Pagi di hari kedua bekerja, Willy Wanbilien terbangun lebih awal dari biasanya. Jam dinding kamar kecilnya yang berada di belakang rumah keluarga Haldi baru menunjukkan pukul lima. Udara dingin menusuk, membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur. Namun, tanggung jawab sebagai pekerja baru memaksanya bangun. Ia sudah mendengar cerita tentang Mira, sang nyonya rumah, yang dikenal disiplin dan tidak mentolerir kesalahan sekecil apa pun.
Baru saja Willy selesai mencuci muka dan bersiap untuk memulai pekerjaannya, suara lantang Mira memecah pagi yang hening. "Willy!" panggilnya dari balkon lantai dua. Suaranya tegas dan berwibawa, meski ada sedikit kemarahan di nada bicaranya. Willy segera berlari ke halaman depan. "Iya, Nyonya Mira?" jawab Willy sopan sambil menundukkan kepala. Mira berdiri di atas, mengenakan gaun tidur satin berwarna krem yang kontras dengan rambut hitam panjangnya yang digelung rapi. Usianya sudah memasuki kepala empat, tetapi aura kecantikannya tetap terpancar. "Kamu harus mencuci mobil sebelum jam tujuh pagi. Itu mobilku, SUV hitam di garasi. Jangan sampai ada noda sedikit pun, paham?" "Iya, Nyonya," jawab Willy cepat. "Dan ingat, aku tidak suka pekerjaan setengah hati. Kalau ada yang salah, kamu harus mengulanginya dari awal. Aku tidak peduli berapa lama waktumu habis!" tegas Mira sebelum berbalik masuk ke rumah. --- Willy berjalan menuju garasi dengan perasaan campur aduk. SUV hitam itu, sebuah Toyota Land Cruiser baru, terlihat berkilau di bawah cahaya lampu garasi. Mobil ini adalah simbol status keluarga Haldi, bernilai hampir satu miliar. Willy merasa grogi. Mobil ayahnya dulu hanya sedan tua. Ia mengambil ember, spons, sabun khusus mobil, dan lap microfiber yang sudah disiapkan di sudut garasi. Hatinya berdebar saat ia mulai menyentuh bodi mobil yang mulus itu. Pekerjaan ini terlihat sederhana, tetapi tekanan yang diberikan Mira membuatnya terasa berat. Ia mulai dengan membilas bodi mobil menggunakan air dari selang. Suara air yang mengalir sedikit mengusir kecanggungan pagi itu. Willy berusaha berhati-hati, memastikan setiap sudut terkena air. Namun, ketika ia mulai menyabuni bodi mobil, ia menyadari sesuatu, waktu bergerak lebih cepat dari yang ia harapkan. --- Pukul enam pagi, Willy masih sibuk menggosok bagian bawah pintu mobil yang penuh dengan debu kering. Ia mulai merasa lelah, tetapi bayangan Mira yang memarahinya mendorongnya untuk terus bekerja. "Sedikit lagi, Willy. Kamu pasti bisa," gumamnya menyemangati diri sendiri. Langit mulai terang saat ia membilas sabun dari bodi mobil untuk terakhir kali. Willy kemudian meraih lap microfiber dan mulai mengeringkan setiap sudut mobil. Ia bekerja dengan teliti, memastikan tidak ada setetes air pun yang tersisa. Namun, saat ia selesai mengeringkan bagian belakang mobil, Willy melihat bayangan Mira berdiri di depan pintu garasi. "Sudah selesai?" tanya Mira dengan nada dingin. Willy mengangguk sambil tersenyum canggung. "Sudah, Nyonya." Mira melangkah mendekat. Matanya tajam mengamati bodi mobil dari dekat. Willy merasa seperti sedang diuji dalam ujian terberat hidupnya. Ia mengelilingi mobil, memeriksa dari kap mesin hingga kaca spion. Willy berharap ia sudah melakukan semuanya dengan benar. Tetapi tiba-tiba Mira menunjuk ke bagian bawah bumper depan. "Apa ini?" tanyanya sambil menatap Willy tajam. Willy mendekat dan melihat noda kecil yang masih menempel. Ia merasa darahnya berhenti mengalir. "Maaf, Nyonya. Saya akan bersihkan sekarang," katanya buru-buru mengambil spons. Mira melipat tangan di dada. "Tidak ada alasan. Kerja harus selesai dengan sempurna. Ulangi dari awal." "Nyonya? Tapi ini hanya..." Mira mengangkat alis, dan Willy langsung diam. Ia tahu protes hanya akan memperburuk situasi. Dengan pasrah, ia kembali membilas seluruh mobil, mengulang proses dari awal. --- Jarum jam menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit ketika Willy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Ia kelelahan, tetapi mobil itu kini benar-benar bersih, mengkilap tanpa noda sedikit pun. Mira keluar lagi untuk memeriksa hasil kerja Willy. Kali ini, ia hanya mengangguk kecil tanpa komentar. Itu mungkin satu-satunya bentuk pujian yang bisa Willy harapkan dari nyonya rumah. "Bagus. Pastikan lain kali selesai tepat waktu," katanya sebelum masuk ke rumah tanpa menunggu respon Willy. Willy berdiri di garasi, mencoba mengatur napas. Hari kedua di