Home / Urban / Menantu Kuli / II. Yang tak terduga

Share

II. Yang tak terduga

Author: Leva Lorich
last update Last Updated: 2024-12-02 14:22:07

Matahari siang itu terasa begitu terik, membakar jalanan kota Arsaka yang sibuk. Willy, dengan kemeja sederhana dan celana jeans yang mulai memudar warnanya, melangkah gontai dari satu tempat ke tempat lain. Pagi tadi ia memulai harinya dengan harapan baru, membawa setumpuk surat lamaran kerja yang sudah ia persiapkan sejak semalam.

Namun, seperti hari-hari sebelumnya, tak satu pun tempat yang memberinya jawaban positif. Toko-toko, minimarket, restoran, hingga kantor-kantor kecil yang ia kunjungi selalu memberinya jawaban yang sama, sebuah penolakan. Beberapa bahkan tidak memandangnya lebih dari sekedar seorang pemuda yang tidak cukup berpendidikan untuk bekerja di tempat mereka.

Ketika siang mulai merangkak naik, rasa lelah dan lapar mulai menyergap tubuhnya. Willy akhirnya berhenti di sebuah kios kecil di pinggir jalan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas terakhir dari sakunya dan membeli sebotol air mineral dingin.

Duduk di bangku kayu di depan kios, ia meneguk air mineral itu dengan perlahan, mencoba mendinginkan tubuhnya. Pandangannya teralihkan ke seberang jalan, di mana sebuah restoran seafood tampak begitu ramai. Willy membaca papan nama di atas pintu masuk restoran itu “Restoran Ester - Spesialis Seafood.”

Keramaian restoran itu membuat Willy berpikir. “Mungkin mereka sedang membutuhkan karyawan tambahan,” gumamnya dalam hati. Meski tubuhnya sudah lelah, ia memutuskan untuk mencoba peruntungannya sekali lagi. Dengan langkah penuh harapan, ia menyeberang jalan dan masuk ke restoran tersebut.

Di dalam restoran, aroma seafood segar memenuhi udara. Perut lapar Willy segera merespon aroma itu dengan rasa perut yang melilit. Para pelayan tampak sibuk mondar-mandir melayani para pelanggan. Willy mencoba mencari seseorang yang tampak seperti atasan di tempat itu. Tidak lama kemudian, ia melihat seorang pria berusia sekitar 40-an dengan kemeja rapi berdiri di dekat kasir.

“Permisi, Pak,” Willy menyapanya sopan. “Apakah restoran ini sedang membutuhkan tenaga kerja? Saya bersedia melakukan pekerjaan apa pun.”

Pria itu, yang ternyata adalah manajer restoran, memandang Willy dengan tatapan meremehkan. Ia memperhatikan kemeja lusuh dan penampilan sederhana Willy, lalu mendengus.

“Kau kira restoran ini tempat apa?” ucapnya dengan nada cemooh. “Kami tidak membutuhkan orang sepertimu di sini. Pergi saja sebelum aku memanggil sekuriti.”

Willy terkejut dengan respon kasar itu. Beberapa pengunjung yang duduk di meja terdekat mulai memperhatikan mereka. Wajah Willy memerah, lebih karena rasa malu daripada marah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membungkukkan badan sedikit sebagai tanda permisi, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu keluar.

Saat Willy hendak melangkahkan kaki keluar dari restoran, sebuah suara menghentikannya.

“Nak, tunggu sebentar!”

Willy menoleh. Seorang pria yang duduk di dekat pintu masuk restoran melambaikan tangan ke arahnya. Pria itu tampak bersih dan rapi, mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan celana panjang hitam. Wajahnya terlihat ramah, berbeda jauh dari manajer yang baru saja mengusir Willy.

“Apa kau sedang mencari pekerjaan?” tanya pria itu sambil tersenyum.

“Iya, Pak,” jawab Willy cepat. “Saya sangat membutuhkan pekerjaan.”

Pria itu menyuruh Willy duduk di meja bersamanya. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Wastin. Setelah berbicara sebentar, Wastin memesan makanan untuk Willy, sesuatu yang membuat pemuda itu merasa sedikit tidak enak hati.

“Tidak usah sungkan, makanlah. Kau pasti lapar,” kata Wastin, menepuk bahunya.

Willy merasa malu sekaligus lega. Sejak pagi, ia belum makan apa pun karena tidak ingin meminta makanan dari Metia. Ia tahu ibu tirinya tidak akan memberinya dengan sukarela. Dengan rasa syukur, Willy mulai menyantap makanan yang dipesankan Wastin.

