Share

Bab 3

Akhirnya sampai dirumah juga, tanpa membawa baju kotor mertua. Karena mas Riko tidak mendengar teriakan ibunya ketika terburu melangkah ke kami dengan membawa kresek besar warna hitam. Akupun juga diam saja seolah tak melihatnya. Kalau ibu mau marah, yang kena marahkan anaknya sendiri yang memboceng. Aku mengulum senyuman dibibir dengan puas.

Aku membuka pintu rumah dan masuk dengan langkah yang lelah dan perut yang terasa lapar. Langsung melangkah ke dapur. Teringat masih punya mie instan dan telor. Makanan favorit, apa lagi suasana hati lagi kacau. Dengan cepat aku mengolahnya.

Satu bungkus mie instan kuah di campur dengan empat telor dan irisan sawi telah matang. Ku tiup pelan-pelan lalu menyantapnya. Memang seperti ini lah aku. kalau hati lagi kacau pelampiasanku ke makanan. Kalau kebanyakan orang, sakit hati gak selera makan, aku malah sebaliknya. Semakin sakit hati semakin aku kuat makan. Biarin saja badan makin melebar seperti drum kata mertua. Dari pada sudah sakit hati badan kurus, lebih menyakitkan.

"Ko mana Rasti?"

Terdengar suara melengking dari teras rumah. Suara yang tak asing lagi, suara mertua.

"Lagi makan bu didapur."

Jawab mas Riko sedikit berteriak sambil melepas baju Yuda untuk di suruh mandi.

"Ibu tadi teriak-teriak kamu malah ngegas bawa motornya."

Ucap mertua seraya masuk kerumah tanpa salam. Seperti itulah mertua. Sudah tak heran. Aku pun tetap meneruskan makan mie instan dan empat telur yang masih panas. Mantap.

"Lha emang kenapa ibu teriak-teriak?"

Tanya mas Riko sambil menggandeng anaknya ke kamar mandi. Yuda pasti nurut kalau ayahnya yang nyuruh mandi. Kalau aku yang nyuruh sampai mulut sariawan, Yuda malas beranjak, mementingkan acara TV favoritnya.

"Ini looo ibu nitip baju kotor sekalian, mesin cuci ibu rusak, malah neloyor aja kamu,"

Jawab ibu sambil menaruh baju kotornya didekat mesin cuci. Mas Riko sibuk dengan anaknya dikamar mandi. Aku masih menikmati mie telorku. 'Ternyata nekad juga bawa baju kotornya kesini. Kenapa tidak dibawa kerumah mantu kesayangannya.' Hatiku semakin kesal. 

"Biyuh Ti Rasti, makan mie kok banyak telornya, pantesan badanmu kayak plendungan mau pecah, makan aja kerjaanmu sampai Riko yang mandiin Yuda."

Ucap ibu yang mendekat ke arahku. Terheran melihat porsi makanku. Dan seolah gak terima anak lanangnya mandiin cucunya. (Plendungan itu balon yang di tiup sampai besar hingga hampir meletus).

"Gakpapa lah bu badan kayak plendungan mau pecah, biar kelihatan mas Riko sukses nafkahi istrinya."

Jawabku asal sambil menyeruput kuah mie telur. Ibu ikut duduk dimeja makan. Aku enggan menawarinya. 

"Badan udah gemuk kayak sapi siap dikorbankan kok makan gak di kurangi, belajar dari adikmu itu si Lika badannya lansing bagus enak di lihat."

Cerocos ibuk seenaknya, justru membuatku membuka magicom menambahkan nasi di mangkok mie instanku. Tatapan mertua terlihat semakin tidak suka. Padahal sudah dirumah si gula tapi tetap saja si kopi yang dipujinya.

"Lika wajar lah bu langsing, belum pernah hamil, nglahirin dan belum kena suntik KB, jadi masih bagus badannya dan gak ibuk suruh minum jamu juga, kayak aku dulu waktu belum hamil."

