Share

Temuan Radio Tua

Author: ArunaLys
last update Last Updated: 2025-06-25 20:20:27

T

Tak terasa, enam bulan telah berlalu sejak Sekar resmi menyandang gelar baru: menantu. Enam bulan yang diam-diam menggoreskan banyak rasa, mengajarkannya membaca diam, menyulam sabar, dan melipat kata-kata yang belum sempat terucap. Hari-harinya tak selalu terang, tapi juga belum tentu gelap. Ia belajar menyeimbangkan langkah di rumah yang tak dibangun dari ingatannya.

Sore itu, sinar matahari mengintip malu lewat kisi-kisi jendela ruang tengah. Sekar tengah merapikan bantal kursi, menyapu debu yang menempel di kayu jati, ketika suara dari dapur memanggil namanya.

“Sekar…”

Suara Ibu mertua, berat dan berwibawa, seperti biasanya.

Sekar menoleh, buru-buru menyeka keringat dari pelipisnya.

“Ya, Bu. Ada apa?”

Langkahnya pelan tapi pasti, menyusuri lorong yang kini mulai terasa tak asing, tapi belum bisa disebut rumah.

“Ibu sedikit capek. Tolong ambilkan kursi jati dari loteng, ya? Ada tamu nanti sore. Sekar bisa, kan?”

Sekar mengangguk, bibirnya tersenyum kecil meski sorot matanya menyimpan keletihan yang tak tampak.

“Baik, Bu. Sekar ambilkan.”

Tangga kayu menuju loteng berdiri tenang di sudut rumah, tampak biasa namun seolah menyimpan kisah yang menunggu disentuh. Anak-anak tangganya memaksa siapa pun yang mendaki untuk bersikap hati-hati. Rumah mertuanya memang tua, dipenuhi aroma kayu jati yang menyatu dengan waktu, klasik sekaligus penuh rahasia.

Loteng itu tak terang. Cahaya redup menyelinap dari sela-sela genting. Sekar masuk pelan-pelan, aroma debu dan kayu tua menyambutnya seperti sahabat lama.

Di tengah tumpukan barang-barang yang tertidur dalam sunyi, matanya menangkap siluet kursi jati. Tapi di sampingnya, ada benda lain yang membuat langkahnya terhenti.

Sebuah radio tua.

Bukan sembarang barang antik — ini seperti artefak yang pernah hidup.

Kayunya pudar, panel-panelnya masih lengkap. Sekar mendekat, ragu tapi tertarik. Ia usap debunya dengan ujung lengan bajunya. Jari-jarinya menyentuh knop kecil di sisi kanan, memutarnya pelan.

“Krrrkkhhh…”

Suara desis kecil menjawab. Lalu…

Suara.

Halus. Jernih. Seperti bisikan dari masa lalu yang menyusup lewat speaker.

Sekar terpaku. Napasnya memburu pelan, dadanya seolah disentuh rasa yang tak bisa dijelaskan. Ia menunduk, lalu membuka suara seolah sedang berbicara pada benda hidup.

“Assalamualaikum…”
“Aku Sekar.”

Ia tertawa kecil, gugup tapi jujur.

“Aku belum pernah bicara di radio. Bahkan tak pernah membayangkan, rumah tua ini menyimpan sebuah alat yang… entah, rasanya masih menyala walau tak dinyalakan.”

Jari-jarinya meraba pinggiran radio. Dingin, tapi hangat. Diam, tapi ramai.

“Mungkin dulu radio ini digunakan Bapak untuk mendengar kabar dari kota, atau Ibu saat ingin mendengarkan musik pengantar sore. Entahlah. Tapi aku yakin, radio ini pernah menjadi saksi. Dari tawa, berita, mungkin juga air mata yang tak pernah dikisahkan.”

Matanya berkaca.

Sekar berdiri di sana lama. Ditemani sunyi yang tak asing. Ia tahu, bukan hanya dirinya yang sedang belajar bertahan. Banyak menantu lain di luar sana yang menyimpan cerita di balik senyum. Tentang sepinya menjadi bagian dari keluarga yang belum tentu menerima sepenuhnya. Tentang kata-kata yang harus ditelan, dan langkah yang harus dijaga agar tak mengusik.