keluarga Haldi terasa lebih berat dari hari pertama, tetapi ia tahu ini masih awal pagi. Mira adalah wanita yang menuntut kesempurnaan, dan jika Willy ingin bertahan di rumah ini, ia harus siap menghadapi standar yang tinggi. Ia menatap mobil SUV itu sekali lagi, merasa sedikit bangga meski lelah. Willy kemudian berjalan ke belakang rumah untuk membersihkan diri. Pekerjaan ini mungkin berat, tetapi ia bertekad untuk melakukannya dengan sebaik mungkin. Di dalam hatinya, ia yakin bahwa semua kesulitan ini akan menjadi pelajaran berharga suatu hari nanti. --- "Halo, kamu Willy, ya? Karyawan baru di rumah ini, kan?" Willy menoleh cepat, dan matanya bertemu dengan sosok gadis muda yang berdiri di ambang pintu garasi. Gadis itu memiliki senyum manis, rambut hitam panjang yang tergerai indah, dan mengenakan dress kasual berwarna biru pastel. Ada kehangatan yang terpancar dari caranya bicara, sangat berbeda dari Mira. "Iya, benar. Saya Willy," jawab Willy kikuk, merasa canggung karena bajunya basah terkena percikan air. "Aku Delia," kata gadis itu sambil mengulurkan tangan. "Anak bungsu di rumah ini." Willy meraih tangan Delia dengan hati-hati. "Senang bertemu denganmu, Nona Delia." Delia tertawa kecil. "Jangan panggil aku 'Nona.' Panggil saja Delia." Senyuman di wajah Delia membuat Willy sedikit tenang, meskipun rasa gugup masih menguasainya. "Maaf ya, Willy. Aku dengar tadi Ibu memarahimu," kata Delia, wajahnya berubah serius. "Dia memang cenderung keras, tapi jangan dimasukkan hati. Itu cuma caranya memastikan semuanya berjalan sesuai keinginannya." Willy mengangguk kecil, meskipun rasa lelahnya belum sepenuhnya hilang. "Terima kasih, Delia. Saya akan berusaha lebih baik." Delia tersenyum lagi, kali ini dengan nada lebih ceria. "Ngomong-ngomong, kata Ayah, kamu bisa menyetir, ya?" "Iya, saya bisa," jawab Willy. "Bagus!" Seru Delia dengan semangat. "Cepat mandi dan sarapan, ya. Jam delapan nanti, antar aku ke kampus. Pakai mobilku, Mini Cooper biru yang di parkir dekat taman." Willy mengingat mobil kecil yang terlihat elegan itu. "Baik, Delia. Saya siap." "Oh, satu lagi," lanjut Delia sambil melangkah ke luar garasi. "Setelah mengantarku, tolong cuci mobilku juga, ya. Dan sore nanti, jemput aku lagi di kampus." "Siap, Delia," kata Willy meskipun hatinya mulai gugup memikirkan tugas yang harus ia lakukan. Delia tersenyum kecil sebelum berjalan pergi. Wangi tubuhnya yang segar tercium samar saat ia melewatinya. Willy hanya bisa memandang punggung Delia, merasa dadanya berdebar aneh. "Cantik sekali... dan indah tubuhnya, wangi juga," pikir Willy, sambil menggelengkan kepala berusaha fokus. Namun, kegelisahan muncul di benaknya. "Apakah aku akan berhasil menjalankan tugas Delia hari ini?" ###Bab XLV: Harta KarunWilly menaiki ojek motor dengan cepat, menuju rumah warga tempat mobilnya dititipkan. Sambil menikmati hembusan angin sore yang menyapu wajahnya, ia merasa puas dengan kejadian sore tadi. Willy tak sabar ingin segera menceritakan perkelahiannya dengan anak buah Tomey kepada Delia. Ia ingin istrinya tahu bahwa pria yang selama ini mendekatinya, ternyata tak lebih dari sekedar pengecut yang hanya berani bertindak ketika memiliki banyak anak buah di sisinya.Setelah mengambil mobilnya, Willy meluncur di tengah kemacetan kota Arsaka. Langit sudah mulai gelap dan jalanan padat dengan kendaraan yang berdesakan. Ia menyalakan lampu hazard saat laju kendaraan benar-benar melambat. Tak seberapa lama waktu berjalan, ponselnya bergetar di dashboard, itu adalah panggilan masuk dari Ben Dino."Halo, Ayah?" Willy menjawab panggilan sambil tetap fokus pada lalu lintas."Nak, kamu ada di mana? Malam ini Ayah ingin mengajakmu menjenguk seorang teman lama yang sedang sakit. Ayah s
Bab XLIV : Sia-sia yang BeruntungWilly berdiri tepat di depan gerbang kampus Delia, memandang arlojinya dengan perasaan bangga. Jarum panjang tepat berada di angka dua belas, sementara jarum pendek menunjukkan angka lima. Ia berhasil! Dengan napas yang masih sedikit tersengal setelah perjalanan yang cukup menegangkan, ia dalam hati bersorak kegirangan.Namun, ekspresinya berubah seketika saat ia menyadari sesuatu. Delia tidak ada di sana. Matanya menyapu sekitar, mencari sosok istrinya, tetapi yang ia temukan hanya mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan cepat, Willy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Delia."Halo, Sayang. Aku sudah di kampus. Kamu di mana?"Jawaban di seberang sana membuat Willy terdiam. Delia memberitahukan bahwa ia sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Ia mengira Willy sibuk dengan urusan kafe, jadi ia memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan taksi."Tapi Delia, bukannya kita janjian jam lima sore?" tanya Willy, mencoba memahami s
