"Dek ibuk nelpon disuruh bantuin cuci piring,"
Kata mas Riko diambang pintu. Aku dan Yuda asyik nonton TV. Aku malas menjawabnya. Seperti yang kuduga ibu pasti ngadu yang tidak jelas.
"Kata ibuk kamu pulang duluan gak bantuin sampai acara selesai, kasihan Lika capek sendirian,"
Ucap mas Riko masuk kedalam rumah dan bergabung didekatku dan Yuda. Aku masih terdiam menonton TV. Lagi-lagi di mata ibuk hanya Lika yang pengertian. Dan hanya Lika yang capek.
"Dek kok diem aja sih? Mas ini lagi ngomong lo,"
Ucapnya lagi sambil menarik tanganku. Yuda melirik aksi ayahnya dan mengamati raut wajahku yang malas untuk menjawab.
"Kamu kenapa?"
Tanya mas Riko memastikan. Mataku mulai mengembun. Ingin menangis tapi aku tahan karena ada Yuda anakku. Ku menarik nafas dengan kuat dan melepaskannya secara teratur. Menata hati yang terlanjur pecah.
"Tadi jemput Yuda pulang sekolah."
Hanya jawaban itu yang bisa keluar dari mulutku. Percuma juga mau ngadu pasti sudah ke duluan mertua.
"Ke rumah ibuk yok mas anter, kasihan Lika cuci piring sendirian,"
Ucap mas Riko dengan menatap lekat wajahku. Aku menggeleng. Terlanjur sakit hati ini.
"Kamu kenapa sih dek? Ibuk udah baik banget lo sama kita, kalau gak di bantu ibuk kita belum punya rumah, mungkin sampai sekarang masih tinggal sama ibuk."
Ucap mas Riko merayuku. Di mata mas Riko ibunya memang baik. Wanita yang sangat pengertian dan adil. Karena memang tak pernah ngomong pedas didepan anak lanangnya. Selalu nampak manis dan wibawa didepannya.
"Ya udah tapi selesai cuci piring langsung pulang ya?"
Akupun memutuskan mengalah. Mengingat juga kebaikan mertua selama ini. Mertua juga yang merawatku waktu melahirkan Yuda, ikut membantu membayar biaya operasi sesar. Karena orang tuaku jauh di seberang lautan, bisa datang pas acara aqikah Yuda.
Aku berangkat ke rumah mertua dengan suami dan anakku. Setidaknya kalau ada anak dan cucunya tidak akan melontarkan omongan yang pedas kepadaku.
"Yualah Ti Rasti, kasihan Lika pontang panting sendirian nyuguhin tamu, sampe ada yang nanya Rasti mana, kok cuma Lika yang datang? Ibuk bingung jawabnya, dikira orang ibuk mertua gak adil sama mantu."
Ucap ibu nerocos saat kaki baru melangkah masuk kerumahnya. Ucapan yang terdengar bijak didepan anaknya. Mas Riko hanya diam berlalu menuju dapur kemudian membuka tudung saji. Melihat masih ada makanan yang tersisa atau tidak.
Tak ku jawab ucapan mertua. Aku langsung menghampiri Lika yang masih mencuci piring dengan raut muka yang lelah.
Mungkin bagi para tamu hanya Lika menantu yang mengerti kerepotan mertua. Sedangkan aku menantu malas yang hanya numpang enak gemukin badan.
"Mbak terusin ya cuci piringnya, aku capek banget."
Ucap Lika memulai pembicaraan. Dan mencuci tanggannya mengeringkan ke serbet yang menggantung di dinding. Hanya aku jawab dengan anggukkan dengan senyum memaksa. Setidaknya aku tidak mau dicap kakak yang tidak pengertian.
"Buk Lika pulang dulu ya, capek banget pengen istirahat."
Ucap Lika dengan gayanya yang sok imut berpamitan kepada mertua.