“Bagaimana jika… radio ini jadi tempat bercerita?”
“Tempat para menantu bisa berbagi suara, meski tak saling tatap. Tempat kita bisa berkata, ‘Kita tidak sendiri…’”

Suara dari speaker mengeluarkan bunyi statis, lalu hening kembali. Tapi hening yang hangat. Seolah radio itu setuju.

Senyum kecil mengembang di wajah Sekar. Sebuah ide mengalir seperti arus: siaran dari loteng, suara para menantu dari penjuru, kisah-kisah yang tak sempat diucapkan bisa menemukan jalannya.

Dan tepat ketika hatinya menyala oleh harapan, suara lantang dari bawah menampar sunyi.

“Sekar! Sudah ambil kursinya belum? Ada nggak? Ayo cepat turun dari loteng!”

Sekar hampir menjatuhkan lampu kecil. Tangannya cekatan menyambar kursi yang sedari tadi hanya ia tatap. Ia menahan tawa.

“Iya, Bu! Ada… Sekar turunkan ya, pelan-pelan.”

“Ya Allah… dari tadi satu kursi aja belum turun! Itu dari jati, bukan dari plastik! Kalau nggak kuat, bilang! Ibu panggilin orang!”

Sekar terkekeh, nada suaranya ringan, tapi hatinya penuh makna.

“Sekar kuat, Bu. Cuma kursinya juga harus dijaga biar nggak lecet.”

“Kerja itu harus pakai hati, Sekar! Bukan cuma otot! Jadi menantu juga harus bisa jaga perasaan!”

Sekar menatap ke bawah tangga, lalu mengangguk sambil tersenyum.

“Iya, Bu. Sekar belajar pelan-pelan… belajar jaga rumah ini, juga jaga hati Ibu.”

Ibu mertua diam. Tangannya melipat, alisnya terangkat, tapi di sudut bibirnya ada senyum yang malu-malu tumbuh.

“Bagus kalau ngerti. Sekarang bawa kursinya ke bawah, terus bantu Ibu bikin teh.”

“Iya, Bu…” jawab Sekar sambil menuruni tangga, membawa lebih dari sekadar kursi — tapi juga harapan, impian, dan sebuah cerita yang siap ia siarkan… dari balik loteng rumah mertuanya.

Sore menjelang malam di rumah jati itu selalu terasa berbeda. Udara mengalir pelan, membawa aroma daun kering dan kayu tua. Sekar duduk bersimpuh di dapur, menyeduh teh melati dalam teko keramik putih, sementara Ibu mertuanya merapikan nampan berisi piring kecil dan kue kering.

“Nanti kamu bawa ini ke ruang tamu, ya. Ibu mau ganti baju dulu,”

kata Ibu tanpa menatap Sekar, tapi suaranya tak sekeras tadi.

“Baik, Bu,” jawab Sekar lirih.

Ada jeda. Saat Ibu melangkah menjauh, Sekar sempat menoleh ke arah lorong, menatap tangga ke loteng. Ada desir halus di hatinya, seolah radio tua itu memanggilnya kembali. Tapi ia tahu, waktunya belum sekarang.

**

Tamu datang. Seorang sepupu dari pihak suami, ditemani istrinya yang enerjik dan gemar bicara. Ruang tamu ramai oleh tawa, pembicaraan tentang resep dan tanaman hias. Sekar mengantar teh dengan senyum ramah, duduk di sisi paling luar, seperti biasa.

“Sekar, kamu sudah mulai betah tinggal di sini?”

tanya si tamu perempuan sambil menyesap teh.

Sekar menoleh, tersenyum sopan.

“Sedang belajar membiasakan diri, Mbak.”

Tawa ringan terdengar.

“Hehehe, pelan-pelan, ya. Namanya juga tinggal sama mertua. Ada seninya.”

Lalu ia menatap Ibu mertua Sekar.

“Tapi enak loh, Bu. Punya menantu kayak Sekar. Lembut, rajin…”

Sekilas, wajah Ibu Sekar berubah.

“Hmm, ya… tinggal dilihat nanti tahan sampai berapa tahun,” gumamnya.

Ruangan mendadak dingin meski teh masih mengepul hangat.