Bab XLIII: Raysa Oh RaysaDi kamar yang nyaman di rumah Ben Dino, Willy sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan mata terpejam. Hari itu terasa melelahkan baginya. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih mengendalikan energinya dan berpikir tentang bagaimana ia bisa membuktikan diri di hadapan keluarga Haldi. Sejenak ia beristirahat untuk mengendurkan saraf-saraf yang kaku. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan mendadak terganggu oleh suara yang tiba-tiba muncul di dalam pikirannya."Willy..."Suara itu lembut dan halus, seperti suara seorang wanita yang berbicara penuh kasih sayang. Willy langsung membuka matanya lebar-lebar, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat sekeliling kamar, memastikan bahwa ia masih sendirian."Siapa itu?!" teriaknya spontan, merasa panik dan ketakutan.“Ini aku,” ujar suara itu penuh misteri. Pikiran diri segera berkecamuk tak menentu dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Aku adalah Raysa, asisten sistem cahaya yang bertugas mendampingimu dalam per
Bab XLII : Berpikir KerasDi kafe miliknya, Willy duduk termenung di salah satu sudut ruangan yang tenang. Aroma kopi memenuhi udara, tetapi secangkir kopi yang ada di hadapannya sudah lama menjadi dingin, tak tersentuh. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario dan perhitungan. Jika ia tidak segera mengambil langkah yang tepat, hinaan dan cemoohan dari keluarga istrinya serta orang-orang yang meremehkannya akan terus membayangi hidupnya. Ia tahu dirinya harus segera bertindak.Willy bergumam pada dirinya sendiri, “Aku tidak boleh berhenti untuk berpikir dan mencari ide brilian. Hidup dan masa depanku tergantung pada bagaimana aku memikirkannya sekarang.“Di seberangnya, Wastin menatap Willy dengan penuh perhatian. Paman dari istrinya itu adalah satu-satunya orang dari keluarga Haldi yang tidak membencinya. Dengan suara tenang, ia berkata, "Kakakku, Haldi, sebenarnya memiliki hati yang baik. Hanya saja, ia terus-menerus dipengaruhi oleh Mira. Jika kau bisa membuktikan bahwa kau mampu
[Bab XLI : Perubahan Rencana]Malam hari, di rumah Ben Dino, suasana terasa hangat meskipun topik pembicaraan cukup serius. Willy duduk berhadapan dengan Ben dan Sano, sementara Delia berada di sampingnya. Mereka membahas rencana bisnis yang selama ini telah Willy pikirkan dengan matang."Aku senang kau memiliki ambisi besar, Willy," kata Ben dengan nada bijak. "Namun, aku pikir ada baiknya kita menunda rencana perusahaan bisnis yang besar. Sebagai pemula, akan lebih baik jika kau memulai dari usaha yang lebih kecil, yang minim risiko."Sano mengangguk setuju. "Ayah benar. Aku siap mendampingimu dalam perjalanan ini, Willy. Tapi kita harus memastikan langkah yang kita ambil benar-benar matang. Jika terlalu terburu-buru, risiko kerugian akan semakin besar."Willy merenungkan kata-kata mereka. Ia sadar bahwa dirinya memang masih hijau dalam dunia bisnis. Meski memiliki dana yang cukup besar, ia tetap perlu berhati-hati agar tidak mengalami kegagalan yang bisa merugikan segalanya."Jadi
Willy turun dari Lamborghini Centenario dengan langkah tenang, tatapan matanya lurus ke arah Delia. Pria-pria yang mengelilingi istrinya seolah tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan dengan penuh percaya diri hingga sampai di hadapan Delia. “Delia,” panggilnya lembut sambil meraih tangan istrinya. “Sudah selesai kuliah? Ayo kita pulang.” Delia terlihat lega melihat kehadiran Willy. Ia mengangguk dan mendekat ke arahnya, tanpa memperhatikan ekspresi Tomey yang berubah drastis. Tomey, yang tampak terkejut melihat keakraban Willy dan Delia, segera menyadari apa yang terjadi. “Hei, tunggu dulu. Kau siapa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Delia? Bukankah kau hanya kuli di rumah Delia?” tanya Tomey dengan nada penuh rasa tidak suka. Willy menatap Tomey dengan santun tetapi tegas. “Saya suaminya. Jadi, tolong jangan ganggu Delia lagi.” Pernyataan itu membuat Tomey terdiam sejenak. Wajahnya berubah masam, lalu dengan nada penuh ejekan ia tertawa kecil. “Suaminya? Jangan be