"Iya cah ayu, makasih looo.. untung ada kamu bantuin ibuk, kalau gak ada kamu entah gimana jadinya, wong mbakyu mu pulang duluan, biasalah mbakyu mu itukan badannya kayak drum jadi kerja sedikit aja cepet capek, ini dibawa untuk makan di rumah sama Toni biar gak masak lagi."
Jawab mertua sambil menyodorkan rantang berisi makanan untuk Lika bawa pulang. Ucapan ibuk barusan disambut tawa lepas oleh Lika dan mas Riko. Di telinga mereka mungkin ucapan ibuk lelucon, tapi tidak ditelingaku. Aku merasakan mataku kian panas mendengar tawa mereka.
Toni adalah suami Lika. Adek semata wayang mas Riko. Toni dan Lika udah menikah dua tahun tapi belum dikarunia momongan. Padahal aku dulu belum ada setahun pernikahan dan belum kunjung hamil, mertua ngeromet terus, sampai bilang kalau tahun depan tak ada kehamilan mas Riko di suruh menikah lagi. Tapi Sang Maha Pemberi tidak terus-terusan mengujiku. Aku diberi kehamilan dan bayi laki-laki yang sehat.
Lika tidak pernah merasakan nyinyiran masalah kehamilan. Karena mertua memang bangga mempunyai menantu bidan sepertinya. Sakit sekali membayangkan waktu itu.
"Le makan sini uti suapin."
Kudengar ucapan ibu sedikit berteriak memanggil yuda, membuyarkan lamunanku. Yuda pun mendekat. Kulihat dengan lahap Yuda makan dengan disuapin utinya.
Dengan cepat ku selesaikan tugasku. Biar cepat pulang. Hati terasa di iris-iris tipis. Semua yang aku kerjakan tak terlihat di mata mertua. Hanya Lika manantu idamannya.
"Lihat ini Ko anakmu kayak bocah gak makan seminggu."
Ucap mertua yang masih menyuapi cucunya. Membuat hatiku tersinggung. Memang tidak menyebut namaku, tapi kata itu seakan menyudutkanku ibu yang tidak perhatian kepada anak, sampai-sampai anaknya makan sangat rakus. Tapi Yuda memang seperti itu, selalu lahap jika makan ditempat utinya. Yuda udah kelas satu SD udah bisa makan sendiri. Tapi seperti itulah mertua ingin terlihat sebagai nenek yang baik.
"Gak makan seminggu ya mati lah buk."
Jawab mas Riko sambil melihat anaknya disuapin ibunya.
"Ya udah sekalian kamu makan!"
Suruh mertua ke anaknya, mengalihkan pembeciraan. Mas Riko beranjak kedapur dan mengambil piring. Kulihat mereka makan dengan lahap.
Kerjaanku pun selesai dan bergabung kepada mereka. Ibu asyik nyuapin cucunya. Ya mereka makan tapi tak ada yang basa basi menyuruhku ikut makan. Aku terdiam menelan ludahku, dengan mengeluarkan gawaiku dari saku. Supaya tak terlihat sakit. Keberadaanku memang tak dianggap disini.
Setelah semuanya selesai makan, akupun pamit pulang. Berharap mendapat ucapan manis dari mertua, seperti ucapan manisnya ke Lika tadi.
"Besok-besok kalau bantuin ibuk datangnya pagian jangan telat, udah datangnya telat pulangnya duluan, untung ada Lika,"
Ucap mertua saat kami berpamitan pulang. Ucapan yang terdengar bijak di telinga anak lanangnya, tapi terdengar panas di telingaku.
"Udah pada makan disini jadi gak ibuk bawain rantang,"
Ucapnya lagi. Akupun hanya mengangguk dengan hati yang kecewa. Tak ada ucapan manis seperti Lika tadi. Hanya ucapan yang seakan-akan aku menantu tidak berguna.
Dengan cepat aku keluar dan menuju ke motor. Ingin sekali cepat sampai rumah dan menenangkan hati.
"Ti sekalian ya cucikan baju ibuk."
Teriak ibuk mengahampiri kami yang sudah di atas montor, dengan membawa kresek besar berwarna hitam.
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan