LOGINT
Tak terasa, enam bulan telah berlalu sejak Sekar resmi menyandang gelar baru: menantu. Enam bulan yang diam-diam menggoreskan banyak rasa, mengajarkannya membaca diam, menyulam sabar, dan melipat kata-kata yang belum sempat terucap. Hari-harinya tak selalu terang, tapi juga belum tentu gelap. Ia belajar menyeimbangkan langkah di rumah yang tak dibangun dari ingatannya.
Sore itu, sinar matahari mengintip malu lewat kisi-kisi jendela ruang tengah. Sekar tengah merapikan bantal kursi, menyapu debu yang menempel di kayu jati, ketika suara dari dapur memanggil namanya.
“Sekar…”
Suara Ibu mertua, berat dan berwibawa, seperti biasanya.
Sekar menoleh, buru-buru menyeka keringat dari pelipisnya.
“Ya, Bu. Ada apa?”
Langkahnya pelan tapi pasti, menyusuri lorong yang kini mulai terasa tak asing, tapi belum bisa disebut rumah.
“Ibu sedikit capek. Tolong ambilkan kursi jati dari loteng, ya? Ada tamu nanti sore. Sekar bisa, kan?”
Sekar mengangguk, bibirnya tersenyum kecil meski sorot matanya menyimpan keletihan yang tak tampak.
“Baik, Bu. Sekar ambilkan.”
Tangga kayu menuju loteng berdiri tenang di sudut rumah, tampak biasa namun seolah menyimpan kisah yang menunggu disentuh. Anak-anak tangganya memaksa siapa pun yang mendaki untuk bersikap hati-hati. Rumah mertuanya memang tua, dipenuhi aroma kayu jati yang menyatu dengan waktu, klasik sekaligus penuh rahasia.
Loteng itu tak terang. Cahaya redup menyelinap dari sela-sela genting. Sekar masuk pelan-pelan, aroma debu dan kayu tua menyambutnya seperti sahabat lama.
Di tengah tumpukan barang-barang yang tertidur dalam sunyi, matanya menangkap siluet kursi jati. Tapi di sampingnya, ada benda lain yang membuat langkahnya terhenti.
Sebuah radio tua.
Bukan sembarang barang antik — ini seperti artefak yang pernah hidup.
Kayunya pudar, panel-panelnya masih lengkap. Sekar mendekat, ragu tapi tertarik. Ia usap debunya dengan ujung lengan bajunya. Jari-jarinya menyentuh knop kecil di sisi kanan, memutarnya pelan.
“Krrrkkhhh…”
Suara.
Sekar terpaku. Napasnya memburu pelan, dadanya seolah disentuh rasa yang tak bisa dijelaskan. Ia menunduk, lalu membuka suara seolah sedang berbicara pada benda hidup.
“Assalamualaikum…”
“Aku Sekar.”
Ia tertawa kecil, gugup tapi jujur.
“Aku belum pernah bicara di radio. Bahkan tak pernah membayangkan, rumah tua ini menyimpan sebuah alat yang… entah, rasanya masih menyala walau tak dinyalakan.”
Jari-jarinya meraba pinggiran radio. Dingin, tapi hangat. Diam, tapi ramai.
“Mungkin dulu radio ini digunakan Bapak untuk mendengar kabar dari kota, atau Ibu saat ingin mendengarkan musik pengantar sore. Entahlah. Tapi aku yakin, radio ini pernah menjadi saksi. Dari tawa, berita, mungkin juga air mata yang tak pernah dikisahkan.”
Matanya berkaca.
Sekar berdiri di sana lama. Ditemani sunyi yang tak asing. Ia tahu, bukan hanya dirinya yang sedang belajar bertahan. Banyak menantu lain di luar sana yang menyimpan cerita di balik senyum. Tentang sepinya menjadi bagian dari keluarga yang belum tentu menerima sepenuhnya. Tentang kata-kata yang harus ditelan, dan langkah yang harus dijaga agar tak mengusik.
“Bagaimana jika… radio ini jadi tempat bercerita?”
“Tempat para menantu bisa berbagi suara, meski tak saling tatap. Tempat kita bisa berkata, ‘Kita tidak sendiri…’”
Suara dari speaker mengeluarkan bunyi statis, lalu hening kembali. Tapi hening yang hangat. Seolah radio itu setuju.
Senyum kecil mengembang di wajah Sekar. Sebuah ide mengalir seperti arus: siaran dari loteng, suara para menantu dari penjuru, kisah-kisah yang tak sempat diucapkan bisa menemukan jalannya.
Dan tepat ketika hatinya menyala oleh harapan, suara lantang dari bawah menampar sunyi.
“Sekar! Sudah ambil kursinya belum? Ada nggak? Ayo cepat turun dari loteng!”
Sekar hampir menjatuhkan lampu kecil. Tangannya cekatan menyambar kursi yang sedari tadi hanya ia tatap. Ia menahan tawa.
“Iya, Bu! Ada… Sekar turunkan ya, pelan-pelan.”