Sekar menunduk. Tapi ia tersenyum. Senyum yang bukan dibuat-buat, melainkan senyum yang lahir dari pemahaman bahwa... penerimaan tidak datang sekaligus. Kadang ia tumbuh pelan-pelan, seperti air yang mengikis batu.

**

Malamnya, saat rumah mulai sepi dan hanya suara jangkrik yang menemani, Sekar kembali naik ke loteng. Dengan langkah hati-hati, ia menyalakan lampu kecil di sudut. Radio itu masih di sana. Diam, setia.

Ia duduk bersila di depannya. Tangan mungilnya menyentuh knop, lalu memutarnya sekali.
Krrkkh... suara serak menyambut, lalu menghilang. Tapi Sekar tak gentar.

“Assalamualaikum… halo, ini aku lagi, Sekar,” katanya pelan, seperti berbicara pada teman lama.

“Hari ini aku mengantar teh. Tidak sulit, hanya butuh hati yang tenang... dan tangan yang tidak gemetar.”

Ia tertawa kecil, lebih pada dirinya sendiri.

“Aku pikir, jadi menantu itu seperti siaran radio. Kita bicara, tapi belum tentu langsung didengar. Kadang suaranya nyaring, kadang tenggelam. Tapi tetap saja, kita terus menyampaikan.”

**

Esok paginya, Sekar menuliskan sesuatu di buku catatannya:


📻 “MENANTU ON AIR : SUARA RAHASIA DARI RUMAH MERTUA"

💬 Segmen 1: “Menjadi Menantu, Bukan Menghilang”

🎙️ Format: suara narasi dan surat dari menantu lain

🔊 Target pertama: satu siaran seminggu, durasi 10 menit

📌 Catatan: butuh mikrof*n, atau rekam manual di ponsel?


Sebuah mimpi kecil mulai bertunas di tengah tumpukan kayu tua dan debu kenangan. Sekar ingin membuat podcast sederhana — atau siaran radio kecil — dari loteng rumah ini. Isinya? Kisah nyata dari para menantu, suara lirih dari mereka yang ingin didengar tapi tak punya ruang.

Sekar tahu, mungkin awalnya tak akan ada yang mendengar. Tapi kalau pun hanya satu orang yang merasa terhibur, itu cukup. Sebab terkadang, satu pendengar saja sudah bisa menyelamatkan seseorang dari rasa sepi.


Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Undangan yang Tertahan di Ujung Lidah

    Malam itu, ruang tamu rumah sederhana Pak Slamet diselimuti temaram lampu minyak. Angin dari jendela bambu berdesir pelan, menyelipkan aroma tanah basah sisa hujan sore. Di kursi kayu tua yang sudah mulai keropos di beberapa sisinya, ia duduk termenung. Tangannya meraba-raba lipatan sarung, seolah mencari pegangan untuk keraguan yang tak juga menemukan ujung.Sejak sore, pikirannya penuh dengan satu perkara: siapa yang harus ia undang pada acara tasyakuran empat bulan kehamilan Sekar, menantunya. Acara itu sederhana saja—sekadar doa bersama, kenduri kecil, dan harapan yang dilangitkan untuk keselamatan ibu dan calon cucu. Namun bagi Pak Slamet, acara itu bukan sekadar doa; melainkan pernyataan kepada dunia kecilnya bahwa keluarganya tengah menunggu titipan suci dari langit.Ia melirik ke arah istrinya yang

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Rahasia yang Mengetuk Pintu Kembali

    Hari-hari Sekar terasa semakin indah. Wajahnya kian berseri, tubuhnya yang mungil menyimpan rahasia kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya. Kehamilannya sudah memasuki bulan keempat, dan setiap pagi ia merasa lebih bersemangat. Arya selalu setia mendampinginya, kadang terlalu protektif, tapi itu justru membuat Sekar tersenyum bahagia.“Sayang, jangan terlalu capek, ya. Aku yang angkat galon. Kamu cukup duduk manis,” kata Arya suatu pagi sambil bercanda, membuat Sekar terkekeh.Di ruang tengah, Bu Sri tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Sebagai seorang ibu dan calon nenek, ia merasa kebahagiaan itu perlu dirayakan.“Saya ingin buat tasyakuran kecil, Sekar. Biar ada doa bersama, tanda syukur atas kehamilanmu,” ucap Bu Sri sambil merapikan kerudungnya.Pak Slamet, ayah mertua Sekar, mengangguk setuju. “Ya, kita undang tetangga dekat saja. Sederhana, tapi penuh doa.”Sekar menyambut ide itu dengan hati hangat. “Terima kasih, Bu. Aku senang sekali.”Namun, di balik kegembiraan it

