“Dek, ibuk nelpon suruh antar bajunya yang kemarin,”
Ucap mas Riko sambil meletakkan gawainya dimeja. Membuatku enggan untuk menjawab.
“Dek baju ibu udah keringkan?”
Tanyanya lagi seraya duduk disofa.
“Sudah kayaknya.”
Jawabku dengan nada malas, seraya beranjak keluar menuju jemuran. Memastikan baju-baju ibuk kemarin sudah kering atau belum. Ternyata sudah pada kering sekalian aku mengangkat dan membawanya masuk kerumah sekalian melipatnya.
“Ini mas baju ibuk, mas yang ngantar ya?”
Ucapku kepada mas Riko sambil memasukkan baju ibuk ke dalam kresek yang sudah terlipat rapi.
“kamu ajalah dek yang ngantar, mas capek.”
Sahutnya sambil rebahan di sofa. Jawaban yang sangat menyebalkan.
“Adek juga capek loo mas.”
Ucapku dengan nada kesal, meletakkan baju mertua yang sudah rapi di dalam kresek di meja ruang tamu. Karena sejujurnya aku malas kerumah mertua.
“Capek apalah kamu ini dek, kalau mas wajar capek habis pulang dari kebun manen sawit.”
Jawabnya yang masih rebahan disofa, dengan meletakkan tangan kanannya di atas keningnya.
Ucapan itu memang sering terlontar dari mulut mas Riko dan ibunya. Mungkin karena aku terlihat tak bekerja. Padahal kerjaan sebagai ibu rumah tangga tak ada habisnya, dari bangun tidur sampai tidur lagi, kerjaan rumah tangga selalu menunggu, dan tak ada liburnya. Selama ini aku hanya diam. Tapi sekarang rasanya sudah tidak kuat. Ingin rasanya aku teriak menjawab ucapan mereka yang sering ngomong kerjaanku cuma makan tidur bengkakin badan. Sakit.
“Terus mas pikir yang masak, nyuci,nyapu, ngepel, setrika, antar jemput Yuda sekolah itu siapa? Apa tau-tau semuanya selesai sendiri?”
Ucapku dengan nada kesal. Terasa naik turun nafasku, mengatur emosi yang ingin meledak.
“kamu kenapa sih dek? Cuma gara-gara suruh ngantar baju ibuk aja kok sampai kemana-kemana ngomongnya.”
Tanya mas Riko seraya duduk menghadapku dengan tatapan yang bingung. Karena selama ini aku hanya diam, dan hanya menyimpan ucapan pahit itu dalam hati.
“Aku capek, aku lelah.”
Sahutku berlalu menuju ke kamar. Cuma ucapan itu yang bisa aku sampaikan. Mas Riko memang tidak peka. Sama sekali tidak peka.
“Kamu kenapa sih dek, Cuma gitu aja nangis, kalau gak mau ngantar baju ibuk ya sudah, biar ibuk nanti yang ngambil, sama orang tua sendiri itung-itungan banget,”
Ucap mas Riko di ambang pintu kamar dengan nada yang tinggi. Dia mendekatiku. Ku rebahkan badanku diatas ranjang, menutup wajah dengan kedua tanganku. Iya aku menagis.
“lho kok malah nangis sih? Aku ini capek loo dek, pulang kerja kok malah diajak ribut,”
Ucapnya lagi sambil menarik tanganku, hingga terlihatlah wajahku dengan anakan sungai yang mengalir. Jemarinya mengusap pipiku, semakin membuat tangisku meledak.
“kamu itu kenapa sih dek, akhir-akhir ini mas rasakan kamu enggan kerumah ibuk?” tanyanya lagi.
“Aku sakit hati dengan perlakuan ibuk.”
Jawabku reflek. Akhirnya kata itu keluar juga dari mulutku. Mas Riko terbelalak mendengar ucapanku. Seakan tak percaya dengan kata yang keluar dari mulutku.
“Sakit hati dengan perlakuan ibuk? Emang ibuk ngapain kamu? Ibuk punya salah apa sama kamu?”
Ucap mas Riko tak terima, karena selama ini yang dia tau ibunya sangatlah baik.
“Ibuk tak adil dengan menantu.”
Jawabku singkat. Bingung bagaimana mau menjelaskan ke suamiku itu.
“Tak adil dengan menantu? Maksudmu ibuk lebih sayang dengan Lika?”
Tanya mas Riko dengan heran. Hanya ku jawab dengan anggukan. Dia berdiri dan mengusap wajahnya dengan kasar. Terdiam sejenak. Mengatur nafasnya yang juga terlihat membuncah.
“Ibuk itu adil dek, dia tidak pernah membedakan mana mantu mana anak, semuanya ibuk anggap anak, ingat dek rumah kita ini bantuan dari ibuk, kebun sawit yang jadi penghasilan rumah tangga kita juga dari ibuk, biaya operasi sesar waktu kamu lahiran juga ibuk yang bantu, sebegitu baiknya ibuk masih kurang adil dimatamu?"
Ucapnya dengan nada yang merasa tak terima, kalau ibunya aku bilang tak adil dengan mantu. Iya memang semuanya ini pemberian ibu. Aku tau itu. Tapi bukan itu. Mulutku terasa kelu tak bisa melanjutkan ucapanku. Disinilah kelemahanku, kalau sudah menagis hilang semua apa yang ingin aku sampaikan.
"Masalah Lika itu hanya perasaanmu saja yang iri melihat kedekatan ibuk dan Lika, harusnya kamu belajar dari Lika, Lika bisa sedekat itu dengan ibuk, kenapa kamu tidak.”
Ucapnya lagi, yang membuat hatiku semakin terluka. Iya Lika selalu baik dimata semua orang. Aku hanya terdiam, bingung bagaimana mau menjelaskan semuanya.
“Oya kasih mas bukti kalau ibuk tidak adil seperti yang kamu tuduhkan.”
ucapnya lagi dengan nada geram, seraya menatapku dengan tatapan yang entah, dan berlalu keluar dari kamar dengan membanting pintu dengan kasar. Membuat hatiku semakin sakit.
“Emak, Abah, Rasti kangen kalian.”
Ucapku lirih mengingat kedua orang tuaku yang jauh di seberang lautan. Sakit mendengar ucapan suami yang tidak mempercayai ucapanku istrinya, dan malah menyuruhku belajar kepada Lika untuk mengambil hati mertua. Aku menangis seorang diri di dalam kamar, dengan memeluk lututku sendiri. Aku merasa sendirian.
Delapan tahun pernikahan, baru hari ini aku berani ngomong seperti ini. Walaupun mas Riko tidak percaya dengan ucapanku, biarlah. Dan baru hari ini juga aku bertengkar dengan mas Riko perihal ibuk, terlalu lama aku menyimpan sendiri perlakuan mertua yang sering menyakiti hatiku. Terasa percuma mengadu kesuami, karena aku sendiri tak mempunyai bukti. Entah bagaimana aku akan membuktikannya.
Aku hanya bisa menangis, tak tau ingin mengadu kepada siapa lagi. Suami tak peka dan tak percaya dengan ucapanku. Dia juga menyanjung sang kopi, mungkin memang si gula harus belajar kepada sang kopi untuk mendapat pengakuan akan hadirnya.
"Emak, abah, Rasti ingin pulang." Ucapku lirih ditemani air mata.
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan