Share

Bab 4

“Dek, ibuk nelpon suruh antar bajunya yang kemarin,” 

Ucap mas Riko sambil meletakkan gawainya dimeja. Membuatku enggan untuk menjawab. 

“Dek baju ibu udah keringkan?” 

Tanyanya lagi seraya duduk disofa.

“Sudah kayaknya.” 

Jawabku dengan nada malas, seraya beranjak keluar menuju jemuran. Memastikan baju-baju ibuk kemarin sudah kering atau belum. Ternyata sudah pada kering sekalian aku mengangkat dan membawanya masuk kerumah sekalian melipatnya. 

“Ini mas baju ibuk, mas yang ngantar ya?” 

Ucapku kepada mas Riko sambil memasukkan baju ibuk ke dalam kresek yang sudah terlipat rapi.

“kamu ajalah dek yang ngantar, mas capek.” 

Sahutnya sambil rebahan di sofa. Jawaban yang sangat menyebalkan. 

“Adek juga capek loo mas.” 

Ucapku dengan nada kesal, meletakkan baju mertua yang sudah rapi di dalam kresek di meja ruang tamu. Karena sejujurnya aku malas kerumah mertua.

“Capek apalah kamu ini dek, kalau mas wajar capek habis pulang dari kebun manen sawit.” 

Jawabnya yang masih rebahan disofa, dengan meletakkan tangan kanannya di atas keningnya. 

Ucapan itu memang sering terlontar dari mulut mas Riko dan ibunya. Mungkin karena aku terlihat tak bekerja. Padahal kerjaan sebagai ibu rumah tangga tak ada habisnya, dari bangun tidur sampai tidur lagi, kerjaan rumah tangga selalu menunggu, dan tak ada liburnya. Selama ini aku hanya diam. Tapi sekarang rasanya sudah tidak kuat. Ingin rasanya aku teriak menjawab ucapan mereka yang sering ngomong kerjaanku cuma makan tidur bengkakin badan. Sakit. 

“Terus mas pikir yang masak, nyuci,nyapu, ngepel, setrika, antar jemput Yuda sekolah itu siapa? Apa tau-tau semuanya selesai sendiri?” 

Ucapku dengan nada kesal. Terasa naik turun nafasku, mengatur emosi yang ingin meledak. 

“kamu kenapa sih dek? Cuma gara-gara suruh ngantar baju ibuk aja kok sampai kemana-kemana ngomongnya.” 

Tanya mas Riko seraya duduk menghadapku dengan tatapan yang bingung. Karena selama ini aku hanya diam, dan hanya menyimpan ucapan pahit itu dalam hati.

“Aku capek, aku lelah.” 

Sahutku berlalu menuju ke kamar. Cuma ucapan itu yang bisa aku sampaikan. Mas Riko memang tidak peka. Sama sekali tidak peka. 

“Kamu kenapa sih dek, Cuma gitu aja nangis, kalau gak mau ngantar baju ibuk ya sudah, biar ibuk nanti yang ngambil, sama orang tua sendiri itung-itungan banget,” 

Ucap mas Riko di ambang pintu kamar dengan nada yang tinggi. Dia mendekatiku. Ku rebahkan badanku diatas ranjang, menutup wajah dengan kedua tanganku. Iya aku menagis.

“lho kok malah nangis sih? Aku ini capek loo dek, pulang kerja kok malah diajak ribut,” 

Ucapnya lagi sambil menarik tanganku, hingga terlihatlah wajahku dengan anakan sungai yang mengalir. Jemarinya mengusap pipiku, semakin membuat tangisku meledak.

“kamu itu kenapa sih dek, akhir-akhir ini mas rasakan kamu enggan kerumah ibuk?” tanyanya lagi.

“Aku sakit hati dengan perlakuan ibuk.”

Jawabku reflek. Akhirnya kata itu keluar juga dari mulutku. Mas Riko terbelalak mendengar ucapanku. Seakan tak percaya dengan kata yang keluar dari mulutku.

“Sakit hati dengan perlakuan ibuk? Emang ibuk ngapain kamu? Ibuk punya salah apa sama kamu?” 

Ucap mas Riko tak terima, karena selama ini yang dia tau ibunya sangatlah baik.

“Ibuk tak adil dengan menantu.” 

Jawabku singkat. Bingung bagaimana mau menjelaskan ke suamiku itu.

“Tak adil dengan menantu? Maksudmu ibuk lebih sayang dengan Lika?” 

Tanya mas Riko dengan heran. Hanya ku jawab dengan anggukan. Dia berdiri dan mengusap wajahnya dengan kasar. Terdiam sejenak. Mengatur nafasnya yang juga terlihat membuncah.

“Ibuk itu adil dek, dia tidak pernah membedakan mana mantu mana anak, semuanya ibuk anggap anak, ingat dek rumah kita ini bantuan dari ibuk, kebun sawit yang jadi penghasilan rumah tangga kita juga dari ibuk, biaya operasi sesar waktu kamu lahiran juga ibuk yang bantu, sebegitu baiknya ibuk masih kurang adil dimatamu?"

Ucapnya dengan nada yang merasa tak terima, kalau ibunya aku bilang tak adil dengan mantu. Iya memang semuanya ini pemberian ibu. Aku tau itu. Tapi bukan itu. Mulutku terasa kelu tak bisa melanjutkan ucapanku. Disinilah kelemahanku, kalau sudah menagis hilang semua apa yang ingin aku sampaikan.

"Masalah Lika itu hanya perasaanmu saja yang iri melihat kedekatan ibuk dan Lika, harusnya kamu belajar dari Lika, Lika bisa sedekat itu dengan ibuk, kenapa kamu tidak.”

Ucapnya lagi, yang membuat hatiku semakin terluka. Iya Lika selalu baik dimata semua orang. Aku hanya terdiam, bingung bagaimana mau menjelaskan semuanya. 

 “Oya kasih mas bukti kalau ibuk tidak adil seperti yang kamu tuduhkan.”

ucapnya lagi dengan nada geram, seraya menatapku dengan tatapan yang entah, dan berlalu keluar dari kamar dengan membanting pintu dengan kasar. Membuat hatiku semakin sakit.

“Emak, Abah, Rasti kangen kalian.” 

Ucapku lirih mengingat kedua orang tuaku yang jauh di seberang lautan. Sakit mendengar ucapan suami yang tidak mempercayai ucapanku istrinya, dan malah menyuruhku belajar kepada Lika untuk mengambil hati mertua. Aku menangis seorang diri di dalam kamar, dengan memeluk lututku sendiri. Aku merasa sendirian.

Delapan tahun pernikahan, baru hari ini aku berani ngomong seperti ini. Walaupun mas Riko tidak percaya dengan ucapanku, biarlah. Dan baru hari ini juga aku bertengkar dengan mas Riko perihal ibuk, terlalu lama aku menyimpan sendiri perlakuan mertua yang sering menyakiti hatiku. Terasa percuma mengadu kesuami, karena aku sendiri tak mempunyai bukti. Entah bagaimana aku akan membuktikannya. 

Aku hanya bisa menangis, tak tau ingin mengadu kepada siapa lagi. Suami tak peka dan tak percaya dengan ucapanku. Dia juga menyanjung sang kopi, mungkin memang si gula harus belajar kepada sang kopi untuk mendapat pengakuan akan hadirnya.

"Emak, abah, Rasti ingin pulang." Ucapku lirih ditemani air mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status