“Ya Allah… dari tadi satu kursi aja belum turun! Itu dari jati, bukan dari plastik! Kalau nggak kuat, bilang! Ibu panggilin orang!”
Sekar terkekeh, nada suaranya ringan, tapi hatinya penuh makna.
“Sekar kuat, Bu. Cuma kursinya juga harus dijaga biar nggak lecet.”
“Kerja itu harus pakai hati, Sekar! Bukan cuma otot! Jadi menantu juga harus bisa jaga perasaan!”
Sekar menatap ke bawah tangga, lalu mengangguk sambil tersenyum.
“Iya, Bu. Sekar belajar pelan-pelan… belajar jaga rumah ini, juga jaga hati Ibu.”
Ibu mertua diam. Tangannya melipat, alisnya terangkat, tapi di sudut bibirnya ada senyum yang malu-malu tumbuh.
“Bagus kalau ngerti. Sekarang bawa kursinya ke bawah, terus bantu Ibu bikin teh.”
“Iya, Bu…” jawab Sekar sambil menuruni tangga, membawa lebih dari sekadar kursi — tapi juga harapan, impian, dan sebuah cerita yang siap ia siarkan… dari balik loteng rumah mertuanya.
Sore menjelang malam di rumah jati itu selalu terasa berbeda. Udara mengalir pelan, membawa aroma daun kering dan kayu tua. Sekar duduk bersimpuh di dapur, menyeduh teh melati dalam teko keramik putih, sementara Ibu mertuanya merapikan nampan berisi piring kecil dan kue kering.
“Nanti kamu bawa ini ke ruang tamu, ya. Ibu mau ganti baju dulu,”
kata Ibu tanpa menatap Sekar, tapi suaranya tak sekeras tadi.“Baik, Bu,” jawab Sekar lirih.
Ada jeda. Saat Ibu melangkah menjauh, Sekar sempat menoleh ke arah lorong, menatap tangga ke loteng. Ada desir halus di hatinya, seolah radio tua itu memanggilnya kembali. Tapi ia tahu, waktunya belum sekarang.
**
Tamu datang. Seorang sepupu dari pihak suami, ditemani istrinya yang enerjik dan gemar bicara. Ruang tamu ramai oleh tawa, pembicaraan tentang resep dan tanaman hias. Sekar mengantar teh dengan senyum ramah, duduk di sisi paling luar, seperti biasa.
“Sekar, kamu sudah mulai betah tinggal di sini?”
tanya si tamu perempuan sambil menyesap teh.Sekar menoleh, tersenyum sopan.
“Sedang belajar membiasakan diri, Mbak.”
Tawa ringan terdengar.
“Hehehe, pelan-pelan, ya. Namanya juga tinggal sama mertua. Ada seninya.”
Lalu ia menatap Ibu mertua Sekar.
“Tapi enak loh, Bu. Punya menantu kayak Sekar. Lembut, rajin…”Sekilas, wajah Ibu Sekar berubah.
“Hmm, ya… tinggal dilihat nanti tahan sampai berapa tahun,” gumamnya.
Ruangan mendadak dingin meski teh masih mengepul hangat.
Sekar menunduk. Tapi ia tersenyum. Senyum yang bukan dibuat-buat, melainkan senyum yang lahir dari pemahaman bahwa... penerimaan tidak datang sekaligus. Kadang ia tumbuh pelan-pelan, seperti air yang mengikis batu.
**
Malamnya, saat rumah mulai sepi dan hanya suara jangkrik yang menemani, Sekar kembali naik ke loteng. Dengan langkah hati-hati, ia menyalakan lampu kecil di sudut. Radio itu masih di sana. Diam, setia.
Ia duduk bersila di depannya. Tangan mungilnya menyentuh knop, lalu memutarnya sekali.
Krrkkh... suara serak menyambut, lalu menghilang. Tapi Sekar tak gentar.“Assalamualaikum… halo, ini aku lagi, Sekar,” katanya pelan, seperti berbicara pada teman lama.
“Hari ini aku mengantar teh. Tidak sulit, hanya butuh hati yang tenang... dan tangan yang tidak gemetar.”
Ia tertawa kecil, lebih pada dirinya sendiri.
“Aku pikir, jadi menantu itu seperti siaran radio. Kita bicara, tapi belum tentu langsung didengar. Kadang suaranya nyaring, kadang tenggelam. Tapi tetap saja, kita terus menyampaikan.”**
Esok paginya, Sekar menuliskan sesuatu di buku catatannya:
📻 “MENANTU ON AIR : SUARA RAHASIA DARI RUMAH MERTUA"
💬 Segmen 1: “Menjadi Menantu, Bukan Menghilang”
🎙️ Format: suara narasi dan surat dari menantu lain
🔊 Target pertama: satu siaran seminggu, durasi 10 menit
📌 Catatan: butuh mikrof*n, atau rekam manual di ponsel?
Sebuah mimpi kecil mulai bertunas di tengah tumpukan kayu tua dan debu kenangan. Sekar ingin membuat podcast sederhana — atau siaran radio kecil — dari loteng rumah ini. Isinya? Kisah nyata dari para menantu, suara lirih dari mereka yang ingin didengar tapi tak punya ruang.