Jawabku sambil mengaduk makananku. Dan memakannya dengan lahap. Lagian dirumah sendiri juga, suka-suka hati mau makan banyak. Semakin sakit hati semakin kuat aku makan.

Dulu sebelum hamil entah jamu apa aja yang diberikan ibu kepadaku, dari yang rasa tawar, manis, asam, pahit pokoknya pernah aku rasakan. Sampai badanku yang ramping jadi bengkak seperti ini. Tapi itu tidak belaku untuk Lika.

"Lika kan bidan, dia tau kesehatan, lagian biarin belum punya anak dulu, biar kumpul-kumpul dulu, lagian ibukkan udah punya cucu sekarang, Yuda, Lika biar ngejar karirnya dulu,"

Ucapnya yang masih menatapku memasukkan makanan kemulut. Malas jawabnya. Di jawabpun gak akan ada habisnya. Tetap Lika yang benar. Mending menikmati makanku sampai kenyang. Kalau udah kenyang nanti pasti dapat ide cemerlang untuk ngerjain mertua.

"Cuciin baju ibuk, masin cuci ibuk lagi rusak."

Ucapnya dengan gayanya yang ngeselin kayak nyonya besar. Sedangkan ibu kandungku sendiri kalau menyuruh anaknya masih ada kata 'tolong' jadi terdengar enak di telinga dan ikhlas mengerjakannya.

"Iya."

Ucapku malas sambil berlalu mencuci piring di westafel, karena sudah selesai makan. Biarlah mencucikan baju mertua dari pada panjang urusannya, lagian ada mesin cuci juga. Ku lihat Yuda sudah selesai mandi dan sudah memakai baju.

"Rumahmu ini apa gak pernah di pel to? Kok ngeres di kaki, cucian piring numpuk, baju kotor numpuk, mandiin anak juga Riko, kerjamu ini ngapain aja dirumah, pemales tenan, cuma bengkakin badan aja kerjaanmu."

Cerocosnya berjalan sambil jinjit menuju ruang tamu. Padahal tadi waktu bawa baju kotornya santai saja, tidak jinjit. Takku jawab ucapannya. Biarkan dia ngoceh sendiri. 'Tau kalau cucianku numpuk, gitu masih ditambahin juga, gak inget apa aku seharian bantuin dirumahnya' gerutuku geram dalam hati.

"Ti buatin ibu kopi! pusing kepala ibu belum ngopi."

Perintahnya padaku. Dengan malas kubuatkan kopi. Ku aduk kopi itu dengan perasaan yang berkemelut. Ingin tenang sampai rumah, ternyata mertua nyusul dengan baju kotornya dan nerocos entah apa yang di bahasnya. Tak begitu aku perdulikan. Kepalaku juga pusing dengar ocehannya.

Kulihat mas Riko menstarter motor bersama Yuda. Seperi biasa setelah mandi jalan-jalan sore. Biasanya akupun diajak. Mungkin karena ada ibu, jadi aku tak diajaknya. Kusuguhkan kopi buatanku dengan malas. Dan ikut duduk dengan memainkan gawaiku.

"Kok kopinya pait Ti? Gak kamu kasih gula to?"

Sentak mertua sambil melepeh kopinya. Dan membersihkan mulutnya dengan ujung kain bajunya, dan bergegas tanpa jinjit kedapur mencari air putih.

"Ibukkan nyuruhnya bikinin kopi bukan wedang kopi."

Jawabku sok polos sedikit berteriak sambil menahan tawa. Dan asyik dengan mata yang masih mengarah ke gawai. Perut sudah kenyang jadi pikiran jernih. Muncul ide jahil ngerjain mertua. Karena aku tau ibu tak suka pahit.

"Astaga Rastiiiii salah apa ibuk punya mantu kayak kamu."

Sahutnya dengan nada kesal dan mengacak pinggang. Seakan aku mantu yang paling bodoh.

Bukannya aku gak faham dengan perintah mertua. Biarlah terlihat bodoh, karena aku lagi sakit hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status