Melihat Willy makan dengan lahap, Wastin hanya tersenyum kecil. “Kau dari mana tadi?” tanyanya santai.

Willy menjawab dengan jujur bahwa ia sudah berkeliling kota sepanjang pagi untuk mencari pekerjaan. Ia menceritakan sedikit tentang hidupnya, tentang bagaimana sulitnya ia mendapatkan pekerjaan karena hanya memiliki ijazah SMA.

Setelah Willy selesai makan, Wastin memulai pembicaraan yang lebih serius. “Kebetulan sekali,” katanya.

“Siapa namamu, Nak?" Wastin sejenak menghentikan kalimatnya, menatap wajah Willy seolah ingin mengetahui kejujuran dari mata Willy.

"Willy, Pak." Jawab Willy sopan.

"Baiklah. Jadi begini, Willy. Keluarga kakakku, Haldi, sedang mencari tenaga kerja di rumah mereka. Bukan pekerjaan yang membutuhkan pendidikan tinggi, tapi lebih ke pekerjaan kasar. Kalau kau bersedia, aku bisa merekomendasikanmu pada mereka.” Ucap Wastin.

Willy merasa seperti mendapatkan angin segar. Matanya berbinar. “Saya bersedia, Pak,” jawabnya cepat.

“Pekerjaan apa pun saya terima, asal itu pekerjaan yang jujur. Tidak pekerjaan menipu, mencuri, ataupun pekerjaan keji lainnya.” Lanjut Willy serius.

“Bagus,” jawab Wastin sambil mengangguk. “Keluarga kakakku saat ini sedang berlibur ke luar kota, tapi mereka akan kembali besok pagi. Aku akan memberimu alamat rumah mereka. Kau bisa datang ke sana besok pagi, jam delapan.”

Wastin menuliskan alamat itu di selembar kertas kecil, lalu menyelipkan nomornya di sana juga. “Kalau kau butuh sesuatu, jangan ragu untuk menghubungiku,” katanya.

Willy menerima kertas itu dengan hati penuh syukur. Ia merasa seperti akhirnya menemukan titik terang di tengah gelapnya hidup selama ini.

---

Ketika Willy kembali ke rumah sore itu, Metia tidak ada di ruang tamu. Rumah itu sunyi, hanya terdengar suara angin yang berhembus melalui celah-celah jendela. Willy masuk ke kamarnya dan duduk di atas kasur tua kesayangannya.

Ia memandang kertas kecil yang diberikan Wastin. Ada rasa lega yang perlahan muncul di hatinya, seolah beban berat yang selama ini menghimpitnya sedikit berkurang.

Namun, di balik rasa lega itu, ada juga rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. “Bagaimana kalau aku tidak cocok dengan pekerjaan itu?” pikirnya. “Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?”

Willy tahu ia tidak punya banyak pilihan. Pekerjaan ini adalah satu-satunya harapan yang ia miliki saat ini. Jika ia menolak, mungkin ia tidak akan mendapatkan peluang serupa lagi.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Willy merasa sedikit tenang. Ia memejamkan matanya dengan tekad baru di dalam hati. “Aku tidak akan mengecewakan Pak Wastin. Aku harus melakukan yang terbaik.”

Esok pagi akan menjadi awal yang baru bagi Willy, sebuah langkah kecil menuju masa depan yang mungkin lebih baik. Di tengah ketidakpastian hidupnya, ia merasa bersyukur masih ada orang seperti Wastin yang mau memberinya kesempatan.

Dengan semangat baru, Willy bersiap untuk menghadapi hari esok yang penuh harapan. Sebelum tidur, ia memilih kemeja dan celana yang paling bersih, kemudian menyeterikanya. Tak ada kemeja dan celana yang bagus, semuanya sederhana serta usang karena sudah lama dipakai. Dia hanya mencari yang paling bersih saja.

Namun, di balik rasa lega itu, ada juga rasa cemas yang menggelayuti pikirannya.

“Bagaimana kalau aku tidak cocok dengan pekerjaan itu?” pikirnya.

“Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?”

###

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Kuli   XLV. Harta Karun

    Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s

  • Menantu Kuli   XLIV. Sia-sia yang beruntung

    Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s

  • Menantu Kuli   XLIII. Raysa oh Raysa

    Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per

  • Menantu Kuli   XLII. Berpikir keras

    Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu

  • Menantu Kuli   XLI. Perubahan rencana

    [Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi

  • Menantu Kuli   XL. Mereka juga kaget

    Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status