Sekar tahu, mungkin awalnya tak akan ada yang mendengar. Tapi kalau pun hanya satu orang yang merasa terhibur, itu cukup. Sebab terkadang, satu pendengar saja sudah bisa menyelamatkan seseorang dari rasa sepi.
Lampu “ON AIR” menyala merah di dinding studio yang pernah menjadi saksi tawa, tangis, dan setiap getar suara Sekar di masa lalu. Ruangan itu masih sama—bau karpet lama, aroma kopi yang menempel di meja mixer, dan pantulan cahaya jingga sore yang menembus kaca. Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini: waktu.Sekar duduk di kursi siarannya, menatap mikrofon yang dulu menjadi sahabat setianya. Tangannya sedikit gemetar ketika memutar tombol volume. Di dadanya, debar yang sama kembali terasa—campuran antara gugup, rindu, dan tenang. Di layar monitor, nama program muncul perlahan:“Menantu On Air — Edisi Perpisahan”Ia menarik napas panjang, lalu menekan tombol record.
Langit sore itu berwarna jingga muda — warna yang dulu selalu membuat Sekar ingin berhenti sejenak dari hiruk pikuk hari, sekadar memandangi langit dan mengingat masa lalu. Di beranda rumahnya yang kini sunyi, ia duduk sendiri dengan secangkir teh melati, membuka sebuah buku harian berkulit cokelat tua yang sudutnya mulai mengelupas. Di halaman pertama tertulis dengan tinta pudar:“Hari ini Jinara tertawa untuk pertama kalinya.”— Sekar, 11 Mei 2009.Sekar tersenyum lirih. Ia masih bisa mengingat dengan jelas hari itu — tawa kecil Jinara yang pecah di antara tangis dan gumam bayi, tangan Arya yang memeluk mereka berdua, dan dirinya yang menangis karena
Sekar berkata:“Menjadi ibu ternyata bukan sekadar melahirkan.Tapi juga melahirkan ulang diriku sendiri — dengan sabar yang tak pernah aku tahu sebelumnya,dengan cinta yang tak pernah aku bayangkan bisa sedalam ini.Ada malam-malam di mana aku menangis dalam diam, bukan karena lelah, tapi karena haru:bagaimana mungkin tangan sekecil ini bisa menggenggam seluruh hatiku?Aku belajar bahwa menjadi ibu bukan tentang sempurna, tapi tentang hadir.Bukan tentang tahu semua jawaban, tapi berani mencari bersama anakmu.Setiap tangisnya mengajarkanku arti doa,
Malam itu, angin berhembus pelan di luar jendela. Di dalam kamar, Sekar duduk bersandar di kepala ranjang, rambutnya terurai berantakan, matanya sayu tapi hangat. Jinara meringkuk di pelukannya, menangis pelan karena lapar. Arya dengan sigap menyiapkan air hangat di dapur kecil mereka.Sekar tersenyum samar, meski tubuhnya masih terasa nyeri pasca melahirkan.“Dulu aku pikir jadi ibu itu cuma tentang cinta,” gumamnya lirih. “Ternyata cinta juga butuh tenaga dan air mata.”Arya datang membawa botol kecil, matanya setengah mengantuk tapi masih penuh perhatian.“Cinta juga butuh begadang,” jawabnya sambil tersenyum, mencoba bercanda.Sekar tertawa kecil, suara tawanya pelan tapi tulus — seperti cahaya kecil di tenga
Malam turun perlahan, membawa udara sejuk dan wangi bunga kenanga dari halaman. Di teras rumah yang sederhana itu, lampu kuning menggantung lembut, menciptakan cahaya hangat di antara gelapnya langit.Sekar duduk di kursi rotan, mengenakan selimut tipis di bahunya. Di pangkuannya, segelas teh hangat mengepul. Di sampingnya, Bu Ambar, ibunya, duduk sambil mengusap pelan tangan putrinya — seperti dulu, ketika Sekar masih kecil dan sering takut tidur sendirian.Dari dalam rumah terdengar samar suara tawa pelan.Pak Surya sedang berbincang dengan Arya, membicarakan hal-hal kecil — pekerjaan, tanggung jawab, dan pengalaman menj
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar, jatuh lembut di wajah mungil Jinara Aryasatya yang masih meringkuk di pelukan ibunya. Sekar membuka matanya perlahan, masih setengah mengantuk, lalu tersenyum kecil melihat bayinya menggeliat pelan, menguap dengan suara kecil seperti desah burung.“Selamat pagi, Nak…” bisiknya lembut, mengelus rambut hitam halus di ubun-ubun Jinara.Tak lama, Arya masuk dari dapur, masih memakai kaus yang kusut dan rambut yang berdiri acak-acakan. Di tangannya, dua cangkir teh hangat mengepul.“Selamat pagi, dua cinta hatiku,” katanya, suaranya parau tapi lembut. Ia meletakkan teh di meja, lalu duduk di tepi ranjang, menatap Jinara dengan wajah campur kagum dan gugup.