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Serial siaran

    Pagi itu, loteng rumah mertua diselimuti cahaya hangat matahari yang menembus jendela kecil. Sekar duduk di kursi kayu, menatap mikrofon, dan tersenyum tipis. Hatinya masih hangat dari siaran kemarin, dari keberanian Rina membagikan ketakutannya.“Tadi aku berbicara tentang keberanian menghadapi ketakutan,” bisik Sekar ke mikrofon. “Hari ini, kita akan membahas tentang keberanian dalam mencintai… bahkan saat kita tidak tahu harus berbuat apa.”Dering telepon studio memecah keheningan. Sekar menekan tombol terima, dan terdengar suara laki-laki muda, canggung namun penuh rasa ingin berbagi.“Halo… ini… ini saya, Bu Sekar. Nama saya Dito. Saya ayah baru… dan saya bingung. Anak saya baru tiga tahun, tapi saya… saya merasa sering salah. Saya tidak tahu cara mend

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Mentari Baru di Loteng

    Sekar membuka mata di pagi yang hangat. Sinar matahari menyelinap melalui tirai tipis kamar yang selama ini selalu terasa asing baginya, tapi kini terasa begitu ramah. Tubuhnya yang mulai membesar sedikit demi sedikit mengingatkannya bahwa ada kehidupan lain yang bergantung pada dirinya, kehidupan yang membuat hatinya berdebar sekaligus penuh syukur.Di dapur, terdengar suara piring bersentuh lembut. Bu Sri, mertuanya, sedang menyiapkan sarapan, wajahnya menampilkan ketenangan yang dulu jarang Sekar lihat. “Sekar, Sarapan sudah siap,” suaranya lembut, tanpa nada dingin seperti dulu.Sekar tersenyum, hatinya hangat. “Terima kasih, Bu. Aku… aku akan turun sebentar lagi.”Arya muncul di ambang pintu, rambutnya masih basah, tapi matanya berbinar. “Pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak?” tan

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Menyulam Kasih dalam Diam

    Ia tersenyum tipis, air mata masih menetes. “Sekar telah mengajariku sesuatu yang berharga: kadang kita terlalu sibuk menjaga kehormatan atau tradisi, sampai lupa menjaga hati orang-orang yang kita cintai. Dan aku sadar… kasih sayang tak pernah salah, kelembutan tak pernah merusak, dan penyesalan yang disertai usaha untuk memperbaiki selalu membawa damai.”Dalam hening malam itu, Bu Sri menulis nasihat di buku hariannya, sebagai pengingat dan warisan untuk generasi mendatang:“Untuk setiap ibu mertua, ingatlah bahwa menantu adalah bagian dari keluarga yang harus dicintai, bukan diuji atau ditakuti. Untuk setiap anak menantu, pahamilah bahwa ketegasan orang tua atau mertua bukan selalu kebencian, tapi terkadang kekhawatiran yang tersamar. Bersabar

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Kutub Es yang Mencair

    Bu Sri duduk di ruang tamu, lampu temaram hanya menerangi secuil wajahnya yang mulai keriput, tapi matanya masih menyimpan ketegasan. Di tangannya, secangkir teh hangat yang baru ia seduh. Namun, rasa hangat dari minuman itu tak mampu menembus dingin yang selama ini ia rasakan terhadap menantunya.Malam itu, setelah percakapan panjang dengan Sekar, sesuatu di dalam diri Bu Sri mulai goyah. Sekar—yang selama ini selalu tampak patuh, penuh senyum sopan tapi jarang benar-benar terbuka—tiba-tiba menumpahkan semua rasa sakitnya, rasa takut, dan kegelisahan yang selama ini tertahan.Bu Sri menutup mata sejenak, mencoba menenangkan jantungnya sendiri. “Apakah selama ini aku terlalu keras padanya?” gumamnya pelan, seolah takut Sekar bisa mendengar.Ia mengingat kembali setiap teguran yang pernah ia lontarkan, setiap ko

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status