie telorku. 'Ternyata nekad juga bawa baju kotornya kesini. Kenapa tidak dibawa kerumah mantu kesayangannya.' Hatiku semakin kesal. 

"Biyuh Ti Rasti, makan mie kok banyak telornya, pantesan badanmu kayak plendungan mau pecah, makan aja kerjaanmu sampai Riko yang mandiin Yuda."

Ucap ibu yang mendekat ke arahku. Terheran melihat porsi makanku. Dan seolah gak terima anak lanangnya mandiin cucunya. (Plendungan itu balon yang di tiup sampai besar hingga hampir meletus).

"Gakpapa lah bu badan kayak plendungan mau pecah, biar kelihatan mas Riko sukses nafkahi istrinya."

Jawabku asal sambil menyeruput kuah mie telur. Ibu ikut duduk dimeja makan. Aku enggan menawarinya. 

"Badan udah gemuk kayak sapi siap dikorbankan kok makan gak di kurangi, belajar dari adikmu itu si Lika badannya lansing bagus enak di lihat."

Cerocos ibuk seenaknya, justru membuatku membuka magicom menambahkan nasi di mangkok mie instanku. Tatapan mertua terlihat semakin tidak suka. Padahal sudah dirumah si gula tapi tetap saja si kopi yang dipujinya.

"Lika wajar lah bu langsing, belum pernah hamil, nglahirin dan belum kena suntik KB, jadi masih bagus badannya dan gak ibuk suruh minum jamu juga, kayak aku dulu waktu belum hamil."

Jawabku sambil mengaduk makananku. Dan memakannya dengan lahap. Lagian dirumah sendiri juga, suka-suka hati mau makan banyak. Semakin sakit hati semakin kuat aku makan.

Dulu sebelum hamil entah jamu apa aja yang diberikan ibu kepadaku, dari yang rasa tawar, manis, asam, pahit pokoknya pernah aku rasakan. Sampai badanku yang ramping jadi bengkak seperti ini. Tapi itu tidak belaku untuk Lika.

"Lika kan bidan, dia tau kesehatan, lagian biarin belum punya anak dulu, biar kumpul-kumpul dulu, lagian ibukkan udah punya cucu sekarang, Yuda, Lika biar ngejar karirnya dulu,"

Ucapnya yang masih menatapku memasukkan makanan kemulut. Malas jawabnya. Di jawabpun gak akan ada habisnya. Tetap Lika yang benar. Mending menikmati makanku sampai kenyang. Kalau udah kenyang nanti pasti dapat ide cemerlang untuk ngerjain mertua.

"Cuciin baju ibuk, masin cuci ibuk lagi rusak."

Ucapnya dengan gayanya yang ngeselin kayak nyonya besar. Sedangkan ibu kandungku sendiri kalau menyuruh anaknya masih ada kata 'tolong' jadi terdengar enak di telinga dan ikhlas mengerjakannya.

"Iya."

Ucapku malas sambil berlalu mencuci piring di westafel, karena sudah selesai makan. Biarlah mencucikan baju mertua dari pada panjang urusannya, lagian ada mesin cuci juga. Ku lihat Yuda sudah selesai mandi dan sudah memakai baju.

"Rumahmu ini apa gak pernah di pel to? Kok ngeres di kaki, cucian piring numpuk, baju kotor numpuk, mandiin anak juga Riko, kerjamu ini ngapain aja dirumah, pemales tenan, cuma bengkakin badan aja kerjaanmu."

Cerocosnya berjalan sambil jinjit menuju ruang tamu. Padahal tadi waktu bawa baju kotornya santai saja, tidak jinjit. Takku jawab ucapannya. Biarkan dia ngoceh sendiri. 'Tau kalau cucianku numpuk, gitu masih ditambahin juga, gak inget apa aku seharian bantuin dirumahnya' gerutuku geram dalam hati.

"Ti buatin ibu kopi! pusing kepala ibu belum ngopi."

Perintahnya padaku. Dengan malas kubuatkan kopi. Ku aduk kopi itu dengan perasaan yang berkemelut. Ingin tenang sampai rumah, ternyata mertua nyusul dengan baju kotornya dan nerocos entah apa yang di bahasnya. Tak begitu aku perdulikan. Kepalaku juga pusing dengar ocehannya.

Kulihat mas Riko menstarter motor bersama Yuda. Seperi biasa setelah mandi jalan-jalan sore. Biasanya akupun diajak. Mungkin karena ada ibu, jadi aku tak diajaknya. Kusuguhkan kopi buatanku dengan malas. Dan ikut duduk dengan memainkan gawaiku.

"Kok kopinya pait Ti? Gak kamu kasih gula to?"

Sentak mertua sambil melepeh kopinya. Dan membersihkan mulutnya dengan ujung kain bajunya, dan bergegas tanpa jinjit kedapur mencari air putih.

"Ibukkan nyuruhnya bikinin kopi bukan wedang kopi."

Jawabku sok polos sedikit berteriak sambil menahan tawa. Dan asyik dengan mata yang masih mengarah ke gawai. Perut sudah kenyang jadi pikiran jernih. Muncul ide jahil ngerjain mertua. Karena aku tau ibu tak suka pahit.

"Astaga Rastiiiii salah apa ibuk punya mantu kayak kamu."

Sahutnya dengan nada kesal dan mengacak pinggang. Seakan aku mantu yang paling bodoh.

Bukannya aku gak faham dengan perintah mertua. Biarlah terlihat bodoh, karena aku lagi sakit hati.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Kaya Dipuja, Menantu Miskin Dihina   Bab 115

    Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma

  • Menantu Kaya Dipuja, Menantu Miskin Dihina   Bab 114

    “Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a

  • Menantu Kaya Dipuja, Menantu Miskin Dihina   Bab 113

    “Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata

  • Menantu Kaya Dipuja, Menantu Miskin Dihina   Bab 112

    “Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga

  • Menantu Kaya Dipuja, Menantu Miskin Dihina   Bab 111

    [Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati

  • Menantu Kaya Dipuja, Menantu Miskin Dihina   Bab 110

    “Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status